• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR /LAUT BERKELANJUTAN

IV. GAMBARAN UMUM

5.1. Parameter Fisika 1 Suhu

Suhu perairan merupakan salah satu parameter fisika yang sangat penting bagi kehidupan biota air. Kelangsungan hidup dan pertumbuhan yang optimal setiap biota mempunyai batas toleransi yang berbeda-beda. Secara umum, suhu berpengaruh langsung terutama terhadap biota perairan berupa reaksi enzimatik pada organisme namun tidak berpengaruh langsung terhadap struktur dan dispersi hewan air (Nontji, 1984). Disamping itu, suhu juga mempunyai hubungan langsung terhadap densitas air dan salinitas. Oleh karena itu perubahan suhu air dapat mempengaruhi struktur komunitas biota, sedangkan pada kondisi ekstrim dapat menyebabkan kematian (Kinne, 1970). Pada daerah tropis termasuk Indonesia, suhu permukaan laut berkisar antara 28°C – 31°C dan pada daerah subtropis berkisar antara 15°C - 20°C (Nontji, 1984).

Hasil pengukuran sampel air di sungai dan outlet suhu air berada pada kisaran 26,6°C - 32°C. Gambar 9 dari 4 stasiun pemantauan yang dilakukan, suhu terendah terdapat pada stasiun 4 (Sungai Huko-huko) yaitu 26,6°C dan suhu tertinggi ditemukan pada stasiun 3 (outlet pabrik) yaitu 32°C. Bila dibandingkan dengan 3 stasiun lain, suhu rata-rata air pada stasiun 3 (outlet pabrik) lebih tinggi yaitu 29,38°C. Hal ini diduga banyak dipengaruhi oleh aktivitas pabrik yang menggunakan air sebagai bahan pendingin slag dan pendingin mesin. Air pendingin slag berfungsi untuk mendinginkan slag yang baru keluar dari electric furnace dengan temperatur 1.550°C. Akibat suhu slag yang tinggi, air pendingin sebagian akan menguap dan sebagian lagi akan dialirkan melalui drainase pabrik hingga menuju outle akhir yaitu laut.

Mengacu pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran, dapat dikatakan bahwa suhu perairan pada 3 sungai pada stasiun pemantauan masih dalam kondisi normal dan masih dalam taraf ambang batas yang diperbolehkan bagi peruntukan kehidupan biota air. Sedangkan untuk stasiun 3 berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 09 Tahun 2006 tentang baku mutu

air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan pertambangan nikel juga masih dalam kisaran yang memenuhi baku mutu.

Pengukuran suhu pada stasiun di laut juga masih dalam kisaran normal yaitu 27°C - 30°C (Gambar 10). Mengacu pada baku mutu yang ditetapkan pada Kepmen-LH No. 51 Tahun 2004 tentang baku mutu air laut untuk keperluan biota laut, kondisi tersebut belum melewati ambang batas yang ditetapkan dan masih cukup ideal untuk menunjang kehidupan biota perairan. Secara umum, hasil pengukuran suhu pada perairan laut, sungai dan outlet pabrik, masih dalam batas toleransi bagi kehidupan organisme dan lingkungan. Hal tersebut dimungkinkan, mengingat adanya perlakuan (treatment) bagi buangan limbah pabrik, sehingga buangan limbah pabrik dapat terkontrol dan tidak berbahaya bagi organisme dan lingkungan sekitar.

Gambar 9 Suhu pada stasiun pengamatan pada sungai dan outlet pabrik.

5.1.2. Kecerahan

Kecerahan, kekeruhan dan padatan tersuspensi merupakan parameter kualitas air yang saling berkaitan satu sama lain. Peningkatan konsentrasi padatan tersuspensi sebanding dengan peningkatan konsentrasi kekeruhan, dan berbanding terbalik dengan kecerahan. Ketiga parameter mempunyai padanan penting dalam produktivitas perairan terutama yang berhubungan dengan fotosintesis dan proses respirasi biota perairan. Kecerahan merupakan jarak yang dapat ditembus cahaya ke dalam kolom air. Hasil pengukuran kecerahan perairan selama penelitian berkisaran 3,5-6 meter dengan kisaran rata-rata setiap stasiun 4,6-5,3 meter. Nilai kecerahan antara stasiun penelitian menunjukan variasi yang cukup kecil dan hampir sama setiap stasiunnya.

Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 tentang baku mutu air laut untuk biota laut, nilai kecerahan tersebut jauh melampaui baku mutu yang ditetapkan yaitu > 3 meter. Dengan demikian jika ditinjau dari segi kecerahan (Gambar 11), perairan lokasi penelitian tersebut masih baik dan dapat menunjang kehidupan organisme perairan.

