1 Oleh:
Ludwig Melino Tjokrovonco NPM 131221170005
TESIS
Untuk memenuhi salah satu syarat ujian Guna memperoleh gelar Dokter Spesialis Program Pendidikan Dokter Spesialis 1 Bagian Kajian Utama Ilmu Kesehatan Mata
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN PUSAT MATA NASIONAL RUMAH SAKIT MATA CICENDO
BANDUNG 2021
PENGARUH KORTIKOSTEROID TERHADAP WAKTU DAN TINGKAT RESOLUSI PARALISIS NERVUS OKULAR
MOTOR TERISOLASI AKIBAT ISKEMIK MIKROVASKULAR
Oleh:
Ludwig Melino Tjokrovonco NPM 131221170005
TESIS
Untuk memenuhi salah satu syarat ujian Guna memperoleh gelar Dokter Spesialis Program Pendidikan Dokter Spesialis 1 Bagian Kajian Utama Ilmu Kesehatan Mata Telah disetujui oleh Tim Pembimbing pada tanggal
Seperti tertera di bawah ini
Bandung, 21 Juni 2021
Dr. dr. Antonia K. Indriati, SpM(K)., M.Kes Primawita O. A., dr., SpM(K), M.Kes Pembimbing I Pembimbing II
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Karya tulis saya ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik, baik dari Universitas Padjadjaran maupun di perguruan tinggi lain.
2. Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan, dan penelitian saya sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing.
3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan naskah pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka.
4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karena karya ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma berlaku di perguruan tinggi ini.
Bandung, 21 Juni 2021 Yang membuat pernyataan,
Ludwig Melino Tjokrovonco NPM 131221170005
iii
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan berkat dan karunia-Nya yang tidak terhingga sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar dokter spesialis Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Kesehatan Mata Universitas Pajajaran, Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo. Penulis menyampaikan rasa terima kasih, hormat dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membimbing dan membantu penulis dalam menempuh masa pendidikan dan menyelesaikan tesis ini.
Penulis menyampaikan rasa hormat kepada Prof. Dr. Rina Indiastuti, S.E, M.SIE selaku Rektor Universitas Padjadjaran dan Dr. Yudi Mulyana Hidayat, dr., SpOG(K) selaku Dekan Fakultas Kedokteran sekaligus Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh Program Pendidikan Dokter Spesialis-I Ilmu Kesehatan Mata di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada jajaran direksi Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung, Dr. dr. Irayanti, SpM(K)., MARS selaku Direktur utama, Ayi Wagiati Sari, SE., MM. selaku Direktur Keuangan, Dr. dr. Antonia Kartika Indriati, SpM(K), M.Kes selaku Direktur SDM, Pendidikan, dan Penelitian, dan Hartono, SKM, M.Kes selaku Direktur Perencanaan dan Umum yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk dapat menggunakan sarana dan prasarana rumah sakit untuk belajar dan bekerja.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof.
Arief S. Kartasasmita, dr., SpM(K)., MKes., PhD. selaku Kepala Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Dr. Elsa Gustianty, dr., SpM(K)., MKes. selaku Plt Kepala Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Dr. Irawati Irfani, dr., SpM(K)., M.Kes selaku Plt Ketua Program Studi Departemen Ilmu Kesehatan
iv
Mata Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, dan Dr. Budiman, dr., SpM(K)., MKes dan Dr. Andika Prahasta, dr., SpM(K)., MKes selaku Kepala Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran terdahulu, serta seluruh staf pengajar Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran atas kesempatan yang telah diberikan untuk menempuh Program Pendidikan Dokter Spesialis Mata, dan juga atas bimbingan, motivasi, serta dukungan yang luar biasa sehingga penulis dapat menempuh kegiatan pendidikan dengan baik.
Rasa terima kasih dan penghargaan yang tak terhingga juga penulis sampaikan kepada Dr. dr. Antonia Kartika I., SpM(K)., M.Kes selaku pembimbing I dan dr.
Primawita O. Amiruddin, SpM(K)., M.Kes selaku pembimbing II, yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, pengarahan dan masukan selama penelitian berlangsung sehingga penelitian ini berjalan dengan lancar sampai tahap akhir penyelesaian tesis ini.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Nurvita Trianasari, S.Si, M.Stat atas bantuannya dalam pengolahan statistik pada penelitian ini.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh perawat dan staf Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo atas segala bantuan dan kerjasama yang terjalin selama masa pendidikan. Kepada seluruh sahabat, teman sejawat peserta Program Pendidikan Spesialis Mata Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, khususnya teman satu angkatan, terima kasih atas kebersamaan, pengertian dan kerjasamanya selama masa pendidikan.
Akhirnya, penulis sampaikan rasa sayang dan terima kasih tak terhingga kepada ayahanda Hasso Tjokrovonco dan ibunda Meliawati Kurnia dan kedua mertua Andri Irawan dan Rina Harnadi atas cinta dan kasih sayang yang telah diberikan dalam membesarkan, mendidik, membimbing, memberikan teladan dalam menghadapi kehidupan, memberikan semangat serta doa yang tiada henti bagi penulis selama ini. Thesis ini khusus dipersembahkan kepada isteri dan anak tercinta, dr. Evelyn Irawan dan Ethan Lewis Tjokrovonco yang telah menjadi motivasi terbesar penulis untuk menyelesaikan masa pendidikannya.
viii
Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan balasan atas semua kebaikan, kesabaran, dan keikhlasan yang telah Bapak/ Ibu/ Saudara berikan kepada penulis selama ini. Semoga tesis ini bermanfaat untuk Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran dan Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo.
Bandung, 21 Juni 2021 Penulis
Ludwig Melino Tjokrovonco
ABSTRAK
Latar Belakang: Iskemik mikrovaskular merupakan penyebab tersering paralisis nervus okular motor terisolasi pada pasien yang berusia diatas 50 tahun. Sebanyak 15-36% kasus iskemik paralisis nervus okular motor tidak mengalami resolusi dan akan menyebabkan diplopia persisten. Hingga saat ini belum ada tatalaksana yang terbukti mampu mempercepat waktu resolusi dan meningkatkan tingkat resolusi pada kasus ini. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah waktu dan tingkat resolusi pasien dengan iskemik paralisis nervus okular motor terisolasi yang mendapat kortikosteroid lebih baik dibandingkan dengan tanpa kortikosteroid.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan metode potong lintang. Data diambil secara retrospektif melalui rekam medis pasien di Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Cicendo periode Januari – Desember 2019.
Sebanyak 73 pasien dengan iskemik paralisis nervus okular motor terisolasi yang memenuhi kriteria inklusi kemudian dibagi menjadi 2 kelompok yaitu yang mendapatkan kortikosteroid dan tanpa kortikosteroid.
Hasil: Median waktu resolusi pada kelompok pasien dengan kortikosteroid adalah 4 minggu. Waktu resolusi ini lebih cepat dibandingkan dengan kelompok tanpa kortikosteroid yaitu 12 minggu (p=0.007). Sebanyak 82.9% pasien yang mendapatkan kortikosteroid mengalami resolusi komplit dalam 3 bulan pertama sedangkan pada kelompok tanpa kortikosteroid hanya 47.4% (p=0.001). Pada follow up 6 bulan didapatkan seluruh pasien pada kelompok kortikosteroid mengalami resolusi sedangkan 6 pasien pada kelompok tanpa kortikosteroid tidak mengalami resolusi sama sekali (p=0.279).
Kesimpulan: Waktu resolusi dan tingkat resolusi pasien dengan iskemik paralisis nervus okular motor terisolasi dalam 3 bulan pertama yang mendapat kortikosteroid lebih baik dibandingkan dengan tanpa kortikosteroid meskipun tingkat resolusi pada 6 bulan tidak berbeda secara statistik.
Kata Kunci: iskemik mikrovaskular, kortikosteroid, paralisis, nervus okular motor, terisolasi
vii
ABSTRACT
Introduction: Microvascular ischemia is the most common cause of isolated ocular motor nerve palsy in patients over 50 years old. Around 15-36% of those cases do not resolve and result in persistent diplopia. Until now, there is no proven management to speed up the resolution time and increase the resolution rate of those cases. This study aims to evaluate whether the resolution time and resolution rate of patients with isolated ischemia ocular motor nerve palsies who received corticosteroids were better than without corticosteroids.
Methods: This was an analytic observational study with a cross-sectional method.
Data were collected retrospectively through patient’s medical records at Cicendo National Eye Hospital from January to December 2019. Around 73 patients with isolated ischemia ocular motor nerve palsies were divided into 2 groups, which received corticosteroids and without corticosteroids.
Results: The median resolution time in the corticosteroids group was 4 weeks.
