• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.2. Karakteristik Kualitas Perairan

2.2.2. Parameter Kimia

a. Salinitas

Salinitas merupakan konsentrasi dari total ion yang terdapat di perairan (Boyd, 1988). Nilai salinitas ini menggambarkan padatan total di dalam air setelah semua karbonat di konversi menjadi oksida, semua bromida dan iodida telah digantikan oleh klorida dan semua bahan organik telah dioksidasi.

b. Nilai pH

Nilai pH menggambarkan konsentrasi ion hidrogen. Nilai pH berperan penting dalam menjaga kelangsungan hidup biota perairan dan dapat mempengaruhi kecepatan dan bentuk reaksi kimia serta interaksi biologis air. Sebagian besar biota perairan sensitif terhadap perubahan nilai pH dan hidup optimal pada pH sekitar 7 - 8.5. Perubahan nilai pH secara mendadak pada kisaran tertentu dapat menyebabkan kematian biota perairan (Effendi, 2003).

Nilai pH mempengaruhi toksisitas suatu senyawa kimia. Pada pH rendah, toksisitas logam mengalami peningkatan (Novotny dan Olem, 1994 dalam

Effendi, 2003). Demikian juga senyawa amoniak mengalami mudah terionisasi pada kondisi pH rendah dan tidak toksik. Namun pada pH tinggi (kondisi alkalis), amoniak umumnya tidak terionisasi dan bersifat toksik.

c. Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen)

Oksigen terlarut (dissolved oxygen) merupakan jumlah gas oksigen yang ditemukan terlarut dalam air. Kadar oksigen terlarut berfluktuasi secara harian dan musiman tergantung pada pencampuran (mixing) dan pergerakan (turbulence) massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi, dan keberadaan limbah yang masuk ke badan air. Distribusi oksigen terlarut sangatlah penting bagi banyak organisme akuatik, selain itu oksigen terlarut juga mempengaruhi kelarutan dan keberadaan unsur-unsur nutrien (Wetzel, 2001).

Sumber oksigen terlarut di perairan dapat berasal dari proses difusi oksigen yang terdapat di atmosfer dan produk dari aktivitas fotosintesa oleh tumbuhan air dan fitoplankton. Sebaliknya berkurangnya kadar oksigen di perairan sebagai akibat dari terpakainya oksigen untuk respirasi biota akuatik dan juga terpakainya oksigen oleh mikroba dalam proses dekomposisi bahan organik secara aerobik (Effendi, 2003).

Rendahnya kadar oksigen terlarut dikaitkan dengan pemakaian oksigen oleh mikroba dalam proses dekomposisi yang cenderung melebihi pasokan oksigen oleh aktivitas fotosintesa dan difusi langsung dari udara. Normalnya pasokan oksigen dari aktivitas fotosintesa dapat dikorelasikan dengan rendahnya kadar padatan terlarut dan tersuspensi. Rendahnya kadar padatan terlarut dan

tersuspensi perairan didukung dengan relatif jernihnya perairan yang memungkinkan penetrasi cahaya matahari menembus hingga dasar perairan dan memfasilitasi terjadinya proses fotosintesa pada seluruhkolom air. Kadar oksigen yang sangat rendah dapat membahayakan kelangsungan hidup ikan karena terganggunya proses respirasi seperti terlihat pada Tabel 2. Semakin rendah kadar oksigen terlarut semakin tinggi toksisitas (daya racun) beberapa logam seperti seng, tembaga, timbal, dan juga toksisitas beberapa gas seperti sulfida dan ammonia bebas (Boyd, 1990).

Tabel 2 Kadar oksigen terlarut dan pengaruhnya terhadap kelangsungan hidup ikan

Kadar oksigen terlarut

(mg/l) Pengaruh terhadap kelangsungan hidup ikan

< 0,3 Hanya sedikit jenis ikan yang dapat bertahan pada masa pemaparan singkat (short exposure)

0,3 – 1,0 Pemaparan yang lama (long exposure) dapat mengakibatkan kematian ikan

1,0 – 5,0 Ikan dapat bertahan hidup, tetapi pertumbuhannya terganggu

> 5,0 Hampir smeua organisme akuatik menyukai kondisi ini Sumber: Modifikasi Swingle (1969) dalam Boyd (1990)

d. Biological Oxygen Demand (BOD)

Kadar BOD menggambarkan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroba aerob untuk mengoksidasi bahan organik menjadi karbondioksida dan air. Penentuan kadar BOD selama 5 hari inkubasi dimaksudkan untuk meminimalkan pengaruh oksidasi ammonia dan berdasarkan perkiraan bahwa sekitar 70-80% bahan organik telah mengalami oksidasi pada hari kelima. Kadar BOD suatu perairan dipengaruhi oleh suhu, kelimpahan plankton, keberadaan mikroba, serta jenis dan kandungan bahan organik dalam perairan tersebut

e. Chemical Oxygen Demand (COD)

