• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEDUDUKAN MASYARAKAT HUKUM ADAT DALAM PENGELOLAAN HUTAN MENURUT UU NO. 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEDUDUKAN MASYARAKAT HUKUM ADAT DALAM PENGELOLAAN HUTAN MENURUT UU NO. 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

KEDUDUKAN MASYARAKAT HUKUM ADAT DALAM PENGELOLAAN HUTAN MENURUT UU NO. 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN

(Dipublikasikan dalam Jurnal Al-Buhuts, ISSN: 1410-184 X, Vol. 5 No. 2 Maret 2001, Lembaga Penelitian Universitas Islam Malang, h. 25-30)

Abdul Rokhim & H. Mustofa1 Abstrak

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis kaidah-kaidah hukum positif dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kedudukan dan eksistensi masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschap) serta hak-hak yang dimilikinya dalam kaitannya dengan kewenangan pemerintah dalam mengelola hutan, khususnya hutan negara, berdasarkan UU 41/1999 tentang Kehutanan. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah diskriptif-kualitatif dengan menggunakan metode interpretasi hukum, baik secara autentik, sistematik, maupun sejarah hukum. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengaturan mengenai kewenangan pemerintah dalam mengelola sumber daya hutan sebagaimana diatur dalam UU 41/1999 masih memperlihatkan adanya dominasi kekuasaan pemerintah di satu pihak dan cenderung mengabaikan atau kurang menghormati kedudukan serta hak-hak masyarakat hukum adat yang tinggal di dalam atau di seputar hutan

(indigenous people) di lain pihak. Ketentuan seperti ini ditengarahi dapat mengakibatkan

terjadinya konflik-konflik dalam pengelolaan hutan antara pemerintah (termasuk pihak-pihak yang diberi izin atau konsesi oleh pemerintah) berdasarkan undang-undang dengan masyarakat lokal yang juga merasa berhak atas pengelolaan hutan rakyat (hutan ulayat) berdasarkan hukum adat mereka.

Kata Kunci: Masyarakat hukum adat; Pengelolaan hutan negara

Pendauluan

Pengelolaan hutan negara adalah persoalan hukum yang terkait dengan kewenangan pemerintah untuk mengatur dan mengelola hutan negara berdasarkan kaidah hukum nasional (dalam bentuk perundang-undangan) di satu pihak, dan di pihak lain terkait dengan pengakuan negara dan jaminan perlindungan hukum yang diberikan oleh pemerintah terhadap hak-hak masyarakat lokal dalam pengelolaan dan pemanfaatan lahan hutan dan sumberdaya hutan berdasarkan hukum adat masyarakat setempat (lokal).

Hukum melindungi seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingan orang tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti ditentukan keluasan dan kedalamannya. Kekuasaan yang demikian itulah yang disebut sebagai “hak”. Suatu kepentingan merupakan sasaran dari hak, bukan hanya karena ia dilindungi oleh hukum, tetapi juga karena adanya pengakuan terhadapnya. Hak itu ternyata tidak hanya mengandung unsur perlindungan dan kepentingan, melainkan juga kehendak. Apabila seseorang memiliki sebidang tanah, maka hukum memberikan hak kepada orang tersebut untuk mempergunakan atau menikmati tanah tersebut

(2)

sesuai dengan kepentingan dan kehendaknya, dan untuk semua hal itu ia akan mendapatkan perlindungan hukum (rechtsbescherming).

Sebagai suatu negara hukum (rechtsstaat), dalam hubungannya dengan pengelolaan sumber daya alam nasional dalam bidang kehutanan, negara atau pemerintah Indonesia semestinya memberikan perlindungan hukum terhadap masyarakat atau warga negara yang hidup atau tinggal di dalam atau di sekitar hutan. Karena, pada hakikatnya tujuan utama pengelolaan sumber daya alam adalah untuk meningkatkan kesejahteraan atau kemakmuran rakyat sesuai dengan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Pengertian “dikuasai” bukan berarti dimiliki, melainkan mengandung arti

wewenang dalam hukum publik. Dalam konsep hukum publik, “wewenang” (bevoegdheid; authority) berkaitan dengan kekuasaan untuk mengendalikan perilaku subyek hukum.

Sedangkan, dalam hubungannya dengan obyek hukum (dalam hal ini hutan), istilah “dikuasai” mengandung arti pemerintah diberi kewenangan oleh undang-undang untuk mengatur dan mengelola sumber daya alam itu.

