• Tidak ada hasil yang ditemukan

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan

MENGATUR TENTANG KEHUTANAN DAN MASYARAKAT HUKUM ADAT

B. Peraturan Perundang-undangan yang mengatur Masyarakat Hukum Adat

4. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan

nasional, setelah terbelenggu selama tiga dekade semasa berkuasanya rezim Orde Baru (1966-1998).

Semasa Orde Baru, terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang dapat dikategorikan sebagai yang mempersulit keberadaan masyarakat hukum adat, yaitu antara lain: (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan, (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan, (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan (HPH), dan lain-lain,

4. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999.

Istilah masyarakat hukum adat, kembali disebutkan lagi secara tegas dalam undang-undang ini, setelah nyaris terhapuskan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan, yang merupakan produk rezim Orde Baru.114 Berbeda dengan Undang Nomor 5 Tahun 1967, dalam Undang-      

114 Lihat, Undang‐Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Pokok‐Pokok Kehutanan. Pernyataan  dalam konsideran menimbang dan penjelasan umum dari UU Nomor 5 Tahun 1967 (UUPK), jelas sekali  menegaskan  orientasi  keberadaan  undang‐undang  ini  yang  lebih  difokuskan  dalam  upaya‐upaya   pengembangan ekonomi, bukan pertimbangan ekologi. Keyakinan bahwa lambat laun hak ulayat pasti  akan lemah dan lenyap, serta larangan agar hak ulayat tidak boleh dihidupkan kembali, mendorong  pembuat UU Nomor 5 Tahun 1967 (UUPK) berani menargetkan unvikasi hukum nasional yang mengatur  kehutanan. Itu pula yang mendasari dimasukannya hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat  (hutan adat) ke dalam kategori hutan negara. Selain didasari oleh hal itu, pikiran UUPK yang memasukan  hutan adat ke dalam lingkup hutan negara sebenarnya masih meneruskan tradisi berpikir UUPA. Dalam  logika UUPA bersamaan dengan berdirinya Republik Indonesia, maka suku‐suku bangsa dan masyarakat  hukum  tidak  lagi mandiri melainkan sudah merupakan bagian dari Republik  Indonesia. Akibatnya,  wewenang berdasarkan hak ulayat yang dahulu ada di tangan kepala adat/suku sebagai penguasa  tertinggi di wilayahnya, dengan sendirinya beralih kepada pemerintah pusat sebagai penguasa tertinggi. 

 

Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menegaskan dalam Pasal 1 angka 6-nya, bahwa hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.

Jika ditilik konsideran menimbang dan penjelasan umum antara Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 dengan konsideran menimbang Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 ditemukan perbedaan paradigmatik yang mencolok. Dalam konsideran menimbang huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 dinyatakan, bahwa hutan adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa sebagai sumber kekayaan alam yang memberikan manfaat serba guna yang mutlak dibutuhkan oleh ummat manusia sepanjang masa. Sementara itu, dalam Penjelasan Umumnya dinyatakan pula, Penggalian sumber kekayaan alam yang berupa hutan ini secara intensif adalah merupakan pelaksanaan amanat penderitaan rakyat yang tidak boleh ditunda-tunda lagi dalam rangka pembangunan ekonomi nasional untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.115 Sehingga, pernyataan dalam konsideran menimbang dan penjelasan umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 di atas, jelas sekali menegaskan orientasi keberadaan undang-undang ini yang lebih difokuskan dalam upaya-upaya pengembangan ekonomi, bukan pertimbangan ekologi.

Sedangkan dalam konsideran menimbang Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 dinyatakan bahwa, a. hutan, sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada Bangsa Indonesia, merupakan kekayaan yang dikuasai oleh Negara, memberikan manfaat serbaguna bagi umat manusia, karenanya wajib disyukuri,         Keterangan mengenai hal ini bisa dilihat pada Imam Soetiknjo, ‘Politik Agraria Nasional’, Gadjah Mada  University Press, Yogyakarta, 1994   dan Notonagoro, ‘Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di 

Indonesia’, Jakarta, Bina Aksara, 1984. Dalam kasus hutan, maka kawasan hutan yang dahulu berada  dalam wilayah hak ulayat (hutan adat) dengan sendirinya menjadi hutan negara, yang berada dalam  cakupan hak ulayat bangsa.    

