• Tidak ada hasil yang ditemukan

Alvi Syahrin 4

A. Latar Belakang

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia, yang diselenggarakan oleh pemerintahannya, berkewajiban “melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Pernyataan dalam Alinea Keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 merupakan kaedah konstitusional dari kewajiban negara dan tugas pemerintah untuk melindungi segenap sumber-sumber insani dalam lingkungan hidup Indonesia, guna kebahagiaan seluruh rakyat Indonesia dan segenap ummat manusia,5 termasuk melindungi sumberdaya hutan.

Undang-Undang Dasar 1945 mewajibkan mengelola sumberdaya alam (SDA) untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, yang harus dinikmati generasi masa kini dan masa depan secara berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan hidup merupakan upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumberdaya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan masa depan.6 Berdasarkan ketentuan ini dapat dipahami bahwa, asas pembangunan berkelanjutan yang berwawasan

      

5 Koesnardi Hardjasoemantri,  Hukum Tata  Lingkungan, Gadjah Mada Univ. Press, Yogyakarta,  Cet.  XIV, 1999, hlm. 66. Dalam hal ini, beliau menyatakan bahwa kaedah dasar yang melandasi pembangunan  dan perlindungan lingkungan hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea Keempat.  Kaedah dasar ini selanjutnya dijabarkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, Sehingga ketentuan tersebut,  menurut beliau memberikan “hak penguasaan” kepada negara atas seluruh sumber daya alam Indonesia  dan memberikan “kewajiban kepada negara” untuk menggunakannya bagi sebesar‐besar kemakmuran  rakyat. 

 

lingkungan dewasa ini telah ditempatkan sebagai standar kebijakan pembangunan nasional.7

Dalam bagian menimbang Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, dinyatakan bahwa pengelolaan sumber daya agraria dan sumberdaya alam yang berlangsung selama ini telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai konflik. Oleh karena itu, diperlukan penataan kembali penguasaan dan pengelolaannya secara optimal, adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan dengan mengedepankan prinsip mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam.8

Pentingnya penataan penguasaan dan pengelolaan SDA guna mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Untuk menjaga agar pemanfaatan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya berlangsung dengan cara sebaik-baiknya, terutama bagi SDA yang bernilai konservasi tinggi, diperlukan langkah-langkah konservasi, sehingga SDA hayati dan ekosistemnya selalu terpelihara dan mampu mewujudkan keseimbangan serta melekat dengan pembangunan itu sendiri.9

Hutan Indonesia memiliki kedudukan strategis, baik bagi bangsa Indonesia maupun untuk dunia dengan peranannya sebagai penyerasi dan penyeimbang lingkungan global. Karenanya, pengelolaan sumberdaya hutan harus diupayakan secara tepat dan bijaksana.

      

7 Alvi Syahrin,   Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Pemukiman  Berkelanjutan. Pustaka Bangsa Press, Medan, 2003, hlm.1. 

8 Lihat Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 huruf j  TAP MPR IX/MPR/2001. 

9 Lihat bagian menimbang huruf d UU 5/1990 tentang onservasi Sumberdaya Alam Hayati dan  Ekosistemnya. 

 

Mengingat strategisnya keberadaan hutan bagi kehidupan bangsa dan sebagai modal pembangunan nasional, maka pengelolaan hutan harus mengacu pada model manajemen nasional, berupa tata urutan fungsional dari (1) perencanaan, (2) pengorganisasian, (3) pelaksanaan, (4) pengawasan dan pengendalian. 10 Keempat fungsi manajemen itu harus diimplementasikan secara tepat agar mencapai tujuannya untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.

Istilah “hutan adat” secara eksplisit terdapat pencantumannya di dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan). Menurut Pasal 1 angka 6 undang-undang tersebut, “Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”.

Secara faktual di setiap provinsi di Indonesia terdapat kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dengan karakteristiknya masing-masing yang telah ada ratusan tahun yang lalu. Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang teratur, yang bertingkah laku sebagai sebagai kesatuan, menetap disuatu daerah tertentu, mempunyai penguasa-penguasa, memiliki hukum adat masing-masing dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang berwujud ataupun tidak berwujud serta menguasai sumberdaya alam dalam jangkauannya. Mereka memiliki sistem kebudayaan yang kompleks dalam tatanan kemasyarakatannya, dan mempunyai hubungan yang kuat dengan tanah dan sumberdaya alamnya. Namun pada masa lalu, baik pemerintahan Orde Lama maupun rezim Orde Baru, keberadaan masyarakat hukum adat tidak banyak       

