• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penguasaan Atas Pengelolaan Hutan Adat Oleh Masyarakat Hukum Adat (Mukim) Di Provinsi Aceh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Penguasaan Atas Pengelolaan Hutan Adat Oleh Masyarakat Hukum Adat (Mukim) Di Provinsi Aceh"

Copied!
457
0
0

Teks penuh

(1)

 

PENGUASAAN ATAS PENGELOLAAN HUTAN ADAT

OLEH MASYARAKAT HUKUM ADAT (MUKIM)

DI PROVINSI ACEH

DISERTASI

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Untuk Dipertahankan di Hadapan

Sidang Terbuka Senat Universitas Sumatera Utara di Bawah Pimpinan Rektor Universitas Sumatera Utara

Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, SP.A(K)

Oleh :

TAQWADDIN

NIM : 018101014

PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM

 

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

2010

(2)

 

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Disertasi : PENGUASAAN ATAS PENGELOLAAN HUTAN ADAT OLEH

MASYARAKAT HUKUM ADAT (MUKIM) DI PROVINSI

ACEH

Nama : TAQWADDIN, S.H., S.E., M.S.

NIM : 018101014

Program : Doktor Ilmu Hukum

Menyetujui:

Komisi Pembimbing,

Prof. Dr. H. Lili Rasyidi, S.H., S.Sos, LLM

Promotor

Prof. H. Syamsul Arifin, S.H., M.H. Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S.

Co-Promotor Co-Promotor

Ketua Program Doktor Ilmu Hukum, Dekan

Prof. Dr. H. Bismar Nasution, S.H., M.H. Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum.

(3)

 

TIM PROMOTOR

(Prof. Dr. H. Lili Rasyidi, S.H., S.Sos, LLM.)

(Prof. H. Syamsul Arifin, S.H., M.H.)

(4)

TIM PENGUJI

Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H.

Prof. Dr. H. Bismar Nasution, S.H., M.H.

(5)

 

ABSTRAK

PENGUASAAN ATAS PENGELOLAAN HUTAN ADAT

OLEH MASYARAKAT HUKUM ADAT (MUKIM) DI PROVINSI ACEH

Taqwaddin1 Lili Rasjidi2 Syamsul Arifin3

Alvi Syahrin4

Sejak ratusan tahun lalu, di Indonesia terdapat kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dengan karakteristiknya masing-masing yang menguasai hutan adat dalam jangkauannya. Namun pengakuan terhadap masyarakat hukum adat tidak banyak ditemukan dalam peraturan perundang-undangan dimasa lalu. Antara masyarakat hukum adat dan hutan adat, dua hal tak terpisahkan. Mukim adalah masyarakat hukum adat di Aceh yang menguasai dan mengelola hutan adatnya.

Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) menemukan dan mendeskripsikan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kehutanan dan masyarakat hukum adat, (2) mendeskripsikan kondisi karakteristik hutan Aceh serta kebijakan kehutanan di Provinsi Aceh, dan (3) mendeskripsikan penguasaan atas pengelolaan hutan adat oleh masyarakat hukum adat Aceh (mukim).

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan penelitian hukum normative dan empiris (non-doctrinal). Data diperoleh melalui penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan dilakukan untuk mendapatkan data skunder dengan menelaah bahan hukum primer, sekunder, dan tertier. Sedangkan penelitian lapangan dilakukan untuk mendapatkan data primer melalui wawancara dengan para informan dan responden. Penelitian lapangan dilakukan di beberapa kabupaten dalam Provinsi Aceh, yaitu : di Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Aceh Jaya, dan Aceh Barat, yang ditentukan dengan tehnik purposive sampling. Analisis data dilakukan secara kualitatif dan dibahas secara deskriptif analitik.

Peraturan tentang kehutanan telah diterbitkan secara tertulis sejak masa Pemerintahan Hindia Belanda yang berlaku khusus untuk Jawa dan Madura. Sedangkan untuk luar Jawa dan Madura berlaku hukum adatnya masing-masing. Dualisme hukum tersebut berlaku hingga Indonesia merdeka. Baik pada masa Hindia Belanda, Pemerintahan Orde Lama maupun rezim Orde Baru tidak banyak ditemukan peraturan

        1 

Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.   2 Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.  3 

Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.  4 

(6)

perundang-undangan yang mengatur mengenai masyarakat hukum adat. Pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat dan hutan adat ditemukan dalam peraturan perundang-undangan yang dibentuk pasca Reformasi. Sebagian besar hutan Aceh adalah kawasan lindung yang saat ini rusak akibat penebangan liar. Kebijakan kehutanan Aceh saat ini mengacu pada Undang-Undang tentang Kehutanan, Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh, dan Intruksi Gubernur tentang Moratorium Logging. Mukim merupakan masyarakat hukum adat di Aceh yang memiliki kewenangan pemerintahan, penyelesaian sengketa serta penguasaan atas pengelolaan hutan adat ulayatnya. Mukim mempunyai system hukum dan kearifan lokal dalam penguasaan atas pengelolaan hutan adatnya, berupa; anjuran dan pantangan, kelembagaan, dan adat budaya tersendiri.

Disarankan kepada pemerintahan agar setiap kebijakan mempertimbangkan keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Perlu adanya Peraturan Pemerintah tentang Masyarakat Hukum Adat dan Hutan Adat, sebagai tindak lanjut dari Pasal 67 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam penetapan status hutan disarankan menjadi: (1) hutan hak, (2) hutan adat, dan (3) hutan negara. Kepada pemerintahan kabupaten/kota di Provinsi Aceh disarankan untuk menerbitkan kebijakan kehutanan yang berbasis mukim. Disarankan juga, perlunya pembentukan Qanun Kabupaten/Kota tentang Pemerintahan Mukim, yang di dalamnya menegaskan pengakuan keberadaan hutan adat ulayat mukim. Perlu dilakukan revitalisasi dan penguatan pemerintahan mukim yang dipimpin oleh imeum mukim dan lembaga adat hutan yang dipimpin oleh pawang glee.

Kata Kunci :

Masyarakat hukum adat

(7)

 

ABSTRACT

CONTROL OF ADAT FOREST MANAGEMENTS

BY INDIGENOUS PEOPLE (MUKIM) IN ACEH PROVINCE

Taqwaddin

1

Lili Rasjidi

2

Syamsul Arifin

3

Alvi Syahrin

4

Hundreds years ago, there were indigenous people communities in Indonesia which have own characteristic controlling their adat forest. However, the recognition of indigenous people couldn’t be found in many acts and government regulations in the past. Between indigenous people and adat forests are two things that cannot be separated. Mukim is Aceh’s indigenous people controlling and managing adat forests.

The purposes of this research are: (1) to find out and to describe the acts and regulations concerning forestry and indigenous people, (2) to describe characteristics of Aceh forests and forestry policies in Aceh Province, (3) to describe the control of adat forests managements by indigenous people in Aceh (mukim).

This research applies analytical descriptive method by approaching normative and empirical (non-doctrinal) law research. The data are gathered by literature and field research. Literature research is conducted to get secondary data by analyzing primary, secondary and tertiary law sources. While, field research is done to obtain primary data, by interviewing respondents and informants. Field research is conducted in several districts in Aceh Province, such as: Aceh Besar, Pidie, Aceh Jaya, and Aceh Barat, which determined by purposive sampling technique. Data are analyzed by qualitative and analytic descriptive.

Regulations about Forestry had been enacted since the Netherlands Hindia era especially applied to Java and Madura. Whereas outside Java and Madura, adat laws were applied to them. This dualism of law occurred until Indonesia had its independence. As well as in the era of the Netherlands Hindia, of the Old Governance and of the New Era regimes there couldn’t be found many acts and regulations concerning indigenous people. The recognition on the existence of indigenous people and adat forests could be       

1 Lecturer of Faculty of Law, Syiah Kuala University, Banda Aceh.  2 

Professor of Faculty of Law, Padjajaran University, Bandung.  3 

(8)

found in acts and regulations which enacted after the era of Reformation. Most of Aceh’s forest is conservation areas that become deforestation because of illegal logging. Nowadays, the forestry policies in Aceh refer to the Forestry Act, the Aceh Governance Act, and the Aceh’s Governor Instruction on Moratorium Logging. Mukim is indigenous people in Aceh which possessed governance authority, settlement of disputes and control of their adat forests (ulayat) management. Mukim has legal system and local wisdom in controlling their adat forests management namely advices and prohibition (taboo), institutions and indigenous cultures.

