• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Modal Sosial

2.1.6 Parameter dan indikator modal sosial

menjadi arena dalam hubungan antarwarga, antarkelompok yang berasal dari latar belakang berbeda, baik dari sudut etnis, agama, maupun tingkatan sosial ekonomi. Ketidakmampuan untuk membangun nilai, institusi, dan mekanisme bersifat lintas kelompok akan membuat masyarakat yang bersangkutan tidak mampu mengembangkan modal sosial untuk membangun integrasi sosial. 3. Social linking (hubungan/jaringan sosial). Merupakan hubungan sosial yang

dikarakteristikkan dengan adanya hubungan di antara beberapa level dari kekuatan sosial maupun status sosial yang ada dalam masyarakat. Misalnya: Hubungan antara elite politik dengan masyarakat umum. (Dalam hal ini elite politik yang dipandang khalayak sebagai public figure/tokoh, dan mempunyai status sosial dari pada masyarakat kebanyakan. Namun mereka sama-sama mempunyai kepentingan untuk mengadakan hubungan.

Pada dasarnya ketiga tipe modal sosial ini dapat bekerja tergantung dari keadaannya. Ia dapat bekerja dalam kelemahan maupun kelebihan dalam suatu masyarakat. Ia dapat digunakan dan dijadikan pendukung sekaligus penghambat dalam ikatan sosial tergantung bagaimana individu dan masyarakat memaknainya.

2.1.6 Parameter dan indikator modal sosial

Modal sosial mirip bentuk-bentuk modal lainnya, dalam arti ia juga bersifat produktif. Modal sosial dapat dijelaskan sebagai produk relasi manusia satu sama lain, khususnya relasi yang intim dan konsisten. Modal sosial menunjuk pada jaringan, norma, dan kepercayaan yang berpotensi pada produktivitas masyarakat.

Namun demikian, pada masyarakat dikenal beberapa jenis modal, yaitu modal budaya (cultural capital), modal manusia (human capital), modal keuangan (financial capital) dan modal fisik.

Modal budaya lebih menekankan pada kemampuan yang dimiliki seseorang, yang diperoleh dari lingkungan keluarga atau lingkungan sekitarnya Modal keuangan merupakan uang tunai yang dimiliki, tabungan pada bank, investasi, fasilitas kredit dan lainya yang bisa dihitung dan memiliki nilai nominal. Modal fisik dikaitkan dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan material atau fisik. (Putnam, 1993).

Modal manusia lebih merujuk pada kemampuan, keahlian yang dimiliki individu. Manusia adalah komponen yang sangat penting di dalam organisasi. Manusia dengan segala kemampuannya bila dikerahkan keseluruhannya akan menghasilkan kinerja yang luar biasa. Ada enam komponen dari modal manusia, yakni: modal intelektual, modal emosional, modal sosial, modal ketabahan (adversity), modal moral, dan modal kesehatan (Ancok, 2007). Jadi modal sosial berbeda dengan modal lain tersebut, karena modal sosial bersifat kumulatif dan berkembang dengan sendirinya (Putnam, 1993). Karenanya, modal sosial tidak akan habis jika dipergunakan, melainkan semakin meningkat. Rusaknya modal sosial lebih sering disebabkan bukan karena dipakai, melainkan karena ia tidak dipergunakan.

Berbeda dengan modal manusia, modal sosial juga menunjuk pada kemampuan orang untuk berasosiasi dengan orang lain (Coleman, 1988). Manusia sebagai makhluk multidimensi berkontribusi besar sebagai modal tenaga kerja

melalui dua potensi modal yang melekat padanya yakni modal manusia dan modal sosial. Pembangunan ekonomi suatu wilayah sepantasnya diawali dengan pembangunan komponen modal sosial dan modal manusia. Modal sosial sendiri diukur melalui partisipasi dalam kegiatan sosial sehingga dapat mengurangi kemiskinan. Penekanan tingkat kemiskinan ini dilaksanakan melalui eksternalitas positif (transfer pengetahuan dan teknologi) yang memengaruhi produktivitas rumah tangga (Alesina dan Ferrara, 1999).

