• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENGATUR TENTANG KEHUTANAN DAN MASYARAKAT HUKUM ADAT

Nomor 5 Tahun 1967 dinyatakan, pelaksanaan hak-hak masyarakat, hukum adat dan anggota-anggotanya serta hak-hak perseorangan untuk mendapatkan manfaat dari hutan

E. Dasar Hak Penguasaan atas Hutan oleh Masyarakat Hukum Adat

1. Hak Menguasai Sumberdaya Hutan

sudah terjadi evolusi pemikiran yang cukup maju dengan tema kongres Forest for People. Mulai saat itulah lahir beberapa istilah yang berkaitan dengan sistem pengelolaan sumberdaya hutan oleh masyarakat lokal seperti agro forestry, social forestry, tree farming, dan lain sebagainya.182

Dalam perkembangannya, banyak ahli yang mendorong penguatan pengelolaan sumberdaya hutan oleh masyarakat lokal menggunakan berbagai istilah seperti community forestry, social forestry, participatory forestry, farm forestry, agroforestry, dan lain-lain. Beberapa ahli menganggap perbedaan istilah tersebut hanya masalah semantik belaka. Sementara para ahli yang lain menilai bahwa perbedaan tersebut juga memberikan makna filosofis yang berbeda-beda. Karena itu, pilihan istilah menentukan bagaimana sebuah praktek pengelolaan sumberdaya hutan oleh masyarakat dilakukan.

Social forestry sering mengacu kepada bentuk-bentuk kehutanan industrial (konvensional) yang dimodifikasi untuk memungkinkan adanya distribusi keuntungan kepada masyarakat lokal. Sedangkan community forestry lebih menekankan bahwa pengelolaan sumberdaya hutan harus dikontrol oleh masyarakat lokal.183 Dari berbagai konsepsi yang ada, sistem pengelolaan hutan berbasis komunitas masyarakat hukum adat sebetulnya bukanlah hal baru. Ia telah berkembang sejak beberapa dekade yang lalu di berbagai negara, khususnya di negara-negara berkembang.

1. Hak Menguasai Sumberdaya Hutan

      

182 Hasanu Simon, Demokratisasi Pengelolaan Sumber Daya Alam, Prosiding Lokakarya Reformasi  Hukum di bidang Pengeloaan Sumber Daya Alam, ICEL, Jakarta, 1999, hlm. 94. 

183  Lihat  Didik  Suharjito  dkk.,  Pengelolaan  Hutan  Berbasis  Masyarakat Pustaka  Kehutanan  Masyarakat, 2000. hal. 10 

 

Salah satu persoalan krusial dalam sistem kehutanan dan agraria di Indonesia adalah tentang hak menguasai atas sumberdaya alam. Pertanyaannya adalah siapa sebetulnya penguasa sah atas sumberdaya hutan? Apakah masyarakat hukum adat mempunyai hak atas sumberdaya alam di sekitar mereka yang sudah turun-temurun mereka kelola? Rejim hukum seperti apa yang mengatur masalah hak atas sumberdaya alam di Indonesia?

Menurut Daniel Bromley sebagaimana dikutip oleh Didik Suharjito, hak atau kekuasaan atas sumberdaya alam dapat dibedakan kedalam empat kategori, yakni:184

5. Open access, yaitu suatu sumberdaya yang tidak jelas penguasaannya. Akses terhadap sumberdaya ini tidak diatur dan terbuka bagi siapa saja.

6. State property, yaitu sumberdaya yang hak penguasaannya berada pada negara. 7. Communal property, yaitu sumberdaya yang dikuasai oleh sekelompok

masyarakat yang menggunakannya secara de facto dan diakui secara legal.

8. Private property, yaitu sumberdaya yang hak peguasaan dan pemilikannya pada perseorangan, yang secara de facto atau secara legal diperkuat oleh negara (pemerintah).

Garett James Hardin dan mereka yang sepaham dengannya menganggap bahwa sumberdaya open access benar-benar ada. Sementara beberapa pihak yang tidak sepaham menyebutkan bahwa tidak ada sumberdaya open access karena semua sumberdaya sesungguhnya telah ada yang memegang hak penguasaannya. Demikian juga terhadap kategori state property, sebagian pihak menganggap bahwa negara benar-benar mempunyai kekuasaan atas sumberdaya. Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa       

 

sesungguhnya negara tidak memegang kekuasaan atas sumberdaya, melainkan sekedar memegang mandat rakyatnya atau publik, sehingga tidak ada state property, yang ada adalah public property. Sehingga dalam konteks pengelolaan hutan di Indonesia, maka yang disebut hutan negara lebih tepat dikategorikan sebagai public property.185

Kalau kita telusuri lebih dalam, rujukan formal penguasaan sumberdaya hutan di Indonesia berdasarkan pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara untuk dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Rujukan konstitusional tersebut menimbulkan berbagai tafsir sehingga memunculkan berbagai konflik kepentingan atas sumberdaya hutan seperti yang kemudian dijabarkan dalam berbagai aturan perundang-undangan Indonesia yang mengatur tentang kehutanan, baik oleh Undang-undang Nomor 5 tahun 1967 tentang Pokok-pokok Kehutanan yang merupakan produk rezim Orde Baru maupun oleh Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang merupakan rezim Reformasi. Pesan implisit dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 sebetulnya mengarahkan sumberdaya hutan sebagai barang negara (state property).