Di bidang pengelolaan hutan, rumusan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut dijabarkan dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang menyebutkan bahwa semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya “dikuasai” oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penguasaan hutan oleh negara, menurut undang-undang kehutanan, harus tetap memperhatikan

hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta

tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Hal ini berarti bahwa undang-undang kehutanan kita, dalam batas-batas tertentu secara formal, masih mengakui hak-hak masyarakat hukum adat untuk mengelola hutan dan menikmati hasil hutan berdasarkan hukum adat kehutanan mereka yang umumnya dilakukan secara turun temurun.

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, permasalahan pokok (main issue) yang diteliti atau dikaji dalam penelitian ini adalah: (1) bagaimana kedudukan masyarakat hukum adat dalam pengelolaan hutan negara menurut Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan? (2) bagaimana bentuk pengakuan pemerintah terhadap hak-hak masyarakat hukum adat dalam pengelolaan hutan negara menurut Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan?

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis kaidah-kaidah hukum positif dalam peraturan perundang-undangan bidang kehutanan menyangkut kedudukan dan hak-hak masyarakat hukum adat dalam hubungannya dengan kewenangan pemerintah dalam mengelola hutan negara berdasarkan UU No. 41/1999 tentang Kehutanan.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, yang meneliti dan mempelajari norma yang mengatur tentang kedudukan dan hak-hak masyarakat hukum adat dalam pengelolaan hutan berdasarkan UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. Di samping itu, penelitian ini juga menelaah tulisan-tulisan dan pendapat para ahli hukum (doktrin) berkenaan dengan permasalahan yang dibahas dengan tujuan untuk melengkapi atau memperjelas analisis terhadap undang-undang tersebut. Pembahasan dalam penelitian ini dilakukan secara deskriptif-kualitatif terhadap bahan-bahan hukum primer (undang-undang) maupun bahan-bahan-bahan-bahan hukum sekunder (buku-buku dan

(3)

jurnal hukum) dengan menggunakan metode interpretasi hukum, baik secara autentik, sistematik, maupun penafsiran sejarah hukum (rechtshistorische interpretatie).

Simpulan Hasil Penelitian

1. Hutan merupakan salah satu sumber agraria yang sangat penting dan vital bagi kelangsungan kehidupan suatu masyarakat, bangsa atau negara. Oleh karena itu, pengaturan tentang pengelolaan hutan, khususnya hutan negara, tidak semata-mata ditujukan kepentingan negara dalam rangka meningkatkan pendapatan negara melainkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

2. Negara, menurut pasal 4 UU No. 41/1999 tentang Kehutanan jo. pasal 33 ayat (3) UUD 1945 mempunyai hak untuk menguasai sumber daya kehutanan. Hak negara untuk menguasai hutan ini mengandung arti bahwa negara (via pemerintah) berwenang untuk mengelola dan memanfaatkan hutan dengan cara: (a) mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; (b) menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau bahkan mengubah kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; (c) mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.

3. Penguasaan hutan oleh negara, menurut UU No. 41/1999, harus tetap memperhatikan hak-hak

masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta

tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Ketentuan ini berarti membatasi kedudukan dan hak-hak masyarakat hukum adat dalam pengelolaan hutan (negara). Karena, meskipun secara de facto masyarakat hukum adat ada (eksis) dalam realitas, namun apabila keberadaannya secara de jure tidak diakui oleh negara maka secara hukum mereka dianggap tidak ada dan karena itu mereka tidak mempunyai hak-hak atas hutan. Begitu pula, meskipun secara de facto dan de jure masyarakat hukum adat itu ada dan diakui oleh negara, tetapi apabila keberadaan atau aktivitasnya dipandang bertentangan dengan kepentingan nasional, maka hak-hak masyarakat hukum adat tersebut dinyatakan tidak ada (eksis) atau tidak diakui. 4. Pengaturan tentang pengakuan atas keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-haknya itu

dapat memicu timbulnya konflik-konflik kehutanan antara pemerintah (termasuk pengusaha kehutanan yang diberikan izin oleh pemerintah, misalnya pemegang HPH atau HPHTI) dengan masyarakat hukum adat setempat yang menurut hukum adat juga berhak terhadap obyek yang sama. Konflik ini muncul karena adanya dua kepentingan yang berbeda atas satu obyek yang sama berdasarkan dua sistem hukum yang berbeda, yakni undang-undang dan hukum adat.

Saran

Perlu adanya pengaturan yang lebih tegas dan adil tentang jaminan kepastian hukum bagi masyarakat hukum adat berkenaan dengan batas-batas wewenang pemerintah dalam pengelolaan hutan negara serta perlu ditinjau kembali ketentuan dalam UU No. 41/1999 yang mengatur tentang status hutan adat yang secara pukul rata dinyatakan sebagai hutan negara, tanpa memperhatikan karakteristik masyarakat adat di masing-masing daerah (wilayah).

