• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2 Parameter Abiotik

Berdasarkan pengukuran faktor fisik kimia perairan pada masing-masing stasiun pengamatan di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam diperoleh rata-rata seperti Tabel 4.6 dibawah ini:

Tabel 4.5 Rata-rata Nilai Faktor Fisik Kimia yang Diperoleh pada Setiap Stasiun Penelitian di Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam.

No Faktor fisik kimia perairan

Satuan Stasiun

1 2 3 4

1 Suhu Air °C 29 30 29 29

2 Penetrasi Cahaya m 4 5 4 3

3 Intensitas Cahaya Candela 1383 1229 949 1047

4 pH air -- 7,4 7,8 7,7 6,5

5 DO (Oksigen terlarut) mg/l 6,2 6,8 6,1 6,2

6 Kejenuhan Oksigen % 81,17 88,589 79,842 80,77

7 BOD5 mg/l 1,2 1,1 1,8 2,4

8 Salinitas ‰ 35 35 34 35

4.2.1 Suhu

Hasil pengukuran suhu pada 4 stasiun penelitian, berkisar 29-30 °C. Hal ini menunjukkan bahwa temperatur perairan P. Rubiah masih dalam kisaran normal untuk perairan tropis. Ini disebabkan karena daerah penelitian ini masih tergolong alami dan dilindungi, belum terdapat banyak aktivitas masyarakat yang dapat menimbulkan pencemaran. Menurut Wells (1954), suhu yang baik untuk pertumbuhan karang adalah berkisar antara 25- 29°C dan batas minimum suhu berkisar 16-17°C serta batas maksimum 36°C. Menurut Nontji (1993), bahwa suhu permukaan di perairan Nusantara umunya berkisar antara 28-31°C. Menurut Romimohtarto & Juwana (2001), bahwa suhu alami air laut berkisar antara suhu dibawah 0°C sampai 33°C dan perubahan suhu dapat memberi pengaruh besar terhadap sifat-sifat air laut dan termasuk biota laut.

4.2.2 Penetrasi Cahaya

Penetrasi cahaya yang diperoleh pada 4 stasiun penelitian ini sama yaitu 4-5 meter. Tingginya penetrasi cahaya ini disebabkan karena kondisi perairan di P. Rubiah masih tergolong baik. Menurut Sastrawijaya (1991), cahaya matahari tidak dapat menembus dasar perairan jika konsentrasi bahan tersuspensi atau terlarut tinggi, akibatnya akan mempengaruhi proses fotosintesis di dalam perairan tersebut. Berkurangnya cahaya matahari disebabkan karena banyak faktor antara lain adanya bahan yang tidak larut seperti debu, tanah liat maupun mikroorganisme air yang mengakibatkan air menjadi kotor / tidak jernih.

4.2.3 Intensitas Cahaya

Intensitas cahaya yang tertinggi diperoleh pada stasiun 1 sebesar 1383 Candela dan terendah pada stasiun 3 sebesar 949 Candela. Rendahnya intensitas cahaya pada stasiun 3 disebabkan karena pada saat pengukuran dilakukan pada pagi hari, sedangkan pada stasiun 1 dilakukan siang hari, selain ini terdapat banyak pohon ditepi perairan ini. Menurut Barus (2004), vegetasi yang ada di sepanjang aliran

sungai dapat mempengaruhi intensitas cahaya, karena tumbuh-tumbuhan tersebut mempunyai kemampuan untuk mengabsorbsi cahaya matahari. Bagi organisme air, intensitas cahaya berfungsi sebagai alat orientasi yang akan mendukung kehidupan organisme tersebut dalam habitatnya. Faktor cahaya matahari yang masuk dalam perairan akan mempengaruhi sifat optis air, sebagian cahaya itu akan diabsorbsi dan sebagian lagi akan dipantulkan ke luar dari permukaan air.

4.2.4 pH air

Derajat keasaman atau kebasaan (pH) tertinggi pada stasiun 2 yaitu 7,8 sedangkan yang paling rendah pada stasiun 4 yaitu 6,5. Rendahnya pH pada stasiun 4 berpengaruh terhadap jenis Echinodermata yang ditemukan, dimana nilai H’, E dan r rendah. Namun demikian secara keseluruhan nilai pH pada lokasi penelitian masih dapat mendukung kehidupan makrozoobenthos. Sutrisno (1987), menyatakan pH optimum untuk spesies makrozoobenthos berkisar 6,0 – 8,0 sedangkan Barus (2004) menyatakan nilai ideal pH bagi kehidupan organisme air pada umumnya terdapat antara 7 - 8,5. Kondisi perairan yang sangat basa akan membahayakan organisme karena akan mengganggu metabolisme dan respirasi, disamping itu nilai pH yang asam akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat terutama ion Aluminium.

