• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan.132

MENGATUR TENTANG KEHUTANAN DAN MASYARAKAT HUKUM ADAT

Nomor 5 Tahun 1967 dinyatakan, pelaksanaan hak-hak masyarakat, hukum adat dan anggota-anggotanya serta hak-hak perseorangan untuk mendapatkan manfaat dari hutan

11. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan.132

lanjut mengenai pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak dan hukum adat setempat dapat ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Gubernur.131

11. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan.132

Peraturan Pemerintan Nomor 6 Tahun 2007 ini menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan. Sedangkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 mencabut dan menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi. Sementara itu, dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, maka mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970 jontho Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1975 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1990 tentang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri.

Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan merupakan peraturan yang secara legal formal telah membelenggu keberadaan masyarakat hukum adat pada era Orde Baru. Dalam Pasal 6       

131 Hingga tahun 2008, belum dilahirkan Keputusan Gubernur tentang Pengakuan dan Perlindungan  terhadap hak‐hak dan hukum adat, sebagaimana yang diamanahkan oleh Pasal 15 Qanun NAD Nomor 21  Tahun 2002 tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam. Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Studi 

Evaluasi terhadap Perda dan Qanun NAD sebelum Lahirnya Undang‐Undang Pemerintahan Aceh, Banda  Aceh, Desember 2008.  

132

Peraturan Pemerintah ini telah dirubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Perubahan yang dilakukan oleh PP Nomor 3 Tahun 2008 terhadap PP Nomor 6 Tahun 2007 tidak bersifat menyeluruh, sehingga PP Nomor 6 Tahun 2007 masih berlaku.

 

Peraturan Pemerintah tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan (HPH) disebutkan bahwa, hak-hak masyarakat hukum adat dan anggota-anggotanya untuk memungut hasil hutan yang didasarkan atas suatu peraturan hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, pelaksanaannya perlu ditertibkan, sehingga tidak mengganggu pelaksanaan pengusahaan hutan yang bersangkutan. Pelaksanaan pemungutan hasil hutan oleh masyarakat hukum adat harus seizin Pemegang HPH yang bersangkutan. Dalam areal hutan yang sedang dikerjakan dalam rangka pengusahaan hutan oleh pemegang HPH, pelaksanaan hak rakyat untuk memungut hasil hutan yang didasarkan atas hak ulayat itu dapat “dibekukan”.

Pengaturan lebih lanjut mengenai hak pemungutan hasil hutan oleh masyarakat hukum adat dilakukan melalui keputusan Menteri Kehutanan. Satu diantaranya adalah Keputusan Menteri Kehutanan No. 251/Kpts-II/93 tentang Ketentuan Pemungutan Hasil Hutan Oleh Masyarakat Hukum Adat atau Anggotanya di dalam Areal Hak Pengusahaan Hutan. Selain menegaskan pengakuan dengan syarat sepanjang masih ada dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, Keputusan Menteri Kehutanan ini juga memberlakukan syarat-syarat prosedural tambahan. Pertama, menegaskan kembali keharusan untuk memperoleh izin dari pemegang hak pengusahaan. Kedua, masyarakat hukum adat yang mengajukan hak memungut hasil hutan adalah masyarakat adat yang diakui keberadaanya oleh Bupati Kepala Daerah Tingkat II (sekarang Bupati). Ketiga, hak pemungutan hasil hutan hanya diberikan pada areal Hak Pengusahaan Hutan di luar blok tebangan tahunan. Keempat, pemungutan hasil hutan baru bisa dilakukan bila mendapatkan izin dari Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Dati I (sekarang propinsi). Kelima, hasil hutan yang dipungut wajib membayar pungutan serta diangkut dengan

 

dokumen yang sah. Selain kelima syarat prosedural tersebut, keputusan tersebut juga hanya membolehkan pemungutan kayu dan non kayu untuk keperluan dipakai sendiri dan/atau keperluan sosial, tidak untuk diperdagangkan.

Dengan demikian, peraturan organik dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan telah difungsikan untuk mengatur persyaratan-persyaratan prosedural pemberian hak masyarakat adat atas sumberdaya hutan. Persyaratan prosedural yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970 tersebut merupakan persyaratan tambahan dari persyaratan yang sebelumnya sudah dirumuskan oleh undang-undang. Selain banyak, persyaratan prosedural tersebut juga disusun secara berlapis. Susunan lapisan itu kira-kira sebagai berikut:

A. Persyaratan untuk Mendapatkan Hak/Izin:

1. diakui oleh Bupati sebagai kategori masyarakat hukum adat; 2. mendapatkan izin dari pemegang hak pengusahaan hutan; dan 3. mendapatkan izin pemungutan dari Kepala Dinas Kehutanan. B. Persyaratan Kegiatan Pemungutan

1. dilakukan di luar blok tebangan tahunan hak pengusahaan hutan; 2. dilakukan untuk keperluan sendiri dan bukan untuk diperdagangkan; 3. menjual dengan dokumen yang sah; dan

4. membayar pungutan.

