• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh

DI KAWASAN PERAIRAN PULAU RUBIAH NANGGROE ACEH

DARUSSALAM

SKRIPSI

ERNI L. HUTAURUK

050805064

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMETERA UTARA

(2)

STUDI KEANEKARAGAMAN ECHINODERMATA

DI KAWASAN PERAIRAN PULAU RUBIAH,

NANGGROE ACEH DARUSSALAM

SKRIPSI

OLEH:

ERNI L. HUTAURUK

050805064

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih Gelar Sarjana Sains

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMETERA UTARA

(3)

PERSETUJUAN

Judul : STUDI KEANEKARAGAMAN ECHINODERMATA

DI KAWASAN PERAIRAN PULAU RUBIAH, NANGGROE ACEH DARUSSALAM

Kategori : SKRIPSI

Nama : ERNI L. HUTAURUK

Nomor Induk : 050805064

Program Studi : SARJANA (S1) BIOLOGI Departemen : BIOLOGI

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

Diusulkan di Medan, Desember 2009

Pembimbing II Pembimbing I

Mayang Sari. Y., S.Si., M.Si Prof. Dr. Ing. Ternala A. Barus, M.Sc

NIP: 197211261998022002 NIP: 195810161987031003

Diketahui/Disetujui oleh

Departeman Biologi FMIPA USU

(4)

PERNYATAAN

STUDI KEANEKARAGAMAN ECHINODERMATA DI

KAWASAN PERAIRAN PULAU RUBIAH, NANGGROE ACEH

DARUSSALAM

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini hasil karya saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Desember 2009

(5)

PENGHARGAAN

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Studi Keanekaragaman Echinodermata di Kawasan Perairan

Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam ” dalam waktu yang telah ditetapkan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Ing. Ternala Alexander Barus, M.Sc selaku pembimbing I dan Ibu Mayang Sari Yeanny, S.Si., M.Si selaku Dosen Pembimbing II. Panduan ringkas, padat dan profesional telah diberikan kepada penulis agar penulis dapat menyelesaikan tugas ini. Terima kasih kepada Bapak Drs. Nursal, M.Si selaku ketua penguji dan Bapak Dr. Syaf ruddin Ilyas,. MbioMed selaku sekretaris penguji yang telah banyak memberikan saran dan arahan demi penyelesaian skripsi ini. Kepada Ibu Dra. Nunuk Priyani M.Si selaku Dosen Pembimbing Akademik dan kepada Bapak Dr. Dwi Suryanto, M.Sc, selaku Ketua Departemen Biologi FMIPA USU serta seluruh staf pengajar dan pegawai di Departemen Biologi. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada Dekan FMIPA USU Prof. Dr. Eddy Marlianto., M.Sc.

Ucapan terima kasih yang tak ternilai penulis ucapkan kepada yang terhormat Ayahanda tercinta R. Hutauruk, dan Ibunda tercinta R. Siregar, buat tiap tetes keringat, air mata, harapan, doa dan dukungan moril sehingga penulis bisa menyelesaikan penulisan skripsi ini. Kepada kakak-kakakku tersayang Lusiana, Lena A.Md, untuk abangku terkasih: Irvan beserta istri, T Nababan, untuk adek-adekku Regina, Putri, dan Hendra serta keponakanku Fadli terima kasih atas semua doa dan semangat yang telah diberikan selama ini. Kepada seluruh keluarga yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, terima kasih atas doa dan semua dukungan selama ini.

Terima kasih kepada teman-teman seperjuangan dilapangan, Team Sabang; Taripar, Misran S.Si, Sarah, Fitria Rasmita Manurung dan Valen. Team Asahan River; Misran S.Si, Toberni Sartika Situmorang S.Si, Rosida Ambarita S.Si dan juga buat Beca dan Erna S.Si. Terima kasih buat Pak Dekri, B’Arif, B’Eponk dan semua masyarakat Sabang yang telah memberi bantuan terhadap kelancaran penelitian ini. Kepada senior-seniorku tersayang: B’Frans S.Si, B’David Hutauruk S.Si, B’Ginta S.Si (B’Asuh), B’Franhot S,Si, B’Yurik S.Si, B’Boy S.Si, B’Gokmen S.Si, K’Metha S.Si, K’Rini S.Si dan seluruh abang/kakak stambuk 2003 dan stambuk 2004 dan seluruhnya yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu. Kepada adek-adekku Buntil, Kotang, Bangol, Jupentus, Jaya, Remon, Siti, Tridola dan seluruh stambuk 2006, 2007, 2008, 2009. Kepada teman-teman 1 kost: K’tiur, Atur bataks, Ature H24, Eka, Oliv, Evan dan seluruh teman-teman Gitar 3A terima kasih atas kebersamaannya selama ini. Terima kasih buat Roy Stepanus Ginting yang saya sayangi, yang selalu memberi kasih sayang, semangat, doa, perhatian selama ini. Tuhan selalu memberkati.

(6)

Sarah, Valen, Misran, Taripar, Wulan, Imus, Widya, Winda, Susi, Nikmah, Seneng, Fatimah, Santi, Sarmut, Yanthi, Eri, Dwi, Utin, Elfrida, Kabul, Irfan, Efendi, Rahmat, Ajay, Fifi, Juned, Dahin, Diana, Verta, Nia, Andi, Umi, Dhini, Andini, Kalista.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini, untuk itu Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan hasil penelitian ini.

Medan, Desember 2009

(7)

ABSTRAK

Penelitian tentang “Studi Keanekaragaman Echinodermata di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Ranggroe Aceh Darussalam” telah dilakukan pada bulan Mei 2009. Penelitian ini dilakukan dengan Metoda Purposive Random Sampling yaitu menentukan 4 stasiun penelitian berdasarkan perbedaan aktivitas yang berlangsung di perairan tersebut. Pengamatan Echinodermata dilakukan pada transek yang berukuran 50 x 4 meter sebanyak 3 transek pada setiap stasiun. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat keanekaragaman echinodermata dan bagaimana hubungannya dengan faktor fisik kimia perairan. Dari hasil identifikasi diperoleh Echinodermata yang tergolong dalam 4 kelas, 5 ordo, 7 famili, 11 genus dan 13 spesies. Nilai kepadatan, kepadatan relatif tertinggi terdapat pada Diadema sp dengan nilai masing-masing sebesar 0,299 ind/m2, 41,134%. Nilai kepadatan dan kepadatan relatif terendah pada Culcita sp,

Actinopyga lecanora, Holothuria edulis dan Protoreaster nodosus sebesar 0,005

ind/m2, 0,709% pada setiap stasiun. Indeks keanekaragaman Echinodermata tertinggi terdapat pada stasiun 2 sebesar 1,859 dan terendah pada stasiun 4 sebesar 1,720. Indeks keseragaman (e) tertinggi pada stasiun 3 sebesar 0,773 dan terendah pada stasiun 4 sebesar 0,692. Persen tutupan karang yang tertinggi pada stasiun 2 sebesar 73,10% (kategori baik) dan terendah pada stasiun 4 sebesar 16,28% (kategori buruk).

(8)

STUDY OF ECHINODERMATA DIVERSITY AT THE OCEANIK OF RUBIAH ISLAND NANGGROE ACEH DARUSSALAM

ABSTRACT

The research with the title “Study of Echinodermata Diversity At The Oceanik Of Rubiah Island Nanggroe Aceh Darussalam” have been done at May 2009. This research is done with the method of Purpossive Random Sampling that is determine 4 research stasiun of pursuant to difference of society activity that goes on around this oceanik. Echinodermata survey done at the transect that sized 4 x 50 metres by 3 restating times rill each research stasion. This research target is to see the diversity of Echinodermata and the relation to percent cover of coral reef. From result identify to the Echinodermata obtained in 4 class, 5 ordo, 7 set of family, 11 genus and 13 species. The highest abundance and relative abundance is obtained at Diadema sp that is 0,299 ind./m2 and 41,134%. The lowest abundance and relative abundance at

Culcita sp, Actinopyga lecanora, Holothuria edulis and Protoreaster nodosus that is

0,005 ind/m2, 0,709% at each stasiun. The highest diversity index are at stasiun 2 that is 1,856 while the lowest are at stasiun 4 that is 1,720. Highest similarity index there are at station 3 that is 0,773 while the lowest of similarity index there are at 4 that is 0,692. The highest percent cover of coral reef are at stasiun 2 that is 73,10% (good cathegory) and the lowest are at stasiun 4 that is 16,28% (bad cathegory).