4.2.5 Oksigen terlarut ( DO/ Dissolved Oxygen)

Nilai DO yang diperoleh dari 4 stasiun penelitian ini berkisar 6,1-6,8 mg/l. Nilai DO yang tertinggi pada stasiun 2 yaitu 6,8 mg/l sedangkan terendah pada stasiun 1 sebesar 6,1 mg/l. Menurut Suin (2002), menyatakan bahwa, suhu memiliki peranan yang besar terhadap kelarutan oksigen galam air, apabila temperatur air naik maka kelarutan oksigen dalam air menurun. Bersamaan dengan peningkatan aktivitas metabolisme akuatik, sehingga kebutuhan akan oksigen juga meningkat. Sastrawijaya (1991), bahwa temperatur mempunyai pengaruh besar terhadap kelarutan oksigen, jika suhu naik maka oksigen di dalam air akan menurun.

4.2.6 Kejenuhan Oksigen (%)

Kejenuhan oksigen yang diperoleh dari 4 stasiun penelitian berkisar antara 79,84 – 89,00%. Menurut Barus (2004), menyatakan bahwa disamping pengukuran konsentrasi biasanya dilakukan pengukuran terhadap tingkat kejenuhan oksigen dalam air. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah nilai maksimum atau tidak. Untuk dapat mengukur tingkat kejenuhan oksigen air, maka diperlukan pengukuran temperatur dari ekosistem air tersebut. Kehidupan di air dapat bertahan jika ada oksigen terlarut minimum sebanyak 4 mg/l, selebihnya tergantung pada ketahanan organisme, derajat keaktifan, kehadiran pencemar, temperatur air dan sebagainya

4.2.7 BOD5 (Biologycal Oxygen Demand)

Hasil BOD5 yang diperoleh di perairan P. Rubiah berkisar antara 1,1- 2,4 mg/l. Nilai BOD5 yang tertinggi pada stasiun 4 yaitu sebesar 2,4 mg/l sedangkan terendah pada stasiun 3 sebesar 1,1 mg/l. Menurut Barus (2002), bahwa nilai BOD menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme aerobik dalam proses penguraian senyawa organik yang diukur pada suhu 20°C. Pengukuran BOD didasarkan pada kemampuan mikroorganisme untuk menguraikan senyawa organik, artinya hanya terhadap senyawa yang mudah diuraikan secara biologis seperti senyawa yang umumnya terdapat dalam limbah rumah tangga. Brower et al., (1990), bahwa apabila konsumsi oksigen selama 5 hari berkisar 5 mg/l O2, maka perairan tersebut tergolong baik. Sebaliknya apabila konsumsi oksigen antara 10-20 mg/l O2 menunjukkan bahwa tingkat pencemaran oleh senyawa organik tinggi.

4.2.6 Salinitas (‰)

Nilai Salinitas yang diperoleh pada 4 stasiun penelitian ini sama yaitu berkisar 34 - 35‰. Nilai salinitas di perairan ini masih tergolong normal seperti yang dinyatakan oleh Nontji (1986), bahwa, di Samudra umumnya salinitas berkisar antara 34-35 ‰. Zat padat terlarut meliputi garam-garam anorganik, senyawa-senyawa

organik yang berasal dari organisme hidup, dan gas-gas terlarut. Ini disebabkan karena didalam air laut terlarut garam-garam yang paling utama adalah natrum klorida (NaCl) yang sering disebut garam dapur. Selain NaCl, di dalam air laut terdapat pula MgCl2, kalium, kalsium dan sebagainya. Salinitas adalah jumlah berat semua garam (dalam gram) yang terlarut dalam satu liter air, biasanya dinyatakan dengan satuan ‰ (permil, gram per liter), sedangkan menurut Brotowidjojo et al., (1995) menyatakan organisme lautan sejati tidak dapat bertahan pada salinitas laut normal (32-35‰). Kinsman (1964), Salinitas air laut di daerah tropis rata-rata sekitar 35‰, dan binatang karang hidup subur pada kisaran salinitas 34-35‰.

4.2.8 Jenis Subtrat

Jenis substart yang umum dihuni oleh Echinodermata pada stasiun penelitian ini berupa pasir, batu, pecahan karang, rumput laut, koloni karang. Hewan ini biasanya hidup melekat (sesil) pada substrat. Kehidupan organisme air ada juga ketergantungannya dengan bahan dan ukuran partikel dasar badan air. Dengan mengetahui bahan dasar dan ukuran partikel dasar perairan akan didapat informasi yang mungkin dapat menunjukkan tipe fauna yang terdapat di substrat badan air (Suin, 2002).

Dokumen terkait