It is recommended that the government in making every policy should consider the existence of indigenous people including their traditional rights. In addition, Government Regulation on Adat Forest and Indigenous People are also needed to follow up section 67 of the Forestry Act. In determining the status of forest, it is suggested that the forests should become: (1) private forests, (2) adat forests, and (3) state forests. Moreover, government of districts/cities at Aceh Province should publish the forestry policies base on mukim. Furthermore, the necessary of forming qanun’s district/municipality about mukim governance that mention the recognition of existences of mukim adat forests (ulayat). Revitalization and strengthening of mukim governance which lead by imeum mukim and adat forest institutions which lead by pawang glee are also important to be conducted.

Keywords: 

Indigenous people 

(9)

 

KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahim, segala puji syukur penulis sampaikan kepada Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penelitian dan penulisan disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi ini, pada intinya mempermasalahkan penguasaan dan pengelolaan hutan adat oleh masyarakat hukum adat (Mukim) di Aceh. Harapannya, hasil penelitian ini dapat mengungkapkan kembali khazanah masa lalu Aceh yang pernah gemilang, yang secara teoritis bagi kalangan akademik dapat menjadi bahan pelajaran guna pengembangan ilmu hukum. Sedangkan secara praktis diharapkan dapat menggugah para penyelenggara pemerintahan untuk berbuat lebih baik lagi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, sehingga tidak mengorbankan keberadaan masyarakat hukum adat dengan segala hak-hak asli yang ada padanya.

Disadari benar bahwa tanpa dukungan dan bantuan dari banyak pihak, maka disertasi ini tak pernah akan selesai sebagaimana yang tampak dihadapan pembaca. Kepada semua pihak yang telah mendukung dan memberi bantuan yang begitu banyak kepada saya selama mengikuti studi program Doktor Ilmu Hukum maupun selama riset disertasi ini, saya sampaikan terima kasih yang setinggi-tingginya. Semoga semua dukungan dan bantuan kepada saya, akan mendapat ganjaran yang lebih banyak lagi dari Illari Rabbi. Mereka itu antara lain :

1. Komisi Pembimbing dan Penguji yang telah begitu banyak jasa dan budi baiknya

(10)

senyum dan bersahabat dengan para mahasiswa. Selanjutnya, kepada Prof. Dr. Amiruddin Abdul Wahab, S.H., Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H., dan Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H. yang telah berkenan membimbing serta memberi masukan berharga demi perbaikan disertasi ini, tak lupa kami ucapkan terima kasih. Khusus kepada Prof. Dr. Amiruddin Abdul Wahab, SH, harus saya ungkapkan perasaan ‘tersendiri” karena telah memperlakukan saya seperti putranya sendiri dan telah membimbing saya baik dalam karir akademik sebagai dosen di Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh maupun dalam menelaah materi draf disertasi ini.

2. Pihak Universitas, baik Universitas Sumatera Utara Medan yang telah menerima

saya untuk menjadi mahasiswanya dalam program Doktor Ilmu Hukum maupun Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh, tempat saya bekerja, yang telah mengizinkan saya meninggalkan tugas selama mengikuti program ini. Kepada Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H., Sp.A (K), Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Prof. DR. H. Bismar Nasution, S.H., M.H. selaku Ketua Program Studi S3 Doktor Ilmu Hukum. Kepada Bapak Mohd. Daud Yoesoef, S.H., M.H, Dekan Fakultas Hukum USK, dan Prof. Dr. Darni M. Daud, M.A., Rektor Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.

3. Komisi Pengajar dan Penguji program Doktor Ilmu Hukum Unversitas Sumatera

Utara, yang telah mentransferkan ilmunya dan mengajarkan begitu banyak hal dalam berbagai aspek keilmuan bidang hukum. Mereka itu antara lain, adalah: Prof. Dr. M. Solly Lubis, S.H., Prof. Dr. Erman Rajagukguk, S.H.,LL.M., Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H., Prof. Dr. Lili Rasyidi, S.H., S.Sos., LL.M., Prof. H. Syamsul Arifin, S.H., M.H., Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H., Prof. Soetandyo Wignyosoebroto, MPA., Prof. T. Syamsul Bahri, SH, dan lain-lain

4. Para Guru Besar dan pakar yang sering saya hubungi untuk meminta nasehat dan

(11)

 

MAg., dan lain-lain yang – mohon maaf – tidak tercantumkan dalam kata pengantar ini.

5. Pihak Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yang telah menunjuk saya

sebagai Tenaga Ahli di Panitia Legislasi DPRA (2004-2009) sehingga memberi kesempatan kepada saya terlibat dalam banyak agenda pembahasan berbagai rancangan qanun. Kepada H. Sayed Fuad Zakaria, SE., (Ketua DPRA), Drs. Hasan Basry Thaleb (Sekretariat DPRA), Amir Helmi, SH., (Ketua Panleg DPRA), Drs. H. Adriman Kimat (Wakil Ketua Panleg), Burhanuddin, SH, Basrun Yusuf, SH, Drs. Bahrum Rasyid, Ir. Moehariadi, dr. T.M. Hanafiah, Jauharuddin Harmay, MSi., Khairul Amal, SE., Drs. Abdurahman, Syamsul Bahri, SH. Ismaniar, SE., dan Dra. Siti Zainab (Anggota Panitia Legislasi DPRA), Drs. Sulaiman Abda, dan Drs. T. Husin Banta (Fraksi Golkar) serta Bapak Makmur Ibrahim, SH., MHum (Kabag Hukum DPRA).

6. Pihak Pemerintah Aceh, terutama Bapak Hamid Zein, SH., MHum (Kepala Biro

Hukum Sekretariat Provinsi Aceh) dan Pemerintah Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Aceh Jaya, dan Aceh Barat yang telah memberikan data dan mengizinkan saya memasuki ke pelosok wilayahnya, hingga saya dapat mewancarai para imeum mukim, tengku chik, keuchik, tuha peut, imeum meunasah, pawang glee, dan tokoh-tokoh masyarakatnya.

7. Para pegiat LSM yang telah melibatkan saya dalam berbagai kegiatan riset

lapangan, yang data dan informasinya sangat bermanfaat dalam rangka penyusunan disertasi ini. LSM-LSM tersebut adalah WWF, FFI, IDLO, Kemitraan, YRBI, Rijal Institue, AMAN, JKMA, AJRC, Aceh Institute, Green Aceh Institute, PuGAR, ARF, Ukhuwa, dan lain-lain.

8. Para kolega, sesama Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, yang

namanya tak tercantum dalam kata pengantar ini, dan para teman sesama peserta program Doktor seangkatan, yang seringkali mengingatkan saya untuk segera menyelesaikan studi. Mereka itu, antara lain: Dr. Hamid Sarong, SH, MH., Dr.Abdul Manan, SH, SIP, MHum., Dr. Iman Jauhari, SH, MHum., Dr. S. Mantay Borbir, SH, MHum., Dr. Supandi, SH, MHum., Dr. Jamaluddin, SH., MHum., Dr. Sunarmi, SH, MHum., Dr. Marzuki, SH, MH,. Dr. Happosan, SH, MH., Dr. Mahmud Mulyadi, SH, MHum., Dr. Mirza Nasution, SH., MHum., Dr. Marlina, SH, MHum., dan lain-lain.

9. Para guru-guru saya, sejak dari MIN Merduati Banda Aceh, SMPN 6 Banda

(12)

Universitas Airlangga – Surabaya, yang telah begitu banyak memberi ilmu pengetahuan dan mendidik saya sehingga menjadi seperti sekarang ini.

10.Para orang tua saya, terutama untuk tercinta ibunda dan ayahanda serta ibu mertua

dan ayah mertua, yang kesemua mereka telah berpulang ke Rahmatullah. Kepada semua anggota keluarga besar saya : kakak, adik, paman, makcek, abuwa, nyakwa, dan lain-lain.

11.Teristimewa, apresiasi paling tinggi harus saya tujukan untuk Hj. Suwarni Rono

Atmodjo, Danil Akbar Taqwadin, Abda Syakura Taqwadin, dan Rizal Oliya Taqwadin, mereka adalah isteri tercinta dan anak-anak kami, karena dukungan serta spirit yang tulus dari mereka, sehingga studi dan disertasi ini dapat saya selesaikan.