(9)

DAFTAR ISI

1.5Manfaat Penelitian 3

Bab 2 Tinjauan Pustaka 4

2.1 Echinodermata 4

2.2 Pembagian Echinodermata 5

2.3 Anatomi dan Morfologi 11

3.3 Pengukuran Faktor Fisik dan Kimia Perairan 18

3.4 Analisa Data 20

Bab 4 Hasil dan Pembahasan 23

4.1 Parameter Biotik 23

4.1.1 Nilai Kepadatan, Kepadatan Relatif, dan

Frekuensi Kehadiran 31

4.1.2 Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E),

dan Persen Tutupan Karang (r) 34

(10)

4.2 Parameter Abiotik 36

4.2.1 Suhu Air 37

4.2.2 Penetrasi Cahaya 37

4.2.3 Intensitas cahaya 37

4.2.4 pH Air 38

4.2.5 Oksigen Terlarut 38

4.2.6 Kejenuhan Oksigen 39

4.2.7 BOD5 39

4.2.8 Salinitas 39

4.2.9 Jenis Substrat 40

4.3 Nilai Analisis Korelasi Pearson Metoda Komputerisasi

SPSS Ver. 13.00 40

Bab 5 Kesimpulan dan Saran

5.1 Kesimpulan 43

5.2 Saran 44

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1: Alat dan Satuan yang Dipergunakan dalam Pengukuran

Faktor Fisik Kimia Perairan 20

Tabel 4.1: Klassifikasi dan Jenis Echinodermata yang didapat

pada Stasiun Penelitian 23

Tabel 4.2: Nilai Kepadatan Populasi (ind./m2), Kepadatan Relatif (%),

dan Frekuensi Kehadiran (%) pada Setiap Stasiun Penelitian 31 Tabel 4.3: Indeks Keanekaragaman (H’), Persen Tutupan Karang (r)

dan Keseragaman (E) Echinodermata pada Setiap

Stasiun Penelitian 34

Tabel 4.4: Nilai Indeks Similaritas (IS) pada Setiap Stasiun Penelitian 36 Tabel 4.5: Rata-rata Nilai Faktor Fisik Kimia Perairan yang Diperoleh

pada setiap Stasiun Penelitian 36

Tabel 4.6: Nilai Analisis Korelasi Keanekaragaman Echinodermata

dengan Faktor Fisik Kimia Perairan 40

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran A: Bagan Kerja Metode Winkler Untuk Mengukur DO 47

Lampiran B: Bagan Kerja Metode Winkler Untuk Mengukur BOD5 48

Lampiran C: Nilai Oksigen Terlarut Maksimum (mg/l) pada

Berbagai Besaran Temperatur Air 49

Lampiran D: Peta Lokasi 50

Lampiran E: Foto Lokasi 51

Lampiran F: Jumlah dan Jenis Echinodermata yang di dapat pada

Setiap Stasiun Penelitian 52

Lampiran G: Contoh Hasil Perhitungan 53

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.3.1 Struktur Bintang Laut 6

Gambar 2.3.2 Morfologi Crinoid 7

Gambar 2.3.3 Morfologi Echinoidea 8

Gambar 2.3.4 Morfologi Holothuroidea 9

Gambar 2.3.5 Morfologi Ophiroidea 10

Gambar 4.1.1 Achantaster plancii 24

Gambar 4.1.2 Culcita sp 24

Gambar 4.1.3 Linkia laevigata 25

Gambar 4.1.4 Protoreaster nodosus 25

Gambar 4.1.5 Colobometra sp 26

Gambar 4.1.6 Comanthus sp 26

Gambar 4.1.7 Diadema sp 27

Gambar 4.1.8 Echinometra mathaei 27

Gambar 4.1.9 Holothuria atra 28

Gambar 4.1.10 Holothuria edulis 28

Gambar 4.1.11 Actinopyga lecanora 29

Gambar 4.1.12 Holothuria sp 29

(14)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Di Nanggroe Aceh Darussalam terdapat 4 pulau kecil yang mengelilingi Pulau Weh:

sebagai tempat pariwisata menyelam karena terumbu karangnya dan kekayaan biota

laut yang melimpah. Perairan Pulau Rubiah yang termasuk dalam kawasan Taman

Wisata Bawah Laut Pulau Weh yang berada di Kota Sabang memiliki hamparan

terumbu karang dan banyak kegiatan wisata alam di tempat ini seperti naik sampan,

berenang, diving, penggunaan kapal mesin dan lain-lain. Beragam biota laut hidup

dalam ekosistem ini, termasuk anggota Echinodermata yang merupakan salah satu

pembentuk ekosistem terumbu karan

Echinodermata berasal dari bahasa Yunani Echinus berarti landak, dan derma

berarti kulit. Semua jenis Echinodermata hidup dilaut, mulai dari daerah litoral sampai

kedalaman 6.000 m. Termasuk dalam filum Echinodermata antara lain bintang laut,

bulu babi, teripang dan lain-lain. Umumnya berukuran besar, yang terkecil

berdiameter 1 cm (Brotowidjoyo, 1994).

Ekosistem terumbu karang merupakan habitat dari berbagai fauna invertebrata.

Echinodermata merupakan salah satu kelompok biota penghuni terumbu karang yang

cukup menonjol. Kelompok ini dapat hidup menempati berbagai macam mikro habitat

seperti zona rataan terumbu, daerah pertumbuhan alga, padang lamun, koloni karang

hidup dan karang mati dan juga beting karang (rubbles dan boulders). Kehadiran dan

peranan fauna Echinodermata di ekosistem terumbu karang sangat banyak. Fauna

Echinodermata mempunyai peranan pada ekosistem terumbu karang sebagai jaringan

makanan dan juga sebagai herbivora, carnivora, omnivora ataupun sebagai pemakan

detritus. Salah satu contohnya adalah beberapa jenis teripang dan bulu babi

(15)

peningkatan kelimpahan bisa membawa perubahan besar dalam struktur komunitas

koral (Clark & Rowe 1971).

Echinodermata merupakan sumber daya hayati perairan laut yang cukup

digemari, Echinodermata diexploitasi oleh masyarakat sebagai sumber pakan,

sehingga populasi echinodermata berkurang, untuk mengatasi hal tersebut pemerintah

telah mengambil kebijakan dalam undang-undang seperti yang tercantum dalam 3 SK

Menteri Kehutanan yakni SK No. 12 Th. 1987 Tentang Flora Fauna yang Dilindungi,

No. 301 Th. 1991 tentang Konversi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya dan No.

882 Th. 1992 tentang Perlindungan Biota Perairan Air Laut (Anonimous, 1993).

Kelangsungan hidup Echinodermata dipengaruhi oleh faktor fisik kimia

perairan seperti suhu, pH, salinitas, oksigen terlarut dan lain-lain. Sejauh ini belum

diketahui jenis-jenis Echinodermata yang terdapat di Pulau Rubiah dan hubungan

faktor fisik kimia perairan dengan keanekaragaman Echinodermata, serta pengaruh

persen tutupan karang terhadap nilai keanekaragaman Echinodermata, oleh sebab itu

dilakukan penelitian “Studi Keanekaragaman Echinodermata di Perairan Pulau

Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam”.

1.2 Permasalahan

Perairan Pulau Rubiah merupakan tempat wisata yang memiliki hamparan terumbu

karang yang cukup luas. Echinodermata merupakan salah satu biota yang banyak

terdapat di ekosistem terumbu karang di perairan ini. Sejauh ini belum diketahui

keanekaragaman Echinodermata di perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh

Darussalam dan bagaimana hubungannya dengan faktor fisik kimia perairan, oleh

(16)

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui jenis-jenis Echinodermata di Perairan Pulau Rubiah,

Nanggroe Aceh Darussalam.

2. Untuk mengetahui hubungan faktor fisik kimia perairan dengan nilai

keanekaragaman Echinodermata.

3. Untuk mengetahui hubungan persen tutupan terumbu karang dengan

keanekaragaman Echinodermata.

1.4 Hipotesis

1. Adanya perbedaan keanekaragaman Echinodermata pada setiap stasiun

penelitian di Perairan Pulau Rubiah, Nanggroe Aceh Darussalam.

2. Adanya hubungan faktor fisik kimia perairan dengan nilai keanekaragaman

Echinodermata

3. Adanya perbedaan persen tutupan karang pada setiap stasiun dan berhubungan

dengan keanekaragaman Echinodermata.

1.5 Manfaat

Penelitian ini dapat bermanfaat sebagai informasi bagi penelitian selanjutnya

mengenai keanekaragaman Echinodermata yang terdapat di Perairan Pulau Rubiah

dan sumber data bagi pihak-pihak terkait yang berguna dalam usaha pelestarian biota

(17)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Laut

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai luas sekitar

3,1 km2 dengan kawasan pesisir menempati garis pantai sepanjang 81.000 km. Kawasan ini memiliki berbagai ekosistem pendukung yang sangat beragam seperti

ekosistem hutan manggrove, terumbu karang, padang lamun. Keanekaragaman hayati

lainnya terutama bagi potensi pesisir yang khas di perairan tropis dan sangat penting

bagi kehidupan biota lainnya adalah terumbu karang atau (coral reff) (Romimohtarto

& Juwana, 2001).

Terumbu karang adalah karang yang terbentuk dari kalsium karbonat koloni

karang laut yang bernama polip yang bersimbiosis dengan organisme mikroskopis

yang bernama zooxanthellae. Zooxhantellae adalah algae dari kelompok

Dinoflagellata yang bersimbiosis dengan hewan seperti karang, anemon, moluska dan

lain sebagainya. Sebagian besar zooxhantellae berasal dari genus Symbiodinium.

Jumlah zooxhantellae pada karang diperkiran 1 juta sel/cm2 permukaan karang. Dalam

asosiasi ini karang memperoleh keuntungan berupa hasil fotosintesis seperti gula,

asam amino dan oksigen sebagai nutrisi bagi karang dan zooxhantellae dapat memper

oleh tempat tinggal

Banyak biota penghuni ekosistem terumbu karang yang memiliki nilai

ekonomi yang tinggi misalnya: ikan karang, rumput laut, Echinodermata, karang batu

dan lain sebagainya. Pertumbuhan terumbu karang sangat lambat, hanya beberapa cm

per tahun. Terumbu karang yamg kita lihat sekarang sebenarnya adalah hasil karya

karang batu selama ribuan tahun. Untuk melindungi terumbu karang ini telah

(18)

2.2 Echinodermata

Echinodermata adalah hewan laut yang memiliki kulit berduri atau berbintil.

Hewan-hewan ini dibagi dalam dibagi dalam 5 kelas utama yakni: teripang (Holothuroidea),

bintang laut (Asteroidea), bintang ular (Ophiuroidea), bulu babi (Echinoidea) dan lili

laut (Crinoidea). Hewan ini sangat umum di jumpai di daerah pantai terutama di

daerah terumbu karang. Di Indonesia dan sekitarnya (kawasan Indi-Pasifik Barat)

terdapat teripang kurang lebih 141 jenis, bintang laut 87 jenis, bintang ular 142 jenis,

bulu babi 84 jenis dan lili laut 91 jenis (Nontji, 1993).