Setiap program pengembangan pembangunan diperlukan sumberdaya manusia berkualitas untuk mencapai tujuannya. Sumber daya manusia yang dimaksud mencakup modal manusia yang ditekankan pada kualitasnya, dan modal sosial untuk memercepat proses dan mutu hasil pengembangan pembangunan. Mengacu pada norma-norma dan nilai-nilai bersama, asosiasi antarmanusia tersebut menghasilkan kepercayaan dan memiliki nilai ekonomi yang besar dan terukur (Fukuyama, 1996).

Kedua sumberdaya tersebut memiliki keunikan masing-masing. Jadi keunikan pada modal manusia terlihat pada kecerdasan yang nyata dilihat melalui ketrampilan, jenjang pendidikan formal, dan pada modal sosial terlihat pada kemampuan bekerja sama dan meluasnya jaringan kerja sama dan relasi yang dibangun oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu komunitas. Perbedaan modal manusia dan modal sosial tersebut dapat dilihat dari sisi fokus, ukuran, output, dan model (Coleman, 1988).

Tabel 2.1

Perbedaan Modal Manusia dan Modal Sosial

No. Faktor pembeda

Modal

Manusia Sosial

1. Fokus terletak pada potensi perorangan

misalnya dalam hal mutu sumberdaya manusia

terletak pada hubungannya dengan jejaring sosial yang dibentuk organisasi. Basisnya adalah saling percaya di antara individu. Hal ini menjadi modal dalam membangun kerjasama dan solidaritas.

2. Pengukuran Jauh lebih mudah, bisa dilihat dari lamanya sekolah, kualifi-kasi, dan kompetensinya. Terma-suk dapat diukur kiner-janya yang merupakan fungsi dari mutu sumberdaya manusianya.

Cukup sulit dilihat dari gam-baran abstrak tentang sikap (nilai), partisipasi dan keperca-yaan. Dan sering dilihat dari gambaran sejauh mana modal sosial, misalnya kekuatan jeja-ring sosial ekonomi mampu mengembangkan program pengembangan organisasi.

3. Output Pendapatan dan produktifitas;

dan tak langsung berupa kese-hatan dan kegiatan sosial di lingkungan organisasi

Bisa berdampak pada ekonomi masyarakat. Misalnya kohesi sosial akan mampu memerkuat jejaring sosial sehingga dapat memerlancar usaha-usaha eko-nomi bisnis masyarakat seki-tarnya. Begitu pula pelatihan dapat berpengaruh terhadap produktivitas kerja namun juga bisa meningkatkan kemam-puan seseorang dalam memba-ngun jejaring sosial.

4. Model Sangat terkait dengan

keberha-silan investasi. Secara langsung pengaruhnya dapat dilihat dalam meningkatkan pendapatan bisnis.

Tidak mudah melihat dampak-nya terhadap pengembangan organisasi.

Lebih menonjol adalah terja-dinya proses interaktif antar-komponen karyawan secara sirkular. Pengaruhnya adalah dalam memerkuat model pengembangan elemen modal sosial yang ada.

Merujuk pada Ridell (1997), ada tiga parameter modal sosial, yaitu kepercayaan (trust), norma-norma (norms), dan jaringan-jaringan (networks).

1. Kepercayaan. Sebagaimana dijelaskan Fukuyama (1996), kepercayaan adalah harapan yang tumbuh di dalam sebuah masyarakat yang ditunjukkan oleh adanya perilaku jujur, teratur, dan kerjasama berdasarkan norma-norma yang dianut bersama. Kepercayaan sosial merupakan penerapan terhadap pemahaman ini. Cox (1995) kemudian mencatat bahwa dalam masyarakat yang memiliki tingkat kepercayaan tinggi, aturan-aturan sosial cenderung bersifat positif; hubungan-hubungan juga bersifat kerjasama. Menurutnya kita mengharapkan orang lain untuk mewujudkan niat baik, dan percaya kepada sesama manusia. Kita cenderung untuk bekerja sama, untuk berkolaborasi dengan orang lain dalam hubungan kolegial / kekerabatan. (Cox, 1995). Kepercayaan sosial pada dasarnya merupakan produk dari modal sosial yang baik. Adanya modal sosial yang baik ditandai oleh adanya lembaga-lembaga sosial yang kokoh; modal sosial melahirkan kehidupan sosial yang harmonis (Putnam, 1995). Kerusakan modal sosial akan menimbulkan anomie (kekacauan tanpa aturan) dan perilaku anti sosial (Cox, 1995).