Selanjutnya, kepada semua pihak yang tidak tersebutkan namanya di atas, yang juga telah mendukung dan membantu saya selama proses pendidikan Program Doktor Ilmu Hukum ini saya sampaikan pula terima kasih yang setinggi-tingginya. Semoga semua amal kebaikannya mendapat balasan dari Allah yang Maha Esa. Akhirnya, terhadap semua kelemahan, kealpaan, dan kesalahan saya selama mengikuti program ini, maka dengan segala kerendahan hati, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Medan, 2010

Penulis,

H. TAQWADDIN, S.H., S.E., M.S.  

(13)

 

DAFTAR SINGKATAN

AMAN Aliansi Masyarakat Adat Nusantara

AMDAL Analisis Mengenai Dampak Lingkungan

APBA Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh

APBK Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten/Kota

APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

BAPPEDA Badan Perencanaan Pembangunan Daerah

BAPPEDALDA Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah

BKSDA Balai Konservasi Sumber Daya Alam

BPDAS Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

BPPHP Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi

BPKEL Badan Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser

BPN Badan Pertanahan Nasional

BPS Badan Pusat Statistik

BPUPKI Badan Pelaksana Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

BRR Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi

BUMD Badan Usaha Milik Daerah

BUMN Badan Usaha Miliki Negara

BUMS Badan Usaha Milik Swasta

CII Conservation International Indonesia

DAS Daerah Aliran Sungai

DEPHUTBUN Departemen Kehutanan dan Perkebunan

DPRD Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

DPR RI Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

FFI Fauna Flora International

(14)

HAM Hak Azasi Manusia

HKm Hutan Kemasyarakatan

HMN Hak Menguasai Negara

HPH Hak Pengusahaan Hutan

HPHTI Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri

HTI Hutan Tanaman Industri

HTR Hutan Tanaman Rakyat

ICEL Indonesian Center for Environmental Law

ILO International Labor Organization

IPK Izin Penebangan Kayu

IPKTM Izin Pemamfaatan Kayu Tanah Milik

IPTEK Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

IUIPHHK Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu

IUPHHBK Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu

IUPHHK Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu

IUPHHK HKm Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan

Kemasyarakatan

IUPJL Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan

IUPK Izin Usaha Pemanfaatan Kawasan

JAPHAMA Jaringan Pembelaan Hak-hak Masyarakat Adat

JKMA Jaringan Komunitas Masyarakat Adat

JPT Jatah Produksi Tahunan

KAN Kerapatan Adat Negeri

KEL Kawasan Ekosistem Leuser

Kepmenhut Keputusan Menteri Kehutanan

KHDTK Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus

KMAN Kongres Masyarakat Adat Nusantara

(15)

 

KPHA Kesatuan Pengelolaan Hutan Adat

KPHK Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi

KPHL Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung

KPHP Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi

LSM Lembaga Swadaya Masyarakat

MAA Masyarakat Adat Aceh

MPR Majelis Permusyawaratan Rakyat

MRP Majelis Rakyat Papua

NAD Nanggroe Aceh Darussalam

NGO Non-Governmental Organizations

NKRI Negara Kesatuan Republik Indonesia

NTT Nusa Tenggara Timur

PAMHUT Operasi Pengamanan Hutan

PBB Persatuan Bangsa-Bangsa

PKSMT Pembinaan Kesejahteraan Sosial Masyarakat Terasing

PMNA Peraturan Menteri Negara Agraria

PP Peraturan Pemerintah

PPKI Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia

PT SAI Perseroan Terbatas Semen Andalas Indonesia

PTPN Perseroan Terbatas Perkebunan Negara

REDD Reducing Emissions from Deforestation and Degradation

RHL Rehabilitasi Hutan dan Lahan

RPBBI Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri

RPJM Rencana Pembangunan Jangka Menengah

SDA Sumber Daya Alam

SIKA Sistem Imformasi Kehutanan Aceh

(16)

SK Surat Keputusan

SKSHH Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan

Tahura Taman Hutan Raya

TAP MPR Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

TNGL Taman Nasional Gunung Lauser

TNKS Taman Nasional Kerinci Seblat

UML Unit Management Lauser

UPT Unit Pelaksana Teknis

UPTD Unit Pelaksana Teknis Daerah

UPT BP DAS Unit Pelaksana Teknis Badan Pengeloa Daerah Aliran Sungai

UU Undang-Undang

UUD Undang-Ungdang Dasar

UUK Undang-Undang Kehutanan

UULH Undang-Undang Lingkungan Hidup

UU Agraria Undang-Undang Pokok Agraria

UUPA Undang-Undang Pemerintahan Aceh

UUPK Undang-Undang Pokok Kehutanan

VOC Vereenigde Oost-Indische Compagnie

WALHI Wahana Lingkungan Hidup Indonesia

WWF World Wild Foundation

Yagasu Yayasan Gajah Sumatera

YLI Yayasan Leuser Internasional

YRBI Yayasan Rumpun Bambu Indonesia

 

 

(17)

 

DAFTAR ISI 

Halaman 

HALAMAN JUDUL ... 

HALAMAN PENGESAHAN ...  ii 

ABASTRAK ... 

ABSTRACT...  vii 

KATA PENGANTAR ...  ix 

DAFTAR SINGKATAN ...  xiii 

DAFTAR ISI...  xvii  

  BAB I  PENDAHULUAN   A. Latar Belakang ...  1 

B. Perumusan Masalah ...  14 

C. Asumsi ...  15 

D. Kerangka Teori dan Konsepsi ...  16 

E. Keaslian Penelitian ...  39 

F. Tujuan Penelitian ...  40 

G. Manfaat Penelitian ...  40 

       H.    Metode Penelitian ……… ...  40 

1. Spesifikasi penelitian ...  41 

2. Pendekatan penelitian ...  42 

3. Lokasi penelitian ...  43 

4. Informan dan Responden ...  44 

5. Bahan hukum yang diteliti ...  44 

6. Teknik pengumpulan data ...  45 

(18)

   I.  Sistematika Penulisan ...  47 

  BAB II  PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN YANG     MENGATUR TENTANG KEHUTANAN DAN      MASYARAKAT HUKUM ADAT  A. Sejarah Pengaturan Kehutanan di Indonesia ...  49 

1. Sebelum penjajahan ...  49 

2. Masa penjajahan ………  53 

a. Masa Penjajahan oleh VOC (1602 – 1799) ...  53 

b. Masa Penjajahan Hindia Belanda (1850 – 1942) ...  56 

  c.  Masa Penjajahan Jepang 1942 – 1945 ...  60 

3. Masa kemerdekaan ……… ...  61 

a. Masa Pemerintah Orde Lama (1945‐1965) ...  61 

b. Masa Pemerintah Orde Baru (1966‐1998) ...  62 

c. Masa Pemerintah Reformasi  (1999‐2009) ...  64 

  B.   Peraturan Perundang‐undangan yang mengatur       Masyarakat Hukum Adat...  69 

  1.   Undang‐Undang Dasar 1945...  70 

  2.   Undang‐Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang       Peraturan   Dasar Pokok‐Pokok Agraria (UUPA)...  75 

  3.   Undang‐Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang       Hak Asasi Manusia ...  77   

(19)

 

  5.  Undang‐Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang  

    Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh ...  86    6.   Undang‐Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang  

    Otonomi Khusus Papua ...        89    7.  Undang‐Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang  

    Sumberdaya Air ...  91    8.  Undang‐Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang  

    Pemerintahan Daerah ...  92    9.   Undang‐Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan 

Aceh ...  94    10. Undang‐Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang  

    Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ...  98    11. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang  

    Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan,  

    serta Pemanfaatan Hutan ...  101    12. Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan 

Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian  Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat...  106    13. Surat Edaran Menteri Kehutanan Nomor SE.75/Menhut 

II/2004 tanggal 12 Maret 2004 Perihal Masalah Hukum Adat  dan Tuntutan Kompensasi/Ganti Rugi oleh Masyarakat Hukum  Adat ...  109    14. Peraturan Daerah‐Peraturan Daerah yang mengatur tentang 

(20)

  C. Sifat Masyarakat Hukum Adat ...   124 

  D. Hak Ulayat Masyarakat Hutan Adat...  140 

  E. Dasar Hak Penguasaan Hutan oleh Masyarakat Hukum Adat ...  155 

1. Hak Menguasai atas Sumberdaya Hutan...  159 

2. Hak Masyarakat Hukum Adat atas Sumberdaya Hutan ...  163 

  BAB III.      KONDISI DAN KEBIJAKAN KEHUTANAN     DI  PROVINSI ACEH     A. Kondisi dan Karakteristik Hutan Aceh...  170 