Anggota filum Echinodermata adalah penghuni lingkungan bahari, terutama di

laut bentik. Ciri khasnya adalah tubuh yang menjurus lima tersusun mengelilingi suatu

sumbu polar. Hewan ini memiliki kerangka dalam yang mempunyai duri (spine).

Sistem pencernaan cukup berkembang, tetapi tidak memiliki sistem ekskresi.

Kebanyakan anggota filum Echinodermata diosius, bersaluran reproduksi sederhana,

fertilisasi berlangsung eksternal (Ruppert, 1991). Brotowidjoyo (1994), menyatakan

hewan ini memiliki sistem digesti lengkap walaupun anus tidak berfungsi. Menurut

Niel A. Campbell et al., (2003), bahwa reproduksi seksual anggota filum

Echinodermata pada umumnya melibatkan individu jantan dan betina yang terpisah

(diosius) dan membebaskan gametnya ke dalam air.

2.3 Pembagian Echinodermata

Hyman (1955), menyatakan kelas Echinodermata antara lain : Crinoidea,

Asteroidea, Ophiuroidea, Echinoidea dan Holothuroidea.

(19)

Asteroidea atau banyak orang menyebutnya bintang laut, biasanya di jumpai merayap

pada batu, pasir dan terumbu karang dalam laut. Mulut hewan ini berada di sisi bawah

terletak ditengah-tengah cakram dan anus diatas. Asteroidea termasuk karnivora,

makanan berupa ikan, tiram, kerang, teritip, keong, cacing, crustaceae dan lain-lain.

Beberapa jenis merupakan pemakan bangkai. Achantaster merupakan hama pada

terumbu karang yang memakan polip Coelenterata. Warna bintang laut ini menarik,

biasanya ujung duri berwarna kemerahan atau orange sedangkan permukaan lengan

berwarna abu-abu kebiruan. Habitat bintang laut ini adalah terumbu karang terutama

dilereng terumbu pada kedalaman 2 sampai 6 meter (Nontji, 1993).

Seluruh tubuhnya tertutup oleh duri kecuali pada lekuk sisi oral disebut celah

ambulakral dan ada juga yang tidak memiliki duri. Alat gerak berupa kaki tabung.

Branchi muncul diantara papan-papan kapur yang berfungsi sebagai alat pernafasan

dan ekskresi. Hewan ini memiliki sistem saluran air, lambung, madreporit (saluran

keluar masuknya air) dan anus (Gambar 2.3.1). Permukaan tubuhnya terdapat

pediselariae sebagai alat tambahan dan bentuk seperti angkup yang berfungsi untuk

menghilangkan benda-benda asing di permukaan tubuhnya (Vinomo, 2007).

Gambar 2.3.1 Struktur tubuh bintang laut

Reproduksi Asteroid umumnya dioecious, mempunyai lima pasang gonad

pada tiap tangan. Telur dan sperma dilepas ke air, pembuahan diluar dan setelah 2 hari

menjadi blastula yang berenang bebas. Larva mulai makan pada saat saluran

pencernaan sudah terbentuk. Makanan larva adalah fitoplankton dan partikel

tersuspensi. Enam atau tujuh minggu kemudian larva turun ke substrat dan mengalami

(20)

yang mencapai 34 tahun (Romimohtarto & Juwana, 2001). Bintang laut dan beberapa

Echinodermata mampu melakukan regenerasi. Bintang laut dapat menumbuhkan

kembali lengan yamg hilang dan bahkan anggota satu genus dapat menumbuhkan

kembali keseluruhan tubuh dari sebuah lengan (Niel A. Campbell et al., 2003).

2.3.2 Kelas Crinoidea

Kelompok hewan ini dinamakan lili laut atau bintang bulu yang mempunyai bentuk

yang indah. Sebagian dari mereka hidup dilaut dan beberapa jenis mendiami laut

dangkal seperti terumbu karang. Ukurannya tidak lebih dari 40 cm panjangnya dan

warna mencolok. Hewan ini memiliki tangkai, kelopak dan lengan. Setiap lengan

bercabang 2 atau lebih. Setiap cabang mempunyai ranting-ranting melintang disebut

pinula dan cabang- cabang ini membuat hewan ini berbulu (Gambar 2.3.2). Hewan

ini memakan plankton kecil dibawa oleh lengan. Hewan ini peka, tetapi mempunyai

kemampuan regenerasi yang tinggi sehingga dapat menyembuhkan diri dari luka

(Nontji, 1993).

Gambar 2.3.3. Morfologi Crinoid

Reproduksi secara seksual dan dioecious. Gonad terdapat pada pangkal

beberapa pinula atau pangkal tangan. Pembuahan di air laut atau dierami. Telur

bintang bulu dilekatkan pada sejumlah pinula. Telur menjadi larva, berenang bebas

untuk beberapa hari. Selanjutnya turun dan melekat pada substrat dan mengalami

proses metamorfosis menjadi bentuk larva bertangkai kecil yang disebut pentacrinoid

yang berukuran 3 mm dan proses metamorfosa membutuhkan waktu 6 minggu hingga

(21)

Proses makan hewan ini dengan menyaring air, plankton masuk ke celah

bersilia lalu lengan dan pinula kemudian dialirkan ke mulut. Organ pencernaan ada di

calyx. Makanan dibuang melalui anus yang di dekat mulut. Semua jenis dari

kelompok ini mempunyai nilai ekonomi yang tinggi baik untuk dijadikan bahan

makanan maupun untuk bahan hiasan di akuarium, kecuali bulu seribu, mahkota

seribu atau mahkota duri merupakan jenis yang merusak, karena bila populasinya

berlimpah akan memakan polip-polip karang dan menyebabkan karang berwarna

putih serta lama-kelamaan sebagian populasi karang akan rusak dan mati (Nybakken,

1988).

2.2.3 Kelas Echinoidea

Pada permukaan tubuh hewan ini terdapat tonjolan-tonjolan pendek yang bulat yaitu

tempat menempel duri yang tersusun dari zat kapur atau hewan ini sering disebut

landak laut. Hewan ini terdiri dari duri, kaki tabung, turberkel (Gambar 2.3.3).

Adakalanya duri tersebut panjang, runcing, di dalamnya berlubang dan rapuh ada juga

duri hewan ini pendek dan tumpul. Racunnya sangat keras dan menyakitkan bagi

manusia bila tertusuk. Pedicellaria pada bulu babi juga ada yang beracun, berfungsi

untuk menghalau atau melumpuhkan binatang-binatang kecil yang mengotori atau

mengganggu. Hewan ini biasanya hidup di sela-sela pasir atau bebatuan pantai atau di

dasar laut. Tubuhnya tanpa lengan hampir bulat atau gepeng (Sugiarto, 2007).

Gambar. 2.3.3 Morfologi Echinoidea

Saluran pencernaan lengkap, terdiri atas mulut, esofagus, perut, usus yang

(22)

sessile, bangkai, beberapa jenis memakan detritus dan lain-lain. Reproduksi secara

seksual, dioecious dan pembuahan di luar. (Ruppert, 1991).

2.3.4 Kelas Holothuroidea

Sebagai contohnya, teripang atau timun laut (Thyone briereus). Tubuhnya lunak,

berbentuk seperti kantung memanjang. Dalam kulitnya terdapat papan-papan kecil

dari kapur. Pada satu ujung terdapat mulut yang dikelilingi oleh tentakel-tentakel

bercabang (Gambar 2.3.4). Tentakel ini berongga dan dapat memanjang karena

tekanan air, hewan ini tidak memiliki duri (Sugiarto, 2007).

Gambar 2.3.4. Morfologi Timun Laut

Timun laut merayap lambat sekali, biasanya bersembunyi dalam lubang atau

celah batu dan oral atau menanamkan diri dalam lumpur atau pasir laut dan hanya

bagian posteriornya saja yang nampak. Umumnya hewan ini aktif pada malam hari

berkeliaran pada mencari makan. Makanannya ialah bahan organik yang terdapat

dalam sampah substrat atau plankton yang melekat pada lendir tentakel. Satu persatu

tentakel dimasukkan dalam pharink dan ketika ditarik keluar maka butir-butir

makanan akan melekat pada lendir tentakel dan selanjutnya ditelan. Sistem

pencernaan terdiri atas mulut, pharink, esofagus, lambung, usus, cloaca, dan anus

(Brotowidjoyo, 1994).

Teripang (Holothuroidea) merupakan golongan yang paling umum dijumpai.

Hewan ini banyak terdapat di paparan turumbu karang, pantai berbatu atau berlumpur

(23)

sekitar 7.000 m. Susunan bentuk dasar tubuh Echinodermata tidak jelas terlihat pada

bentuk luar teripang ini karena karangka luarnya tidak ada. Hewan ini sangat bergerak

lamban sehingga seakan-akan teripang selalu dalam keadaan diam pada waktu kita

lihat di alam bebas. Untuk melindungi diri dari musuh, hewan ini mengeluarkan lendir

yang beracun dari tubuhnya. Ada juga jenis yang menyemprotkan getah yang sangat

lengket dari duburnya apabila diganggu. Banyak jenis hewan ini yang bisa dikonsumsi

bahkan merupakan bahan makanan yang istimewa di restoran Cina (Nontji, 1993).

2.3.5 Kelas Ophiuroidea

Hewan ini memiliki 5 lengan atau tangan yang panjang, berfungsi sebagai alat gerak,

Tangan rapuh dan mudah putus namun akan tumbuh tangan baru (Gambar 2.3.5).