This was faster than the non-corticosteroids group which was 12 weeks (p = 0.007). Around 82.9% of patients receiving corticosteroids had a complete resolution in the first 3 months whereas in the non-corticosteroids group only 47.4% of patients had complete resolution (p = 0.001). At 6 months follow-up, all patients in the corticosteroids group had resolution while 6 patients in the non- corticosteroids group had no resolution (p = 0.279).
Conclusion: Resolution time and resolution rates in the first 3 months in patients with isolated ischemia ocular motor nerve palsies who received corticosteroids were better than those without corticosteroids although the resolution rate at 6 months was not statistically significant.
Keywords: corticosteroids, isolated, microvascular ischemia, ocular motor nerve palsy
viii
DAFTAR ISI
JUDUL ... i
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
PERNYATAAN ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR SINGKATAN ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Penelitian ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 5
1.3 Tujuan Penelitian ... 6
1.4 Kegunaan Penelitian ... 6
1.4.1 Kegunaan Ilmiah ... 6
1.4.2 Kegunaan Praktis ... 6
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS .... 7
2.1 Kajian Pustaka ... 7
2.1.1 Sistem Saraf Perifer ... 7
2.1.2 Cedera Saraf Perifer ... 10
2.1.3 Anatomi Nervus Okular Motor ... 13
2.1.4 Paralisis Nervus Okular Motor Akibat Iskemik Mikrovaskular ... 16
2.1.5 Peranan Agen Farmakologis Terhadap Resolusi Cedera Saraf Perifer ... 22
2.2 Kerangka Pemikiran ... 27
2.3 Premis dan Hipotesis ... 32
2.3.1 Premis ... 32 ix
2.3.2 Hipotesis ... 33
BAB III SUBJEK DAN METODE PENELITIAN ... 34
3.1 Metode dan Rancangan Penelitian ... 34
3.2 Subjek Penelitian ... 34
3.2.1 Sampel... 35
3.2.1.1 Cara Pemilihan Sampel ... 35
3.2.1.2 Kriteria Inklusi ... 35
3.2.1.3 Kriteria Eksklusi ... 36
3.2.1.4 Penentuan Jumlah Sampel ... 37
3.3 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional ... 38
3.3.1 Identifikasi Variabel... 38
3.3.2 Definisi Operasional ... 38
3.4 Bahan dan Alat Penelitian ... 41
3.5 Tempat dan Waktu Penelitian ... 41
3.6 Cara Kerja dan Teknik Pengumpulan Data... 41
3.7 Rancangan Analisis Data ... 42
3.8 Implikasi/Aspek Etik Penelitian ... 43
3.9 Skema Alur Penelitian ... 44
3.10 Jadwal Kegiatan Penelitian ... 45
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 46
4.1 Hasil Penelitian ... 47
4.1.1 Karakteristik Subjek Penelitian... 47
4.1.2 Perbandingan Waktu Resolusi pada Kelompok Kortikosteroid dan Tanpa Kortikosteroid ... 50
4.1.3 Perbandingan Tingkat Resolusi pada Kelompok Kortikosteroid dan Tanpa Kortikosteroid ... 50
4.1.4 Karakteristik Subjek Penelitian Yang Tidak Mengalami Resolusi Komplit Pada Bulan Keenam ... 52
4.2 Uji Hipotesis ... 54
4.3 Pembahasan ... 55
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 64
5.1 Simpulan ... 64
5.2 Saran ... 64
DAFTAR PUSTAKA ... 65
LAMPIRAN ... 72
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1. Perbandingan Karakteristik Klinis pada Kelompok Kortikosteroid dan Tanpa Kortikosteroid ... 49 Tabel 4.2 Perbandingan Waktu Resolusi pada Kelompok Kelompok Kortikosteroid dan Tanpa Kortikosteroid ... 50 Tabel 4.3 Perbandingan Tingkat Resolusi pada Kelompok Kortikosteroid dan Tanpa Kortikosteroid ... 51 Tabel 4.4 Karakteristik Subjek Penelitian yang Tidak Mengalami Resolusi Komplit pada Bulan Keenam ... 53
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Fenotip sel Schwann... 8
Gambar 2. Sawar darah saraf ... 9
Gambar 3. Mekanisme respons cedera saraf ... 12
Gambar 4. Anatomi nervus okular motor ... 14
Gambar 5. Sistem pembuluh darah ekstraneurial pada nervus okular motor ... 15
Gambar 6. Kerusakan mikrovaskular pada diabetes ... 21
Gambar 7. Kerangka Pemikiran ... 30
xiii
DAFTAR SINGKATAN
MRI : Magnetic Resonance Imaging CT : Computerized Tomography DM : Diabetes Mellitus
TNF-α : Tumor Necrosis Factor Alfa ZO : Zonula Occludens
IL-1 : Interleukin-1
NGF : Nerve Growth Factor GCA : Giant Cell Arteritis LED : Laju Endap Darah CRP : C-Reactive Protein
MRA : Magnetic Resonance Angiography CTA : Computerized Tomography Angiography BDNF : Brain Derived Neurotrophic Factor PMP22 : Peripheral Myelin Protein-22 MBP : Myelin Binding Protein P0 : Myelin Protein Zero
CNTF : Ciliary Neurotrophic Factor
GDNF : Glial Cell Line Derived Neurotrophic Factor KS : Kortikosteroid
ROS : Reactive Oxygen Species MMP : Matriks Metalloproteinase
CSPG : Chondroitin Sulfate Proteogylcans Nogo-A : Neurite Outgrowth Inhibitor
OMgp : Oligodendrocyte Myelin Glycoprotein MAG : Myelin associated Glycoprotein
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1. Persetujuan Etik... 72
LAMPIRAN 2. Daftar Riwayat Hidup ... 73
LAMPIRAN 3. Perhitungan Statistik ... 76
LAMPIRAN 4. Data Sampel ... 99
xv
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Paralisis nervus okular motor merupakan kasus neuro-oftalmologi yang sering ditemukan dalam praktik klinis sehari-hari. Identifikasi penyebab dan tatalaksana yang sesuai sangat penting mengingat beberapa kasus paralisis nervus okular motor dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan tepat. Paralisis nervus okular motor dapat terjadi secara terisolasi (mononeuropati) atau secara multipel bersamaan dengan paralisis nervus kranialis lainnya (multineuropati). Keadaan terisolasi yang dimaksud adalah kondisi dimana hanya satu nervus okular motor baik nervus okulomotorius, troklearis, atau abdusen yang terkena dan tidak berhubungan atau disertai tanda- tanda neurologis lokal seperti keterlibatan saraf kranial lainnya, kelemahan tungkai, ataksia, proptosis, gangguan tajam penglihatan atau penglihatan warna. Studi oleh Ogun dkk menyebutkan bahwa 93.2% kasus paralisis nervus okular motor terjadi secara terisolasi dan hanya 6.8% yang terjadi secara multipel.1-5
Penyebab paralisis nervus okular motor umumnya merupakan penyebab yang didapat dan hanya sedikit yang terjadi akibat kelainan kongenital. Mayoritas penelitian menunjukan bahwa paralisis nervus okular motor yang didapat kebanyakan mengenai nervus abdusen, baru diikuti oleh nervus okulomotorius dan nervus troklearis. Salah satunya adalah studi oleh Khadse dkk yang memperlihatkan 67 dari 150 kasus paralisis nervus okular motor disebabkan oleh
1
iskemik mikrovaskular dan paling sering melibatkan nervus abdusen. Namun hasil yang berbeda ditunjukan oleh Ogun dkk dimana 57.6% kasus mengenai nervus okulomotorius yang diikuti nervus abdusen dan nervus troklearis. Kasus paralisis nervus okular motor memiliki kemungkinan penyebab yang bervariasi berdasarkan usia dan nervus yang terkena. Studi oleh Chou dkk dan Tamhankar dkk menyebutkan sebanyak 84-86% kasus paralisis nervus okular motor terisolasi pada pasien berusia diatas 50 tahun disebabkan oleh iskemik mikrovaskular yang diikuti inflamasi, stroke, tumor, dan aneurisma sebagai penyebab lainnya.