2. Norma. Norma-norma terdiri atas pemahaman-pemahaman, nilai-nilai, harapan-harapan dan tujuan-tujuan yang diyakini dan dijalankan bersama oleh sekelompok orang. Norma-norma dapat bersumber dari agama, panduan moral, maupun standar-standar sekuler seperti halnya kode etik profesional. Norma-norma dibangun dan berkembang berdasarkan sejarah kerjasama di masa lalu dan diterapkan untuk mendukung iklim kerjasama (Putnam, 1993;

Fukuyama, 1995). Norma-norma dapat merupakan pra-kondisi maupun produk dari kepercayaan sosial.

3. Jaringan sosial. Infrastruktur dinamis dari modal sosial berwujud jaringan-jaringan kerjasama antar manusia (Putnam, 1993). Jaringan tersebut memfasilitasi terjadinya komunikasi dan interaksi, memungkinkan tumbuhnya kepercayaan dan memperkuat kerjasama. Masyarakat yang sehat cenderung memiliki jaringan-jaringan sosial yang kokoh. Orang mengetahui dan bertemu dengan orang lain, mereka kemudian membangun inter-relasi yang kental, baik bersifat formal maupun informal (Onyx, 1996). Putnam (1995) berargumen bahwa jaringan-jaringan sosial yang erat akan memperkuat perasaan kerjasama para anggotanya serta manfaat-manfaat dari partisipasinya itu.

Berdasarkan pada parameter tersebut, beberapa indikator kunci yang dapat dijadikan ukuran modal sosial antara lain: (1) perasaan identitas; (2) perasaan memiliki atau sebaliknya, perasaan alienasi; (3) sistem kepercayaan dan ideologi; (4) nilai-nilai dan tujuan-tujuan; (5) ketakutan-ketakutan; (6) sikap-sikap terhadap anggota lain dalam masyarakat; (7) persepsi mengenai akses terhadap pelayanan, sumber dan fasilitas (misalnya pekerjaan, pendapatan, pendidikan, perumahan, kesehatan, transportasi, jaminan sosial); (8) opini mengenai kinerja pemerintah yang telah dilakukan terdahulu; (9) keyakinan dalam lembaga-lembaga masyarakat dan orang-orang pada umumnya; (10) tingkat kepercayaan; (11) kepuasaan dalam hidup dan bidang-bidang kemasyarakatan lainnya; dan (12) harapan yang ingin dicapai di masa depan (Spellerber, 1997; Suharto, 2005).

Modal sosial dapat dikatakan lahir dari bawah (bottom-up), tidak hierarkis dan berdasar pada interaksi yang saling menguntungkan. Oleh karena itu, modal sosial bukan merupakan produk dari inisiatif dan kebijakan pemerintah. Namun demikian, modal sosial dapat ditingkatkan atau dihancurkan oleh negara melalui kebijakan publik (Cox, 1995; Onyx, 1996).

Kaitannya dengan agroekowisata bahwa modal sosial yang bersifat bottom-up lebih menekankan pada pemberdayaan berbasis masyarakat. Kepercayaan pemerintah kepada masyarakat untuk membangun diri sendiri dapat membang-kitkan semangat kemandirian yang tinggi. Sebaliknya pengembangan agroeko-wisata berbasis investasi, sarat dengan berbagai kebijakan publik yang cenderung mengikat dan memaksa. Jika kebijakan tersebut tidak mempertimbangkan modal sosial, dapat mematikan kreativitas masyarakat dan menjurus pada kehancuran. Untuk mengatasi masalah tersebut, Pretty menampilkan posisi strategis dalam pengentasan kemiskinan dan pembanguan pertanian.

Posisi strategis modal sosial dalam pengentasan kemiskinan dan pembangunan pertanian tergambar dalam konsep dan pendekatan “asset-based sustainable development” atau pembangunan pertanian berkelanjutan dari Pretty (1999), dan konsep “The Sustainable Livelihoods Framework” atau kerangka penghidupan berkelanjutan sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2.3 dan Gambar 2.4.

