• Tidak ada hasil yang ditemukan

Alvi Syahrin 4

B. Perumusan masalah

2. Masyarakat Hukum Adat (mukim)

sebutan sehari-hari orang Aceh membedakan tiga macam tanah, masing-masing “tanoh droe, tanoh gob, dan tanoh hak kullah”.

Sebutan tanoh droe dipakai untuk sebidang tanah yang dipunyai oleh seseorang. Istilah tanoh gob dipakai bagi sebidang tanah kepunyaan orang lain. Baik yang disebut tanoh droe maupun tanoh gob adalah tanah-tanah yang sedang berada dalam kekuasaan seseorang individu. Penguasaan mana oleh para individu berdasarkan titel-titel hak tertentu menurut hukum adat. Sedangkan Tanoh hak kullah maksudnya tanah milik Allah, yaitu sebidang tanah dalam kawasan mukim yang belum digarap. Kalaupun tanah tersebut sudah digarap tetapi sudah ditinggalkan oleh penggarapnya dan menjadi rimba kembali.62

Semua tanah yang berada dalam wilayah mukim selama belum berada dalam kekuasaan seseorang dinamakan tanoh hak kullah (hak Allah). Jenis tanah ini dimanfaatkan serta dikuasai bersama sebagai realisasi kekuasaan ke dalam. Hutan dikuasai dan dimanfaatkan bersama oleh warga masyarakat mukim. Setiap orang warga masyarakatnya dapat dengan leluasa menebang kayu sekedar untuk bahan perumahannya, mengambil hasil hutan, berburu binatang dan mencari ikan. Apabila hal ini dilakukan sebagai mata pencaharian maka ada kewajiban memberikan sebagian hasil untuk mukimnya.63

2. Masyarakat Hukum Adat (mukim)

      

62 T.I. El Hakimy, Suatu Studi tentang Penguasaan Tanah pada Masyarakat Pedesaan di Aceh, Op.  Cit., hal. 30.  

63 T.I. El Hakimy, Hukum Adat Tanah Rimba di Kemukiman Leupung Aceh  Besar, Pusat Studi Hukum  Adat dan Islam, FH Unsyiah, Banda Aceh , 1984, hlm. 11. 

 

Istilah masyarakat hukum adat adalah istilah resmi yang tercantum dalam berbagai peraturan perundangan-undangan, seperti dalam UU Pokok Agraria (UU 5/1960), UU Pertambangan (UU 11/1967), UU Kehutanan (UU 41/1999), UU Pemerintahan Daerah (UU 32/2004), dan peraturan perundang-undangan lainnya sebagai padanan dari rechtgemeenschapt. Sedangkan istilah masyarakat adat adalah istilah yang lazim diungkapkan dalam bahasa sehari-hari oleh kalangan non-hukum yang mengacu pada sejumlah kesepakatan internasional.

Istilah masyarakat adat merupakan padanan dari indigenuos people. Istilah itu sudah dikenal luas dan telah disebutkan dalam sejumlah kesepakatan internasional, yaitu; Convention of International Labor Organization Concerning Indigenous and Tribal People in Independent Countries (1989), Deklarasi Cari-Oca tentang Hak-hak Masyarakat Adat (1992), Deklarasi Bumi Rio de Janairo (1992), Declaration on the Right of Asian Indigenous Tribal People Chianmai (1993), De Vienna Declaration and Programme Action yang dirumuskan oleh United Nations World Connference on Human Rights (1993). Sekarang, istilah indigenous people semakin resmi penggunaannya dengan telah lahirnya Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat (United Nation Declaration on the Rights of Indigenous People) pada tahun 2007.

Sekalipun banyak para ahli berpendapat bahwa pengertian masyarakat adat harus dibedakan dengan masyarakat hukum adat. Dimana, konsep masyarakat adat merupakan pengertian umum untuk menyebut masyarakat tertentu dengan ciri-ciri tertentu. Sedangkan masyarakat hukum adat merupakan pengertian teknis yuridis, yang menunjuk sekelompok orang yang hidup dalam suatu wilayah (ulayat) tempat tinggal dan lingkungan kehidupan tertentu, memiliki kekayaan dan pemimpin yang bertugas menjaga

 

kepentingan kelompok (ke luar dan ke dalam), dan memiliki tata aturan (sistem) hukum dan pemerintahan.64 Namun dalam disertasi ini, konsep masyarakat adat disamakan artinya dengan pengertian masyarakat hukum adat, walaupun dalam penulisanya lebih sering digunakan istilah masyarakat hukum adat, sebagaimana lazim ditemukan dalam peraturan perundang-undangan.

Menurut Teuku Djuned, setiap persekutuan masyarakat hukum adat mempunyai kewenangan hak asal usul, yang berupa kewenangan dan hak-hak:65

1. Menjalankan sistem pemerintahan sendiri,

2. Menguasai dan mengelola sumberdaya alam dalam wilayahnya terutama untuk kemanfaatan warganya,

3. Bertindak ke dalam mengatur dan mengurus warga serta lingkungannya. Ke luar bertindak atas nama persekutuan sebagai badan hukum.

4. Hak ikut serta dalam setiap transaksi yang menyangkut lingkungannya, 5. Hak membentuk adat,

6. Hak menyelenggarakan sejenis peradilan,

      

64 Rikardo Simarmata mengungkapkan, Istilah masyarakat adat dipercaya memiliki dimensi yang  luas dari sekedar hukum, meliputi dimensi kultural dan religi. Jadi, istilah masyarakat adat dan istilah  masyarakat hukum adat memiliki sejarah dan pemaknaan yang berbeda. Istilah masyarakat hukum adat  dilahirkan dan dirawat oleh pakar hukum adat yang difungsikan untuk keperluan teoritik‐akademis, guna  memberi identitas kepada golongan pribumi yang memiliki sistem dan tradisi hukum sendiri untuk  membedakannya dengan golongan Eropa dan Timur Jauh yang memiliki sistem dan tradisi hukum tertulis.  Sedangkan istilah masyarakat adat mengemuka ketika pada awal dekade 90‐an berlahiran sejumlah  Ornop  yang  memperjuangkan  pengakuan  hak‐hak  masyarakat  adat.  Lihat,  Rikardo  Simarmata,  Menyongsong Berakhirnya Abad Masyarakat Abad, www.huma.org.,19 September 2007. 

65 Teuku Djuned, Kesiapan Sumberdaya Mukim dalam Mengemban Amanat UU No. 18 Tahun 2001  (Otonomi Khusus NAD), Makalah disampaikan pada Diskusi Multipihak tentang Lembaga Mukim Dulu,  Sekarang, dan Masa Akan Datang, diselenggarakan oleh LSM PUGAR, Banda Aceh , 3 Mei 2003 . 

 

Sedangkan menurut Penjelasan Pasal 67 UU 41/1999 tentang Kehutanan, masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain:

1. masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap); 2. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;

3. ada wilayah hukum adat yang jelas;

4. ada pranata dan perangkat hukum peradilan adat yang masih ditaati; dan

5. masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

Mengacu pada kewenangan hak asal usul, baik yang dikemukakan oleh Teuku Djuned maupun berdasarkan Penjelasan Pasal 67 UU Kehutanan, dapatlah dipahami bahwa mukim di Aceh merupakan masyarakat hukum adat, karena semua persyaratan tersebut dimiliki oleh lembaga mukim. Dengan disahkannya Qanun NAD Nomor 4 tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim, tanggal 15 Juli 2003, maka keberadaan mukim baik sebagai masyarakat hukum adat maupun sebagai lembaga pemerintahan telah mendapat pengukuhan juridis formal.