Dalam kaitannya dengan hak ulayat dan masyarakat hukum adat, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Kehutanan mengacu pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang mengakui keberadaan hak ulayat secara bersyarat. Pasal 3 UUPA menyatakan, “pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak       

 

boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”.

Kita perlu menggarisbawahi kata-kata “harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional”. Prase ini mengandung makna diakuinya keberadaan dan pelaksanaan hak-hak ulayat dan hak-hak serupa lainnya sebagaimana yang telah lazim dipraktekkan oleh masing-masing masyarakat hukum adat di berbagai daerah di Indonesia, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan kepentingan negara.

Ketentuan pengakuan terhadap hak ulayat dan masyarakat hukum adat tersebut di atas mengandung strategi pembatasan dengan syarat tertentu. Di Dalam Pasal 2 UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan dipergunakan istilah “hutan negara” untuk menyebutkan semua hutan yang bukan “hutan milik’. Dengan demikian, maka pengertian “hutan negara” itu mencakup pula hutan-hutan yang baik berdasarkan peraturan perundang-undangan maupun hukum adat yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat.

Penguasaan masyarakat hukum adat atas tanah tertentu yang didasarkan pada hukum adat, yang lazimnya disebut hak ulayat sebagaimana telah diakui dalam Undang-undang Pokok Agraria, tetap diakui sepanjang menurut kenyataannya memang masih ada. Sedangkan di daerah-daerah dimana menurut kenyataannya hak ulayat itu sudah tidak ada lagi tidaklah akan dihidupkan kembali.186

      

 

Dalam Pasal 17 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan dinyatakan bahwa, pelaksanaan hak-hak masyarakat, hukum adat dan anggota-anggotanya serta hak-hak untuk perseorangan untuk mendapatkan manfaat dari hutan, baik langsung maupun tidak langsung yang didasarkan atas sesuatu peraturan hukum, sepanjang menurut kenyaaannya masih ada, tidak boleh mengganggu tercapainya tujuan-tujuan yang dimaksud dalam undang-undang ini. Secara implisit bunyi pasal ini mengandung makna bahwa hak-hak masyarakat yang mendapatkan kemanfaatan hutan selama ini berdasarkan hukum adat harus mengalah demi univifikasi hukum peraturan perundangan, yang tentu saja bersifat tertulis.

Adanya kata-kata dalam Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967, bahwa ”Undang-undang Pokok Kehutanan ini merupakan suatu langkah pula untuk menuju kepada univikasi hukum nasional dibidang kehutanan dan merupakan induk peraturan perudangan yang mengatur berbagai-bagai bidang dalam kegiatan kehutanan”,187 dan adanya pernyataan, ”Menurut perkembangannya hak ulayat itu karena pengaruh berbagai faktor menunjukkan kecenderungan untuk bertambah lama bertambah menjadi lemah”188. Semakin kentaralah bahwa orientasi dari Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 ini tidak hanya sebagai strategi pembatasan hak-hak ulayat, tetapi juga sekaligus bermaksud meniadakan hak-hak ulayat masyarakat hukum adat atas kawasan hutannya.

2. Hak Masyarakat Hukum Adat atas Sumberdaya Hutan (UU 41/1999)       

187 Lihat; Penjelasan Umum Undang‐undang Nomor 5 Tahun 1967.  

 

Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang dibentuk pada masa reformasi telah melakukan perubahan pemikiran terhadap paham dan strategi pembatasan pelaksanaan hak-hak ulayat oleh masyarakat hukum adat. Undang-undang Kehutanan ini dalam penjelasannya menyatakan bahwa: mengantisipasi perkembangan aspirasi masyarakat, maka dalam undang-undang ini hutan di Indonesia digolongkan ke dalam hutan negara dan hutan hak.