Begitu banyak dan berlapisnya persyaratan pemberian hak tersebut sehingga menyerupai dengan larangan atau meniadakan (mengingkari). Analisis ini wajar saja karena sudah membayangkan tingkat kesulitan masyarakat hukum adat untuk memenuhi seluruh persyaratan tersebut. Padahal, memenuhi seluruh persyaratan prosedural belum

 

menjamin bisa mendapatkan hak/izin atau bisa menggunakan hak/zin tersebut. Kenapa? Karena di atas persyaratan prosedural tersebut masih adalah persyaratan lain, yakni hanya boleh mengambil kayu diluar areal blok tebangan tahunan HPH. Selain itu, masyarakat hukum adat baru boleh melakukan penebangan kayu dalam wilayah hukum adatnya apabila memenuhi persyaratan umum yang absurd, yaitu tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum/negara/nasional dan peraturan perundangan yang sedang berlaku. Nampaknya, dengan dengan muatan pengaturan yang demikian pada masa Orde Baru, Undang-Undang Pokok Kehutanan beserta peraturan pelaksananya telah menuangkan dengan sempurna kandungan ajaran atau doktrin Hak Milik Negara (HMN).133

Sekarang dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan, dan seiring dengan menguatnya otonomisasi daerah, maka penindasan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-hak ulayatnya relative telah berkurang, walaupun pada daerah-daerah tertentu masih juga terjadi konflik antar masyarakat hukum adat dengan negara dalam kaitannya dengan penguasaan terhadap hak ulayat hutan adat. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Nurul Firmansyah,134 yang menengarai masih ada konflik antara masyarakat hukum adat nagari dengan negara (pemerintah) dan/atau pemilik modal, seperti; konflik nagari-nagari dengan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) di pesisir selatan, konflik perkebunan kelapa sawit di

      

133 Rikardo Simarmata, Pilihan Hukum Pengurusan Hutan oleh Masyarakat Adat, paper tidak  dipublikasi, 2004, hal. 7. 

134 Baca, Nurul Firmansyah, Nasib Hak Ulayat atas Tanah dan Hutan (Refleksi Persoalan Hak Ulayat  di Sumatera Barat untuk Tahun 2009), www.legalitas.org, 23 Januari 2009.  

 

Kampung Aie Maruok Kabupaten Pasaman Barat, dan berbagai konflik lainnya yang melibatkan peran aktif negara dan pemilik modal dengan masyarakat nagari.

Sebagai implementasi dari otonomi daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 mengakui kewenangan pemerintah daerah dalam pengelolaan hutan. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3, yaitu :

(1) Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan di seluruh kawasan hutan merupakan kewenangan Pemerintah dan pemerintah daerah. (2) Seluruh kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari 3 (tiga)

fungsi pokok hutan, yaitu; a. hutan konservasi; b. hutan lindung; dan c. hutan produksi.

(3) Kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terbagi dalam Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), yang menjadi bagian dari penguatan system pengurusan hutan nasional, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.

Berkaitan dengan hutan adat sebagai hak ulayat masyarakat hukum adat, peraturan pemerintah ini bukan mengakui keberadaannya sebagai sesuatu yang telah ada secara alami dalam masyarakat hukum adat, tetapi memerlukan adanya penetapan dari pemerintah. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 11 ayat (2), yaitu ada areal tertentu dalam kawasan hutan yang dapat ditetapkan oleh Pemerintah sebagai hutan kemasyarakatan, hutan adat, hutan desa atau kawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK). Hutan kemasyarakatan menurut peraturan pemerintah ini adalah hutan kemasyarakatan menurut Pasal 1 angka 23 adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat. Sementara itu, hutan desa adalah hutan negara yang belum dibebani izin/hak, yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa (Pasal 1 angka 24). Sedangkan mengenai hutan adat tidak

 

ditegaskan pengertiannya. Jika dicermati bunyi Pasal 11, dapatlah dipahami bahwa yang dimaksudkan dengan hutan desa ataupun hutan kemasyarakatan bukanlah hutan adat.

Rencana pengelolaan hutan menurut Pasal 13, harus mengacu mengacu pada rencana kehutanan nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota dan dengan memperhatikan aspirasi, nilai budaya masyarakat setempat, serta kondisi lingkungan. Adanya penegasan harus memperhatikan aspirasi dan nilai budaya setempat, disatu sisi merupakan pengakuan tersirat terhadap keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-hak ulayat dengan segala kearifan lokalnya. Namun disisi lain, adanya pengaturan yang mengharuskan adanya penetapan pemerintah terhadap hutan adat merupakan aturan yang tidak seirama.

Selanjutnya, berkaitan dengan pengakuan tersirat terhadap keberadaan masyarakat hukum adat, juga ditentukan dalam Pasal 80 ayat (3) dan ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007, yaitu pemungutan provisi sumber daya hutan (PSDH) tidak berlaku bagi a. hasil hutan yang berasal dari hutan adat yang dimanfaatkan oleh masyarakat hukum adat dan tidak diperdagangkan. Pengenaan dana reboisasi tidak berlaku bagi : b. hasil hutan yang berasal dari hutan adat yang dimanfaatkan oleh masyarakat hukum adat dan tidak diperdagangkan. Selain kedua ayat ini, tidak diketemukan ketentuan lain dalam peraturan pemerintah ini yang memberi pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat beserta dengan hak ulayat hutan adatnya.

12. Peraturan Menteri Negara Agraria (PMNA)/Ka BPN Nomor 5 Tahun 1999