10 M. Solly Lubis, Dimensi‐Dimensi Manajemen Pembangunan, Mandar Maju, Bandung, 1996, h.14.   Menurut beliau (h. 5), penetapan arah, sasaran dan tujuan pembangunan harus didasarkan pada suatu  kebijakan publik (public policy), yaitu seperangkat tindakan yang dilakukan pemerintah dengan suatu  tujuan dan diarahkan untuk mencapai sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan, atau sebagai kegiatan  pemerintah yang dimaksudkan untuk mengatasi   sesuatu masalah. Dalam kaitannya dengan kebijakan  publik, M. Solly Lubis (h. 11) merngemukakan ada tiga   strata pokok kebijakan, yaitu (1) kebijakan  strategik, (2) kebijakan manajerial,  dan (3) kebijakan operasional. 

 

disebutkan dalam peraturan perundangan-undangan. Karenanya, secara juridis formal keberadaannya tidak diakui.

Pada era pemerintahan Reformasi, seiring dengan tumbuhnya kecenderungan otonomisasi daerah, dimana daerah otonom tidak lagi disusun secara bertingkat seperti pada masa rezim Orde Baru, tetapi dipilah menurut jenisnya menjadi daerah otonom provinsi, daerah otonom kabupaten, daerah otonom kota, dan kesatuan masyarakat hukum adat sebagai daerah otonom yang asli.

Saat ini, keberadaan masyarakat hukum adat sebagai daerah otonom yang asli mendapat pengakuan dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan, sehingga eksistensinya semakin dihormati dan dilindungi.

Dalam Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945, tepatnya dalam Pasal 18 B ayat (2) dinyatakan bahwa, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

Masyarakat hukum adat merupakan indikator adanya hutan adat. Di dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, terdapat dua pasal yang secara tersurat mengatur mengenai hutan adat, yaitu Pasal 5 dan Pasal 37. Pasal 5 menentukan bahwa : (1) Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari: a. hutan negara dan b. hutan hak, (2) Hutan negara dapat berupa hutan adat, (3) Pemerintah menetapkan status hutan, dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya. Apabila dalam perkembangannya

 

masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada pemerintah. Selanjutnya dalam Pasal 37 ditentukan bahwa, (1) Pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan, sesuai dengan fungsinya (2) Pemanfaatan hutan adat yang berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya.

Mengacu pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, jelas bahwa status hutan adat adalah bagian dari hutan negara. Hutan negara, menurut Pasal 1 angka 6 undang-undang ini, adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. Hak-hak atas tanah menurut Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UU Agraria) adalah :

a. hak milik, b. hak guna usaha, c. hak guna bangunan, d. hak pakai,

e. hak sewa,

f. hak membuka tanah, g. hak memungut hasil hutan,

h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas.

Hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud oleh Pasal 16 UU Agraria tersebut, menurut Pasal 4 ayat (1)-nya, merupakan macam-macam hak yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum. Sedangkan Pasal 3 UU Agraria menegaskan bahwa, dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan Pasal 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai

 

dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

Antara Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan dengan Pasal 3 dan Pasal 16 UU Agraria terdapat ketentuan yang berbenturan. Hutan negara dalam pengertian UU Kehutanan adalah hutan yang tidak dibebani hak atas tanah, sedangkan dalam UU Agraria ditegaskan adanya pengakuan terhadap pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat-masyarakat hukum adat, termasuk hak memungut hasil hutan. Ini berarti, hak ulayat juga termasuk hak atas tanah, yang karenanya harus dikeluarkan dari pengertian dan pengaturan hutan negara.

Dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU Kehutanan ditegaskan bahwa, dengan dimasukkannya hutan adat dalam pengertian hutan negara, tidak akan meniadakan hak-hak masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya. Dimasukkannya hutan adat yang dikelola oleh masyarakat hukum adat dalam pengertian hutan negara adalah konsekuensi dari adanya hak menguasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat pada tingkatan tertinggi.11

Keberadaan status hutan adat menurut Pasal 5 ayat (3) UU Kehutanan, baru diakui apabila adanya penetapan oleh Pemerintah, yang disyaratkan pada kenyataan adanya masyarakat hukum adat. Sehingga, esensi penetapan hutan adat oleh pemerintah tergantung pula pada keberadaan masyarakat hukum adat. Jadi, antara masyarakat hukum adat dan hutan adat adalah dua hal tak terpisahkan. Hubungan erat yang tak terpisahkan

      

 

antara hutan adat dan masyarakat hukum adat semakin mendapat penegasannya dalam Pasal 37 UU Kehutanan, yaitu pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan sesuai dengan fungsinya. Pemanfaatan hutan adat yang berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya.