yag

Kerangka penghidupan berkelanjutan merupakan aset penghidupan berkelanjutan yang ditunjukkan pada Gambar 2.4, mencakup modal alam, modal sosial, modal manusia, modal finansial, dan modal fisik yang dijabarkan berikut. (1) Modal alam : tanah dan penghasilan, sumber air dan air, pohon dan hasil hutan, margasatwa, makanan liar dan serat, keanekaragaman hayati, jasa lingkungan; (2) Modal sosial: jaringan dan koneksi, perlindungan, lingkungan, kekerabatan, hubungan kepercayaan dan saling mendukung, kelompok formal dan informal, aturan umum dan sanksi representasi kolektif, mekanisme partisipasi dalam pengambilan keputusan, kepemimpinan; (3) Modal manusia: kesehatan, makanan, pendidikan, pengetahuan dan keterampilan, kapasitas untuk bekerja, kapasitas untuk beradaptasi; (4) Modal fisik : infrastruktur; transportasi - jalan, kendaraan, Faktor konstektual: 1)Lingkungan pertanian 2)iklim 3)budaya 4)ekonomi 5)hukum 6)politi 7)sosial Dibentuk oleh: lembaga dan kebijakan eksternal

Modal alam yang terbarukan Modal sosial: vertikal dan horisontal proses partisipasi Keterampilan dan teknologi baru input bukan yang terbarukan Finansial: pendapatan, kredit, jaminan

Petani, sistem ke-hidupan, masy.

Dengan akses pada stok modal

berikut: modal alam, modal sosial, modal manusia, modal fisik, dan

modal finansial

Akumulasi pada: Modal alam Modal manusia

Modal sosial

Makanan dan produk pasar lain Menipisnya: Modal alam Modal manusia Modal sosial Fungsi positif Fungsi negatif Gambar 2.3

Konsep Aset Berbasis Model Sistem Pertanian ( Pretty, 1999)

penampungan aman dan bangunan; pasokan air dan sanitasi; energi; komunikasi; alat dan teknologi; alat dan peralatan untuk produksi; benih, pupuk, pestisida; teknologi tradisional; (5) Modal finansial : tabungan, kredit / utang - formal, informal, LSM , pengiriman uang, pensiun, dan upah (IFAD, 2014).

Mengacu pada paparan tentang modal sosial yang telah dikemukakan, maka parameter modal sosial yang digunakan untuk kajian dalam penelitian ini adalah kepercayaan, norma, dan jaringan sosial. Pretty (1999), Dharmawan (2007), IFAD (2014)

Gambar 2.4

Aset Penghidupan Berkelanjutan Sumber: Dharmawan (2007), IFAD (2014)

Modal manusia Modal alam Modal sosial Modal fisik Modal finansial Kemiskinan

2.2 Agroekowisata, Partisipasi, Pengetahuan, dan Sikap

2.2.1 Agroekowisata

Sebelum memahami agroekowisata, perlu diulas tentang agrowisata. Dalam istilah sederhana, agrowisata atau agritourism didefinisikan sebagai perpaduan antara pariwisata dan pertanian dimana pengunjung dapat mengunjungi kebun, peternakan atau kilang anggur untuk membeli produk, menikmati pertunjukan, mengambil bagian aktivitas, dan makan suatu makanan atau melewatkan malam bersama di suatu areal perkebunan atau taman.

Agrowisata atau agritourism adalah sebuah alternatif untuk meningkatkan pendapatan dan kelangsungan hidup, menggali potensi ekonomi petani kecil dan masyarakat pedesaan (Farmstop, 2013). Di Indonesia, agrowisata atau agroturisme didefinisikan sebagai sebuah bentuk kegiatan pariwisata yang memanfaatkan usaha agro (agribisnis) sebagai objek wisata dengan tujuan untuk memperluas pengetahuan, pengalaman, rekreasi dan hubungan usaha di bidang pertanian. Agrowisata merupakan bagian dari objek wisata yang memanfaatkan usaha pertanian (agro) sebagai objek wisata dan bertujuan untuk memperluas pengetahuan, pengalaman rekreasi, dan hubungan usaha dibidang pertanian.

Melalui pengembangan agrowisata yang menonjolkan budaya lokal dalam memanfaatkan lahan, diharapkan dapat meningkatkan pendapatan petani sambil melestarikan sumber daya lahan, serta memelihara budaya maupun teknologi lokal (indigenous knowledge) yang umumnya telah sesuai dengan kondisi lingkungan alaminya (Deptan, 2012).