Paralisis nervus okular motor pada kasus pediatrik lebih sering disebabkan akibat inflamasi, trauma, tumor, atau kongenital.1,5-8
Paralisis nervus okular motor yang terisolasi umumnya akan mengalami resolusi dalam waktu 3-6 bulan. Sebanyak 17 dari 24 (71%) kasus paralisis nervus okular motor terisolasi akibat iskemik mikrovaskular di Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo periode Januari 2015 sampai Desember 2016 menunjukan resolusi dalam 3 bulan. Hasil serupa juga ditunjukan oleh Choi dkk dimana 64% kasus akibat iskemik mikrovaskular mengalami resolusi komplit dalam 3 bulan dan meningkat menjadi 85% dalam 6 bulan. Masih terdapat 15- 36% kasus yang tidak mengalami resolusi komplit meskipun sudah dilakukan pemeriksaan penunjang lainnya seperti Magnetic Resonance Imaging (MRI) atau Computerized Tomography (CT) scan orbita kepala untuk menyingkirkan kemungkinan etiologi lain. Kung dkk menyarankan dilakukannya pemeriksaan penunjang neuroimaging seperti MRI apabila dalam waktu 3 bulan tidak terjadi resolusi total. MRI masih menjadi pemeriksaan penunjang baku emas untuk
mendeteksi kelainan saraf. MRI akan membantu menyingkirkan adanya kemungkinan etiologi lain seperti neoplasma, inflamasi maupun iskemik batang otak.3-5,10,11
Iskemik mikrovaskular merupakan penyebab tersering paralisis nervus okular motor yang terisolasi pada pasien yang berusia di atas 50 tahun. Patomekanisme terjadinya iskemik mikrovaskular diduga menyerupai mekanisme terjadinya neuropati diabetika. Penelitian oleh Kanda dkk menunjukkan pada pasien dengan neuropati diabetika tidak ditemukan adanya oklusi pada lumen arteriol melainkan terdapat hialinisasi pada dinding arteriol. Diabetes mellitus (DM) akan menyebabkan hilangnya tight junctions, hipertrofi membran basalis, dan hilangnya sel perisit mikrovaskular. Kerusakan ini akan menyebabkan timbulnya edema yang diikuti hipoksia pada ruang endoneurial. Dreyfus dkk juga menunjukan bahwa pada 2 kasus paralisis nervus okulomotorius akibat diabetes mellitus terlihat iskemik fokal disertai proses demielinisasi saraf dan tidak diikuti adanya kerusakan akson. Pada satu kasus lainnya bahkan terlihat adanya kerusakan akson yang diikuti oleh proses degenerasi Wallerian. Seddon mengklasifikasikan mayoritas tipe kerusakan saraf perifer seperti ini dalam kategori neuropraksia. Hal ini yang diyakini menyebabkan mayoritas tingkat pemulihan paralisis nervus okular akibat iskemik mikrovaskular menunjukan hasil yang baik.5,12,13
Tatalaksana yang umumnya diberikan pada pasien paralisis nervus okular motor akibat iskemik mikrovaskular pada fase akut sejauh ini adalah dengan mengontrol faktor risiko vaskulopati yang dimiliki pasien dan pemberian agen
neuroprotektor untuk mencegah kerusakan saraf lebih lanjut. Hal yang perlu dicermati adalah adanya kemungkinan 15-36% kasus yang tidak mengalami resolusi komplit. Hal ini akan menimbulkan gejala sisa yaitu diplopia persisten.
Diplopia persisten akan menimbulkan pusing dan rasa tidak nyaman yang akan mengganggu kualitas hidup pasien. Hal ini yang mendorong dilakukannya penelitian lanjutan untuk mencari cara dalam mengoptimalkan tingkat resolusi pada kasus paralisis nervus okular motor akibat iskemik mikrovaskular.1,4,5
Kortikosteroid merupakan agen anti inflamasi yang sering digunakan dalam bidang neuro-oftalmologi. Efek anti inflamasi dari kortikosteroid dapat membantu mengurangi edema dan mengontrol inflamasi yang berlebihan pada saraf.
Kortikosteroid mampu menekan produksi sitokin proinflamasi seperti tumor necrosis factor alfa (TNF-α) dan interleukin-1β yang akan menginduksi pelepasan radikal bebas serta menyebabkan apoptosis sel. Berbagai penelitian juga meneliti potensi kortikosteroid sebagai agen neuroprotektor yang berperan dalam regenerasi saraf dan pencegahan pembentukan jaringan ikat. Pencegahan pembentukan jaringan ikat merupakan salah satu aspek penting yang berpengaruh terhadap keberhasilan proses regenerasi saraf.14-16
Berdasarkan uraian di atas maka disusunlah tema sentral penelitian ini sebagai berikut :
Paralisis nervus okular motor merupakan kasus neuro-oftalmologi yang sering ditemukan dalam praktik klinis sehari-hari. Paralisis nervus okular motor dapat terjadi secara terisolasi maupun multipel. Penyebab tersering dari paralisis nervus okular motor terisolasi pada pasien yang berusia diatas 50 tahun adalah iskemik mikrovaskular. Iskemik mikrovaskular akan menyebabkan edema dan hipoksia pada ruang endoneurial yang diikuti proses demielinisasi saraf namun tidak selalu
disertai dengan kerusakan akson. Hal ini yang diyakini menyebabkan tingkat pemulihan paralisis nervus okular akibat iskemik mikrovaskular menunjukan hasil yang baik dalam 3-6 bulan. Hal lain yang perlu dicermati adalah adanya kemungkinan 15%-36% kasus yang tidak mengalami resolusi dan menyebabkan diplopia persisten. Kortikosteroid merupakan agen anti inflamasi yang sering digunakan dalam bidang neuro-oftalmologi. Efek anti inflamasi dari kortikosteroid dapat membantu mengurangi edema dan mengontrol inflamasi yang berlebihan pada saraf. Kortikosteroid juga dinilai memiliki efek neuroprotektor yang berperan dalam regenerasi saraf dan pencegahan pembentukan jaringan ikat. Hal ini yang mendasari pemberian kortikosteroid pada pasien yang mengalami paralisis nervus okular motor terisolasi akibat iskemik mikrovaskular dan diharapkan mampu meningkatkan keberhasilan penyembuhan saraf.
Uraian diatas mendasari peneliti untuk melihat apakah waktu dan tingkat resolusi pasien dengan paralisis nervus okular motor terisolasi akibat iskemik mikrovaskular yang mendapat kortikosteroid lebih baik dibandingkan dengan tanpa kortikosteroid.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah waktu resolusi pada pasien dengan paralisis nervus okular motor terisolasi akibat iskemik mikrovaskular yang mendapat kortikosteroid lebih cepat dibandingkan dengan tanpa kortikosteroid?
2. Apakah tingkat resolusi dalam 3 bulan pertama pada pasien dengan paralisis nervus okular motor terisolasi akibat iskemik mikrovaskular yang mendapat kortikosteroid lebih baik dibandingkan dengan tanpa kortikosteroid?
3. Apakah tingkat resolusi dalam 6 bulan pada pasien dengan paralisis nervus okular motor terisolasi akibat iskemik mikrovaskular yang mendapat kortikosteroid lebih baik dibandingkan dengan tanpa kortikosteroid?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat apakah waktu dan tingkat resolusi pasien dengan paralisis nervus okular motor terisolasi akibat iskemik mikrovaskular yang mendapat kortikosteroid lebih baik dibandingkan dengan tanpa kortikosteroid.
1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Ilmiah
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap ilmu pengetahuan khususnya mengenai pemberian kortikosteroid untuk meningkatkan keberhasilan resolusi dan mempercepat waktu resolusi pada pasien dengan paralisis nervus okular motor terisolasi akibat iskemik mikrovaskular
1.4.2 Kegunaan Praktis
Penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk pemberian kortikosteroid pada pasien dengan paralisis nervus okular motor terisolasi akibat iskemik mikrovaskular.
7 2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Sistem Saraf Perifer
Sistem saraf perifer terdiri dari sel neuronal, sel glial dan sel stroma. Sistem saraf perifer menghubungkan antara sistem saraf pusat dengan organ target di seluruh tubuh. Sistem saraf merupakan kombinasi dari neuron motorik, sensorik dan otonom. Neuron aferen (sensorik) akan membawa sinyal dari organ sensorik ke sistem saraf pusat, sebaliknya neuron eferen (motorik dan otonom) akan membawa sinyal dari sistem saraf pusat ke organ target. Satu unit sel neuron terdiri dari badan sel, dendrit dan akson. Impuls listrik yang timbul akan dialirkan dari badan sel melalui akson. Berdasarkan karakteristik strukturnya, serabut saraf dibagi menjadi serabut saraf bermielin dan tidak bermielin.17-19
Selubung mielin terdiri dari 30% protein dan 70% lipid. Selubung mielin akan mengelilingi akson dan diproduksi secara berkala oleh sel Schwann. Sel Schwann merupakan komponen neuroglial utama dari sistem saraf perifer. Bagian akson yang tidak diselubungi mielin disebut nodus Ranvier. Selubung mielin akan menyebabkan impuls listrik dapat melompat dari satu nodus ke nodus lainnya dan proses ini disebut sebagai konduksi saltatori. Hal ini akan menyebabkan laju konduksi listrik pada serabut saraf bermielin lebih cepat dibandingkan dengan serabut saraf tidak bermielin. Sel Schwann berdasarkan fenotipnya dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu sel Schwann bermielin, sel Schwann tidak bermielin (sel
Remak), dan sel Schwann reparasi seperti yang terlihat pada gambar 1. Bila terjadi cedera pada saraf, baik sel Schwann bermielin dan sel Remak akan berdiferensiasi menjadi sel Schwann reparasi yang akan aktif membantu proses regenerasi akson.17-20
Gambar 1. Fenotip sel Schwann Dikutip dari: Jessen dkk.20
Sel non neuronal dan jaringan penunjang yang mengelilingi akson akan menjadi lapisan pelindung serta bantalan bagi saraf terhadap risiko cedera.