  B. Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Aceh ...  176 

  1. Pemanfaatan Hutan dan Kayu Tanah Milik ...  176 

  2. Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu ...  179 

  3. Pengolahan dan Peredaran Hasil Hutan ………. ...  180 

  C. Kerusakan Hutan Aceh ...  181 

  1. Penebangan Liar ...  182 

  2. Perambahan Hutan ...  185 

  3. Kebakaran Hutan ...  185 

       D. Kebijakan Kehutanan di Aceh ...  187 

       1. Pengaturan Kehutanan dalam UU Pemerintahan Aceh……...  187          2. Kelembagaan Pengelolaan Kawasan Hutan ...  198 

(21)

 

        4. Penghentian Sementara Penebangan Hutan……….. ...  213 

E. Strategi Pengelolaan Hutan Aceh yang Berkelanjutan ...  229 

  1. Langkah‐langkah Strategis ………. ...230 

  2. Insentif Untuk Pemeliharaan Hutan Aceh ……….. ...  234 

   BAB IV  KEKUASAAN MUKIM ATAS HUTAN ADAT ...    A. Mukim dan Eksistensinya   ……. ...  241 

1.   Sejarah Mukim ...  241 

2.   Mukim sebagai Masyarakat Hukum Adat...  255 

3.   Mukim sebagai Pelaksana Pemerintahan...  270 

4.   Mukim sebagai Pelaksana Pembangunan ...  272 

5.    Mukim sebagai Pembina Kemasyarakatan dan     Penyelesaian Sengketa ...  274 

6.  Mukim dan Alat Kelengkapannya ...  279 

7.  Kedudukan dan Fungsi Pemerintahan Mukim sekarang ...  282 

  B.  Penguasaan Hutan oleh Mukim ...  292 

        1. Pengertian Hutan Negara dan Hutan Mukim/Gampong ...  293 

       2. Mukim Berkuasa atas Hutan Ulayatnya …. ...  295 

        3. Macam dan Jenis Tanah menurut Hukum Adat Aceh...  299 

       4. Hak Kullah Bertuan dan Tidak Bertuan ...   303 

       5. Hak Bersama warga atas Tanah ...  306 

(22)

  1. Hak Dong Tanoh ...  323    2. Hak Chah Rimba ...  334    3. Hak Useuha ...  343    4. Hak Milek ...  348    5. Hak‐hak Didahulukan ...  351      D. Pengelolaan Hutan Adat  di Aceh ...  357    1. Eksistensi Lembaga Adat Uteun ...  357    2. Adat Pengelolaan Hutan ...  362    3. Peran dan Fungsi Lembaga Adat Hutan ...  383    4. Hubungan Lembaga Adat Hutan dengan lembaga 

     adat lain ...  397    

 

BAB V  KESIMPULAN DAN SARAN 

  A.  Kesimpulan ...  413    B.  Saran ...  417   

DAFTAR PUSTAKA   ...  420 

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ...  444 

 

 

 

(23)

 

ABSTRAK

PENGUASAAN ATAS PENGELOLAAN HUTAN ADAT

OLEH MASYARAKAT HUKUM ADAT (MUKIM) DI PROVINSI ACEH

Taqwaddin1 Lili Rasjidi2 Syamsul Arifin3

Alvi Syahrin4

Sejak ratusan tahun lalu, di Indonesia terdapat kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dengan karakteristiknya masing-masing yang menguasai hutan adat dalam jangkauannya. Namun pengakuan terhadap masyarakat hukum adat tidak banyak ditemukan dalam peraturan perundang-undangan dimasa lalu. Antara masyarakat hukum adat dan hutan adat, dua hal tak terpisahkan. Mukim adalah masyarakat hukum adat di Aceh yang menguasai dan mengelola hutan adatnya.

Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) menemukan dan mendeskripsikan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kehutanan dan masyarakat hukum adat, (2) mendeskripsikan kondisi karakteristik hutan Aceh serta kebijakan kehutanan di Provinsi Aceh, dan (3) mendeskripsikan penguasaan atas pengelolaan hutan adat oleh masyarakat hukum adat Aceh (mukim).

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan penelitian hukum normative dan empiris (non-doctrinal). Data diperoleh melalui penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan dilakukan untuk mendapatkan data skunder dengan menelaah bahan hukum primer, sekunder, dan tertier. Sedangkan penelitian lapangan dilakukan untuk mendapatkan data primer melalui wawancara dengan para informan dan responden. Penelitian lapangan dilakukan di beberapa kabupaten dalam Provinsi Aceh, yaitu : di Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Aceh Jaya, dan Aceh Barat, yang ditentukan dengan tehnik purposive sampling. Analisis data dilakukan secara kualitatif dan dibahas secara deskriptif analitik.

Peraturan tentang kehutanan telah diterbitkan secara tertulis sejak masa Pemerintahan Hindia Belanda yang berlaku khusus untuk Jawa dan Madura. Sedangkan untuk luar Jawa dan Madura berlaku hukum adatnya masing-masing. Dualisme hukum tersebut berlaku hingga Indonesia merdeka. Baik pada masa Hindia Belanda, Pemerintahan Orde Lama maupun rezim Orde Baru tidak banyak ditemukan peraturan

       

(24)

perundang-undangan yang mengatur mengenai masyarakat hukum adat. Pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat dan hutan adat ditemukan dalam peraturan perundang-undangan yang dibentuk pasca Reformasi. Sebagian besar hutan Aceh adalah kawasan lindung yang saat ini rusak akibat penebangan liar. Kebijakan kehutanan Aceh saat ini mengacu pada Undang-Undang tentang Kehutanan, Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh, dan Intruksi Gubernur tentang Moratorium Logging. Mukim merupakan masyarakat hukum adat di Aceh yang memiliki kewenangan pemerintahan, penyelesaian sengketa serta penguasaan atas pengelolaan hutan adat ulayatnya. Mukim mempunyai system hukum dan kearifan lokal dalam penguasaan atas pengelolaan hutan adatnya, berupa; anjuran dan pantangan, kelembagaan, dan adat budaya tersendiri.

Disarankan kepada pemerintahan agar setiap kebijakan mempertimbangkan keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Perlu adanya Peraturan Pemerintah tentang Masyarakat Hukum Adat dan Hutan Adat, sebagai tindak lanjut dari Pasal 67 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam penetapan status hutan disarankan menjadi: (1) hutan hak, (2) hutan adat, dan (3) hutan negara. Kepada pemerintahan kabupaten/kota di Provinsi Aceh disarankan untuk menerbitkan kebijakan kehutanan yang berbasis mukim. Disarankan juga, perlunya pembentukan Qanun Kabupaten/Kota tentang Pemerintahan Mukim, yang di dalamnya menegaskan pengakuan keberadaan hutan adat ulayat mukim. Perlu dilakukan revitalisasi dan penguatan pemerintahan mukim yang dipimpin oleh imeum mukim dan lembaga adat hutan yang dipimpin oleh pawang glee.

Kata Kunci :

Masyarakat hukum adat

(25)

 

ABSTRACT

CONTROL OF ADAT FOREST MANAGEMENTS

BY INDIGENOUS PEOPLE (MUKIM) IN ACEH PROVINCE

Taqwaddin

1

Lili Rasjidi

2

Syamsul Arifin

3

Alvi Syahrin

4

Hundreds years ago, there were indigenous people communities in Indonesia which have own characteristic controlling their adat forest. However, the recognition of indigenous people couldn’t be found in many acts and government regulations in the past. Between indigenous people and adat forests are two things that cannot be separated. Mukim is Aceh’s indigenous people controlling and managing adat forests.

The purposes of this research are: (1) to find out and to describe the acts and regulations concerning forestry and indigenous people, (2) to describe characteristics of Aceh forests and forestry policies in Aceh Province, (3) to describe the control of adat forests managements by indigenous people in Aceh (mukim).

This research applies analytical descriptive method by approaching normative and empirical (non-doctrinal) law research. The data are gathered by literature and field research. Literature research is conducted to get secondary data by analyzing primary, secondary and tertiary law sources. While, field research is done to obtain primary data, by interviewing respondents and informants. Field research is conducted in several districts in Aceh Province, such as: Aceh Besar, Pidie, Aceh Jaya, and Aceh Barat, which determined by purposive sampling technique. Data are analyzed by qualitative and analytic descriptive.