(4)

DAFTAR PUSTAKA

Fattah DS, A. 1999. “Pengembangan Hutan Kemasyarakatan di Wilayah Kerja Perum Perhutani Melalui Program Kemitraan”, Makalah Seminar Nasional, Unisma, Malang, 17 Juli 1999.

Hadjon, Philipus M., 1994. “Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif), Yuridika, No. 6 Th. IX, November-Desember 1994, FH-Unair, Surabaya.

Indroharto. 1996. Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara:

Buku I (Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara), Pustaka Sinar

Harapan, Jakarta.

Nurjaya, I Nyoman, 1999. “Menuju Pengelolaan Sumber Daya Hutan yang Berorientasi pada Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat di Sekitar Hutan: Perspektif Hukum”, Makalah

Seminar Nasional, Unisma, Malang, 17 Juli 1999.

Paton, G.W., 1964. A Text-book of Jurisprudence, Oxford University Press, London. Rahardjo, Satjipto, 1991. Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Rangkuti, Siti Sundari, 1996. Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Airlangga University Press, Surabaya.

Ruwiastuti, Maria Rita, 1998. “Pembaruan Hukum Agraria dalam Perspektif Masyarakat Adat”, dalam Jurnal Masyarakat Adat, No. 01 Th. 1998, BP KPA, Bandung.

---, 1999. “Menuju Pluralisme Hukum Agraria: Analisa dan Kritik terhadap Marginalisasi Posisi Hukum-hukum dan Hak-hak Adat Penduduk Asli atas Tanah dan Sumber-sumber Agraria oleh UUPA 1960”, dalam Usulan Revisi UU Pokok Agraria, KRHN dan KPA, Jakarta.

---, 2000. Sesat Pikir Politik Hukum Agraria, Insist Press, KPA, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Salim, H.S. 1997. Dasar-dasar Hukum Kehutanan, Sinar Grafika, Jakarta.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 1995. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan

Singkat, RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Soekanto, Soerjono dan Soleman B. Taneko. 1983. Hukum Adat Indonesia, Radjawali Press, Jakarta.

Soemitro, Roni Hanitijo, 1990. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta.

(5)

Soetandyo Wignjosoebroto. 1998. “Kebijakan Negara untuk Mengakui atau Tak Mengakui Eksistensi Adat Berikut Hak-hak atas Tanahnya”, dalam Jurnal Masyarakat Adat, No. 01 Th. 1998, BP-KPA, Bandung.

Ter Haar, Bzn., 1980. “Beginselen en Stelsel van het Adatrecht”, terj. K. Soebakti Poesponoto,

Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta.

Zain, Alam Setia, 1995. Hukum Lingkungan: Kaidah-kaidah Pengelolaan Hutan, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Zakaria, R. Yando, 1998. “Kemajemukan Masyarakat Bangsa Indonesia dan Penegakan hak Masyarakat Adat”, dalam Usulan Revisi UU Pokok Agraia: Menuju Penegakan

(6)
(7)

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini menunjukkan bahwa bahan jenis tumpatan amalgam banyak digunakan oleh karena jenis bahan ini memiliki harga yang relatif murah selain itu tumpatan amalgam memiliki

Pemilihan alat ukur kecepatan aliran fluida menggunakan sensor temperatur LM35DZ, dilihat dari sisi kualitas, harga dan kelebihannya, sensor LM35DZ memiliki

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Andinurchairiah (2014) dalam penelitian tentang “Efektifitas kompres dingin terhadap intensitas nyeri pada pasien

Kebijakan untuk menjadikan daerah-daerah di Jawa sebagai daerah kotapraja yang dimulai dari kota Batavia lalu kemudian Magelang didasarkan pada tiga faktor yang biasanya

1) Buatlah algoritma yang membaca sebuah bilangan bulat positif lalu menentukan apakah bilangan tersebut merupakan kelipatan 4. Kemudian, translasikan algoritma

Sebagai organ negara atau lembaga yang diberi kedudukan tertinggi sehingga presiden sebagai penyelenggara kekuasaan negara diharuskan tunduk dan bertanggung jawab,

Sebagaiman penegasan Tuan, Siregar dalam Naing.N (2011) menunjukkan bahwa manusia merupakan gambaran kosmos, hal yang sama pada konsep Komunitas local (Kaili) dan

• Sistem telah mampu menghasilkan nilai yang tepat sama dengan 1 untuk dokumen yang sama dengan dokumen COBIT, nilai 0 untuk dokumen yang berbeda dengan dokumen COBIT, dan nilai