• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENGATUR TENTANG KEHUTANAN DAN MASYARAKAT HUKUM ADAT

Nomor 5 Tahun 1967 dinyatakan, pelaksanaan hak-hak masyarakat, hukum adat dan anggota-anggotanya serta hak-hak perseorangan untuk mendapatkan manfaat dari hutan

8) Provinsi Banten

duduk di Majelis Adat. Majelis Adat adalah Dewan Adat yang mengemban tugas tertentu di bidang pemberdayaan dan pelestarian serta pengembangan adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan masyarakat, lembaga adat dan hukum adat di daerah.

8) Provinsi Banten

Pada tingkat pemerintahan provinsi tidak ditemukan adanya pengaturan terhadap masyarakat hukum adat di Provinsi Banten. Namun pada pemerintahan kabupaten terdapat pengaturannya terhadap hal ini, sebagaimana dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Lebak.

Pemerintah Kabupten Lebak memperhatikan dengan sungguh/sungguh keberadaan Masyarakat Baduy sebagai masyarakat hukum adat. Perhatian Pemerintah Kabupaten Lebak diwujudkan melalui :

a. Peraturan Daerah (Perda) Nomor 13 Tahun 1990 tentang Pembinaan dan Pengembangan Lembaga Adat Masyarakat Baduy.

b. Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Provinsi Banten Nomor 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Hak Ulayat Masysrakat Baduy.

c. Keputusan Bupati Lebak Nomor 590/Kep.233/Huk/2003 tentang Penetapan Batas-Batas Wilayah Detail Tanah Ulayat Masyarakat hukum adat Baduy. Dalam Keputusan ini ditegaskan bahwa luas Desa Kanekes sama luasnya dengan luas tanah ulayat yang didiami oleh Masyarakat Baduy, yaitu 5.136,58 Ha. Artinya, batas-batas wilayah Desa Kanekes sama dengan batas-batas wilayah tanah ulayat Masyarakat Baduy.

  9) Provinsi Sulawesi Selatan

Di Provinsi Sulawesi Selatan pengaturan mengenai masyarakat hukum adat dan lembaga adatnya, tidak ditemukan pada peraturan daerah provinsi, melainkan pada peraturan daerah kabupaten, yaitu Peraturan Daerah Kabupaten Sidenreng Rappang Nomor 9 Tahun 2001 tentang Pemberdayaan, Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat. Pengakuan secara tertulis tehadap eksistensi adat istiadat dan lembaga adat tersebut tidak secara jelas mengatur wilayah masyarakat hukum adat. Dalam Pasal 5 ayat (1) peraturan daerah ini dinyatakan bahwa lembaga adat berkedudukan sebagai wadah atau organisasi permusyawaratan/ permufakatan kepala adat/ketua adat atau pemuka adat lainnya yang berada di luar organisasi pemerintah. Pada ayat (2) disebutkan, bahwa Lembaga Adat mempunyai tugas, yaitu :

a. Menampung dan menyalurkan pendapat masyarakat kepada pemerintah serta menyelesaikan perselisihan menyangkut hukum adat-istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat.

b. Memberdayakan, melestariakan dan mengembangkan adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat dalam rangka memperkaya budaya daerah serta memberdayakan masyarakat dalam menunjang penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan.

c. Menciptakan hubungan yang demokratis dan harmonis serta obyektif antara kepala adat/pemangku adat dan pemuka adat dengan aparat pemerintah di daerah.