Lapisan penunjang tersebut terdiri dari tiga struktur laminar yang dapat dilihat pada gambar 2 yaitu endoneurium, perineurium, dan epineurium. Endoneurium merupakan struktur lapisan penunjang terdalam yang paling dekat dengan akson.
Endoneurium tersusun dari kumpulan serat kolagen. Kumpulan akson beserta endoneurium akan membentuk satu fasikulus yang dilapisi oleh lapisan perineurium. Lapisan perineurium memiliki peran penting dalam menjaga integritas dan elastisitas saraf. Lapisan perineurium terdiri dari serat kolagen dan sel perineural. Selain membentuk lapisan perineurium, sel perineural bersama dengan sel endotel pembuluh darah endoneurial juga akan membentuk sawar
daraf saraf. Ikatan tight junctions pada sawar darah saraf diperkuat oleh komplek protein seperti claudins, occludins, junctional adhesion molecule, dan zonula occludens (ZO). Adanya tight junctions yang kuat menyebabkan sawar darah saraf bersifat selektif permiabel. Sawar darah saraf perifer memiliki fungsi utama yang sama dengan sawar darah otak. Sawar darah saraf berfungsi untuk mencegah masuknya zat protein berukuran besar, toksin, antigen, dan agen infeksi ke dalam ruang endoneurial. Adanya kebocoran pada sawar darah saraf akan menyebabkan perubahan tekanan dan komposisi ion di dalam ruang endoneurial yang dapat mengganggu aliran konduksi listrik pada saraf.12,19,22,23
Gambar 2. Sawar darah saraf (A) Penampang melintang saraf perifer, (B) Struktur pembuluh darah endoneurial, (C) Struktur sel penyusun sawar darah saraf, (D) Endothelial Tight Junctions
Dikutip dari: Richner dkk.12
Lapisan terluar serabut saraf disebut epineurium. Epineurium terdiri dari dua bagian, yaitu epineurium ekstrafasikular dan interfasikular. Epineurium ekstrafasikular adalah struktur terluar yang membungkus sekumpulan fasikulus, sementara epineurium interfasikular merupakan struktur jaringan penunjang yang akan mengisi ruang-ruang di antara fasikulus. Lapisan epineurium dibentuk oleh serat kolagen dan sel lemak serta merupakan lapisan yang cukup kuat dan tahan terhadap kompresi. Pada lapisan epineurium terdapat pembuluh darah epineurial yang akan beranastomosis dengan pembuluh darah endoneurial. Kumpulan pembuluh darah ini disebut juga sebagai vasa nervorum yang berfungsi untuk mengalirkan darah sampai ke bagian dalam struktur saraf perifer. Saraf perifer juga mendapat suplai darah dari pembuluh-pembuluh darah regional yang berasal dari pembuluh darah ekstrinsik. Pembuluh darah regional akan menembus jaringan ikat longgar di sekitar fasikulus dan beranastomosis dengan vasa nervorum di bagian dalam.17-19,23,24
2.1.2 Cedera Saraf Perifer
Seddon dan Sunderland mengklasifikasikan derajat cedera saraf berdasarkan perubahan struktur saraf secara mikroskopis. Klasifikasi ini penting untuk menilai tingkat keparahan serta tingkat keberhasilan pemulihannya. Seddon membagi kerusakan saraf menjadi tiga jenis yaitu neuropraksia, axonotmesis, dan neurotmesis. Neuropraksia merupakan tingkat paling ringan dari cedera saraf dan ditandai dengan adanya demielinisasi fokal tanpa adanya kerusakan kontinuitas saraf. Tipe ini tidak menyebabkan degenerasi Wallerian di bagian distal saraf.
Kerusakan yang timbul akan menyebabkan hambatan konduksi saraf namun hanya bersifat transien dan akan sembuh sempurna dalam waktu 1 minggu sampai 6 bulan. Axonotmesis ditandai oleh kerusakan akson dan demielinisasi fokal namun lapisan perineurium dan epineuriumnya tetap intak. Pada tingkat ini terjadi degenerasi Wallerian yaitu degenerasi akson bagian distal dari lokasi cederanya.
Proses degenerasi Wallerian ini dimulai 24-48 jam setelah timbul cedera akson.
Adanya jaringan penunjang yang masih baik memungkinkan penyembuhan yang sempurna meskipun membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan neuropraksia. Tingkat kerusakan yang paling berat adalah neurotmesis di mana terjadi transeksi total dari saraf baik secara anatomi maupun fisiologis.
Penyembuhan pada neurotmesis hanya bisa didapat dengan tindakan operasi.17,19,25
Sunderland membagi cedera saraf menjadi 5 derajat keparahan. Kerusakan pada derajat pertama setara dengan neuropraksia, sementara derajat lima setara dengan neurotmesis. Derajat dua sampai empat merupakan derajat axonotmesis berdasarkan struktur jaringan penunjang yang terkena. Derajat dua menunjukkan adanya kerusakan akson tanpa disertai kerusakan jaringan penunjang di sekitarnya. Derajat tiga menunjukkan adanya kerusakan sampai lapisan endonerium, sementara pada derajat empat kerusakan sudah meliputi lapisan perineurium. Pada derajat empat dan lima terjadi proses inflamasi yang hebat yang akan meningkatkan proliferasi fibroblas secara signifikan. Hal ini akan mempercepat terjadinya fibrosis pada saraf sehingga pada derajat empat dan lima dibutuhkan tindakan intervensi bedah untuk mencegah hal tersebut.17,19,25,26
Gambar 3. Mekanisme respons cedera saraf Dikutip dari: Li dkk.26
Respons terhadap cedera saraf dimulai dengan adanya proses aktivasi sel Schwann dalam 24 jam pertama. Sel Schwann memiliki peran utama dalam fagositosis debris pada akson dan mielin seperti terlihat pada gambar 3. Proses ini dilanjutkan dengan adanya migrasi makrofag ke daerah cedera. Makrofag akan mengeluarkan interleukin-1 (IL-1) yang akan menstimulasi proliferasi sel Schwann dan fibroblas. Sel Schwann dan makrofag akan bekerja sama dalam membersihkan debris di dalam tabung endoneurial. Tabung endoneurial yang sudah bersih disebut sebagai Bungner bands. Bungner bands memiliki fungsi yang sangat penting sebagai panduan arah akson yang akan tumbuh pada proses regenerasi. Sel schwann juga mengeluarkan nerve growth factor (NGF) yang akan menstimulasi pembentukan fibronektin, laminin, dan neurotrophin yang sangat
penting dalam proses regenerasi akson dan pembentukan mielin. Pada derajat kerusakan empat dan lima, akan terjadi proliferasi berlebihan dari sel Schwann dan fibroblas. Proliferasi berlebihan ini bersama-sama dengan makrofag dan serat kolagen akan membentuk semacam penghalang sehingga jaringan akson baru tidak dapat bersatu dengan akson bagian proksimal. Tidak terhubungnya badan sel dan akson dalam 6 jam setelah kejadian akan mengaktivasi program kematian sel yang disebut kromatolisis. Bungner bands yang kosong dan tidak terisi oleh jaringan akson yang baru akan dengan mudah terisi oleh sel fibroblas dan menyebabkan fibrosis saraf. 19,20,25,26
2.1.3 Anatomi Nervus Okular Motor
Nervus okular motor termasuk ke dalam sistem saraf perifer dan berbeda secara strukturnya dengan nervus optikus yang termasuk kedalam sistem saraf pusat. Nervus okular motor terdiri dari nervus okulomotorius, nervus troklearis, dan nervus abdusen. Pada gambar 4 terlihat bahwa nervus okular motor akan mempersarafi otot-otot ekstraokular yang bertanggung jawab terhadap gerak bola mata. Nervus okulomotorius terdiri dari dua komponen utama yaitu serabut saraf somatomotor di bagian dalam dan serabut saraf parasimpatis di bagian luar.