Sebelum diundangkannya UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan, istilah hutan adat tidak disebutkan, tetapi lebih dipahami sebagai hutan marga, hutan ulayat, hutan pertuanan, dan lain-lainnya. Istilah-istilah tersebut senada dengan istilah uteun mukim yang dikenal dalam masyarakat Aceh, dimana mukim memiliki hak menguasai (beschikkingsrecht) untuk kepentingan anggota-anggotanya dan orang-orang asing.12

Menurut Pasal 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967, berdasarkan pemiliknya Menteri menyatakan hutan sebagai :

(1) “Hutan Negara” ialah kawasan hutan dan hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak milik.

(2) “Hutan Milik” ialah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa, berdasarkan pemilikannya hutan dibagi menjadi dua jenis :

1. Hutan Negara ialah semua hutan yang tumbuh di atas tanah yang bukan tanah milik. Hutan yang tumbuh atau ditanam di atas tanah yang diberikan kepada daerah Swatantra dengan hak pakai atau hak pengelolaan mempunyai status sebagai Hutan Negara. Dengan demikian tidak ada lagi hutan marga, hutan daerah, hutan swapraja dan sebagainya.

2. Hutan Milik ialah hutan yang tumbuh atau ditanam atas tanah milik, yang lazimnya disebut hutan rakyat dan dapat dimiliki oleh orang, baik sendiri maupun       

12 M. Isa Sulaiman dan HT. Syamsuddin (ed), Pedoman Adat Aceh : Peradilan dan Hukum Adat, Ed II,  Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh , Prov. NAD, 2002, hlm. 175, yang dikutip dari Resume Atjeh, hlm. 58  ‐62, dalam Adatrechtbundel, DR. J. Jascobe, Het Familie‐enkampongleven od Groot Atjeh II: 109 – 113. 

 

bersama-sama orang lain atau Badan Hukum. Hutan yang ditanam atas usaha sendiri di atas tanah yang dibebani hak lainnya, merupakan pula hutan milik dari orang/Badan Hukum yang bersangkutan.

Berdasarkan penjelasan Pasal 2 ayat (1) ketentuan di atas, yang menyatakan “dengan demikian tidak ada lagi hutan marga dan sebagainya”, dapatlah dipahami bahwa sebelum adanya undang-undang tersebut diakui keberadaan masyarakat hukum adat berupa marga, nagari, mukim, dan lain-lain yang memiliki kedaulatan atas hutan dan kekayaan alamnya sendiri, yang mereka bebas mengelola dan memanfaatkannya berdasarkan kearifan tradisional (kearifan lokal) tanpa campurtangan negara.13

Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967, khusus untuk Pulau Jawa dan Madura, mengenai kehutanan terdapat pengaturannya dalam Reglement op het Beheer en de Exploitatie der Houtbosschen op Java en Madoera pada tahun 1865. Peraturan ini diganti dengan Boschreglement tahun 1874. Kemudian, pada tahun 1879 diganti lagi dengan Reglement voor het Beheer der Bosschen op Java en Madoera dan Reglement voor den Diens van het Boschwezen op Java en Madoera, keduanya berlaku sampai dengan tahun 1913. Setelah itu diberlakukan Reglement untuk Pemangkuan Hutan Negara di Jawa dan Madura 1913, yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1914. Reglement 1913 ini berlaku hingga tahun 1927, yaitu sampai diundangkannya Reglement voor het Beheer der Bosschen van den Lande op Java en Madoera, yang dikenal juga sebagai Boschordonnantie voor Java en Madoera 1927. Sedangkan untuk hutan di luar Jawa dan Madura pada waktu itu tidak ada peraturannya.14 Ketiadaan peraturan

      

13 Lihat; Abdon Nababan, Memperjuangkan dan Memberdayakan Otonomi Asli masyarakat Adat  dalam Pengelolaan Ekosistem, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional dan Lokakarya masyarakat  Adat leuser, Blangkejeren, Kabupaten Gayo Luwes, 19 – 23 Juli 2004. Masyarakat adat menurutnya adalah  komunitas‐komunitas yang hidup berdasarkan asal usul leluhur secara turun temurun di atas suatu  wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang  diatur oleh hukum adat dan lembaga adat untuk mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya. 