Regulations about Forestry had been enacted since the Netherlands Hindia era especially applied to Java and Madura. Whereas outside Java and Madura, adat laws were applied to them. This dualism of law occurred until Indonesia had its independence. As well as in the era of the Netherlands Hindia, of the Old Governance and of the New Era regimes there couldn’t be found many acts and regulations concerning indigenous people. The recognition on the existence of indigenous people and adat forests could be       

1 Lecturer of Faculty of Law, Syiah Kuala University, Banda Aceh.  2 

Professor of Faculty of Law, Padjajaran University, Bandung.  3 

(26)

found in acts and regulations which enacted after the era of Reformation. Most of Aceh’s forest is conservation areas that become deforestation because of illegal logging. Nowadays, the forestry policies in Aceh refer to the Forestry Act, the Aceh Governance Act, and the Aceh’s Governor Instruction on Moratorium Logging. Mukim is indigenous people in Aceh which possessed governance authority, settlement of disputes and control of their adat forests (ulayat) management. Mukim has legal system and local wisdom in controlling their adat forests management namely advices and prohibition (taboo), institutions and indigenous cultures.

It is recommended that the government in making every policy should consider the existence of indigenous people including their traditional rights. In addition, Government Regulation on Adat Forest and Indigenous People are also needed to follow up section 67 of the Forestry Act. In determining the status of forest, it is suggested that the forests should become: (1) private forests, (2) adat forests, and (3) state forests. Moreover, government of districts/cities at Aceh Province should publish the forestry policies base on mukim. Furthermore, the necessary of forming qanun’s district/municipality about mukim governance that mention the recognition of existences of mukim adat forests (ulayat). Revitalization and strengthening of mukim governance which lead by imeum mukim and adat forest institutions which lead by pawang glee are also important to be conducted.

Keywords: 

Indigenous people 

(27)

 

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia, yang diselenggarakan oleh pemerintahannya, berkewajiban “melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Pernyataan dalam Alinea Keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 merupakan kaedah konstitusional dari kewajiban negara dan tugas pemerintah untuk melindungi segenap sumber-sumber insani dalam lingkungan hidup Indonesia, guna kebahagiaan seluruh

rakyat Indonesia dan segenap ummat manusia,5 termasuk melindungi sumberdaya hutan.

Undang-Undang Dasar 1945 mewajibkan mengelola sumberdaya alam (SDA) untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, yang harus dinikmati generasi masa kini dan masa depan secara berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan hidup merupakan upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumberdaya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan,

kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan masa depan.6 Berdasarkan

ketentuan ini dapat dipahami bahwa, asas pembangunan berkelanjutan yang berwawasan

       5 

Koesnardi Hardjasoemantri,  Hukum Tata  Lingkungan, Gadjah Mada Univ. Press, Yogyakarta,  Cet.  XIV, 1999, hlm. 66. Dalam hal ini, beliau menyatakan bahwa kaedah dasar yang melandasi pembangunan  dan perlindungan lingkungan hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea Keempat.  Kaedah dasar ini selanjutnya dijabarkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, Sehingga ketentuan tersebut,  menurut beliau memberikan “hak penguasaan” kepada negara atas seluruh sumber daya alam Indonesia  dan memberikan “kewajiban kepada negara” untuk menggunakannya bagi sebesar‐besar kemakmuran  rakyat. 

(28)

lingkungan dewasa ini telah ditempatkan sebagai standar kebijakan pembangunan nasional.7

Dalam bagian menimbang Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, dinyatakan bahwa pengelolaan sumber daya agraria dan sumberdaya alam yang berlangsung selama ini telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai konflik. Oleh karena itu, diperlukan penataan kembali penguasaan dan pengelolaannya secara optimal, adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan dengan mengedepankan prinsip mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya

bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam.8

Pentingnya penataan penguasaan dan pengelolaan SDA guna mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Untuk menjaga agar pemanfaatan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya berlangsung dengan cara sebaik-baiknya, terutama bagi SDA yang bernilai konservasi tinggi, diperlukan langkah-langkah konservasi, sehingga SDA hayati dan ekosistemnya selalu terpelihara dan

mampu mewujudkan keseimbangan serta melekat dengan pembangunan itu sendiri.9

Hutan Indonesia memiliki kedudukan strategis, baik bagi bangsa Indonesia maupun untuk dunia dengan peranannya sebagai penyerasi dan penyeimbang lingkungan global. Karenanya, pengelolaan sumberdaya hutan harus diupayakan secara tepat dan bijaksana.

       7 

Alvi Syahrin,   Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Pemukiman  Berkelanjutan. Pustaka Bangsa Press, Medan, 2003, hlm.1. 

8 

Lihat Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 huruf j  TAP MPR IX/MPR/2001.  9 

(29)

 

Mengingat strategisnya keberadaan hutan bagi kehidupan bangsa dan sebagai modal pembangunan nasional, maka pengelolaan hutan harus mengacu pada model manajemen nasional, berupa tata urutan fungsional dari (1) perencanaan, (2) pengorganisasian, (3)

pelaksanaan, (4) pengawasan dan pengendalian. 10 Keempat fungsi manajemen itu harus

diimplementasikan secara tepat agar mencapai tujuannya untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.

Istilah “hutan adat” secara eksplisit terdapat pencantumannya di dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan). Menurut Pasal 1 angka 6 undang-undang tersebut, “Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”.

Secara faktual di setiap provinsi di Indonesia terdapat kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dengan karakteristiknya masing-masing yang telah ada ratusan tahun yang lalu. Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang teratur, yang bertingkah laku sebagai sebagai kesatuan, menetap disuatu daerah tertentu, mempunyai penguasa-penguasa, memiliki hukum adat masing-masing dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang berwujud ataupun tidak berwujud serta menguasai sumberdaya alam dalam jangkauannya. Mereka memiliki sistem kebudayaan yang kompleks dalam tatanan kemasyarakatannya, dan mempunyai hubungan yang kuat dengan tanah dan sumberdaya alamnya. Namun pada masa lalu, baik pemerintahan Orde Lama maupun rezim Orde Baru, keberadaan masyarakat hukum adat tidak banyak       

(30)

disebutkan dalam peraturan perundangan-undangan. Karenanya, secara juridis formal keberadaannya tidak diakui.

Pada era pemerintahan Reformasi, seiring dengan tumbuhnya kecenderungan otonomisasi daerah, dimana daerah otonom tidak lagi disusun secara bertingkat seperti pada masa rezim Orde Baru, tetapi dipilah menurut jenisnya menjadi daerah otonom provinsi, daerah otonom kabupaten, daerah otonom kota, dan kesatuan masyarakat hukum adat sebagai daerah otonom yang asli.

Saat ini, keberadaan masyarakat hukum adat sebagai daerah otonom yang asli mendapat pengakuan dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan, sehingga eksistensinya semakin dihormati dan dilindungi.

Dalam Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945, tepatnya dalam Pasal 18 B ayat (2) dinyatakan bahwa, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

(31)

 

masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada pemerintah. Selanjutnya dalam Pasal 37 ditentukan bahwa, (1) Pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan, sesuai dengan fungsinya (2) Pemanfaatan hutan adat yang berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya.

Mengacu pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, jelas bahwa status hutan adat adalah bagian dari hutan negara. Hutan negara, menurut Pasal 1 angka 6 undang-undang ini, adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. Hak-hak atas tanah menurut Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UU Agraria) adalah :

a. hak milik,

b. hak guna usaha,

c. hak guna bangunan,

d. hak pakai,

e. hak sewa,

f. hak membuka tanah,

g. hak memungut hasil hutan,

h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas.

(32)

dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

Antara Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan dengan Pasal 3 dan Pasal 16 UU Agraria terdapat ketentuan yang berbenturan. Hutan negara dalam pengertian UU Kehutanan adalah hutan yang tidak dibebani hak atas tanah, sedangkan dalam UU Agraria ditegaskan adanya pengakuan terhadap pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat-masyarakat hukum adat, termasuk hak memungut hasil hutan. Ini berarti, hak ulayat juga termasuk hak atas tanah, yang karenanya harus dikeluarkan dari pengertian dan pengaturan hutan negara.

Dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU Kehutanan ditegaskan bahwa, dengan dimasukkannya hutan adat dalam pengertian hutan negara, tidak akan meniadakan hak-hak masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya. Dimasukkannya hutan adat yang dikelola oleh masyarakat hukum adat dalam pengertian hutan negara adalah konsekuensi dari adanya hak menguasai oleh

negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat pada tingkatan tertinggi.11

Keberadaan status hutan adat menurut Pasal 5 ayat (3) UU Kehutanan, baru diakui apabila adanya penetapan oleh Pemerintah, yang disyaratkan pada kenyataan adanya masyarakat hukum adat. Sehingga, esensi penetapan hutan adat oleh pemerintah tergantung pula pada keberadaan masyarakat hukum adat. Jadi, antara masyarakat hukum adat dan hutan adat adalah dua hal tak terpisahkan. Hubungan erat yang tak terpisahkan

      

(33)

 

antara hutan adat dan masyarakat hukum adat semakin mendapat penegasannya dalam Pasal 37 UU Kehutanan, yaitu pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan sesuai dengan fungsinya. Pemanfaatan hutan adat yang berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya.

Sebelum diundangkannya UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan, istilah hutan adat tidak disebutkan, tetapi lebih dipahami sebagai hutan marga, hutan ulayat, hutan pertuanan, dan lain-lainnya. Istilah-istilah tersebut senada dengan istilah uteun mukim yang dikenal dalam masyarakat Aceh, dimana mukim memiliki hak menguasai

(beschikkingsrecht) untuk kepentingan anggota-anggotanya dan orang-orang asing.12

Menurut Pasal 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967, berdasarkan pemiliknya Menteri menyatakan hutan sebagai :

(1) “Hutan Negara” ialah kawasan hutan dan hutan yang tumbuh di atas tanah yang

tidak dibebani hak milik.

(2) “Hutan Milik” ialah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik.

Dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa, berdasarkan pemilikannya hutan dibagi menjadi dua jenis :

1. Hutan Negara ialah semua hutan yang tumbuh di atas tanah yang bukan tanah

milik. Hutan yang tumbuh atau ditanam di atas tanah yang diberikan kepada daerah Swatantra dengan hak pakai atau hak pengelolaan mempunyai status sebagai Hutan Negara. Dengan demikian tidak ada lagi hutan marga, hutan daerah, hutan swapraja dan sebagainya.

2. Hutan Milik ialah hutan yang tumbuh atau ditanam atas tanah milik, yang

lazimnya disebut hutan rakyat dan dapat dimiliki oleh orang, baik sendiri maupun       

12 M. Isa Sulaiman dan HT. Syamsuddin (ed), Pedoman Adat Aceh : Peradilan dan Hukum Adat, Ed II,  Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh , Prov. NAD, 2002, hlm. 175, yang dikutip dari Resume Atjeh, hlm. 58  ‐62, dalam Adatrechtbundel, DR. J. Jascobe, Het Familie‐enkampongleven od Groot Atjeh II: 109 – 113. 

(34)

bersama-sama orang lain atau Badan Hukum. Hutan yang ditanam atas usaha sendiri di atas tanah yang dibebani hak lainnya, merupakan pula hutan milik dari orang/Badan Hukum yang bersangkutan.

Berdasarkan penjelasan Pasal 2 ayat (1) ketentuan di atas, yang menyatakan “dengan demikian tidak ada lagi hutan marga dan sebagainya”, dapatlah dipahami bahwa sebelum adanya undang-undang tersebut diakui keberadaan masyarakat hukum adat berupa marga, nagari, mukim, dan lain-lain yang memiliki kedaulatan atas hutan dan kekayaan alamnya sendiri, yang mereka bebas mengelola dan memanfaatkannya

berdasarkan kearifan tradisional (kearifan lokal) tanpa campurtangan negara.13

Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967, khusus untuk Pulau Jawa dan Madura, mengenai kehutanan terdapat pengaturannya dalam Reglement op het Beheer en de Exploitatie der Houtbosschen op Java en Madoera pada tahun 1865. Peraturan ini diganti dengan Boschreglement tahun 1874. Kemudian, pada tahun 1879 diganti lagi dengan Reglement voor het Beheer der Bosschen op Java en Madoera dan Reglement voor den Diens van het Boschwezen op Java en Madoera, keduanya berlaku sampai dengan tahun 1913. Setelah itu diberlakukan Reglement untuk Pemangkuan Hutan Negara di Jawa dan Madura 1913, yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1914. Reglement 1913 ini berlaku hingga tahun 1927, yaitu sampai diundangkannya Reglement voor het Beheer der Bosschen van den Lande op Java en Madoera, yang dikenal juga sebagai Boschordonnantie voor Java en Madoera 1927. Sedangkan untuk hutan di luar

Jawa dan Madura pada waktu itu tidak ada peraturannya.14 Ketiadaan peraturan

       13 

Lihat; Abdon Nababan, Memperjuangkan dan Memberdayakan Otonomi Asli masyarakat Adat  dalam Pengelolaan Ekosistem, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional dan Lokakarya masyarakat  Adat leuser, Blangkejeren, Kabupaten Gayo Luwes, 19 – 23 Juli 2004. Masyarakat adat menurutnya adalah  komunitas‐komunitas yang hidup berdasarkan asal usul leluhur secara turun temurun di atas suatu  wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang  diatur oleh hukum adat dan lembaga adat untuk mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya. 

14 

(35)

 

sebagaimana dinyatakan oleh Koesnadi di atas, bukanlah berarti tiadanya hukum yang mengatur masalah kehutanan. Tetapi hukum yang mengatur penyelenggaraan kehutanan di wilayah luar Pulau Jawa dan Madura adalah hukum adatnya masing-masing.

Sekalipun istilah hutan adat secara jurdis formal baru terdapat penyebutannya dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, namun dalam tataran

empiriknya, istilah tersebut telah lama dikenal dalam masyarakat Aceh.15 Bahkan telah

pula dikenal adanya petua adat yang membidangi urusan kehutanan, yaitu pawang glee

dan petua seunebok.16 Sehingga dalam masyarakat hukum adat Aceh, mengenai hutan

adat telah memiliki pengaturan dan pengelolaannya secara arif sejak dahulu kala.

Menurut Pasal 67 ayat (1) UU Kehutanan, masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak:

a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup

sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan;

b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku

dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan

c. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.

       

tentang hutan merupakan peraturan yang pertama tentang konservasi sumberdaya alam hayati di  Indonesia.  

15 Dahlan, dkk, Investigasi Status Tanah  di Kawasan Ekosistem Leuser dan Identifikasi Pemecahan 

Masalahnya; Kasus daerah Menggamat Kecamatan Kluet Utara, Kabupaten Aceh   Selatan, Laporan  Penelitian, kerjasama Yayasan Leuser International dan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, 1997. 

16 Lihat; Amiruddin A. Wahab, dkk,  Dampak Implementasi undangUndang Nomor 5 Tahun 1979 

terhadap Pranata Sosial Ditinjau Dari Aspek Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan, Laporan  Penelitian, kerjasama Balitbang Departemen Dalam Negeri dengan Universitas Syiah Kuala, 1993. Petua  seunebok berperan dalam  usaha pembukaan hutan  untuk  membuka  lahan  pertanian  baru.  Petua  seunebok  dipilih  oleh  masyarakat  adat  di  wilayah  pembukaan  lahan  pertanian  tersebut.  Dalam  menjalankan tugasnya ia bertanggungjawab kepada kepala desa, yaitu apabila lahan pertanian baru yang  dibuka tersebut merupakan hak ulayat dari desa yang kekuasaannya berada di bawah kepala desa. Istilah 

(36)

Penjelasan ayat tersebut menerangkan bahwa, masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain :

a. masyarakatnya masih dalam bentuk peguyuban (rechtsgemeenschap);

b. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;

c. ada wilayah hukum adat yang jelas;

d. ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati;

e. masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk

pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

Ayat (2) Pasal 67 tersebut menegaskan bahwa, pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan peraturan daerah. Peraturan daerah dimaksud disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat adat yang ada di daerah yang

bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang terkait.17 Bagi Provinsi Aceh, peraturan

daerah yang mengatur tentang masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud oleh Pasal 67 ayat (2) Undang-Undang tentang Kehutanan, adalah Qanun Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim.

Sedangkan mengenai hutan adat di Aceh, pengaturannya dapat ditemukan dalam

Qanun NAD Nomor 14 Tahun 2002 tentang Kehutanan (Qanun Kehutanan). 18 Pasal 5

qanun tersebut menentukan bahwa; (1) hutan berdasarkan statusnya terdiri dari hutan negara dan hutan hak, (2) Hutan negara dapat berupa hutan adat, (3) penunjukan dan atau penetapan hutan adat dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi, sepanjang masih ada dan

       17 

Lihat; Penjelasan ayat (2) Pasal 67 UU 41/1999. 