Serabut saraf parasimpatis akan mempersarafi otot sfingter pupil sedangkan serabut saraf somatomotor akan mempersarafi otot ekstraokular.2,7,13
Nervus okulomotorius akan terbagi menjadi dua divisi setelah memasuki rongga orbita yaitu divisi superior dan inferior. Divisi superior akan mempersarafi otot rektus superior dan levator palpebra sedangkan divisi inferior akan
mempersarafi otot rektus inferior, rektus medial, dan oblik inferior. Paralisis nervus okulomotorius dapat terjadi secara komplit maupun inkomplit baik disertai dengan atau tanpa keterlibatan pupil. Paralisis nervus okulomotorius dikatakan inkomplit apabila hanya mengenai salah satu divisi saja sedangkan komplit apabila melibatkan baik divisi superior maupun inferior. Adanya keterlibatan pupil menunjukkan tanda dimana terjadi penekanan serabut saraf parasimpatis nervus okulomotorius dari luar baik oleh aneurisma, tumor, maupun trauma.
Nervus troklearis mempersarafi otot oblik superior sehingga seringnya pasien datang dengan keluhan diplopia vertical. Nervus abdusen akan mempersarafi otot rektus lateral sehingga apabila terjadi paralisis pada nervus abdusen akan menyebabkan mata sulit untuk bergerak kearah lateral.2,13,27
Gambar 4. Anatomi nervus okular motor Dikutip dari: Galtrey dkk.13
Nervus okular motor akan diperdarahi oleh pleksus pembuluh darah yang terbentuk dari pembuluh darah intraneurial dan ekstraneurial seperti yang terlihat pada gambar 5. Segmen proksimal dari nervus okulomotorius, yang terletak di
ruang subaraknoid, diperdarahi oleh arteri thalamoperforating yang berasal dari arteri serebral posterior dan cabang-cabang pembuluh darah dari batang otak.
Segmen tengah tidak mendapatkan suplai dari pembuluh darah ekstraneurial dan hanya bergantung dari pleksus intraneural. Segmen distal (intracavernosus) diperdarahi oleh trunkus inferolateral dan trunkus meningohipofiseal yang merupakan cabang dari arteri karotis interna.2,7,13
Gambar 5. Sistem pembuluh darah ekstraneurial pada nervus okular motor Dikutip dari: Galtrey dkk.13
Pada nervus troklearis, setengah bagian proksimal saraf akan diperdarahi 80%
oleh trunkus inferolateral dan 20% oleh arteri tentorial cabang dari trunkus meningohipofiseal. Setengah bagian distal akan mendapat suplai darah dari cabang-cabang trunkus inferolateral. Pada nervus abdusen, sepertiga proksimal saraf mendapat cabang-cabang arteri clivus dorsalis dari trunkus meningohipofiseal. Sepertiga tengah dan distal mendapat cabang dari arteri sinus cavernosus inferior. Sistem anatomi pembuluh darah pada nervus okular motor seperti ini akan membentuk “watershed territory”, yaitu daerah perbatasan antara bagian yang disuplai oleh pembuluh darah proksimal dan distal. Area watershed
ini adalah daerah yang sangat rentan mengalami iskemik bila pembuluh darah intraneurial mengalami hialinisasi. Hal ini yang menjadi alasan kuat mengapa iskemik umumnya sering terjadi di bagian intracavernosus dan subaraknoid yang merupakan daerah watershed.7,13,27
2.1.4 Paralisis Nervus Okular Motor Akibat Iskemik Mikrovaskular
Penyebab tersering paralisis nervus okular motor terisolasi pada pasien yang berusia diatas 50 tahun adalah iskemik mikrovaskular. Sanders dkk menemukan 93% kasus paralisis nervus okular motor akibat kelainan mikrovaskular terjadi diatas 50 tahun. Pasien dengan paralisis nervus okular motor terisolasi akibat iskemik mikrovaskular umumnya memiliki faktor risiko vaskulopati seperti DM, hipertensi, dislipidemia, stroke, penyakit jantung koroner, dan merokok. Studi oleh Jung dkk menunjukkan bahwa pasien dengan lebih dari satu faktor risiko vaskulopati memiliki waktu resolusi yang lebih lama. Paralisis nervus okular motor akibat iskemik mikrovaskular umumnya terjadi secara akut dan dapat mengalami perburukan dalam 1-2 minggu pertama. Mayoritas pasien datang berobat dalam 30 hari pertama setelah gejala klinis timbul. Gejala yang dikeluhkan dapat berupa diplopia, ptosis, sakit kepala atau pusing, serta nyeri pada mata. Diplopia timbul akibat adanya hambatan gerak bola mata yang menyebabkan bayangan yang diterima oleh mata tidak sama sehingga tidak dapat mengalami fusi di otak. Hambatan gerak bola mata dapat dinilai dari 0 sampai -4.
Nilai 0 diberikan apabila tidak ditemukan adanya hambatan gerak bola mata. Nilai -1 diberikan apabila terjadi 25% hambatan dari gerak bola mata sedangkan -2 bila
terjadi 50% hambatan gerak bola mata, dan -3 diberikan bila terjadi 75%
hambatan dari gerak bola mata. Apabila terjadi hambatan total dari gerak bola mata maka diberikan nilai -4.1,5,9,13,28
Galtrey dkk membagi iskemik mikrovaskular menjadi 2 tipe yaitu arteritik dan non arteritik. Tipe arteritik seringnya disebabkan oleh penyakit Giant Cell Arteritis (GCA). Tamhakar dkk menyebutkan bahwa kejadian iskemik mikrovaskular akibat GCA hanya berkisar 3%. Meskipun demikian setiap pasien yang berusia diatas 50 tahun disarankan melakukan pemeriksaan untuk menyingkirkan kemungkinan GCA baik dari gejala klinis maupun pemeriksaan penunjang. Adanya peningkatan laju endap darah (LED) dan C-reactive protein (CRP) serta ditemukannya gambaran patologis dari biopsi arteri temporalis akan mendukung diagnosis GCA. Galtrey dkk menyebutkan seseorang dapat dikatakan menderita paralisis nervus okular motor terisolasi akibat iskemik mikrovaskular non arteritik apabila memenuhi kriteria diagnosis sebagai berikut, yaitu paralisis nervus okulomotorius tanpa keterlibatan pupil, nervus troklearis, dan nervus abdusens terisolasi, berusia 50 tahun atau lebih, hasil LED ≤ 30 mm/jam dan CRP dalam batas normal, serta memiliki minimal satu faktor risiko vaskulopati meliputi DM, hipertensi, dislipidemia, dan merokok.3,11,13
Studi oleh Khadse dkk menyebutkan bahwa 79% pasien dengan paralisis nervus okulomotorius akibat iskemik mikrovaskular tidak menunjukkan adanya keterlibatan pupil. Paralisis nervus okulomotorius yang disertai dengan keterlibatan pupil lebih sering disebabkan oleh aneurisma, tumor maupun trauma.
Adanya tanda keterlibatan pupil merupakan salah satu tanda emergensi dari
aneurisma dan harus segera dilakukan pemeriksaan magnetic resonance angiography (MRA) atau computerized tomography angiography (CTA). Namun hal ini tidak menutup kemungkinan paralisis nervus okulomotorius dengan keterlibatan pupil disebabkan oleh iskemik mikrovaskular. Penelitian oleh Ogun dkk menunjukkan 1 dari 8 pasien dengan iskemik mikrovaskular menunjukan adanya paralisis nervus okulomotorius dengan keterlibatan pupil. Penelitian lain oleh Fang dkk juga menunjukkan 17% dari 145 kasus paralisis nervus okulomotorius dengan keterlibatan pupil disebabkan oleh iskemik mikrovaskular, namun umumnya anisokoria yang timbul kurang dari 1 mm.1,2,6,27,29,30
Sebanyak 70% atau lebih kasus paralisis nervus okular motor akibat iskemik mikrovaskular umumnya mengalami resolusi dalam 3 bulan dan pada beberapa kasus lainnya dapat mencapai 6-12 bulan. Adanya resolusi pada kasus paralisis nervus okular motor akibat iskemik mikrovaskular menunjukkan bahwa sistem saraf perifer memiliki kemampuan regenerasi yang lebih baik bila dibandingkan dengan sistem saraf pusat. Selubung mielin pada sistem saraf perifer diproduksi oleh sel Schwann yang memiliki kemampuan regenerasi yang jauh lebih baik dibandingkan sel oligodendrosit pada sistem saraf pusat. Ada lima perbedaan mendasar yang menyebabkan kemampuan regenerasi sistem saraf perifer lebih baik dari sistem saraf pusat. Pertama, pada saat terjadi cidera saraf, seluruh sel Schwann mampu bertahan hidup sedangkan sebanyak 30-40% sel oligodendrosit akan mengalami apoptosis. Baik sel Schwann maupun sel oligodendrosit sama- sama bertanggung jawab dalam pembentukan selubung mielin. Kedua, sel Schwann memiliki lamina basalis yang tidak dimiliki oleh sel oligodendrosit.