Kelima tangan ini bergerak-gerakkan sehingga menyerupai ular. Oleh karena itu

hewan jenis ini sering disebut bintang ular laut. Hewan ini rentan terhadap lingkungan

dan aktif pada malam hari, berenang dan mencari makan dengan bantuan

tangan-tangannya yang gemulai dan dapat meliuk-liuk seperti ular. Bagian mulut akan

membentuk bagian yang hilang (Ruppert, 1991).

Gambar 2.3.5. Ophiuroidea

Hewan Ofiuroidea hidup dilaut, bersembunyi diantara rumput laut, dalam

lumpur atau dalam pasir yang aktif pada malam hari dan hidup berenang, makanan

terdiri dari moluska, krustacae, jasad renik dan zat organik yang sedang membusuk

yang berada di dasar parairan. Cara makan dengan mengangkat lengan ke atas dalam

air untuk menangkap plankton dan bahan makanan lainnya. Hewan ini tidak memiliki

(24)

& Juwana, 2001). Dalam Nontji (1993) menyatakan bintang mengular biasanya sukar

dijumpai karena lebih senang pada tempat-tempat yang agak gelap di bawah batu atau

celah-celah karang. Diatom merupakan makanannya utama, tetapi ada pula yang

memakan berbagai hewan kecil.

Kebanyakan Ophiuroid adalah dioecious. Pembuahan diluar, menghasilkan

larva ophiopluteus yang berenang bebas. Beberapa hari kemudian mengalami

metamorfosa mengalami hidup dewasa. Beberapa jenis mempunyai kantung

pengeraman dan larvanya berenang bebas (Brotowidjoyo, 1994).

2.3 Anatomi dan Morfologi Echinodermata

Hewan Echinodermata bertubuh kasar karena ditutupi tonjolan kerangka atau duri

yang memiliki berbagai fungsi tetapi ada juga sebagian tidak memiliki duri seperti

timun laut. Sistem pencernaan cukup berkembang, tetapi tidak memiliki sistem

ekskresi. Kebanyakan hewan ini diosius, saluran reproduksi sederhana, sedangkan

fertilisasi berlangsung eksternal (Pecherik, 2005).

Sistem pembuluh air berfungsi untuk mengerakkan kaki tabung (tube feet)

dengan cara mengatur masuk dan keluarnya air laut melalui madreporit (saluran

keluar masuknya air). Kontraksi ampula mengatur volume air dalam kaki tabung,

berarti mengatur gerak kaki tabung. Kaki tabung juga berfungsi untuk merayap,

berpegang pada substrat, memegang mangsa atau membantu pertukaran gas O2 dan

CO2 (Nontji, 1993).

Alat pernafasan utama Echinodermata ialah insang kulit yang merupakan

perluasan rongga tubuh yang keluar melalui lubang-lubang kecil di antara osscle

kapur. Rongga tubuh berisi cairan semacam getah bening, mengandung amebocyte

yang berkepentingan dalam peredaran darah, pernafasan dan ekskresi. Didalam

rongga tubuh terdapat organ dalam seperti kelenjar pencernaan (Ruppret, 1991).

Hewan ini bertahan hidup dengan suatu sistem pembuluh air yang unik yang

(25)

ditempatkan di bagian bawah dari tubuh. Organ bagian badan terdiri dari suatu lima

bagian simetris termasuk gigi dan struktur seperti lidah yang gemuk (Sugiarto, 2007).

2.5 Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Kehidupan Echinodermata.

2.5.1 Cahaya

Ganggang yang hidup pada terumbu karang (zooxanthella), memerlukan

cahaya yang cukup untuk dapat melakukan fotosintesis. Umumnya Echinodermata

hidup pada pantai berpasir, berlumpur dan melekat pada terumbu karang.

Reksodihardjo-Lilley (1996), menyatakan bahwa Echinodermata hidup pada karang

merupakan hewan yang bersimbiosis dengan zooxanthella. Stowe (1987), berpendapat

bahwa dasar dari rantai makanan pada komunitas terumbu adalah proses fotosintesis

oleh alga yang hidup bersama dalam jaringan biota-biota lain. Nontji (1993),

menyatakan bahwa makanan Echinodermata berupa ikan, tiram, kerang, teritip, keong,

cacing, crustaceae, polip karang, ganggang dan lain-lain. Beberapa jenis merupakan

pemakan bangkai, sedangkan Achantaster merupakan hama pada terumbu karang

yang memakan polip Coelenterata.

2.5.2 Suhu

Pada setiap penelitian perairan, pengukuran suhu adalah hal yang harus dilakukan

sebab kelarutan berbagai gas dalam air serta seluruh aktivitas biologis dan fisiologis

organisme perairan sangat dipengaruhi oleh suhu ( Brehm dan Meijering, 1990 dalam

Barus, 1996). Kinsman (1964) dalam Supriharyono (2002) menyebutkan bahwa batas

minimum dan maksimum suhu berkisar antara 16°C -17° dan 36° C.

Pola temperatur ekosistem akuatik dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti

(26)

juga oleh faktor kanopi (penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh di tepi

perairan (Brehm et al., 1990 dalam Barus, 1996).

2.5.3 Salinitas

Ciri paling khas pada air laut adalah rasa asin, karena mengandung

bermacam-macam garam dan yang paling utama adalah NaCl. Diperairan Samudra salinitas

biasanya berkisar antara 34-35‰ (Nontji, 1993). Salinitas rata-rata di daerah tropis

adalah sekitar 35‰, dan organisme laut tidak dapat bertahan pada salinitas yang

menyimpang dari salinitas laut normal, 32-35 ‰ (Brotowidjojo et al., 1995). Namun

pengaruh salinitas tergantung pada kondisi perairan laut setempat atau pengaruh alam

seperti badai dan hujan (Supriharyono, 2002).

2.5.4 DO (Disolved Oxygen)

DO merupakan banyaknya oksigen terlarut dalam suatu perairan. Oksigen

terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam ekosistem perairan,

terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian besar organisme air.

Kelarutan oksigen di dalam air terutama sangat dipengaruhi oleh faktor suhu, dimana

kelarutan maksimum terdapat pada suhu 00C, yaitu sebesar 14,16 mg/l O2 sedangkan nilai oksigen terlarut di perairan sebaliknya tidak lebih kecil dari 8 mg oksigen/liter

air. Dengan peningkatan suhu akan menyebabkan konsentrasi oksigen akan menurun

dan sebaliknya suhu yang semakin rendah akan meningkatkan konsentrasi oksigen

terlarut. Sumber utama oksigen terlarut dalam air berasal dari adanya kontak antara

permukaan air dengan udara dan juga dari proses fotosintesis (Barus, 2004). Menurut

Michael (1994), oksigen hilang dari air alam oleh adanya pernafasan biota,

pengurairan bahan organik, aliran masuk air bawah tanah yang miskin oksigen dan

(27)

2.5.5 BOD (Biological Oxygen Demand)

BOD adalah peristiwa penguraian bahan buangan organik melalui proses

oksidasi oleh mikroorganisme di dalam air adalah proses alamiah yang mudah terjadi

air memiliki oksigen yang cukup (Wardhana, 2000). Nilai konsentrasi BOD

menunjukkan suatu kualitas perairan yang masih tergolong baik dimana apabila

konsumsi O2 selama periode 5 hari berkisar sampai 5 mg/l O2 maka perairan tersebut

tergolong baik, apabila konsumsi O2 berkisar antara 10 mg/l – 20 mg/l O2 akan

menunjukkan tingkat pencemaran oleh materi organik yang tinggi dan air limbah nilai

BOD umumnya lebih dari 100 mg/l (Brower et al., 1990).

2.5.6 pH (Derajat Keasaman)

Setiap spesies memiliki kisaran toleransi yang berbeda terhadap pH. pH yang

ideal bagi kehidupan organisme akuatik termasuk makrozoobentos pada umumnya

berkisar antara 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun

sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan

menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi. Disamping itu pH yang

sangat rendah akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat yang

bersifat toksik semakin tinggi yang tentunya akan mengancam kelangsungan hidup

organisme akuatik. Sementara pH yang tinggi akan menyebabkan keseimbangan

antara amonium dan amoniak dalam air akan terganggu, dimana kenaikan pH diatas

akan meningkatkan konsentrasi amoniak yang juga bersifat sangat toksik bagi

organisme (Barus, 2004).

2.5.8 Jenis Substrat Dasar

Menurut Seki (1982), komponen organik utama yang terdapat di dalam air

adalah asam amino, protein, karbohidrat, dan lemak. Sedangkan komponen lain

(28)

Tetapi hanya 10% dari material organik tersebut yang mengendap sebagai substrat ke

dasar perairan.

2.5.9

Dengan terbentuknya kedalaman lapisan air intensitas cahaya tersebut akan

mengalami perubahan yang signifikan baik secara kualitatif maupun kuantitatif.

Cahaya gelombang pendek merupakan yang paling kuat mengalami pembiasan yang

menyebabkan kolam air yang jernih akan terlihat berwarna biru dari permukaan. Pada

lapisan dasar, warna air akan berubah menjadi hijau kekuningan, karena intensitas dari

warna ini paling baik ditransmisi dalam air sampai dasar (Barus, 2004).

Menurut Romimohtaro & Juwana (2001), banyaknya cahaya yang menembus

permukaan air laut dan menerangi lapisan permukaan air laut memegang peranan

penting dalam menentukan pertumbuhan fitoplankton. Bagi hewan laut, cahaya

mempunyai pengaruh terbesar yaitu sebagai sumber energi untuk proses fotosintesis

tumbuh-tumbuhan yang menjadi sumber makanannya.