18 Qanun tersebut merupakan salah satu tindak  lanjut pelaksanaan dari UndangUndang Nomor 18 

(37)

 

diakui keberadaannya oleh masyarakat adat setempat. (4) Penetapan kriteria dan standar hutan adat diatur lebih lanjut dengan Keputusan Gubernur.

Sehubungan dengan berlakunya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang

Pemerintahan Aceh dengan prinsip otonomi seluas-luasnya,19 telah memberi kesempatan

yang luas kepada pemerintahan provinsi tersebut untuk menggali dan mengimplementasikan tata bermasyarakat yang sesuai dengan nilai luhur kehidupan masyarakat Aceh berdasarkan adat dan budaya masyarakatnya, sehingga keberadaan adat tersebut dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya bersama-sama dengan hadirnya hukum perundang-undangan negara yang bersifat tertulis.

Selain merujuk pada Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh, penyelenggaraan kehidupan adat di Aceh, secara tegas diakui pula keberadaannya dalam Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Dalam Pasal 6 dan Pasal 7 undang-undang tersebut dinyatakan bahwa, daerah dapat menetapkan berbagai kebijakan dalam upaya pemberdayaan, pelestarian, dan pengembangan adat serta lembaga adat di wilayahnya yang dijiwai dan sesuai dengan Syariat Islam.

      

19 

Dalam Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dinyatakan bahwa undang-undang ini menggantikan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang dalam pelaksanaannya belum cukup memadai dalam menampung aspirasi dan kepentingan pembangunan ekonomi serta keadilan politik. Hal demikian mendorong lahirnya Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh dengan prinsip otonomi seluas-luasnya. Pemberian otonomi seluas-luasnya di bidang politik kepada masyarakat Aceh dan mengelola pemerintahan daerah sesuai dengan prinsip good governance yaitu transparan, akuntabel, profesional, efisien, dan efektif dimaksudkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat di Aceh. Dalam menyelenggarakan otonomi yang seluasluasnya itu, masyarakat Aceh memiliki peran serta, baik dalam merumuskan, menetapkan, melaksanakan maupun dalam mengevaluasi kebijakan pemerintahan daerah.

(38)

Dalam masyarakat Aceh, hubungan antara hukum dengan adat adalah dua hal tak terpisahkan, yang dalam hadih maja disebutkan, hukom ngon adat lagei zeut ngon sifeuet atau lagei mata itam ngon mata puteh. Dimaksud dengan hukom dalam hadih maja tersebut adalah hukum Islam. Sedangkan adat dimaksudkan sebagai aturan yang dibuat

oleh penguasa.20 Selanjutnya, hadih maja penting lainnya dalam kehidupan masyarakat

Aceh yang telah menjadi pegangan umum, yaitu Adat bak Po Teumeureuhom; Hukom bak Syiah Kuala; Qanun bak Putro Phang; Reusam bak Laksamana. (adat dari sultan,

hukum dari ulama, qanun dari putri pahang, reusam dari laksamana). 21

Di Provinsi Aceh, karakteristik yang sesuai dengan masyarakat hukum adat sebagaimana disyaratkan oleh Penjelasan Pasal 67 UU Kehutanan adalah mukim. Mukim yang dipimpin oleh imeum mukim merupakan persekutuan masyarakat hukum adat yang meliputi beberapa gampong. Senyatanya, mukim masih ada di seluruh Provinsi Aceh, sekalipun antara satu kabupaten dengan kabupaten lainnya di provinsi tersebut berbeda

kultur dan bahasa. Struktur pemerintahan mukim bersifat otonom. 22

Pasca Reformasi, keberadaan mukim kembali diakui melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 yang kemudian dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Sebagai tindak lanjut pelaksanaan dari undang-undang tersebut telah pula disahkan Qanun NAD Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim.

      

20 Teuku Djuned, Kedudukan Hukum Adat Dalam Sistem Hukum Nasional, Pidato Pengukuhan Guru  Besar pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, 2 September 2004. 

21 

Hadih maja adalah sumber hukum yang berasal dari penuturan leluhur sebagai hukum tidak  tertulis. Pengertian‐pengertiannya hanya dapat ditemukan dalam pepatah petitih para leluhur yang  kemudian ungkapan‐ungkapan tersebut diteruskan oleh generasi berikutnya.  

22 

(39)

 

Di dalam Pasal 3 Qanun NAD Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim, jelas dinyatakan bahwa mukim mempunyai tugas menyelenggarakan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan dan peningkatan pelaksanaan Syari’at Islam. Dengan dinyatakannya mukim sebagai penyelenggara pemerintahan secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan (UUPA dan Qanun), maka keberadaannya telah mendapat pengakuan dan pengukuhannya dalam hukum positif Indonesia. Kini keberadaan mukim tidak saja hanya diakui dalam tataran sosial budaya masyarakat Aceh, tetapi juga telah diadopsi dalam tataran juridis formal, sehingga keberlakuan dan penegakan hukumnya telah mendapat dukungan kuat dari institusi resmi negara dan pemerintahan.

Selanjutnya di dalam Pasal 18 Qanun Pemerintahan Mukim ditegaskan pula bahwa Pemerintahan Mukim mempunyai harta kekayaan, sumber keuangan dan berhak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri. Harta kekayaan mukim adalah harta kekayaan yang telah ada, atau yang dikuasai mukim; berupa hutan, tanah, batang air, kuala, danau, laut, gunung, rawa, paya, dan lain-lain yang menjadi ulayat mukim sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Harta kekayaan mukim dimaksud merupakan sumberdaya alam mukim yang kewenangan penguasaannya ada pada pemerintah mukim yang dipimpin oleh imuem mukim.

(40)

hutan yang ada di dalam dan sekitar wilayahnya, terutama kayu. Walaupun ketentuan perundang-undang secara juridis formal telah mengakui hak masyarakat hukum adat untuk memungut hasil hutan di kawasan hutan adatnya, namun jika kawasan tersebut diberikan HPH (hak pengusahaan hutan), maka hak masyarakat hukum adat diharuskan mengalah untuk kepentingan pihak yang secara formal telah mendapatkan hak atas

kawasan tersebut. 23 Hak memungut hasil hutan adalah kewenangan yang diberikan oleh

Undang-Undang Kehutanan kepada masyarakat hukum adat, yang dijadikan kriteria adanya masyarakat hukum adat menurut versi perundang-undangan. Padahal menurut Teuku Djuned (Guru Besar Hukum Adat Aceh), kriteria pokok masyarakat hukum adat, bukanlah hanya pada adanya kewenangan memungut hasil hutan, melainkan yang lebih penting adalah pada menguasai dan memanfaatkan lingkungan hidup dan sumberdaya

alam, terutama untuk kepentingan warganya.24

B. Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang dimuka, maka permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah :

1. Apasajakah peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kehutanan dan

masyarakat hukum adat.       

23 

Amiruddin A. Wahab, dkk, Hak‐Hak Masyarakat Hukum Adat terhadap Hasil Hutan di Kecamatan  Lhoknga Leupung Aceh   Besar, Jurnal Ilmu Hukum KANUN, No. 23 Tahun IX/Agustus 1999, FH Unsyiah,  Banda Aceh . Tulisan ini diangkat dari hasil penelitian oleh anggota tim Pusat Studi Hukum Adat dan Islam  Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, yang dilaksanakan oleh Prof. Dr. Amiruddin A. Wahab, SH., Prof. T.  Mohd Djuned, SH., Abdullah Ahmad, SH., MAg., Drs. M. Yusuf Hasan, SH., MHum., dan Ilyas Ismail, SH,  MH.  

24 

(41)

 

2. Bagaimanakah kondisi dan karakteristik hutan Aceh, serta bagaimana pula

kebijakan kehutanan di Provinsi Aceh saat ini.

3. Bagaimanakah penguasaan atas pengelolaan hutan adat oleh masyarakat hukum

adat Aceh (mukim).

C. Asumsi

1. Dengan diakuinya keberadaan masyarakat hukum adat dalam berbagai berbagai

peraturan perundang-undangan yang diundangkan pada masa Reformasi sekarang ini, maka keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya akan lebih terjamin.

2. Dengan diberlakukannya peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang tepat

dalam pengelolaan kehutanan, maka kerusakan hutan yang disebabkan oleh penebangan liar, perambahan hutan dan kebakaran hutan akan dapat diatasi.