Hutan negara ialah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak-hak atas tanah menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960, termasuk di dalamnya hutan-hutan yang sebelumnya dikuasai masyarakat hukum adat yang disebut hutan ulayat, hutan marga, atau sebutan lainnya. Dimasukkannya hutan-hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat dalam pengertian hutan negara, adalah sebagai konsekuensi adanya hak menguasai dan mengurus oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat dalam prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian, masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, dapat melakukan kegiatan pengelolaan hutan dan pemungutan hasil hutan. Sedangkan hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang telah dibebani hak atas tanah menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Hak-hak atas tanah, menurut Pasal 16 Undang-undang Pokok Agraria adalah : hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, dan hak-hak lain.

Antara Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan dengan Pasal 3 dan Pasal 16 UU Pokok Agraria terdapat ketentuan yang berbenturan. Hutan negara dalam pengertian UU Kehutanan (UU 41/1999) adalah hutan yang tidak dibebani hak atas tanah, sedangkan

 

dalam UU Pokok Agraria (UU 5/1960) ditegaskan adanya pengakuan terhadap pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat-masyarakat hukum adat, termasuk; hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, dan hak-hak lain. Ini berarti, hak ulayat juga termasuk hak atas tanah, yang karenanya hutan adat harus dikeluarkan dari pengertian dan pengaturan hutan negara.

Selanjutnya dalam Pasal 4 ayat (3) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, ditegaskan bahwa, pengurusan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Ketentuan di atas, baik yang termuat dalam Pasal 4 ayat (3) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang mengharuskan negara memperhatikan hak masyarakat hukum adat maupun yang dinyatakan dalam Penjelasan Umumnya mengenai hutan-hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat sebagai hutan negara, dapat dikatakan merupakan dua kalimat yang valid mewakili sikap Pemerintahan Reformasi, berupa pengakuan terhadap masyarakat hukum adat beserta haknya atas sumberdaya hutan. 189

Jika kita bandingkan ketentuan-ketentuan tentang pengakuan hak ulayat dan masyarakat hukum adat yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 produk Pemerintahan Reformasi dengan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang hal yang sama, dapatlah dipahami adanya perubahan mendasar yang berupa tambahan rumusan redaksional dan substansial.

      

189 Undang‐undang ini dibentuk dan disahkan pada masa awal Pemerintahan Reformasi dibawah  pimpinan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, dan diundangkan oleh Menteri Sekretaris Negara Muladi  pada tanggal 30 September 1999. 

 

Beberapa kemajuan ketentuan tentang hak ulayat dan masyarakat hukum adat yang dapat diketemukan dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 adalah sebagai berikut;

Pertama, dicantumkannya secara tersurat istilah ”hutan adat” dalam Pasal 1, yang berbunyi, hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Ini merupakan pengakuan juridis akan masih adanya eksistensi hutan adat dan masyarakat hukum adat di Indonesia. Sedangkan di dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 sama sekali tidak pernah disebutkan secara tersurat tentang hutan adat. Sehingga dengan demikian, dapat dipahami bahwa pada masa Pemerintahan Orde Baru ada upaya-upaya untuk mengeliminasi keberadaan hutan-hutan adat dan masyarakat hukum adat demi univikasi hukum peraturan perundangan, serta terlebih lagi demi pembangunan melalui percepatan pertumbuhan ekonomi pendapatan devisa negara dari sektor kehutanan.190

Kedua, dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tidak lagi disebutkan adanya maksud univikasi hukum peraturan perundangan, sebagaimana yang dinyatakan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967. Ini berarti, Undang-undang Kehutanan produk Pemerintahan Reformasi mengakui keberadaan hukum adat. Dan pula, dengan tidak lagi disebutkan pernyataan bahwa lambat-laun hak ulayat akan lemah dan menghilang sebagaimana kita dapati dalam Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 5       

190 Mas Achmad Santosa, mengemukakan dalam papernya, bahwa pengelolaan sumber daya alam  yang dijalankan selama Orde Baru berlangsung lebih didasarkan kepada kepentngan kebutuhan investasi  dalam rangka pemulihan kondisi ekonomi pada awal‐awal pemerintahan Orde Baru (pasca 1966). Sumber  daya alam (hutan, tambang, sumber daya air dan mineral) dipandang serta dipahami dalam konteks  “economic sense” dan belum dipahami sebagai “ecological and sustainable sense”. Lihat, Reformasi  Hukum dan Kebijaksanaan di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam, dalam Demokratisasi Pengelolaan 

 

Tahun 1967, secara implisit, dapat dimaknai adanya pengakuan oleh negara terhadap keberadaan hak ulayat dan masyarakat hukum adat.