Pada saat ini pandangan tentang pertanian tampaknya dilihat dari dua kutub yang berbeda. Saragih (2001) melihat sektor pertanian sebagai suatu kegiatan bisnis (agribisnis), dan Mubyarto (1975 dan 2002) memandang kegiatan sektor pertanian sebagai pandangan hidup (way of life) dari masyarakat. Makna aktivitas pertanian berdasarkan pendapat kedua pakar tersebut adalah aktivitas pertanian sebagai bisnis dan sebagai pandangan hidup. Dengan demikian aktivitas pertanian merupakan integrasi antarabisnis danpandangan hidup. Hal ini berarti merupakan bagian dari budaya yang melekat pada petani. Karenanya, bahasan tentang sektor pertanian dalam konteks apapun (termasuk dalam konteks pariwisata, dalam rangka pengembangan agroekowisata) haruslah dipandang pertanian itu sebagai bagian dari budaya masyarakat.

Selanjutnya, berbicara tentang budaya/kebudayaan sebagai suatu sistem, maka pengembangan agroekowisata haruslah meliput aspek konsep /pola-pikir, aspek sosial, dan aspek artefact/kebendaan (Koentjaraningrat,1993).

Penelitian Windia (2003) mengemukakan elemen pada berbagai aspek dalam pengembangan agrowisata adalah sebagai berikut.

1. Aspek konsep/pola pikir. Cakupan aspek pola pikir dalam pengembangan agrowisata adalah: (1) ada kesadaran dari masyarakat setempat tentang potensi yang dimiliki dalam rangka pengembangan agrowisata, (2) ada sesuatu yang khas, yang diperkirakan dapat menarik bagi kalangan wisatawan, (3) ada kehendak dari masyarakat setempat bahwa potensi itu harus dikembangkan, (4) ada kesepakatan dari masyarakat setempat untuk menerima uluran tangan dari pihak luar (lembaga indipenden) dalam rangka pengembangan potensi itu,

(5) ada inisiatif dari pihak luar (lembaga indipenden) untuk mendorong masyarakat setempat untuk mengembangan potensinya, dalam rangka konsep keberlanjutan, (6) ada kesepakatan dengan masyarakat disekitarnya yang terkait/tersentuh dalam pengembangan potensi tersebut, untuk mengembangkan potensi agrowisata itu, khususnya yang berkait dengan hak dan kewajibannya masing-masing, (7) ada kesepakatan antara masyarakat setempat dengan pihak komponen kepariwisataan (biro perjalanan) bahwa potensi agrowisata itu memang relevan untuk dikembangkan, (8) ada kesepakatan dengan pemerintah setempat untuk membantu pengembangan potensi agrowisata, (9) ada kesepakatan dengan semua stakeholder tentang visi dari pengembangan

agrowisata, dan (10) secara tradisional, kawasan itu memang sudah menarik bagi masyarakat setempat dan kalangan wisatawan-nusantara.

2. Aspek sosial. Elemen dari aspek sosial dalam pengembangan agrowisata adalah (1) ada kesepakatan dari masyarakat untuk memberikan pengorbanan terhadap lahan yang dimiliki dalam rangka penataan kawasan agrowisata tersebut, (2) ada kesepakatan tentang proporsi pembagian pendapatan yang diterima dari kegiatan agrowisata baik pembagian pendapatan di kalangan internal kawasan, maupun dengan kawasan di sekitarnya yang terkait, (3) ada kesepakatan tentang siapa pengelola kegiatan agrowisata itu, dan bagaimana strukturnya, (4) ada kesepakatan tentang pembagian penerimaan antara pihak biro perjalanan dengan pihak pengelola agrowisata, (5) ada kesepakatan bahwa masyarakat tidak menggantungkan hidupnya hanya dari kedatangan para wisatawan. Untuk itu mereka harus berusaha meningkakan nilai tambah

komoditas yang dihasilkan di kawasan itu, (6) ada kesepakatan dari masyarakat setempat untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya dalam proses peningkatan nilai tambah komoditas yang dihasilkan, serta dalam pengelolaan agroekowisata, (7) mempersiapkan berbagai paket kegiatan di kawasan agroekowisata itu, dan menyepakati biaya yang harus dibayar oleh wisatawan, (8) mempersiapkan awig-awig (aturan tertulis) tentang apa-apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan/dibangun di kawasan agroekowisata tersebut, (9) mempersiapkan masyarakat setempat untuk mampu menjadi pemandu-wisata di kawasan agroekopemandu-wisata itu, (10) melakukan penyuluhan yang dilaksanakan oleh PEMDA setempat agar masyarakat bisa memperlakukan wisatawan dengan sikap yang sopan, dan (11) melakukan studi-banding ke kawasan lain yang kegiatan agroekowisatanya sudah operasional.