2.5.10 Penetrasi Cahaya

Kemampuan penetrasi cahaya sampai dengan kedalaman tertentu juga akan

mempengaruhi distribusi dan intensitas fotosintesis tumbuhan air di badan perairan

(Brower et al., 1990). Pengaruh utama dari kekeruhan adalah penurunan penetrasi

cahaya secara mencolok. Sehingga menurunkan aktivitas fotosintesis fitoplankton dan

alga, akibatnya akan menurunkan produktivitas perairan.

2.6 Habitat & Manfaat

Di daerah rataan terumbu binatang ini dapat menempati berbagai habitat seperti,

rataan pasir (sand flat), timbunan karang mati (rubbles dan boulders) dan daerah tubir

(29)

penyebaran karang batu dan dapat juga ditemukan di daerah pulau-pulau karang atau

daerah pesisir yang ditumbuhi karang batu (fringing reef) (Kobayashi dan Nakamura,

1967).

Zooxanthellae adalah alga ber-sel satu yang hidup di dalam jaringan tubuh

karang batu. Zooxanthelae dan karang memiliki hubungan simbiosis yang saling

menguntungkan. Zooxanthellae menyediakan makanan untuk polip karang

melalui proses memasak yang disebut fotosintesis, sedangkan polip karang

menyediakan tempat tinggal yang aman dan terlindung untuk zooxanthellae

(30)

BAB 3

BAHAN DAN METODA

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada 4-8 Mei 2009 di Kawasan Perairan Pulau

Rubiah, Nanggroe Aceh Darussalam. Dimana dalam menentukan titik koordinatnya

digunakan GPS (Global Posisition System). Secara geografis lokasi penelitian ini

berada pada:

a) Stasiun 1, 05o53’018” LU dan 95o15’17,29” BT s/d 05o52’59,2” LU dan 95o15’18,5” BT, dimana daerah ini memiliki terumbu karang yang baik tetapi sebagian rusak akibat pengaruh dari bencana Tsunami

b) Stasiun 2, 5o53’01,4” LU dan 95o15’32,4” BT s/d 5o53’06,6” LU dan 95 o

15’28,1” BT, dimana daerah ini merupakan daerah kontrol tidak terdapat

aktivitas masyarakat.

c) Stasiun 3, 5o52’32,8” LU dan 95o15’34,8” BT s/d 5o52’39,2” LU dan 95o15’35,6” BT, dimana daerah ini merupakan daerah wisata pantai berpasir

juga ditemukan aktifitas masyarakat seperti penginapan, snorkeling tetapi

daerah ini tergolong alami karena memiliki terumbu karang yang baik

d) Stasiun 4 05o52’32,1” LU dan 95o15’31,3” BT s/d 05o52’35,8” LU dan 95o15’28,97” BT, dimana daerah ini memiliki terumbu karang yang rusak atau dalam kriteria buruk karena dekat dengan pemukiman penduduk, lalu

(31)

3.2 Metoda Penelitian

Metoda yang digunakan dalam penentuan lokasi sampling adalah “Purposive

Random Sampling”. Ditentukan 4 stasiun pengamatan di daerah penelitian. Dibuat 3

transek pada setiap stasiun pengamatan dengan ukuran 50 x 4 meter sejajar garis

pantai. Jarak setiap transek 10 meter, sedangkan jarak setiap stasiun adalah 300 meter.

Metoda yang digunakan dalam pengamatan sample adalah Foto dan Visual Sensus,

dimana pengamatan sampel dengan cara merenang (snorkling) dan menyelam (diving)

sepanjang transek yang sudah ditentukan. Waktu yang dibutuhkan untuk mengamati

setiap transek kurang lebih 1 jam. Jenis Echinodermata yang diperoleh difoto, diamati

bentuk morfologi tubuh, dihitung dan diidentifikasi.

3.3 Pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan

Faktor fisik kimia perairan yang diukur mencakup:

3.3.1 Suhu (ºC)

Suhu air diukur dengan menggunakan alat termometer. Diambil satu ember

dari sampel air kemudian termometer dimasukkan kedalamnya. Lalu dibaca skala dari

termometer tersebut dan dicatat.

3.3.2 pH (Derajat Keasaman)

Pengkuran pH dengan menggunakan pH meter dengan cara memasukkan pH

meter ke dalam sampel air yang diambil dalam ember. Kemudian dibaca angka yang

(32)

3.3.3 Salinitas (‰)

Salinititas perairan diukur dengan menggunakan refraktometer yaitu dengan

cara sampel air diambil dengan menggunakan pipet tetes. Pada permukaan dasar yang

telah dibersihkan diteteskan 1 tetes, ditutup dan dibaca skala penunjuk angka.

3.3.4 Oksigen Terlarut atau Disolved Oxygen (DO) (mg/l)

Disolved Oxygen (DO) diukur dengan menggunakan metoda winkler. Sampel

air diambil dari dasar perairan dan dimasukkan ke dalam botol winkler kemudian

dilakukan pengukuran oksigen terlarut. Dengan menggunakan reagen-reagen kimia

yaitu MnSO4, KOHKI, H2SO4, Na2S2O3, dan amilum. Alur kerja DO dapat dilihat

pada lampiran A.

3.3.5 BOD5

Pengukuran BOD5 dilakukan dengan menggunakan metoda winkler. Sampel air yang diambil dari dasar perairan dimasukkan ke dalam botol winkler. BOD5 diukur dengan menggunakan reagen-reagen kimia yaitu MnSO4, KOHKI, H2SO4, Na2S2O3, dan amilum. Alur kerja BOD5 dapat dilihat pada lampiran B.

3.3.6 Penetrasi cahaya (cm)

Pengukuran penetrasi cahaya dilakukan dengan menggunakan keping secchi

yang dimasukkan kedalam air hingga tidak nampak dari permukaan, kemudian diukur

(33)

3.3.7 Kejenuhan Oksigen ( %)

Secara keseluruhan pengukuran faktor fisik kimia berserta satuan dan alat yang

digunakan dapat dilihat pada tabel 3.1

Tabel 3.1 Alat dan Satuan yang Dipergunakan dalam Pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan

2 Penetrasi Cahaya Cm Keping Seechi In-situ

3 Intensitas Cahaya Candela Lux Meter In-situ

4 pH air - pH air In-situ

Data Fauna Echinodermata yang diperoleh dihitung nilai kepadatan populasi,

kepadatan relatif, frekuensi kehadiran, indeks diversitas Shannon-Wienner, indeks

equitabilitas dan indeks similaritas dengan persamaan menurut Michael (1984) dan

(34)

3.4.1 Kepadatan Populasi (K)

dengan: ni = jumlah individu spesies 1 ∑N = total individu seluruh spesies

3.4.4 Indeks Diversitas Shannon – Wienner (H’)

H’= -

pilnpi

dimana :H’ = indeks diversitas Shannon-Wienner pi = proporsi spesies ke-i

In = logaritma nature

(35)

dengan nilai H’: 0<H’<2,302 = keanekaragaman rendah 2,302<H’<6,907 = keanekaragaman sedang

H’>6,907 = keanekaragaman tinggi

3.4.5 Indeks Equitabilitas (E)

Indeks equitabilitas (E) =

max H

H'

dimana :H’ = indeks diversitas Shannon-Wienner H maks = keanekaragaman spesies maksimum

= In S (dimana S banyaknya spesies) dengan nilai E berkisar antara 0-1

3.4.6 Indeks Similaritas (IS)

IS = x100%

b a

2c

+

dengan: a = jumlah spesies pada lokasi a b = jumlah spesies pada lokasi b

c = jumlah spesies yang sama pada lokasi a dan b

Bila: IS = 75 – 100% : sangat mirip IS = 50 – 75% : mirip

IS = 25 – 50% : tidak mirip

(36)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Parameter Biotik

Hasil penelitian yang telah dilakukan terdapat 13 spesies Echinoermata, terdiri dari: 1

filum, 4 kelas, 5 ordo, 7 famili, 11 genus dan 13 spesies.

Tabel 4.1 Klasifikasi dan Jenis Echinodermata yang didapat pada Stasiun Penelitian Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies 1

Echinodermata

Asteroidea Spinulosida Acanthasteridae Achantaster A. plancii

2 Valvatida Ophidiasteridae Linkia L. laevigata

3 Protoreaster P. nodosus

4 Oreasteridae Culcita Culcita sp

5 Crinoidea Comatulida Colobometridae Colobometra Colobometra sp

6 Comasteridae Comanthus Comanthus sp

7 Echinoidea Cidaroidea Diadematoidae Diadema Diadema sp

8 Echinometridae Echinometra Echinometra sp

9 Holothuroidea Aspidochirotida

Holothuroidae Actinopyga A.lecanora

10 Holothuria H. atra

11 H.edulis

12 Holothuria sp

13 Pearsonothuria P. graffei

Deskripsi jenis Echinodermata yang ditemukan menurut Patrick L. C. & Charles A.

(1995) dan Nontji (1993) , seperti yang tertera dibawah ini:

a. Achantaster plancii (kaki seribu)

Hewan ini dari kelas Asteroidea atau sering disebut kaki seribu yang memiliki

lengan banyak dan seluruh tubuhnya ditutupi oleh duri. Warna tubuh dominan biru

dan bagian tepi berwarna hitam (Gambar 4.1.1 Achantaster plancii). Hewan ini

ditemukan menempel di terumbu karang atau di bawah karang berbentuk meja.

Menurut Patrick L. C. & Charles A. (1995), bintang laut berlengan banyak dan

(37)

tubuh hewan ini kira-kira 20-30 cm. Lengannya berjumlah kira-kira 10-20 buah.

Hewan ini memakan polip karang mati atau yang hidup.

(Foto dilapangan) (Foto Patrick L. C. & Charles A.)

Gambar 4.1.1 Achantaster plancii

b. Culcita sp (bantal raja)

Jenis bintang laut yang tidak memiliki lengan, berbentuk seperti segi lima.