Disisi lain, adanya pengakuan sedemikian itu, dapat pula dipahami sebagai mulai bangkitnya penguatan terhadap hak-hak rakyat sebagai akibat gerakan-gerakan rakyat yang menolak keberlangsungan pemerintahan sentralistik era Orde Baru. Dalam masa reformasi, rakyat tidak lagi dipandang sebagai objek yang harus mengalah demi pembangunan pertumbuhan ekonomi. Hak-hak rakyat yang merupakan warisan leluhurnya kembali mendapat pengakuan dan penghormatan dari negara. Sehingga selama masa reformasi ini tidak lagi ditemukan kasus-kasus kekerasan terhadap masyarakat adat sebagaimana telah terjadi pada masa Orde Baru. Hal sedemikian ini, bahkan mendapat penegasannya dalam Perubahan Kedua (2000) UUD 1945, yaitu Pasal 18 B ayat (2), Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Di bawah kekuasan Orde Baru, jumlah korban kekerasan dan konflik mencapai 1.189.482 KK. Pada tahun 1970-an, misalnya, Suku Dayak Punan di sebelah utara Kalimantan Timur direlokasi ke tempat-tempat baru lewat program Pembinaan Kesejahtaraan Sosial Masyarakat Terasing (PKSMT) yang dikoordinir oleh Departemen Sosial.191. Pada dekade yang sama, nasib serupa juga dialami oleh orang Mentawai di Kampung Rogdog, Kabupaten Mentawai, akibat pengkaplingan pulau Siberut oleh 4

      

191 Yekti Maunati,’ Identitas Dayak: Komodifikasi dan Politik Kebudayaan’, Jakarta, LKIS, 2004., hal.  21. 

 

konsesi HPH serta penetapan Taman Nasional Siberut seluas 192.655 Ha, pada tahun 1993. Begitu juga Orang Moronene di Taman Nasional Rawa Ope di Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara, yang terkena proyek relokasi di tahun 1980-an dan pengusiran paksa lewat Operasi Sapu Jagat sepanjang tahun 1997-2002. Kekerasan tersebut bahkan masih berlanjut selepas pemerintahan Orde Baru. Salah satu yang terbesar adalah ditembaknya 6 orang penduduk Kampung Tangkul, Kecamatan Poco Ranaka, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Penembakan di bawah Operasi Pelaksanaan Pengamanan Kawasan Hutan Lindung tersebut, selain memakan korban nyawa, seluruh kebun kopi Orang Tangkul ditebang habis. 192

Ketiga, ditegaskannya kewajiban untuk tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat dalam hal penguasaan hutan oleh negara, sebagaimana terdapat dalam pasal 4 ayat (3) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999, yaitu ; penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih dan diakui keradaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Ketentuan ini mengandung makna bahwa dalam melakukan penguasaan terhadap hutan, negara harus tetap mempertimbangkan keberadaan hak-hak masyarakat hukum adat. Ketentuan seperti ini tidak diketemukan didalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1967. Sehingga mengisyaratkan Undang-undang Pokok Kehutanan produk Orde Baru tidak memperdulikan keberadaan hak-hak masyarakat hukum adat.

Namunpun demikian, adanya kata-kata ”sepanjang kenyataannya masih ada” dan ”diakui keberadaannya” dapat menimbulkan pertanyaan tentang indikasi keberadaan hak

      

192 Rikardo Simarmata, Pilihan Hukum Pengurusan Hutan oleh Masyarakat, paper tidak dipublikasi,  2004, hlm. 3. 

 

ulayat dan pengakuan terhadapnya. Pernyataan ini menimbulkan implikasi pada pelaksanaan Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Kehutanan, yaitu untuk mendapatkan hak memungut, hak mengelola, dan mendapatkan pemberdayaan maka masyarakat hukum adat terlebih dahulu harus diakui keberadaannya sebagai masyarakat hukum adat. Dan, untuk mendapatkan status sebagai masyarakat hukum adat harus dikukuhkan dengan peraturan daerah atau qanun di Aceh. Kriteria untuk dapat dikategorikan sebagai masyarakat hukum adat dapat ditemukan dalam Penjelasan Pasal 67 undang-undang tersebut.

Penguasaan hutan oleh negara bukan merupakan pemilikan. Hal ini ditegaskan dalam Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999. Penguasaan tersebut bermakna adanya kewenangan yang diberikan oleh negara kepada pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan; menetapkan kawasan hutan dan atau mengubah staus kawasan hutan; mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan atau kawasan hutan dan hasil hutan; serta mengatur perbuatan hukum mengenai kehutanan. Selanjutnya pemerintah mempunyai wewenang untuk memberikan izin dan hak kepada pihak lain untuk melakukan kegiatan dibidang kehutanan. Namun demikian, untuk hal-hal tertentu yang sangat penting, berskala dan berdampak luas, serta bernilai strategis, Pemerintah harus memperhatikan aspirasi rakyat melalui persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.193

     

      

 

BAB III

KONDISI DAN KEBIJAKAN KEHUTANAN