5.1.3. Kekeruhan

Kekeruhan menggambarkan banyaknya bahan tersuspensi di dalam air seperti liat, debu, plankton atau organisme lainnya. Nilai kekeruhan yang tinggi akan mempengaruhi tingkat penetrasi cahaya ke dalam kolom air sehingga dapat mempengaruhi proses fotosintesis. Selain itu kekeruhan akan mengganggu organ- organ pernafasan dan alat penyaring makanan dari organisme perairan yang dapat menyebabkan kematian (Wardoyo, 1981).

Hasil pengukuran kekeruhan tiap stasiun berkisar 2-10 NTU, dengan rata- rata kisaran 3,58-5,20 NTU (Gambar 12) Kekeruhan terendah terdapat pada stasiun 9 yaitu Laut Tambae sebesar 3,58 NTU. Rendahnya kekeruhaan pada stasiun ini diduga sebagai akibat positif dari penanaman mangrove sepanjang garis pantai stasiun tersebut. Jarak tanam pohon mangrove yang sangat rapat tersebut diduga mempercepat pengendapan material-material sedimen yang berasal dari hulu Sungai Kumoro. Sedangkan kekeruhan tertinggi terdapat pada stasiun 6 yaitu Galangan Kapal sebesar 5,20 NTU. Tingginya kekeruhan pada stasiun itu diduga lebih banyak disebabkan oleh aktivitas di galangan kapal dan posisi stasiun tersebut berdampingan langsung dengan tempat penampungan sementara biji nikel yang ditambang (stockpile). Aktivitas di galangan kapal berupa perbaikan kapal-kapal pengangkut biji nikel yang baru ditambang pada lokasi Pulau Gebe dan Pulau Maniang di Halmahera. Perbaikan ini termasuk di dalamnya adalah pembuangan sisa-sisa material biji nikel yang masih bercampur dengan tanah. Akibatnya bisa diduga yaitu meningkatnya kekeruhan pada daerah tersebut.

Merujuk Baku Mutu Kepmen-LH No. 51 Tahun 2004 tentang baku mutu air laut untuk biota laut yang mensyaratkan nilai kekeruhan sebesar > 5 NTU, maka hanya pada stasiun 6 yaitu galangan kapal yang melebihi ambang batas kekeruhan. Sedangkan pada stasiun yang lainnya masih dalam toleransi yang cukup untuk menunjang kehidupan biota

5.1.4. Padatan Tersuspensi Total (TSS)

Padatan tersuspensi total (TSS) merupakan materi padat seperti pasir, lumpur, tanah deprice, detritus maupun logam berat, baik yang tergolong bahan organik atau anorganik yang tersuspensi di dalam perairan. Effendi (2003) menyatakan bahwa padatan tersuspensi total (total suspended solid) adalah bahan- bahan tersuspensi berdiameter >1 μm yang tertahan pada saringan dengan diameter 0,45 μm. TSS terdiri dari lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik yang terutama disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air.

TSS merupakan salah satu parameter biofisik perairan yang secara dinamis mencerminkan perubahan yang terjadi di daratan dan di perairan. TSS memberikan gambaran mengenai bahan-bahan tersuspensi, baik bahan organik maupun anorganik yang berupa partikel pada suatu perairan. Nilai TSS dapat dijadikan sebagai indikator kualitas suatu perairan karena sifat TSS yang berpengaruh terhadap kekeruhan dan kecerahan perairan, sehingga akan mempengaruhi aktivitas di perairan tersebut (Abel, 1989). Hasil analisis TSS di lokasi penelitian untuk stasiun sungai dan outlet pabrik ditampilkan pada Gambar 13.

Berdasarkan baku mutu peraturan pemerintah nomor 82 Tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran, TSS pada semua stasiun pemantauan di sungai dan outlet masih dalam kondisi baik dan mendukung kehidupan organisme perairan. Pada stasiun pemantauan di laut, konsentrasi TSS berada pada kisaran 76,48 mg/l - 108,67 mg/l (Gambar 14). Konsentrasi TSS yang ditemukan cukup variatif, namun pada semua stasiun menunjukan bahwa konsentrasi TSS di perairan laut telah melebihi baku mutu yang disyaratkan Kepmen-LH No. 51 Tahun 2004 tentang baku mutu air laut untuk biota laut sebesar 20 mg/l. Hal ini diduga sebagai akibat adanya turbulensi pada perairan pesisir sehingga sedimen-sedimen yang awalnya mengendap di dasar perairan terangkat ke permukaan. Selain itu juga diduga kondisi ini disebabkan adanya transpor sedimen yang berasal dari lokasi eksploitasi tambang dan terbawa ke perairan pesisir melalui sungai-sungai dan outlet pabrik.

Gambar 14 TSS pada stasiun pengamatan di laut.

5.2. Parameter Kimia

Dokumen terkait