• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONDISI DAN KEBIJAKAN KEHUTANAN DI PROVINSI ACEH

BAB III

KONDISI DAN KEBIJAKAN KEHUTANAN

DI PROVINSI ACEH

A. Kondisi dan Karakteristik Hutan Aceh

Hutan Aceh terbentang dari ujung Provinsi Aceh yang dimulai dari Pulau Weh hingga wilayah Selatan Aceh di Kabupaten Singkil termasuk Pulau Simeulue. Kondisi hutan Aceh berbeda-beda di tiap kabupaten, baik dari segi fungsi dan peruntukannya maupun kondisi aktual di lapangan. Wilayah pesisir Aceh umumnya merupakan dataran rendah yang datar dengan tingkat kepadatan penduduk tinggi dan mempunyai wilayah hutan yang tidak begitu luas. Sedangkan sebagian besar wilayah dataran tinggi Aceh merupakan areal hutan yang sangat luas terbentang dari wilayah Ulu Masen di Utara dan Barat hingga Kawasan Ekosistem Leuser di Selatan dan Tenggara Aceh. 194

Secara ekologis, hutan Aceh mempunyai keanekaragaman ekosistem yang sangat kaya. Keanekaragaman hayati Kawasan Leuser, khususnya Taman Nasional Gunung Leuser telah diakui dunia, sehingga Taman Nasional Gunung Leuser ditetapkan oleh UNESCO sebagai World Heritage atau dikenal sebagai warisan dunia.195 Selain Gunung Leuser, semua kawasan lindung dan hutan Aceh pada umumnya menyimpan keanekaragaman hayati yang sangat kaya, baik tumbuhan dan hewan.       

194

Wilayah Ulu Masen adalah suatu nama baru yang diberikan oleh Flora Fauna International untuk kawasan hutan yang berada di pesisir Provinsi Aceh yang meliputi Kabupaten Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Pidie, Pidie Jaya, dan Bireun. Nama Kawasan Ulu Masen diambil dari nama gunung tertinggi di Kabupaten Aceh Jaya. Hingga penelitian ini dilakukan Ulu Masen belum dikukuhkan oleh pemerintah sebagai suatu kawasan hutan. Sedangkan Kawasan Ekosistem Leuser telah dikukuhkan dengan Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1998 tentang Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser.

195

Saodah Lubis, Strategi Konservasi Dalam Pengelolaan SDA yang Berkelanjutan, makalah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Multi Pihak Mendorong Pengelolaan SDA yang Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat, diselenggararakan oleh WWF Indonesia dan BKSDA Prov. NAD, Banda Aceh , 12 – 15 Mei 2004.

 

Hutan Aceh diyakini menjadi areal penyerapan debu dan karbon yang cukup besar sehingga keberadaannya memberikan konstribusi dalam mengurangi dampak pemanasan global dan perubahan iklim. Karena itulah, banyak donor yang memberikan dukungan dana untuk menjamin kelestarian kawasan-kawasan lindung di Aceh, khususnya Kawasan Ekosistem Leuser dan Kawasan Ulu Masen.

Selama berpuluh-puluh tahun sejak Orde Baru, kebijakan pemerintah dalam pengelolaan hutan adalah menjadikan hasil hutan kayu sebagai prioritas utama produk hutan yang dikomersilkan. Pola pendekatan yang hanya melihat kayu sebagai produk hutan merupakan paradigma konvensional dari pola pengelolaan hutan di dunia. Pengelolaan hutan tanpa memenuhi prinsip-prinsip kelestarian hanya akan menimbulkan dampak buruk, berupa berbagai kerusakan dan degradasi hutan yang berakibat hilangnya keanekaragaman hayati dan sumber nabati lainnya.

Hingga saat ini, rujukan hukum dalam pemantapan kawasan hutan di Aceh adalah Surat Keputusan Gubernur Nomor 19 Tanggal 19 Mei 1999 tentang Arahan Fungsi Hutan dan Perairan. Kemudian diikuti dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 170/Kpts-II/2000 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di Aceh.

Menurut Surat Keputusan Gubernur Aceh Nomor 19 Tanggal 19 Mei 1999, luas total hutan Aceh adalah 3.335.613 hektare. Secara lebih detil pembagian kawasan hutan Aceh atau arahan fungsi hutan Aceh menurut surat keputusan tersebut dapat dilihat dalam tabel di bawah ini. Secara keseluruhan, wilayah hutan Aceh mencapai 60,22 % dari total luas daratan Nanggroe Aceh Darussalam (5.539.000 ha).

 

Sebagian besar kawasan hutan tersebut berfungsi sebagai kawasan lindung (80,86%) yang terdiri dari hutan lindung (55,30%) dan hutan konservasi (25,56%). Sedangkan sisanya sebagai kawasan budidaya (19,14%) yang terdiri dari hutan produksi tetap (18,03%) dan hutan produksi terbatas (1,11%). Secara umum, sebagian besar kawasan hutan di atas belum dikukuhkan, sehingga masih dijumpai ketidakpastian klaim penguasaan kawasan hutan negara akibat adanya klaim kepemilikan hutan, baik kepemilikan individu maupun komunal masyarakat.

Berdasarkan laporan dari tiap-tiap kabupaten/kota terhadap kebutuhan kayu per tahunnya adalah 394.511 m3 kayu olahan atau kayu bulat. Kebutuhan tersebut, tidak termasuk kebutuhan kayu bakar untuk pabrik bata. Kebutuhan kayu terbesar adalah Kota Banda Aceh (75.000 m3 kayu olahan) kemudian diikuti oleh Kabupaten Aceh Utara dan Kabupaten Aceh Tamiang (54.000 m3 dan 30.000 m3 kayu olahan). Kabupaten yang memerlukan kayu dalam jumlah terkecil adalah Kabupaten Langsa (2.500 m3 kayu olahan), diikuti oleh Kabupaten Aceh Barat Daya dan Kota Sabang (3.250 m3 kayu olahan) (lihat tabel 2).