Lamina basalis mengandung protein seperti laminin yang akan berikatan dengan integrins dan akan mengaktivasi jalur Pi3 kinase dan Akt yang penting dalam pertumbuhan akson. Lamina basalis juga akan mengeluarkan enzim matriks metalloproteinase (MMP) 2 dan 9 yang akan mendegradasi chondroitin sulfate proteoglycan (CSPG). CSPG adalah substansi yang dilepaskan saat terjadi cidera saraf dan akan menghambat proses regenerasi akson.3,5,19,31,32
Ketiga, sel Schwann memiliki protein target derived trophic seperti BDNF, GDNF, dan CTNF yang berfungsi sebagai faktor prosurvival sel neuron sehingga tidak akan terjadi apoptosis sel neuron pada sistem saraf perifer saat terjadi cidera.
Keempat, sel astrosit pada sistem saraf pusat akan meningkatkan pelepasan CSPG pada matriks ekstraselular disertai dengan pelepasan neurite outgrowth inhibitor (Nogo-A), Oligodendrocyte myelin glycoprotein (OMgp), dan Myelin-associated glycoprotein (MAG) oleh sel oligodendrosit yang akan menghambat proses regenerasi akson. Kelima, proses regenerasi akson dimulai segera setelah debris akson dan mielin akibat cidera mampu dibersihkan dengan baik. Sel Schwann yang dibantu oleh sel makrofag mampu membersihkan debris mielin secara efektif sedangkan tidak demikian dengan sel astrosit dan sel oligodendrosit.
Adanya kesulitan sel makrofag menembus sawar darah otak pada sistem saraf pusat juga menjadi alasan mengapa proses fagositosis debris menjadi tidak efektif.
Adanya keterlambatan regenerasi akson akan memberi kesempatan sel astrosit memicu sel fibroblas untuk mengganti akson yang rusak dengan jaringan ikat.19,32,33
Hal yang perlu dicermati adalah sebanyak 15-20% kasus akibat iskemik mikrovaskular tidak menunjukan adanya resolusi sama sekali dan akan menyisakan gejala diplopia persisten pada pasien. Sampai saat ini belum ada penelitian mengenai intervensi yang dilakukan untuk mempercepat atau meningkatkan keberhasilan resolusi dari paralisis nervus okular motor terisolasi akibat iskemik mikrovaskular.Beberapa studi menyebutkan bahwa apabila pasien tidak mengalami resolusi total dalam 3 bulan, maka pasien disarankan untuk melakukan pemeriksaan penunjang lain guna menyingkirkan kemungkinan etiologi lainnya. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan neuroimaging seperti MRI atau CT scan orbita kepala dengan kontras, foto thorax, dan pungsi lumbal.3,5,8,11,21,30
Pemeriksaan neuroimaging MRI merupakan pemeriksaan baku emas yang digunakan untuk mengidentifikasi adanya kelainan pada sistem saraf. Tiga studi prospektif menunjukkan bahwa MRI orbita kepala mampu mengidentifikasi sebanyak 43 kasus (16.5%) yang disebabkan oleh neoplasma, infark batang otak, aneurisma, demielinisasi, dan apopleksi pituitary. Tamhakar et al juga menemukan 3 dari 64 kasus (4.7%) dengan paralisis nervus troklearis maupun nervus abdusen memiliki penyebab lain yaitu infark batang otak, limfoma, dan meningioma. Hasil CT scan orbita kepala yang normal tidak dapat menyingkirkan secara langsung adanya kemungkinan penyebab lain pada kasus paralisis nervus okular motor terisolasi. Studi oleh Nazerian et al menemukan bahwa CT scan orbita kepala tanpa kontras tidak dapat mengidentifikasi 13 kasus yang disebabkan oleh penyebab sekunder.7,8,11,30
Patomekanisme paralisis nervus okular motor akibat iskemik mikrovaskular dimulai dari adanya kerusakan mikrovaskular endoneurial seperti yang terlihat pada gambar 6. Kondisi hiperglikemia akan menyebabkan terjadinya disfungsi kapiler endoneurial yang ditandai dengan penebalan membran basalis, hilangnya perisit, dan hipertrofi sel endotel. Hasil otopsi juga menunjukan adanya hialinisasi pada dinding kapiler endoneurial tanpa disertai adanya tanda-tanda oklusi. Hal ini akan menyebabkan kebocoran sawar darah saraf sehingga makromolekul seperti protein dapat masuk ke ruang endoneurial dan mengganggu regulasi tekanan onkotik di dalam ruang endoneurial serta menimbulkan proses inflamasi.
Dampaknya akan menyebabkan edema endoneurial yang akan berakumulasi dan meningkatkan tekanan pada ruang endoneurial. Mekanisme ini mirip dengan mekanisme terjadinya edema vasogenik pada otak akibat kerusakan pada sawar darah otak. Edema vasogenik sendiri umumnya terjadi pada kasus trauma serebral, tumor, dan iskemik serebral tahap sekunder.5,12,13,34
Gambar 6. Kerusakan mikrovaskular pada diabetes Dikutip dari: Richner dkk.12
Peningkatan tekanan endoneurial akan menyebabkan perineurium meregang dan menekan pembuluh darah kecil di sekitar endoneurium dan perineurium sehingga mengakibatkan terjadinya iskemik saraf. Kondisi iskemik akan meningkatkan produksi mediator inflamasi seperti IL-1β, IL-6, TNFα, dan chemokine ligand-3 oleh makrofag dan menyebabkan proses demielinisasi saraf.
Studi oleh Lim dkk menunjukkan bahwa proliferasi sel Schwann dan aktivasi makrofag akan meningkatkan konsumsi oksigen dalam saraf yang mengalami cedera. Hal ini akan memperburuk kondisi iskemik yang ada akibat penumpukan asam laktat yang disebabkan oleh metabolisme anaerob yang terjadi. Kondisi iskemik yang kronis bahkan dapat menyebabkan kerusakan yang lebih hebat berupa degenerasi akson dan memperlama waktu penyembuhan saraf.12,18,19,24,35
2.1.5 Peranan Agen Farmakologis Terhadap Resolusi Cedera Saraf Perifer Banyak agen farmakologis yang sudah digunakan dalam studi eksperimental untuk membantu regenerasi saraf baik pada kerusakan sistem saraf pusat maupun perifer. Namun sampai sekarang penggunaanya dalam bidang neuro-oftalmologi masih terbatas. Kortikosteroid, sitikolin dan metilkobalamin merupakan tiga agen farmakologis yang sudah cukup lama digunakan sebagai terapi klinis dalam bidang neuro-oftalmologi. Metilkobalamin atau vitamin B12 merupakan koenzim yang membantu konversi homosistein menjadi methionine yang berpengaruh dalam sintesis fosfolipid dan mielin pada sistem saraf. Metilkobalamin juga memiliki efek antioksidan yang mampu mengikat radikal bebas serta
meningkatkan produksi brain-derived neurotrophic factor (BDNF) yang berperan dalam proses regenerasi saraf. 15,17,36
Sitikolin pertama kali diperkenalkan oleh Kennedy dkk pada tahun 1955 dan merupakan substansi endogen yang penting untuk pembentukan fosfolipid membran sel dan neurotransmitter asetilkolin. Sitikolin sudah sering digunakan pada kasus iskemik serebri akibat stroke dan kondisi lainnya. Sitikolin memiliki kemampuan sebagai antioksidan dengan mengurangi produksi fosfolipase A2 dan meningkatkan sintesis glutation yang akan mencegah timbulnya kerusakan oksidatif sel akibat radikal bebas. Sitikolin juga berperan dalam pembentukan fosfatidilkolin yang penting dalam pembentukan membrane sel, meningkatkan sintesis asetilkolin, dan meningkatkan sintesis fosfolipid termasuk fosfatidiletanolamin dan fosfatidilserin yang dapat memperbaiki akson dan sinaps.