Tubuh tebal seperti roti. Warna tubuh hewan ini kuning kecoklatan (Gambar 4.1.2

Culcita sp). Menurut Patrick L. C. & Charles A. (1995), pada saat muda memiliki

bentuk tubuh yang berbeda yaitu pipih, setelah dewasa berbentuk seperti segi lima

dengan diameter kira-kira 20 cm. Hidup di terumbu karang, pasir dan padang lamun.

(38)

c. Linkia laevigata (bintang laut)

Berbentuk bintang yang memiliki lengan lima dan warna sangat menjolok atau

kontras dengan lingkungan yaitu coklat muda, coklat tua, biru, jingga. Tiap lengan

berbentuk memanjang dan langsing. Permukaan tubuh halus dan tidak terdapat

tonjolan-tonjolan (Gambar 4.1.3 Linkia laevigata). Nontji (1993), tiap lengan

berbentuk memanjang dan langsing sampai kira-kira 15 cm atau lebih, hidup di

terumbu karang, pasir dan padang lamun.

Gambar 4.1.3 Linkia laevigata (Foto dilapangan)

d. Protoreaster nodosus (bintang laut)

Berbentuk bintang lengan lima dan tergolong besar. Warna coklat kemarahan

dan terdapat tonjolan-tonjolan berwarna hitam. Ujung setiap lengan berwarna hitam

(Gambar 4.1.4 Protoreaster nodosus). Nontji (1993), diameter tubuhnya kira-kira 10

cm. Ukuran hewan ini lebih besar dibanding dengan Linkia laevigata. Hidup di

terumbu karang, pasir dan padang lamun.

Gambar 4.1.4 Protoreaster nodosus (Foto Patrick L. C. & Charles A.)

(39)

e. Colobometra sp (lili laut)

Memiliki bentuk tubuh yang indah apabila hewan ini berenang. Warna tubuh

hitam (Gambar 4.1.5 Colobometra sp). Menurut Nontji (1993), memiliki lengan yang

banyak kira-kira sebanyak 12 buah atau lebih. Hewan ini berpegang pada batu atau

tumbuhan dengan alat yang disebut dengan cirri dan hidup di terumbu karang, pasir

dan padang lamun.

Gambar 4.1.5 Colobometra sp (Foto dilapangan)

f. Comanthus sp (lili laut)

Memiliki bentuh tubuh yang indah apabila hewan ini berenang. Warna kuning

dan ujung cirrinya berwarna biru (Gambar 4.1.6 Comanthus sp). Menurut Nontji

(1993), memiliki lengan yang banyak kira-kira sebanyak 12 buah atau lebih. Hewan

ini berpegang pada batu atau tumbuhan dengan alat yang disebut dengan cirri. Hidup

menempel pada terumbu karang, tumbuhan, pasir dan padang lamun.

(40)

g. Diadema sp (bulu babi)

Bulu babi (Diadema sp), tubuh berwarna hitam dan ada juga berwarna putih.

Seluruh tubuhnya ditutupi dur i yang tajam, lancip dan sangat rapuh (Gambar 4.1.7

Diadema sp). Hidup berkelompok, satu kelompok dapat terdiri atas 20-40 individu

atau lebih. Nontji (1993), seluruh tubuhnya ditutupi duri yang berukuran kira-kira

mencapai 10 cm. Makanannya alga dan partikel organik atau detritus. Biasanya hidup

berkelompok untuk dapat saling melindungi terhadap ancaman musuh-musuhnya dan

mungkin juga untuk lebih memudahkan terjadinya fertilisasi. Ada juga beberapa ikan

kecil yang senang hidup untuk berlindung disela duri-duri bulu babi.

(Foto dilapangan) (Foto Patrick L. C. & Charles A.)

Gambar 4.1.7 Diadema sp

h. Echinometra sp (bulu babi)

(Foto dilapangan) (Foto Patrick L. C. & Charles A.)

(41)

Echinometra sp mirip dengan Diadema sp, bedanya hewan ini memiliki duri

lebih pendek, gemuk dan pendek dibanding Diadema sp. Tubuh berwarna hitam dan

duri berwarna putih (Gambar 4.1.8 Echinometra sp). Menurut Patrick L. C. & Charles

A. (1995), makanannya alga dan partikel organik atau detritus. Hidup di terumbu

karang, karang mati dan batu.

i. Holothuria atra (teripang)

Tubuh berbentuk bulat panjang atau silindris, dengan mulut pada salah satu

ujungnya dan dubur pada salah satu ujungnya. Terdapat tentakel-tentakel bercabang

yang mengelilingi mulut. Warna hitam (Gambar 4.1.9 Holothuria atra). Menurut

Patrick L. C. & Charles A. (1995), tubuh berotot tebal, lembek atau licin, kulitnya

halus. Sering dijumpai membenamkan diri dalam pasir atau dipermukaan pasir,

panjang tubuh kira-kira sekitar 10-30 cm.

Gambar 4.1.9 Holothuria atra ((Foto Patrick L. C. & Charles A.)

j. Holothuria edulis (teripang pasir)

Tubuh berbentuk bulat panjang atau silindris, dengan mulut pada salah satu ujungnya

dan dubur pada salah satu ujungnya. Warna tubuh bagian atas warna hitam sedangkan

bagian bawah warna merah (Gambar 4.1.10 Holothuria edulis). Menurut Patrick L.

C. & Charles A. (1995), terdapat tentakel-tentakel bercabang yang mengelilingi mulut.

(42)

diri dalam pasir, dipermukaan pasir padang lamun dan terumbu karang dan

panjangnya kira-kira sekitar 10-30 cm.

Gambar 4.1.10 Holothuria edulis (Foto dilapangan)

k. Actinopyga lecanora (teripang)

Tubuh berbentuk bulat panjang atau silindris, dengan mulut pada salah satu

ujungnya dan dubur pada salah satu ujungnya. Terdapat tentakel-tentakel bercabang

yang mengelilingi mulut. Warna coklat dan terdapat bercak-bercak hitam (Gambar

4.1.11 Actinopyga lecanora). Nontji (1993), tubuh berotot tebal, lembek dan

permukaan kulit kasar dan panjangnya kira-kira sekitar 10-30 cm. Sering dijumpai

membenamkan diri dalam pasir dan dipermukaan pasir padang lamun dan terumbu

karang.

Gambar 4.1.11 Actinopyga lecanora (Foto Patrick L. C. & Charles A.)

(43)

Tubuh berbentuk bulat panjang atau silindris dan terdapat mulut pada salah

satu ujungnya dan dubur pada salah satu ujungnya. Tubuh berotot tebal, lembek atau

licin, kulitnya halus. Warna abu-abu dan memiliki garis di punggung atau sisinya

berwarna hitam (Gambar 4.1.12 Holothuria sp). Menurut Patrick L. C. & Charles A.

(1995), terdapat tentakel-tentakel bercabang yang mengelilingi mulut dan panjangnya

kira-kira sekitar 10-30 cm. Sering dijumpai membenamkan diri dalam pasir atau

dipermukaan pasir.

Gambar 4.1.12 Holothuria sp (Foto dilapangan)

m. Pearsonothuria graffei

Tubuh berbentuk bulat panjang atau silindris dan berotot tebal, permukaan

tubuh kasar. Warna abu-abu kekuningan dan bulat-bulat berwarna coklat

(Gambar 4.1.13 Pearsonothuria graffei). Menurut Patrick L. C. & Charles A. (1995),

Dengan mulut pada salah satu ujungnya dan dubur pada salah satu ujungnya. Terdapat

tentakel-tentakel bercabang yang mengelilingi mulut. Sering dijumpai membenamkan

diri dalam pasir, dipermukaan pasir padang lamun dan terumbu karang. Panjangn

kira-kira sekitar 10-30 cm.

(44)

4.1.1 Nilai Kepadatan, Kepadatan Relatif, dan Frekuensi Kehadiran Echinodermata.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada masing-masing stasiun penelitian

diperoleh nilai Kepadatan Populasi (ind./m2), Kepadatan Relatif (%) dan Frekuensi Kehadiran (%) pada setiap stasiun penelitian pada Tabel 4.2 berikut:

Tabel 4.2 Nilai Kepadatan Populasi (ind./m2), Kepadatan Relatif (%) dan Frekuensi Kehadiran (%) pada setiap stasiun penelitian

NO Spesies Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4

Ket: Stasiun 1: Daerah terkena tsunami Stasiun 2: Daerah kontrol.

Stasiun 3: Daerah tempat wisata

Stasiun 4: Daerah terkena tsunami dan dekat pemukiman masyarakat

Hasil perhitungan pada stasiun 1 mendapatkan bahwa spesies Diadema sp

memiliki nilai Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran tertinggi

sebesar 0,255 ind/m2 (K), 42,372% (KR) dan 100% (FK). Nilai Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran yang terendah pada 3 spesies yaitu Protoreaster

(45)

ini, karena hewan ini menyukai terumbu karang yang rusak atau mati dan batuan.

Menurut Romimohtarto & Juwana (2001), habitat hewan ini adalah koloni karang

mati, pasir, batu dan terumbu karang. Pada stasiun ini tidak ada ditemukan Culcita sp

dan Holothuria atra, hal ini karena rendahnya persen tutupan karang pada stasiun ini,

selain itu hewan ini sering hidup pada substrat yang berupa rumput laut atau padang

lamun sedangkan substrat di tempat ini berupa batu, pasir, koloni karang. Kondisi

lingkungan di stasiun ini memiliki terumbu karang yang rusak karena pengaruh dari

tsunami yang terjadi pada tahun 2004, tidak terdapat aktivitas masyarakat atau bahan

pencemar yang merusak kondisi lingkungannya. Kondisi faktor fisik kimia perairan

masih tergolong alami dan tidak terdapat bahan-bahan pencemar yang merusak

lingkungan.