14 Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Perlindungan Lingkungan; Konservasi Sumberdaya Alam  Hayati dan Ekosistemnya,  Gajah Mada Univ. Press, Yogyakarta, 1993, hal. 1. Menurut beliau, pengaturan 

 

sebagaimana dinyatakan oleh Koesnadi di atas, bukanlah berarti tiadanya hukum yang mengatur masalah kehutanan. Tetapi hukum yang mengatur penyelenggaraan kehutanan di wilayah luar Pulau Jawa dan Madura adalah hukum adatnya masing-masing.

Sekalipun istilah hutan adat secara jurdis formal baru terdapat penyebutannya dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, namun dalam tataran empiriknya, istilah tersebut telah lama dikenal dalam masyarakat Aceh.15 Bahkan telah pula dikenal adanya petua adat yang membidangi urusan kehutanan, yaitu pawang glee dan petua seunebok.16 Sehingga dalam masyarakat hukum adat Aceh, mengenai hutan adat telah memiliki pengaturan dan pengelolaannya secara arif sejak dahulu kala.

Menurut Pasal 67 ayat (1) UU Kehutanan, masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak:

a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan;

b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan

c. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.

        tentang hutan merupakan peraturan yang pertama tentang konservasi sumberdaya alam hayati di  Indonesia.  

15 Dahlan, dkk, Investigasi Status Tanah  di Kawasan Ekosistem Leuser dan Identifikasi Pemecahan  Masalahnya; Kasus daerah Menggamat Kecamatan Kluet Utara, Kabupaten Aceh   Selatan, Laporan  Penelitian, kerjasama Yayasan Leuser International dan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, 1997. 

16 Lihat; Amiruddin A. Wahab, dkk,  Dampak Implementasi undang‐Undang Nomor 5 Tahun 1979  terhadap Pranata Sosial Ditinjau Dari Aspek Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan, Laporan  Penelitian, kerjasama Balitbang Departemen Dalam Negeri dengan Universitas Syiah Kuala, 1993. Petua  seunebok berperan dalam  usaha pembukaan hutan  untuk  membuka  lahan  pertanian  baru.  Petua  seunebok  dipilih  oleh  masyarakat  adat  di  wilayah  pembukaan  lahan  pertanian  tersebut.  Dalam  menjalankan tugasnya ia bertanggungjawab kepada kepala desa, yaitu apabila lahan pertanian baru yang  dibuka tersebut merupakan hak ulayat dari desa yang kekuasaannya berada di bawah kepala desa. Istilah  peutua seuneubok dan pawang glee atau nama lain, merupakan lembaga‐lembaga adat yang sekarang  telah dikukuhkan dalam  Undang‐undang tentang Pemerintahan Aceh (lihat, Pasal 98 UU Nomor 11 Tahun  2006). 

 

Penjelasan ayat tersebut menerangkan bahwa, masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain :

a. masyarakatnya masih dalam bentuk peguyuban (rechtsgemeenschap); b. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;

c. ada wilayah hukum adat yang jelas;

d. ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; e. masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk

pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

Ayat (2) Pasal 67 tersebut menegaskan bahwa, pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan peraturan daerah. Peraturan daerah dimaksud disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat adat yang ada di daerah yang bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang terkait.17 Bagi Provinsi Aceh, peraturan daerah yang mengatur tentang masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud oleh Pasal 67 ayat (2) Undang-Undang tentang Kehutanan, adalah Qanun Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim.

Sedangkan mengenai hutan adat di Aceh, pengaturannya dapat ditemukan dalam Qanun NAD Nomor 14 Tahun 2002 tentang Kehutanan (Qanun Kehutanan). 18 Pasal 5 qanun tersebut menentukan bahwa; (1) hutan berdasarkan statusnya terdiri dari hutan negara dan hutan hak, (2) Hutan negara dapat berupa hutan adat, (3) penunjukan dan atau penetapan hutan adat dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi, sepanjang masih ada dan

      

17 Lihat; Penjelasan ayat (2) Pasal 67 UU 41/1999. 

18 Qanun tersebut merupakan salah satu tindak  lanjut pelaksanaan dari Undang‐Undang Nomor 18  tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh  Darussalam. Secara substantif, ketentuan dalam qanun tersebut tak ada bedanya dengan ketentuan  dalam Undang‐undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. 

 

diakui keberadaannya oleh masyarakat adat setempat. (4) Penetapan kriteria dan standar hutan adat diatur lebih lanjut dengan Keputusan Gubernur.