Fungsi Hutan Luas (ha) Persen (%)

1. Kawasan Lindung 2.697.033 80,86

A. Hutan Konservasi 852.533 25,56

a. CA Pinus Janthoe 16.640 4,98

b. CA Serbajadi 300 0,01

c. SM Rawa Singkil 102.370 3,06

d. Tahura Pocut Meurah Intan 6.220 0,18

e. TN Gunung Leuser 623.987 18,71

f. TWA Iboih 1.200 0,04

g. TWA Kepulauan Banyak 15.000 0,45

h. TWA Lhok Asan (PLG) 112 0,003

i. TB Lingga Isak 86.704 2,60

B. Hutan Lindung 1.844.500 55,30

2. Kawasan Budidaya 638.580 19,14

Hutan Produksi 638.580 19,14

a. Hutan Produksi Terbatas 37.300 1,11

b. Hutan Produksi Tetap 601.280 18,03

Total luas hutan Aceh 3.335.613 100

 

Tabel 2. Rekap Kebutuhan Kayu per Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh untuk tahun 2008

No Kabupaten/Kota Kebutuhan kayu Keterangan

Kayu

olahan(m3) Kayu bulat(m3)

1 Banda aceh 75.000 150.000 -

2 Sabang 3.500 7.000 -

3 Aceh Besar 7.500 15.000 Belum termasuk kebutuhan kayu bakar

untuk pabrik bata

4 Pidie 11.950 23.900 Belum termasuk kebutuhan kayu bakar

untuk pabrik bata

5 Bireun 20.000 41.162 Belum termasuk kebutuhan kayu bakar

untuk pabrik bata

6 Aceh Utara 54.000 90.000 Belum termasuk kebutuhan kayu bakar

untuk pabrik bata

7 Lhokseumawe 13.500 22.500 -

8 Langsa 2.500 5000 -

9 Aceh Timur 27.633 46.089 Belum termasuk kebutuhan kayu

bakar untuk pabrik bata

10 Aceh Tamiang 30.000 60.000 Belum termasuk kebutuhan kayu bakar

untuk pabrik bata

11 Bener Meriah 7.000 14.000 -

12 Aceh Tengah 13.334 26.668 -

13 Gayo Lues 15.000 30.000 -

14 Aceh Tenggara 18.000 34.000 -

15 Aceh Jaya 16.023 32.046 Belum termasuk kebutuhan kayu bakar

untuk pabrik bata

16 Aceh Barat 28.800 41.400 Belum termasuk kebutuhan kayu bakar

untuk pabrik bata

17 Nagan Raya 10.500 21.000 Belum termasuk kebutuhan kayu bakar

untuk pabrik bata

18 Aceh Barat Daya 3.250 6.500 -

19 Aceh Selatan 13.440 20.677 -

20 Aceh Singkil 10.500 21.000 -

21 Simeulu 12.500 25.000 -

Total 394.511 732.942

Sumber : Dinas Kehutanan Provinsi Aceh (2008)

Hutan merupakan suatu ekosistem. Dalam bentuk fisik, hutan adalah kesatuan bentang alam yang menyediakan barang dan jasa bagi kehidupan. Ekosistem menyediakan produk seperti makanan dan air serta jasa seperti pengaturan atau pengendalian banjir, kekeringan, dan

 

penyakit; jasa pendukung seperti pembentukan tanah dan siklus hara, jasa kebudayaan seperti rekreasi, spiritual, keagamaan dan manfaat bukan-material lain.

Sumberdaya hutan di satu sisi dapat menjadi aset ekonomi dan di sisi lain berperan sebagai daya dukung kehidupan. Di dalam ekosistem, sumberdaya hutan dapat digolongkan menjadi (1) bentang alam berupa cadangan (stock) atau modal alam (natural capital) dan (2) sumberdaya alam (SDA) berupa barang/komoditi seperti kayu, rotan, air, dan jasa lingkungan lain.

Sumberdaya hutan dalam bentuk cadangan atau modal alam menghasilkan fungsi-fungsi yang dapat dirasa dan dilihat. Fungsi ini meliputi menyimpan air dan mencegah banjir di musim hujan dan mengendalikan kekeringan di musim kemarau, menyerap karbon di udara, mempertahankan kesuburan tanah, mengurai berbagai bahan beracun, maupun sebagai sumber pengetahuan serta hubungan sosial dan budaya masyarakat. Fungsi-fungsi tersebut berguna bagi publik, sehingga tidak dapat dibagi-bagikan kepada perorangan dan tidak pula dapat dimiliki perorangan, meskipun setiap orang memerlukannya.

Setiap jenis komoditi yang diambil dari sumberdaya alam berupa stock akan mempengaruhi produktivitas jenis komoditi lain serta fungsi-fungsi sumberdaya alam secara keseluruhan. Berbagai pengaruh tersebut terjadi dalam bentangan tertentu, misalnya wilayah daerah aliran sungai (DAS) apabila berkaitan dengan air, atau wilayah eco-region apabila berkaitan dengan hubungan antar ekosistem, misalnya ekosistem darat dan laut. Dengan demikian bentang alam hutan tidak dapat dibatasi wilayah-wilayah administratif karena merupakan suatu wilayah dimana hubungan antara barang dan jasa dari sumberdaya alam berkaitan sangat erat. Pemahaman akan karakteristik ekosistem hutan ini dapat menjadi dasar bagi analisis kelembagaan.