3. Aspek artefact (kebendaan). Elemen-elemen aspek artefact meliputi: (1) memperbaiki prasarana (jalan, tempat berteduh bagi kalangan wisatawan,

lokasi bagi wisatawan untuk menikmati pemandangan alam, toilet, dan lain-lain), (2) menyiapkan lokasi kawasan parkir, (3) mempersiapkan peta/sketsa untuk setiap paket-perjalanan di kawasan tersebut, (4) mempersiapkan rumah-rumah penduduk sebagai tempat penginapan bagi wisatawan yang ingin bermalam, (5) mempersiapkan masyarakat setempat untuk mampu membuat cendramata yang khas dari kawasan itu, dan (6) mempersiapkan lokasi untuk menjual cendramata bagi wisatawan.

Sejak terjadinya perubahan pola kegiatan pariwisata dari matahari, laut dan pasir pantai (sun, sea and sand) mengarah ke pariwisata bentuk alami, terjadi

pula perubahan pola kegiatan industri pariwisata dari kegiatan wisata massal (mass tourism) ke wisata minat (nice tourism). Salah satu kegiatan wisata minat khusus yang banyak dibicarakan akhir-akhir ini, bahkan telah menjadi isu global yaitu dengan berkembangnya ekowisata (ecotourism) sebagai kegiatan wisata alam yang berdampak ringan.

Kehadiran ekowisata dalam era pembangunan berwawasan lingkungan merupakan suatu misi pengembangan pariwisata alternatif yang tidak banyak menimbulkan dampak negatif, baik terhadap lingkungan maupun terhadap sosial budaya dan daya tarik wisata lainnya. Kegiatannya lebih berorientasi pada pemanfaatan sumberdaya alami, asli dan belum tercemar.

Isu ekowisata yang sedang berkembang tersebut, dilandasi suatu rumusan definisi (Boo, 1991) yang menyatakan bahwa ekowisata adalah perjalanan ke daerah yang relatif alami dan belum terkontaminasi, dengan tujuan khusus yaitu mempelajari, mengagumi, menikmati, tanaman, hewan, dan menifestasi budaya yang ada sekarang maupun peninggalan jaman dahulu yang dapat ditemukan di daerah tersebut. Sebagai kegiatan wisata alam yang mempunyai tujuan khusus dan bertanggung jawab, ekowisata semakin banyak diminati masyarakat sebagai kegiatan wisata yang menyenangkan. Kecenderungan ini ditandai dengan semakin banyaknya masyarakat pencinta alam di dunia termasuk masyarakat Indonesia yang melakukan berbagai kegiatan wisata alam berupa lintas alam (hiking), panjat tebing (climbing), arung jeram (rafting), berkemah (camping ground), naik sepeda gunung (rising bycicle), menikmati keindahan alam, serta keaslian budaya lokal (Dawi, 2006).

Ekowisata tidak melakukan eksploitasi alam, tetapi hanya menggunakan jasa alam dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan, fisik dan atau psikologis wisatawan. Ekowisata bukan menjual destinasi tetapi menjual filosofi (Fandeli, 2007). Dalam pemanfaatan areal alam untuk ekowisata mempergunakan pendekatan pelestarian dan pemanfaatan. Kedua pendekatan ini dilaksanakan dengan menitikberatkan pelestarian dibanding pemanfaatan. Kemudian pendekatan lainnya adalah pendekatan pada keberpihakan kepada masyarakat setempat agar mampu mempertahankan budaya lokal dan sekaligus meningkatkan kesejahteraannya.

Agroekowisata merupakan bagian dari objek wisata yang memanfaatkan usaha pertanian (agro) sebagai objek wisata. Tujuannya adalah untuk memperluas pengetahuan, pengalaman rekreasi, dan hubungan usaha dibidang pertanian. Melalui pengembangan agroekowisata yang menonjolkan budaya lokal dalam memanfaatkan lahan, diharapkan bisa meningkatkan pendapatan petani sambil melestarikan sumber daya lahan, serta memelihara budaya maupun teknologi lokal (indigenous knowledge) yang umumnya telah sesuai dengan kondisi lingkungan alaminya. (Deptan, 2011).