Studi oleh Ozay dkk belum mampu menyimpulkan apakah kemampuan sitikolin tersebut sama bila digunakan pada cedera saraf perifer. Ozay dkk menyimpulkan bahwa sitikolin mampu mengurangi pembentukan jaringan ikat pada proses regenerasi akson yang terjadi pada cedera saraf perifer.15,37,38
Kortikosteroid sudah digunakan secara luas sebagai terapi untuk berbagai penyakit saraf. Salah satunya yaitu pada kasus paralisis nervus okular motor yang disebabkan oleh trauma maupun tumor. Namun, belum ada yang melaporkan penggunaan kortikosteroid sebagai pilihan terapi pada kasus paralisis nervus okular motor akibat iskemik mikrovaskular. Penggunaan kortikosteroid pada kasus-kasus yang melibatkan sistem saraf pusat tampaknya masih memberikan efek yang bervariasi bila dibandingkan dengan efeknya pada sistem saraf perifer.
Hal yang paling berpengaruh adalah adanya perbedaan karakteristik sel penyusun kedua sistem saraf. Akson pada sistem saraf pusat akan dilapisi oleh mielin yang diproduksi oleh sel oligodendrosit berbeda mielin pada sistem saraf perifer yang diproduksi oleh sel Schwann. Kehadiran sel astrosit dan sel mikroglia juga menjadi pembeda dari kedua sistem saraf ini.14,15,21,39
Adanya kerusakan pada sistem saraf pusat akan memicu ekspresi chondroitin sulfate proteoglycans oleh sel astrosit secara berlebihan. Hal ini yang kemudian akan menghambat regenerasi dari akson. Alasan inilah yang menjadi dasar mengapa sistem saraf perifer memiliki tingkat regenerasi saraf yang lebih baik bila dibandingkan sistem saraf pusat. Berdasarkan strukturnya, nervus okular motor sendiri termasuk dalam sistem saraf perifer. Berbeda dengan nervus optikus yang merupakan bagian dari sistem saraf pusat. Kortikosteroid memiliki kemampuan antiinflamasi yang kuat. Kortikosteroid akan berikatan dengan reseptor glukokortikoid pada sel Schwann dan kemudian akan menghambat pelepasan mediator inflamasi akibat peningkatan aktivitas enzim aldose reduktase serta membantu menstabilkan sawar darah saraf. Kortikosteroid juga mampu mengikat reactive oxygen species (ROS) yang dihasilkan akibat disfungsi mitokondria pada sel Schwann dan menghambat pelepasan NF-kB yang memperberat proses neurodegenerasi. Hal ini tentunya akan mengurangi edema pada ruang endoneurial.15,32,33,39
Secara umum mekanisme edema terbagi menjadi dua yaitu edema vasogenik dan edema sitotoksik. Kedua istilah ini umumnya dipakai untuk edema yang terjadi di otak. Edema vasogenik terjadi akibat adanya kerusakan sawar darah otak
yang menyebabkan ekstravasasi dan akumulasi cairan ekstraseluler pada jaringan parenkim otak. Sebaliknya edema sitotoksik ditandai dengan adanya akumulasi cairan dan natrium intraseluler akibat adanya gangguan pompa natrium pada sel.
Pada kasus stroke iskemik akan timbul edema sitotoksik dalam beberapa jam yang kemudian akan diikuti dengan timbulnya edema vasogenik pada dua sampai tiga hari berikutnya. Penggunaan kortikosteroid dikatakan lebih efektif pada kasus dengan edema vasogenik dibandingkan dengan edema sitotoksik. Studi oleh Michinaga dkk menujukkan bahwa penggunaan deksametason dapat menekan produksi mediator inflamasi dan dapat mengurangi edema vasogenik pada otak dengan cara meningkatkan kestabilan tight junctions pada sawar darah otak. Hal yang perlu dicermati adalah adanya kemungkinan edema yang sama yang terjadi pada paralisis nervus okular motor akibat iskemik mikrovaskular yaitu adanya edema sitotoksik pada sel Schwann yang diikuti dengan edema vasogenik akibat kerusakan sawar darah saraf.15,21,34,39
Kortikosteroid juga memiliki peran sebagai agen neuroprotektif pada proses neurodegenerasi. Kortikosteroid akan menghambat pelepasan fosfolipase A2 pada saraf yang mengalami iskemik. Fosfolipase A2 akan menghidrolisis fosfatidilkolin pada membran sel menjadi lisofosfatidilkolin yang akan menyebabkan degradasi mielin. Kortikosteroid juga akan menghambat penurunan kadar BDNF bahkan mampu meningkatkan kadar BDNF pada sel Schwann.
BDNF merupakan faktor neurotropik yang berfungsi untuk mencegah terjadinya apoptosis sel neuronal sehingga kerusakan permanen dapat dicegah.14,15,31,40,41
Selain berperan sebagai antiinflamasi dan neuroprotektor, kortikosteroid juga mampu menstimulasi aktivitas peripheral myelin protein-22 (PMP22), myelin binding protein (MBP), dan gen myelin protein zero (P0) pada sel Schwann yang berefek meningkatkan potensi proliferasi sel Schwann. Mekanisme kerja kortikosteroid pada sistem saraf sangat bergantung pada dosis yang diberikan.
Kortikosteroid dosis tinggi (15-30 mg/kg) merupakan pilihan terapi untuk kasus trauma medulla spinalis. Namun hal tersebut tidak berlaku pada kasus cedera saraf perifer. Studi oleh Morisaki dkk menunjukkan bahwa dosis kortikosteroid 1mg/kg menyebabkan perbaikan mielin yang lebih signifikan dengan meningkatkan kadar MBP dibandingkan kelompok yang diberikan dosis 10 mg/kg. Hal ini ditunjukkan dengan diameter mielin yang lebih tebal pada kelompok yang diberikan dosis kortikosteroid 1 mg/kg. Efek antiinflamasi dari kortikosteroid dosis tinggi akan menghambat makrofag dalam membersihkan debris mielin selama proses degenerasi Wallerian. Proses remielinisasi dimulai segera setelah proses degenerasi Wallerian berakhir. Adanya keterlambatan dalam proses degenerasi Wallerian akan menunda dimulainya proses remielinisasi. Hal ini menunjukkan bahwa dosis kortikosteroid harus disesuaikan dengan kasus yang sedang ditangani apakah melibatkan sistem saraf pusat atau sistem saraf perifer.14,5,42
Pada kerusakan saraf yang berat akan terjadi proses inflamasi yang hebat dan memicu proliferasi sel fibroblas secara berlebihan. Pembentukan jaringan ikat pada saraf merupakan faktor penting yang akan menghambat proses penyembuhan saraf. Berbagai variasi obat dan teknik sudah dicoba untuk menstimulasi proses regenerasi pada saraf yang sudah terbentuk jaringan ikat,
namun hasilnya belum memuaskan. Oleh karena itu, penelitian kini difokuskan untuk mencegah hiperplasia dari jaringan ikat. Studi oleh Li Q dkk menunjukkan pemberian metilprednisolon dapat menekan pembentukan jaringan ikat pada cedera saraf perifer.14-16
2.2 Kerangka Pemikiran
Paralisis nervus okular motor terisolasi yang terjadi pada pasien berusia diatas 50 tahun umumnya disebabkan oleh iskemik mikrovaskular. Adanya faktor vaskulopati penyerta seperti DM, hipertensi, dislipidemia, stroke, penyakit jantung koroner, dan merokok akan menyebabkan terjadinya perubahan struktur pembuluh darah endoneurial serta stress pada sel Schwann. Peningkatan aktivitas enzim aldose reductase akan meningkatkan pelepasan mediator inflamasi dan protrombotik yang akan menyebabkan terjadinya remodelling pembuluh darah endoneurial. Proses remodelling yang terjadi meliputi hipertrofi membran basalis, hilangnya sel perisit dan tight junctions, serta hialinisasi dan penebalan dinding arteriol intraneurial. Hal ini akan menyebabkan terjadinya kerusakan sawar darah saraf.1,5,9,13,28
Kerusakan sawar darah saraf memungkinkan terjadinya pelepasan mediator inflamasi serta ekstravasasi cairan dan perpindahan makromolekul seperti protein dari pembuluh darah menuju ruang endoneurial yang akan menyebabkan edema serta peningkatan tekanan pada ruang endoneurial. Tekanan tinggi endoneurial akan menekan struktur pembuluh darah endoneurial serta perineurial di sekitarnya dan akan menyebabkan iskemik saraf. Kondisi stress pada sel Schwaan juga akan