 

Selanjutnya pada Bab V Pasal 6 ayat (1) ditegaskan, bahwa Lembaga Adat mempunyai hak dan kewajiban, yaitu :

a. Mewakili masyarakat hukum adat dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan masyarakat hukum adat.

b. Mengelola hak-hak adat dan atau harta kekayaan adat dan meningkatkan kemajuan dan taraf hidup masyarakat menjadi lebih baik.

c. Menyelesaikan perselisihan yang mencakup perkara adat istiadat dan kebiasaan-kebiasan masyarakat sepanjang penyelesaian itu tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pada ayat (2) ditegaskan, bahwa Lembaga Adat berkewajiban :

a. Membantu kelancaran penyelenggaraan pemerintah pelaksanaan pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan, terutama dalam pemanfaatan hak-hak adat dan harta kekayaan lembaga adat dengan tetap memperhatikan kepentingan masyarakat hukum adat setempat.

b. Memelihara stabilitas nasional yang sehat dan dinamis yang dapat memberikan peluang yang luas kepada aparat pemerintah terutama, pemerintah desa atau kelurahan dalam melaksanakan tugas-tugas penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, pelaksanaan pembangunan yang lebih berkualitas dan pembinaan masyarakat yang adil dan demokratis.

c. Menciptakan suasana yang dapat menjamin terpeliharanya kebhinekaan adat dalam memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.

  10) Provinsi Bali

Masyarakat hukum adat di Bali tinggal dalam suatu desa adat yang dikenal dengan Desa Pakraman. Eksistensi desa adat ini telah memperoleh pengakuan dari pemerintah Provinsi Bali melalui Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 yang kemudian dirubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 tentang Desa Pakraman.

Peraturan daerah tersebut, antara lain mengatur tentang fungsi desa adat untuk membantu pemerintah dalam menjaga, memelihara dan memanfaatkan kekayaan desa adat untuk kesejahteraan masyarakat desa adat. Selain itu, juga mengatur bidang keagamaan, kebudayaan dan kemasyarakatan. Pemerintah Daerah menjamin setiap orang bebas menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran Hindu, dan menghormati masyarakat untuk melakukan ritual pada hari-hari tertentu sesuai dengan aturan yang berlaku di dalam ajaran Hindu.

Di dalam Peraturan Daerah (Perda) tentang Desa Pakraman ditegaskan satu fungsi desa adat adalah membina dan mengembangkan nilai-nilai adat Bali dalam rangka memperkaya, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya, dan kebudayaan Bali pada khususnya, berdasarkan paras paros salungkung sabayantaka atau musyawrah untuk mufakat.

Berdasarkan inventarisasi terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai masyarakat hukum adat, dapat dikemukakan beberapa hal; Pertama, selama

 

berkuasanya Pemerintahan Orde Baru, tidak ditemukan peraturan perundang-undangan yang dihasilkannya yang mengatur mengenai pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat hukum adat. Ini membuktikan, Pemerintahan Orde Baru dengan politik hukumnya yang unifikasi dan sentralistik tidak memberi peluang bagi eksisnya masyarakat hukum adat sebagai suatu masyarakat yang khas dengan system pemerintahan dan hak-hak tradisonalnya tersendiri.

Kedua, kecuali Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Agraria, yang merupakan produk hukum masa Pemerintahan Orde Lama, selebihnya semua peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai keberadaan masyarakat hukum adat adalah produk hukum rezim Pemerintahan Reformasi.

Pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat hukum adat, utamanya ditegaskan dalam Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945 yaitu pada tahun 2000. Tepatnya, hal tersebut dapat ditemukan pada Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 yaitu, Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Sekalipun secara kronologis pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat hukum adat lebih dahulu dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, namun dengan ditegaskannya pengakuan dan penghormatan terhadap

 

masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya di dalam Undang-Undang Dasar merupakan ketentuan payung yang telah menimbulkan dampak yang lebih kuat bagi pembentukan undang-undang di tahun-tahun berikutnya.

Ketiga, walaupun hingga saat ini ternyata masih banyak provinsi yang belum memiliki peraturan daerah yang mengatur tentang keberadaan masyarakat hukum adat dan hak ulayatnya. Tetapi ini tidak berarti, provinsi-provinsi tersebut tidak mengakui adanya masyarakat hukum adat sebagai bagian dari masyarakatnya. Pada provinsi-provinsi seperti ini, keberadaan masyarakat hukum dan hak ulayatnya diakui secara hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis yang belum dieksplisitkan baik di dalam peraturan daerah ataupun peraturan gubernur atau peraturan bupati.