3. Dengan diberlakukannya lembaga mukim yang memiliki kewenangan

(42)

D. Kerangka Teori dan Konsepsi

Relevansinya dengan analisis permasalahan penguasaan atas pengelolaan hutan

adat oleh msyarakat hukum adat, maka teori25 yang digunakan dalam penelitian ini

adalah teori penguasaan sumberdaya alam yang mengacu pada Pancasila sebagai falsafah negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia, digunakan sebagai grand theory. Selanjutnya, sebagai teori pendukung (middle theory) digunakan teori jenjang norma hukum (stufentheorie) oleh Hans Kelsen dan teori sociological jurisprudence dari Eugen Ehrlich dan Roscoe Pound yang menjelaskan hukum yang hidup (living law) dan fungsi hukum (as social engineering) di dalam masyarakat. Sedangkan sebagai applied theory

digunakan teori sistem hukum dari Lawrence M. Friedman. 26

Hak untuk mengelola sumberdaya alam, termasuk hutan, merupakan salah satu hak ekonomi, sosial dan budaya yang melekat pada setiap manusia sejak dilahirkan. Karenanya, hak seperti ini dapat dikategorikan sebagai “hak alamiah” atau “hak bawaan”

yang melekat secara kodrat pada setiap insan.27 Menurut Garreth Hardyn, merujuk pada

      

25 Teori merupakan pengetahuan ilmiah yang mencakup penjelasan mengenai sesuatu faktor 

tertentu dari sebuah disiplin ilmiah. Dalam dunia ilmu, teori menempati kedudukan penting, karena teori  memberikan sarana untuk dapat merangkum serta memahami masalah yang dibicarakan secara lebih  baik. Hal‐hal yang semula yang tampak tersebar dan berdiri sendiri dapat disatukan   dan ditunjukkan  kaitannya sata sama lain secara lebih bermakna. Lihat;   Koentjaraningrat, Metode‐Metode Penelitian  Masyarakat, Gramedia Pustaka Utama, 1997, hal. 21. Produk akhir dari proses pengkajian teori adalah  perumusan hipotesis yang merupakan pangkal dan tujuan dari seluruh analisis. Hal ini tercermin bukan  saja dalam struktur logika berpikir melainkan juga dalam struktur penulisan. Lihat: Jujun S. Suriasumantri, 

Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Sinar Harapan, Jakarta, 1999, hal. 235.  26  

Istilah‐istilah: “grand theory”, “middle range theory”, dan “aplikatif theory” merujuk pada  istilah  yang digunakan Husni dalam disertasinya, Eksistensi Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh  Darussalam  Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana UNPAD, Bandung, 2004,  hlm. 13. Sedangkan Idham menggunakan istilah‐istilah “grand theory”, “middle theory”, dan “lower  Theory”. Lihat; Idham, Kajian Kritis Pelaksanaan Konsolidasi Tanah Perkotaan Dalam Perspektif Otonomi  Daerah di Sumatera Utara, Ringk. Disertasi, Program Pascasarjana USU, Medan, 2004, hlm. 10.  

27

(43)

 

teori Common Property, sebetulnya sumberdaya alam yang ada di bumi ini merupakan sumberdaya yang bebas, dan terbuka untuk siapa saja serta dapat dimiliki bersama. Untuk pengelolaannya setiap individu dapat mengambil bagian dan akan berusaha memaksimalkan keuntungan yang didapat dari pengelolaan sumberdaya alam tersebut. Pada mulanya tidak ada aturan yang menghalangi siapapun untuk mengeksploitasi sumberdaya alam tersebut secara maksimal. Namun, ketika semua orang berupaya memaksimalisasi pengelolaan sumberdaya alam, maka sumberdaya alam tersebut menjadi berkurang, bahkan kemungkinan besar bisa habis. Karena itu perlu adanya

pengaturan dalam pengelolaan sumberdaya alam.28

Hak atau kekuasaan atas sumberdaya alam dapat dibedakan kedalam empat kategori, yaitu :29

1. Open access, yaitu suatu sumberdaya yang tidak jelas penguasaannya. Akses terhadap sumberdaya ini tidak diatur dan terbuka bagi siapa saja.

2. State property, yaitu sumberdaya yang hak penguasaannya berada pada negara. 3. Communal property, yaitu sumberdaya yang dikuasai oleh sekelompok

masyarakat yang menggunakannya secara de facto dan diakui secara legal.

4. Private property, yaitu sumberdaya yang hak peguasaan dan pemilikannya pada perseorangan, yang secara de facto atau secara legal diperkuat oleh negara (pemerintah).

        Pengakuan danPengelolaan Hutan Mukim yang dilaksanakan oleh Flora Fauna International dan Green

Aceh Institute, Banda Aceh, 12 Agustus 2009.

28 

Diyah Wara Restiyati, Pengelolaan Sumberdaya Alam berbasis Masyarakat Lokal;  Sebuah Impian  Semu?, http://sekitar kita.com/2009/06.  

29 

(44)

Dalam literatur ditemukan setidaknya tiga paham tentang hubungan penguasaan

negara atas sumberdaya alam.30 Pertama, Paham Negara Liberal Klasik. Akar pemikiran

paham ini ditelusuri dari pemikiran Adam Smith dan John Locke. Paham ini menempatkan negara dalam posisi yang minimum untuk melancarkan laisser faire. Negara Penjaga Malam (nightwatchman state) hanya sebagai badan publik yang memastikan terpenuhinya hak dasar individu warga negara, yaitu hak kebebasan, hak hidup dan hak milik. Untuk memberikan kepastian hak milik bagi individu dan badan hukum privat, negara memfasilitasi melalui kewenangannya memberikan izin dan perjanjian. Hubungan hukum yang utama dalam konsepsi ini adalah kebebasan bersaing (liberalisasi) dan kebebasan berkontrak (konsensual).

Kedua, Paham Negara Kelas. Sejalan dengan pemikiran Karl Marx yang menganggap bahwa ketidakadilan dan kesenjangan sosial ekonomi antara borjuis dan proletar terjadi karena diadopsinya konsep kepemilikan individu, maka negara hadir sebagai suatu representasi kelas sosial yang merombak tatanan kepemilikan individu untuk dijadikan sebagai kepemilikan kolektif. Paham ini berpandangan bahwa hanya negara yang memiliki hak milik atas sumberdaya alam untuk memberikan keuntungan bersama, tidak bagi kepentingan individu.

Ketiga, Paham Negara Kesejahteraan (Welfare State). Paham ini mencoba menggabungkan antara paham negara liberal klasik dengan tujuan-tujuan yang ada dalam paham negara kelas. Suatu upaya konseptual yang pragmatis. Paham ini tidak lagi semata-mata memposisikan negara sebagai alat kekuasaan tetapi sebagai organ yang

      

30 Yance Arizona, Konstitusi Dalam Intaian Neoliberalisme : Konstitusionalitas Penguasaan Negara 

Gambar

Tabel 2. Rekap Kebutuhan Kayu per Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh untuk tahun 2008
Tabel 3. HPH/HTI yang beroperasi di Provinsi Aceh (2001 – 2006)
Tabel 4. Data Sementara Izin Pemungutan Kayu Tanah Milik (IPKTM) tahun 2007
Tabel 5. Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (IPHHBK) hingga tahun 2007
+5

Referensi

Dokumen terkait

Salah satunya adalah sengketa yang terjadi antara masyarakat hukum adat Kasepuhan Ciptagelar terkait pengelolaan hutan adat mereka yang dijadikan Taman Nasional

Ketentuan Hukum Indonesia tentang Perlindungan Hak Masyarakat Adat atas Hutan ………. HAK – HAK MASYARAKATA ADAT BERADASARKAN HUKUM KEHUTANAN INDONESIA

Berikut ini adalah simpulan dari Inkuiri Nasional Komnas HAM tentang Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Wilayahnya di Kawasan Hutan.. (1) Kelompok masyarakat yang

Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 mengatur tentang pedoman pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat yang tertuang di dalam pasal 1 ayat

Pendekatan yang digunakan bersifat yuridis empiris, secara yuridis melihat peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengawasan terhadap Penegakan Hukum Adminsitrasi

1) Bahan hukum primer adalah bahan hokum yang bersifat mengikat, meliputi peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan serta pengelolaan dan pemanfaataanya, yaitu : UUD 1945,

Adanya ketentuan yang mengatur peran serta masyarakat di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia khususnya tentang lingkungan dalam kaitannya dalam hukum

Dimulai dari UUD 1945 hasil amandemen I-IV sampai Peraturan Daerah, kita hanya akan menemukan bahwa masyarakat hukum adat akan diakui sepanjang masih hidup dan sesuai