memperberat proses neurodegenerasi. Dislipidemia dan diabetes akan menyebabkan gangguan fosforilasi oksidatif pada mitokondria sehingga terjadi pelepasan ROS yang berlebihan dan adanya peningkatan produksi mediator inflamasi akibat peningkatan NF-kB. Kondisi stress pada sel Schwann juga akan menyebabkan perubahan sel Schwann menjadi fenotip imatur. Mekanisme iskemik pada saraf diikuti dengan stress pada sel Schwaan akan memicu proses neurodegenerasi. Proses neurodegenerasi meliputi demielinisasi, kehilangan dukungan metabolisme intraneuronal serta kehilangan dukungan faktor neurotropik yang akan memicu proses apoptosis sel neuron. Respons dari kerusakan saraf ini akan mengaktivasi proliferasi sel Schwann dan makrofag untuk membersihkan debris-debris pada ruang endoneurial yang diikuti dengan proses regenerasi akson. Pada kerusakan yang berat, akan terjadi inflamasi yang hebat dan aktivasi fibroblas secara berlebihan sehingga dapat menghambat proses regenerasi akson.12,18,19,24,31,35
Kortikosteroid merupakan agen yang memiliki efek antiinflamasi sekaligus efek neuroprotektor. Kortikosteroid dapat membantu mengurangi edema pada ruang endoneurial dengan cara menstabilkan tight junctions pada sawar darah saraf serta dapat mengontrol inflamasi berlebihan pada saraf yang akan memicu proses kromatolisis dari sel saraf. Kortikosteroid akan mengikat ROS yang dihasilkan akibat disfungsi mitokondria pada sel Schwann dan peningkatan pelepasan NF-kB yang memperberat proses neurodegenerasi. Pada proses neurodegenerasi, kortikosteroid akan menghambat pelepasan fosfolipase A2 yang akan menyebabkan degradasi mielin. serta menghambat penurunan kadar BDNF
bahkan mampu meningkatkan kadar BDNF pada sel Schwann. BDNF merupakan faktor neurotropik yang berfungsi untuk mencegah terjadinya apoptosis sel neuronal sehingga kerusakan permanen dapat dicegah. Kortikosteroid juga akan meningkatkan proses remielinisasi melalui stimulasi protein P0, MBP, dan PMP22 pada sel Schwann serta menghambat aktivasi fibroblas yang berlebihan sehingga proses regenerasi akson dapat berjalan dengan baik.14,15,16,39-42
30 Aldose reduktase
Mediator proinflamasi
& prothrombotik
Remodeling pembuluh darah
Disfungsi endothelial (kerusakan sawar
darah saraf)
Edema endoneurial
Aliran pembuluh darah saraf KS
Iskemik saraf
CNTF NF-kB
Fenotip imatur
Disfungsi mitokondria
Mediator proinflamasi
ROS KS
Neurodegenerasi
30
Gambar 7. Kerangka Pemikiran
Keterangan:
CNTF : Ciliary neurotrophic factor BDNF : Brain derived neurotrophic factor GDNF : Glial cell line derived neurotrophic factor ROS : Reactive oxygen species
KS : Kortikosteroid : menghambat
: meningkatkan TNF
Iskemik saraf
Paralisis nervus okular
Proliferasi sel Schwann Regenerasi akson Aktivitas fibroblas
Resolusi Tidak resolusi
KS KS KS
Pelepasan fosfolipase A2 Kehilangan dukungan metabolik BDNF
GDNF
Fosfatidilkolin Lisofosfatidilkolin
Apoptosis sel neuron
Demielinisasi
KS KS
31
2.3 Premis dan Hipotesis 2.3.1 Premis
Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka pemikiran di atas, maka dapat ditarik premis sebagai berikut:
Premis 1: Paralisis nervus okular motor terisolasi yang terjadi pada pasien berusia lebih dari 50 tahun dengan faktor risiko vaskulopati paling sering disebabkan oleh iskemik mikrovaskular. 1,5,9,28
Premis 2: Faktor vaskulopati akan menyebabkan remodelling pembuluh darah endoneurial dan stress pada sel Schwann. 1,5,9,13
Premis 3: Kedua mekanisme diatas akan memicu proses neurodegenerasi yang meliputi demielinisasi, kehilangan dukungan metabolisme intraneuronal serta kehilangan dukungan faktor neurotropik yang akan memicu proses apoptosis sel neuron. 12,13,18
Premis 4: Proses neurodegenerasi akan menimbulkan paralisis pada nervus okular motor.18,19,24
Premis 5: Proses perbaikan saraf dimulai dari aktivasi dan proliferasi sel Schwann serta makrofag yang diikuti oleh proses regenerasi akson.18,19,24
Premis 6: Pada kerusakan yang berat, akan terjadi inflamasi hebat dan aktivasi fibroblas secara berlebihan yang dapat menghambat proses regenerasi akson.19,31,35
Premis 6: Kortikosteroid dapat membantu mengurangi edema pada ruang endoneurial dan dapat mengontrol inflamasi yang berlebihan pada saraf.
14,15,39
Premis 7: Pada proses neurodegenerasi, kortikosteroid akan menghambat pelepasan fosfolipase A2 serta mampu meningkatkan kadar BDNF pada sel Schwann.14,15,40,41
Premis 8: Kortikosteroid juga akan meningkatkan proses remielinisasi melalui stimulasi protein P0, MBP, dan PMP22 pada sel Schwann serta menghambat aktivasi fibroblas yang berlebihan. 14,15,16,42
2.3.2 Hipotesis
Dari premis – premis di atas dapat dideduksi hipotesis sebagai berikut:
1. Waktu resolusi pada pasien dengan paralisis nervus okular motor terisolasi akibat iskemik mikrovaskular yang mendapat kortikosteroid lebih cepat dibandingkan dengan tanpa kortikosteroid
2. Tingkat resolusi dalam 3 bulan pertama pada pasien dengan paralisis nervus okular motor terisolasi akibat iskemik mikrovaskular yang mendapat kortikosteroid lebih baik dibandingkan dengan tanpa kortikosteroid.
3. Tingkat resolusi dalam 6 bulan pada pasien dengan paralisis nervus okular motor terisolasi akibat iskemik mikrovaskular yang mendapat kortikosteroid lebih baik dibandingkan dengan tanpa kortikosteroid.
34 3.1 Metode dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan rancangan potong lintang. Seluruh sampel yang telah memenuhi kriteria penelitian akan dimasukkan sebagai subjek penelitian. Data karakteristik subjek penelitian diperoleh dari rekam medis pasien. Konsep potong lintang digunakan untuk mengukur variabel bebas dan variabel tergantung pada waktu bersamaan. Jenis penelitian ini berusaha mempelajari dinamika hubungan antara faktor-faktor risiko dengan dampak yang ditimbulkan. Faktor risiko dan dampak yang ditimbulkan akan diobservasi pada saat yang sama, artinya setiap subjek penelitian hanya diobservasi satu kali saja dan faktor risiko serta dampak diukur berdasarkan keadaan atau status pada saat observasi. Dilihat dari hubungan antar variabelnya, penelitian ini merupakan penelitian kausal atau sebab akibat, yaitu penelitian yang didesain untuk menjelaskan hubungan antar variabel dimana variabel yang satu menyebabkan atau menentukan nilai variabel yang lain.
3.2 Subjek Penelitian
Populasi target pada penelitian ini adalah pasien dengan paralisis nervus okular motor terisolasi akibat iskemik mikrovaskular yang berusia diatas 50 tahun.
Populasi terjangkau adalah pasien dengan paralisis nervus okular motor terisolasi akibat iskemik mikrovaskular dan berusia diatas 50 tahun yang datang ke
poliklinik Neuro-Oftalmologi Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo.
Subjek penelitian dipilih dari populasi terjangkau yang memenuhi kriteria penelitian sampai memenuhi ukuran sampel minimal.
3.2.1 Sampel
3.2.1.1 Cara Pemilihan Sampel
Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan secara retrospektif melalui data rekam medis pasien yang datang ke poliklinik Neuro-Oftalmologi Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo. Sampel yang memenuhi kriteria penelitian diambil sampai terpenuhinya ukuran sampel minimal (consecutive sampling).
3.2.1.2 Kriteria Inklusi
1. Pasien yang terdiagnosis paralisis nervus okular motor terisolasi yang belum pernah mendapatkan terapi kortikosteroid sebelumnya.
2. Usia pasien ≥ 50 tahun.
3. Memiliki onset gejala yang timbul terjadi dalam 30 hari pertama.
4. Memiliki satu atau lebih faktor risiko vaskulopati seperti DM, hipertensi, dislipidemia, stroke, penyakit jantung koroner, dan merokok.
5. Kelainan sistemik yang dimiliki pasien harus diobati oleh dokter spesialis penyakit dalam bersamaan dengan pemberian terapi kortikosteroid maupun tanpa kortikosteroid.
6. Melakukan follow up sampai 6 bulan.