Sehubungan dengan berlakunya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dengan prinsip otonomi seluas-luasnya,19 telah memberi kesempatan yang luas kepada pemerintahan provinsi tersebut untuk menggali dan mengimplementasikan tata bermasyarakat yang sesuai dengan nilai luhur kehidupan masyarakat Aceh berdasarkan adat dan budaya masyarakatnya, sehingga keberadaan adat tersebut dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya bersama-sama dengan hadirnya hukum perundang-undangan negara yang bersifat tertulis.

Selain merujuk pada Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh, penyelenggaraan kehidupan adat di Aceh, secara tegas diakui pula keberadaannya dalam Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Dalam Pasal 6 dan Pasal 7 undang-undang tersebut dinyatakan bahwa, daerah dapat menetapkan berbagai kebijakan dalam upaya pemberdayaan, pelestarian, dan pengembangan adat serta lembaga adat di wilayahnya yang dijiwai dan sesuai dengan Syariat Islam.

      

19 Dalam Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dinyatakan bahwa undang-undang ini menggantikan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang dalam pelaksanaannya belum cukup memadai dalam menampung aspirasi dan kepentingan pembangunan ekonomi serta keadilan politik. Hal demikian mendorong lahirnya Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh dengan prinsip otonomi seluas-luasnya. Pemberian otonomi seluas-luasnya di bidang politik kepada masyarakat Aceh dan mengelola pemerintahan daerah sesuai dengan prinsip good governance yaitu transparan, akuntabel, profesional, efisien, dan efektif dimaksudkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat di Aceh. Dalam menyelenggarakan otonomi yang seluasluasnya itu, masyarakat Aceh memiliki peran serta, baik dalam merumuskan, menetapkan, melaksanakan maupun dalam mengevaluasi kebijakan pemerintahan daerah.

 

Dalam masyarakat Aceh, hubungan antara hukum dengan adat adalah dua hal tak terpisahkan, yang dalam hadih maja disebutkan, hukom ngon adat lagei zeut ngon sifeuet atau lagei mata itam ngon mata puteh. Dimaksud dengan hukom dalam hadih maja tersebut adalah hukum Islam. Sedangkan adat dimaksudkan sebagai aturan yang dibuat oleh penguasa.20 Selanjutnya, hadih maja penting lainnya dalam kehidupan masyarakat Aceh yang telah menjadi pegangan umum, yaitu Adat bak Po Teumeureuhom; Hukom bak Syiah Kuala; Qanun bak Putro Phang; Reusam bak Laksamana. (adat dari sultan, hukum dari ulama, qanun dari putri pahang, reusam dari laksamana). 21

Di Provinsi Aceh, karakteristik yang sesuai dengan masyarakat hukum adat sebagaimana disyaratkan oleh Penjelasan Pasal 67 UU Kehutanan adalah mukim. Mukim yang dipimpin oleh imeum mukim merupakan persekutuan masyarakat hukum adat yang meliputi beberapa gampong. Senyatanya, mukim masih ada di seluruh Provinsi Aceh, sekalipun antara satu kabupaten dengan kabupaten lainnya di provinsi tersebut berbeda kultur dan bahasa. Struktur pemerintahan mukim bersifat otonom. 22

Pasca Reformasi, keberadaan mukim kembali diakui melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 yang kemudian dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Sebagai tindak lanjut pelaksanaan dari undang-undang tersebut telah pula disahkan Qanun NAD Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim.

      

20 Teuku Djuned, Kedudukan Hukum Adat Dalam Sistem Hukum Nasional, Pidato Pengukuhan Guru  Besar pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, 2 September 2004. 

21 Hadih maja adalah sumber hukum yang berasal dari penuturan leluhur sebagai hukum tidak  tertulis. Pengertian‐pengertiannya hanya dapat ditemukan dalam pepatah petitih para leluhur yang  kemudian ungkapan‐ungkapan tersebut diteruskan oleh generasi berikutnya.  

22 Teuku Djuned, Laporan Penelitian tentang Inventarisasi Hukum Adat dan Adat Aceh, Pusat Studi  Hukum Adat dan Islam, Kerjasama antara FH Unsyiah dan Pemprov NAD,  Banda Aceh, Tahun 2001. 

 

Di dalam Pasal 3 Qanun NAD Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim, jelas dinyatakan bahwa mukim mempunyai tugas menyelenggarakan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan dan peningkatan pelaksanaan Syari’at Islam. Dengan dinyatakannya mukim sebagai penyelenggara