Hasil pada stasiun 2 mendapatkan bahwa spesies Comanthus sp memiliki nilai

Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran tertinggi sebesar 0,165 ind/m2 (K), 29,100% (KR) dan 100% (FK). Nilai Kepadatan, Kepadatan Relatif dan

Frekuensi Kehadiran yang terendah pada spesies Actinopyga lecanora, sebesar 0,005

ind/m2 (K), 0,881% (KR) dan 33,33% (FK). Kondisi lingkungan stasiun ini merupakan kontrol, dimana tidak terdapat aktivitas masyarakat atau bahan pencemar

yang merusak kondisi lingkungannya dan memiliki terumbu karang yang baik.

Kondisi faktor fisik kimia perairan (Tabel 4.6) pada daerah ini masih tergolong alami

dan cocok untuk pertumbuhan Echinodermata dan tidak ditemukan bahan-bahan

pencemar yang mempengaruhi perairan ini. Rendahnya Actinopyga lecanora

ditemukan pada stasiun ini karena penelitian dilakukan pada siang padahal hewan ini

aktif pada malam hari. Menurut Brotowidjoyo (1994), teripang (Actinopyga lecanora)

ini jarak ditemukan karena memiliki sifat bergerak/merayap lambat sekali, biasanya

bersembunyi dalam lubang atau celah batu atau menanamkan diri dalam lumpur atau

pasir laut dan hanya bagian posteriornya saja yang nampak. Umumnya hewan ini aktif

pada malam hari berkeliaran pada mencari makan.

Hasil perhitungan pada stasiun 3 diperoleh bahwa spesies Comanthus sp

memiliki nilai Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran tertinggi

(46)

lecanora dan Holothuria edulis sebesar 0,005 ind/m2 (K), 1,066% (KR) dan 33,33%

(FK). Hal ini karena kondisi faktor fisik kimia perairan sesuai bagi pertumbuhan

Comanthus sp misalnya suhu, pH, Intensitas Cahaya dan substrat dasar perairan

berupa pasir, batu dan koloni karang. Stasiun ini merupakan tempat wisata, terdapat

tempat penginapan dan tempat menyelam wisatawan. Daerah ini masih memiliki

terumbu karang yang baik karena aktivitas masyarakat tidak terlalu berpengaruh

terhadap lingkungan. Menurut Koesbiono (1979), kadar organik pada substrat adalah

satu hal yang sangat berpengaruh pada kehidupan makrozoobenthos, dimana kadar

organik ini adalah sebagai nutrisi bagi makrozoobenthos tersebut. Pada perairan yang

kaya bahan organik, umumnya terjadi peningkatan populasi hewan benthos.

Di daerah ini tidak ditemukan Protoreaster nodosus dan Echinometra sp. Hal

ini karena Protoreaster nodosus memiliki bentuk tubuh yang unik dan warna yamg

menarik sehingga banyak masyarakat yang mengambil. Selain itu hewan ini sering

hidup pada substrat yang berupa rumput laut atau padang lamun sedangkan substrat di

tempat ini berupa batu, pasir, koloni karang. Romimohtarto & Juwana (2001),

menyatakan hewan ini peka terhadap lingkungan, tetapi mempunyai kemampuan

regenerasi tinggi sehingga dapat menyembuhkan diri jika ada luka.

Hasil perhitungan pada stasiun 4 mendapatkan bahwa spesies Diadema sp

memiliki nilai Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran tertinggi,

sebesar 0,299 ind/m2 (K), 41,134 % (KR) dan 100% (FK). Nilai Kepadatan,

Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran yang terendah pada Actinopyga lecanora

sebesar 0,005 ind/m2 (K), 0,709% (KR) dan 33,33% (FK). Jenis Achantaster plancii,

Culcita sp dan Protoreaster nodosus tidak ada ditemukan pada lokasi ini karena

substrat yang dijumpai berupa karang mati, batu, pasir dan sedikit dijumpai karang

hidup sedangkan habitat Echinodermata adalah terumbu karang. Kondisi lingkungan

pada stasiun ini, memiliki terumbu karang yang rusak (kategori buruk). Rusaknya

terumbu karang pada daerah ini bukan karena pengaruh Diadema sp yang banyak,

tetapi karena pengaruh dari tsunami yang terjadi pada tahun 2004 dan terdapat

aktivitas masyarakat seperti pemukiman penduduk, keramba udang, penggunaan kapal

mesin sehingga membuat terumbu karang rusak. Menurut Wargadinata (1995),

(47)

lingkungan yang besar dan drastis atau dapat mentolerir faktor lingkungan yang

sangat ekstrim.

Hasil penelitian yang dilakukan bila dibandingkan dengan penelitian Eddy Y.

(2003) yang berada di Aceh Selatan Nanggroe Aceh Darussalam maka diperoleh

keanekaragaman echinodermata di daerah ini lebih banyak dibanding perairan P.

Rubiah. Daerah Aceh Selatan ditemukan sebanyak 20 spesies dari 5 kelas

Echinodermata sedangkan di P. Rubiah terdapat 13 spesies dari 4 kelas

Echinodermata. Rendahnya Echinodermata di P. Rubiah karena pengaruh bencana

tsunami yang melanda tempat ini tahun 2004, dimana terjadi kerusakan terumbu

karang sebagai habitat dari hewan ini sedangkan daerah Aceh Selatan memiliki

lingkungan yang masih baik untuk pertumbuhan Echinodermata.

4.1.2 Indeks Keanekaragaman (H’), Indeks Keseragaman (E) dan Indeks Persen Tutupan Karang (r) pada Setiap Stasiun Penelitian

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada masing-masing stasiun

penelitian diperoleh nilai Indeks Keanekaragaman (H’), Indeks Keseragaman (E) dan

Indeks Persen Tutupan Karang (r) pada setiap stasiun penelitian pada Tabel 4.3

berikut:

Tabel 4.3 Indeks Keanekaragaman (H’), Indeks Keseragaman (E) dan Indeks Persen Tutupan Karang (r) pada Setiap Stasiun Penelitian

Indeks Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4

Keanekaragaman (H') 1,764 1,859 1,854 1,720

Persen Tutupan Karang (r) 50,82% 73,10% 59,68% 16,28%

Keseragaman (E) 0,709 0,748 0,773 0,692

Dari hasil perhitungan didapat Indeks Keanekaragaman (H’) tertinggi terdapat

pada stasiun 2 sebesar 1,859 dan terendah pada stasiun 4 sebesar 1,720. Tingginya

nilai Indeks Keanekaragaman pada stasiun 2, karena daerah merupakan kontrol dan

tidak ditemukan aktivitas masyarakat atau bahan pencemar dan memiliki terumbu

karang yang baik. Stasiun 4 memiliki terumbu karang yang rusak akibat dari bencana

tsunami yang melanda tempat ini tahun 2004 dan merupakan daerah pemukiman

(48)

keanekaragaman spesies yang tinggi apabila terdapat banyak spesies dengan jumlah

individu masing-masing spesies yang relatif merata. Dari nilai Indeks

Keanekaragaman yang diperoleh berkisar antara 1,720-1,859 dapat digolongkan

bahwa pada daerah ini memiliki nilai keanekaragaman rendah.

Hasil penelitian Taripar N. & Fitria M. (2009) di Pulau Rubiah diperoleh

persen tutupan terumbu karang yang tertinggi diperoleh pada stasiun 2 sebesar 73,10%

dan terendah pada stasiun 4 sebesar 16,28%. Dari hasil penelitian diatas dapat dilihat

hubungan keanekagaman Echinodermata dengan persen tutupan terumbu karang.

Persen tutupan karang yang tinggi akan memiliki keanekaragaman Echinodermata

yang tinggi seperti pada stasiun 3. Pada stasiun 4 memiliki persen terumbu karang

yang rendah (kategori buruk), memiliki keanekaragaman yang sedikit. Kondisi faktor

fisik kimia perairan ini tergolong baik dan cocok untuk pertumbuhan terumbu karang,

misalnya suhu, pH, penetrasi cahaya, salinitas dan lain sebagainya (Tabel 4.6).

Rusaknya terumbu karang di daerah penelitian ini khususnya pada stasiun 1 dan 4

karena bencana alam (Tsunami) dan pengaruh aktifitas masyarakat. Menurut

Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 4 Tahun 2001, terumbu karang di

kategorikan; buruk (0-24,9 %), sedang (25-49,9 %), baik (50-74,9 %) dan baik sekali

(75- 100 %).

Indeks keseragaman (E) yang diperoleh dari 4 stasiun penelitian berkisar

0,773 – 0,692 dengan indeks keseragaman (E) tertinggi pada stasiun 3 sebesar 0,773

dan terendah pada stasiun 4 sebesar 0,692. Rendahnya nilai keseragaman pada stasiun

4 karena ditemukan beberapa spesies yang mendominasi yaitu Diadema sp karena

memiliki terumbu karang yang rusak sehingga penyebaran tidak marata. Krebs (1985),

menyatakan indeks keseragaman (E) berkisar 0 – 1. Indeks keseragaman yang tinggi

menunjukkan bahwa pembagian jumlah individu pada masing-masing spesies merata

dan sebaliknya jika Indeks Keseragaman semakin kecil maka keseragaman suatu

(49)

4.1.3 Indeks Similaritas

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada masing-masing stasiun penelitian

diperoleh nilai indeks Similaritas (IS) seperti pada tabel berikut:

Tabel 4.4 Nilai Indeks Similaritas (IS) atau Kesamaan pada Stasiun Penelitian

Stasiun 1 2 3 4

1 - 91,66% 81,81% 90,00%

2 - - 91,66% 90,90%

3 - - - 80,00%

4 - - - -

Dari Tabel 4.4 dapat dilihat hasil pengamatan menunjukkan bahwa nilai indeks

similaritas (IS) yang didapat pada stasiun penelitian bervariasi dan berkisar antara

81,81% - 91,66%. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa empat stasiun memiliki

nilai IS kriteria sangat mirip (75-100%). Kemiripan ini karena faktor ekologis dan

faktor fisik kimia yang hampir sama antara stasiun sehingga menyebabkan

terdapatnya kesamaan nilai spesies benthos pada stasiun tersebut.