Menurut Sutawan (2009) agroekowisata merupakan salah satu bentuk kegiatan pariwisata yang obyeknya adalah usahatani dengan aktivitas–aktivitas yang terkait seperti kegiatan penelitian dan eksplorasi sumberdaya pertanian. Agroekowisata merupakan wisata dalam bentuk perjalanan ke tempat khusus yang memanfaatkan usaha agro sebagai obyek wisata untuk berekreasi atau mengisi waktu senggang lainnya dengan tujuan untuk menikmati, mengagumi,

menghargai, dan mempelajari alam, lingkungan, dan budaya pertanian pada suatu daerah/areal pertanian dengan tujuan untuk melestarikan/ mengkonservasi lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.

Berdasarkan uraian di atas, agroekowisata dimaksudkan sebagai salah satu bentuk kegitan pariwisata yang obyeknya adalah usahatani dengan aktivitas-aktivitas yang terkait dengannya, dan dalam pelaksanaannya tetap memperhatikan pelestarian lingkungan agar dapat mengurangi dampak negatif berupa kerusakan atau pencemaran lingkungan dan budaya lokal akibat kegiatan wisata. Di samping itu, juga memberikan keuntungan finansial dan pemberdayaan bagi masyarakat lokal dengan menciptakan produk wisata yang mengedepankan nilai-nilai lokal. Pemberdayaan bagi masyarakat setempat dapat dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk terlibat dalam kegiatan

agroekowisata. Kegiatan yang dapat dilakukan oleh masyarakat setempat antara lain: (1) mengelola pengusahaan agroekowisata melalui badan usaha bersama

seperti koperasi; ( 2) menyediakan jasa penginapan/akomodasi pada rumah-rumah penduduk; (3) menjadi pemandu wisata; (4) menyediakan jasa kuliner/ konsumsi yang merupakan khas daerah setempat dengan penyajian tradisional namun bersih dan sehat; (5) terlibat dalam kegiatan penyajian atraksi wisata; (6) menyediakan jasa transportasi tradisional; dan 7) menjual souvenir atau kenang-kenangan (Sutawan, 2009). Berdasarkan paparan tentang agroekowisata, dapat disimpulkan bahwa agroekowisata menghendaki peran serta pengunjung baik sebagai penikmat maupun sebagai partisipan dalam seluruh aktivitasnya.

2.2.2 Agroekowisata berbasis modal dan berbasis masyarakat

Pola agroekowisata berbasis modal adalah pola pengembangan di mana swasta lebih berperan dalam pelaksanaan kegiatan agroekowisata terutama pemasaran, penyediaan jasa dan opersional kegiatan, di sini karena peran swasta melengkapi sektor publik. Oleh karena itu, kedua stakeholder tersebut harus bekerjasama dan berkoordinasi agar kegiatan agroekowisata dapat berjalan baik (Sutawan, 2009).

Dunia usaha dan masyarakat sesuai dengan prinsip agroekowisata, keterlibatan dunia usaha dan masyarakat setempat sangat penting dan mutlak diperlukan. Kegiatan ini harus mengakomodasi dan terintegrasi dengan budaya lokal serta harus memberikan manfaat ekonomi dalam kehidupan masyarakat sekitar. Oleh karena itu, perlu diupayakan peningkatan ketrampilan melalui pendidikan latihan agar kesempatan dan kemampuan masyarakat meningkat dan dapat memberikan peran yang lebih besar dalam kegiatan agroekowisata. Kerjasama dan koordinasi antar berbagai stakeholder terkait dalam pengusahaan agroekowisata sangat penting dan menjadi faktor kunci keberhasilan dalam pengembangan agroekowisata. Kerjasama dan koordinasi tersebut dapat bervariasi, mulai dari informasi sampai dengan bentuk kerjasama yang legal dan formal. Sedangkan, areal kerjasama juga sangat luas meliputi semua proses pengembangan agroekowisata, mulai dari perencanaan seperti penetapan lokasi kawasan, pelaksanaan kegiatan termasuk operasional sampai kepada pemantauan kegiatan agar dapat dicapai sasaran secara berkelanjutan dengan memberikan manfaat yang