115 Lihat Penjelasan Umum Undang‐Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan‐ketentuan  Pokok Kehutanan, pada alinea kedua.  

 

diurus, dan dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang; dan b. bahwa hutan, sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat, cenderung menurun kondisinya, oleh karena itu keberadaannya harus dipertahankan secara optimal, dijaga daya dukungnya secara lestari, dan diurus dengan akhlak mulia, adil, arif, bijaksana, terbuka, profesional, serta bertanggung-gugat. Selanjutnya, dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dinyatakan,116 Hutan sebagai modal pembangunan nasional mamiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, social budaya maupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis. Untuk itu hutan harus diurus dan dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang. Dalam kedudukannya sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan, hutan telah memberikan manfaat yang besar bagi umat manusia, oleh karena itu dijaga kelestariannya. Hutan mempunyai peranan sebagai penyerasi dan penyeimbang lingkungan global, sehingga keterkaitannya dengan dunia internasional menjadi sangat penting, dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional.

Merujuk pada materi pertimbangan dan penjelasan umum Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dapat dipahami bahwa fokus orientasi undang-undang ini tidak lagi melulu pada manfaat ekonomi yang dihasilkannya, tetapi lebih mementingkan aspek ekologi sebagai sistem penyangga kehidupan bagi generasi sekarang maupun mendatang.

      

 

Selanjutnya, dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, terdapat beberapa pasal yang mengatur tentang masyarakat hukum adat dan hutan adat, yaitu :

1) Pasal 4

(1) Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

(2) Penguasaan hutan oleh Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberi wewenang kepada pemerintah untuk:

a. mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;

b. menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan

c. mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.

(3) Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.

2) Pasal 5

(1) Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari: a. hutan negara, dan

b. hutan hak.

(2) Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan adat.

 

(3) Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya.

(4) Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada Pemerintah. 3) Pasal 17

(1) Pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilaksanakan untuk tingkat: i. provinsi,

ii. kabupaten/kota, dan iii. unit pengelolaan.

(2) Pembentukan wilayah pengelolaan hutan tingkat unit pengelolaan dilaksanakan dengan mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi daerah aliran sungai, sosial budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum adat dan batas administrasi pemerintahan.

(3) Pembentukan unit pengelolaan hutan yang melampaui batas administrasi pemerintahan karena kondisi dan karakteristik serta tipe hutan, penetapannya diatur secara khusus oleh Menteri.

4) Pasal 34

Pengelolaan kawasan hutan untuk tujuan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dapat diberikan kepada:

  b. lembaga pendidikan,

c. lembaga penelitian,

d. lembaga sosial dan keagamaan. 5) Pasal 37

(1) Pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan, sesuai dengan fungsinya.

(2) Pemanfaatan hutan adat yang berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya.

6) Pasal 67

(1) Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak:

a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan;

b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan

c. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.

(2) Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Dicantumkan mengenai masyarakat hukum adat dalam suatu bab tersendiri, yaitu Bab IX, menujukkan semakin menguatnya perhatian dan kepedualian pemerintahan

 

terhadap keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-hak ulayat yang telah dimilikinya sejak dahulu kala. Perhatian dan kepedulian ini merupakan bagian dari politik pemerintahan (presiden dan DPR) dalam mengisi reformasi bidang hukum (peraturan perundnag-undangan). Hal ini merupakan pula amanah dari TAP MPR IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. Ketetapan MPR ini sebagai landasan untuk melakukan pengkajian ulang terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor, demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada prinsip, antara lain: j. mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam.

Pada Penjelasan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, disebutkan unsur-unsur yang harus dipenuhi agar suatu masyarakat dapat dikategorikan sebagai masyarakat hukum adat, yaitu;

a. masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechsgemeenschap); b. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;

c. ada wilayah hukum adat yang jelas;

d. ada pranata hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan

e. masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

Jika dibandingkan antara isi Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 dengan isi Pasal 17 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 ditemukan perbedaan sikap politik terhadap hak-hak masyarakat hukum adat. Dalam pasal 17 Undang-Undang

 

Nomor 5 Tahun 1967 dinyatakan, pelaksanaan hak-hak masyarakat, hukum adat dan