4.2 Parameter Abiotik

Berdasarkan pengukuran faktor fisik kimia perairan pada masing-masing stasiun

pengamatan di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam diperoleh

rata-rata seperti Tabel 4.6 dibawah ini:

Tabel 4.5 Rata-rata Nilai Faktor Fisik Kimia yang Diperoleh pada Setiap Stasiun Penelitian di Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam.

No Faktor fisik kimia perairan

(50)

4.2.1 Suhu

Hasil pengukuran suhu pada 4 stasiun penelitian, berkisar 29-30 °C. Hal ini

menunjukkan bahwa temperatur perairan P. Rubiah masih dalam kisaran normal untuk

perairan tropis. Ini disebabkan karena daerah penelitian ini masih tergolong alami dan

dilindungi, belum terdapat banyak aktivitas masyarakat yang dapat menimbulkan

pencemaran. Menurut Wells (1954), suhu yang baik untuk pertumbuhan karang adalah

berkisar antara 25- 29°C dan batas minimum suhu berkisar 16-17°C serta batas

maksimum 36°C. Menurut Nontji (1993), bahwa suhu permukaan di perairan

Nusantara umunya berkisar antara 28-31°C. Menurut Romimohtarto & Juwana

(2001), bahwa suhu alami air laut berkisar antara suhu dibawah 0°C sampai 33°C dan

perubahan suhu dapat memberi pengaruh besar terhadap sifat-sifat air laut dan

termasuk biota laut.

4.2.2 Penetrasi Cahaya

Penetrasi cahaya yang diperoleh pada 4 stasiun penelitian ini sama yaitu 4-5

meter. Tingginya penetrasi cahaya ini disebabkan karena kondisi perairan di P.

Rubiah masih tergolong baik. Menurut Sastrawijaya (1991), cahaya matahari tidak

dapat menembus dasar perairan jika konsentrasi bahan tersuspensi atau terlarut tinggi,

akibatnya akan mempengaruhi proses fotosintesis di dalam perairan tersebut.

Berkurangnya cahaya matahari disebabkan karena banyak faktor antara lain adanya

bahan yang tidak larut seperti debu, tanah liat maupun mikroorganisme air yang

mengakibatkan air menjadi kotor / tidak jernih.

4.2.3 Intensitas Cahaya

Intensitas cahaya yang tertinggi diperoleh pada stasiun 1 sebesar 1383

Candela dan terendah pada stasiun 3 sebesar 949 Candela. Rendahnya intensitas

cahaya pada stasiun 3 disebabkan karena pada saat pengukuran dilakukan pada pagi

hari, sedangkan pada stasiun 1 dilakukan siang hari, selain ini terdapat banyak pohon

(51)

sungai dapat mempengaruhi intensitas cahaya, karena tumbuh-tumbuhan tersebut

mempunyai kemampuan untuk mengabsorbsi cahaya matahari. Bagi organisme air,

intensitas cahaya berfungsi sebagai alat orientasi yang akan mendukung kehidupan

organisme tersebut dalam habitatnya. Faktor cahaya matahari yang masuk dalam

perairan akan mempengaruhi sifat optis air, sebagian cahaya itu akan diabsorbsi dan

sebagian lagi akan dipantulkan ke luar dari permukaan air.

4.2.4 pH air

Derajat keasaman atau kebasaan (pH) tertinggi pada stasiun 2 yaitu 7,8

sedangkan yang paling rendah pada stasiun 4 yaitu 6,5. Rendahnya pH pada stasiun 4

berpengaruh terhadap jenis Echinodermata yang ditemukan, dimana nilai H’, E dan r

rendah. Namun demikian secara keseluruhan nilai pH pada lokasi penelitian masih

dapat mendukung kehidupan makrozoobenthos. Sutrisno (1987), menyatakan pH

optimum untuk spesies makrozoobenthos berkisar 6,0 – 8,0 sedangkan Barus (2004)

menyatakan nilai ideal pH bagi kehidupan organisme air pada umumnya terdapat

antara 7 - 8,5. Kondisi perairan yang sangat basa akan membahayakan organisme

karena akan mengganggu metabolisme dan respirasi, disamping itu nilai pH yang

asam akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat terutama ion

Aluminium.

4.2.5 Oksigen terlarut ( DO/ Dissolved Oxygen)

Nilai DO yang diperoleh dari 4 stasiun penelitian ini berkisar 6,1-6,8 mg/l.

Nilai DO yang tertinggi pada stasiun 2 yaitu 6,8 mg/l sedangkan terendah pada stasiun

1 sebesar 6,1 mg/l. Menurut Suin (2002), menyatakan bahwa, suhu memiliki peranan

yang besar terhadap kelarutan oksigen galam air, apabila temperatur air naik maka

kelarutan oksigen dalam air menurun. Bersamaan dengan peningkatan aktivitas

metabolisme akuatik, sehingga kebutuhan akan oksigen juga meningkat. Sastrawijaya

(1991), bahwa temperatur mempunyai pengaruh besar terhadap kelarutan oksigen, jika

(52)

4.2.6 Kejenuhan Oksigen (%)

Kejenuhan oksigen yang diperoleh dari 4 stasiun penelitian berkisar antara

79,84 – 89,00%. Menurut Barus (2004), menyatakan bahwa disamping pengukuran

konsentrasi biasanya dilakukan pengukuran terhadap tingkat kejenuhan oksigen dalam

air. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah nilai maksimum atau tidak. Untuk

dapat mengukur tingkat kejenuhan oksigen air, maka diperlukan pengukuran

temperatur dari ekosistem air tersebut. Kehidupan di air dapat bertahan jika ada

oksigen terlarut minimum sebanyak 4 mg/l, selebihnya tergantung pada ketahanan

organisme, derajat keaktifan, kehadiran pencemar, temperatur air dan sebagainya

4.2.7 BOD5 (Biologycal Oxygen Demand)

Hasil BOD5 yang diperoleh di perairan P. Rubiah berkisar antara 1,1- 2,4 mg/l. Nilai BOD5 yang tertinggi pada stasiun 4 yaitu sebesar 2,4 mg/l sedangkan terendah pada stasiun 3 sebesar 1,1 mg/l. Menurut Barus (2002), bahwa nilai BOD menyatakan

jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme aerobik dalam proses

penguraian senyawa organik yang diukur pada suhu 20°C. Pengukuran BOD

didasarkan pada kemampuan mikroorganisme untuk menguraikan senyawa organik,

artinya hanya terhadap senyawa yang mudah diuraikan secara biologis seperti

senyawa yang umumnya terdapat dalam limbah rumah tangga. Brower et al., (1990),

bahwa apabila konsumsi oksigen selama 5 hari berkisar 5 mg/l O2, maka perairan

tersebut tergolong baik. Sebaliknya apabila konsumsi oksigen antara 10-20 mg/l O2

menunjukkan bahwa tingkat pencemaran oleh senyawa organik tinggi.

4.2.6 Salinitas (‰)

Nilai Salinitas yang diperoleh pada 4 stasiun penelitian ini sama yaitu berkisar

34 - 35‰. Nilai salinitas di perairan ini masih tergolong normal seperti yang

dinyatakan oleh Nontji (1986), bahwa, di Samudra umumnya salinitas berkisar antara

Gambar

Tabel 3.1 Alat dan Satuan yang Dipergunakan dalam Pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan Parameter
Tabel 4.1 Klasifikasi dan Jenis Echinodermata yang didapat pada Stasiun Penelitian  Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies
Tabel 4.2 Nilai Kepadatan Populasi (ind./m2), Kepadatan Relatif (%) dan  Frekuensi Kehadiran (%) pada setiap stasiun penelitian
Tabel 4.5 Rata-rata Nilai Faktor Fisik Kimia yang Diperoleh pada Setiap                          Stasiun Penelitian di Pulau Rubiah Nanggroe      Aceh Darussalam
+4

Referensi

Dokumen terkait

yang berjudul “ ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENINGKATAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DI PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TAHUN 2006 “...

Persentase Tutupan Terumbu Karang Pada Lokasi Transplantasi Karang dan Kawasan Terumbu Karang Alami Pulau Rubiah, Aceh.. Jenis Lifeform Kode Transplantasi

Yang dimaksud dengan setiap orang dalam fasal 26 ayat (1) ini adalah “pemeluk agama Islam yang mukalaf di Nanggroe Aceh Darussalam.” Manakala yang dimaksud dengan setiap

Menetapkan : PERATURAN GUBERNUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TENTANG PEMBENTUKAN GUGUS TUGAS PENGHAPUSAN PERDAGANGAN (TRAFIKING) PEREMPUAN DAN ANAK PROVINSI NANGGROE

Bagaimana merancang Pusat Rehabilitasi Trauma yang bisa mewadahi kegiatan penanggulangan trauma konflik dan Tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam yang selama ini masih

Penyampaian Jawaban/penjelasan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam terhadap Pemandangan Umum Anggota DPRD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan laporan Pansus VII s/d XVI

Berkenaan dengan hal tersebut, Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam melaksanakan sebuah kegiatan, yaitu “Program Pemberdayaan Meunasah, TPA dan

Pada Januari 2005, diperkirakan sekitar 600.000 orang di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Pulau Nias kehilangan sumber mata pencarian utama mereka akibat gempa bumi