COD (chemical oxygen demand) adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oksidator kuat dalam mengoksidasi bahan organik secara kimiawi (Mays, 1996). Kalium dikromat adalah salah satu oksidator kuat yang biasanya digunakan dalam uji COD. Bahan organik yang dioksidasi dalam penentuan COD ini meliputi bahan organik yang bisa didegradasi secara biologis maupun yang sulit. Nilai

COD biasanya selalu lebih besar daripada nilai BOD. Oksidator (kalium dikromat) yang digunakan dalam uji COD dapat mengoksidasi bahan organik dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan bakteri (Sastrawijaya, 2000). Hasil pengamatan terhadap beberapa perairan alami menunjukkan nilai COD yang bervariasi antara < 2 mg/l - 100 mg/l (Mays, 1996).

d. Amoniak Total (NH3-N), Nitrit (NO2-N), dan Nitrat (NO3-N)

Amonia (NH3) adalah salah satu bentuk senyawa nitrogen yang ditemukan

di perairan. Ion amonium (NH4+) adalah bentuk transisi dari amonia. Amonia di

perairan berasal dari pemecahan nitrogen organik (protein dan urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat dalam tanah dan air, selain itu amonia juga berasal dari dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota akuatik yang telah mati) yang dilakukan oleh mikroba dan jamur. Amonia yang terukur pada perairan alami adalah amonia total (NH3 dan NH4+) (Boyd, 1990). Kadar amonia bebas pada

perairan alami biasanya kurang dari 0,1 mg/l (Effendi, 2003). Toksisitas konsentrasi amonia bebas terhadap ikan air tawar bervariasi antara 0,7 - 2,4 mg/l (Boyd, 1990).

Nitrit (NO2) merupakan bentuk peralihan antara amonia dan nitrat

(nitrifikasi), dan antara nitrat dan gas nitrogen (denitrifikasi). Nitrit biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit di perairan alami, kadarnya lebih kecil daripada nitrat karena nitrit bersifat tidak stabil jika di perairan terdapat oksigen. Keberadaan nitrit menggambarkan berlangsungnya proses perombakan bahan organik secara biologis dengan kadar oksigen terlarut sangat rendah (Novotny dan Olem, 1994). Kadar nitrit (sebagai N) di perairan alami sekitar 0,001 mg/l (Effendi, 2003). Nilai LC50 (96 jam) nitrit (sebagai N) terhadap ikan

air tawar bervariasi antara 0,66 - 200 mg/l (Boyd, 1990).

Nitrat (NO3) adalah bentuk nitrogen utama di perairan alami. Nitrat

dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan. Semua bahan yang mengandung nitrogen bertendensi untuk teroksidasi menjadi nitrat. Nitrat sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil (Effendi, 2003). Kadar nitrat (sebagai N) pada perairan alami umumnya kurang dari 5 mg/l (Mays, 1996).

Keberadaan amonia, nitrit, dan nitrat di perairan dipengaruhi oleh proses nitrifikasi dan denitrifikasi. Proses nitrifikasi dilakukan oleh bakteri Nitrosomonas

dan Nitrobacter pada kondisi aerob; pada kadar DO < 2 mg/l reaksi akan berjalan lambat. Nilai pH optimum bagi proses nitrifikasi ini adalah 8 – 9; pada pH < 6 reaksi akan berhenti. Dan suhu optimum bagi proses nitrifikasi adalah 20 – 25oC; kecepatan nitrifikasi berkurang pada suhu kurang atau lebih dari kisaran tersebut. Proses denitrifikasi juga dilakukan oleh mikroba, namun proses ini terjadi pada kondisi anaerob (Effendi, 2003).

e. Fosfor (PO4-P)

Fosfor merupakan unsur esensial bagi tumbuhan tingkat tinggi dan alga, sehingga fosfor menjadi faktor pembatas bagi tumbuhan dan algae akuatik; fosfor juga sangat mempengaruhi tingkat produktivitas perairan. Ortofosfat (PO43-)

adalah bentuk fosfor yang dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik. Polifosfat harus mengalami hidrolosis dulu membentuk ortofosfat sebelum dimanfaatkan sebagai sumber fosfor. Fosfat anorganik ini setelah masuk ke tumbuhan akan mengalami perubahan menjadi organofosfat. Total-P menggambarkan jumlah total fosfor, baik berupa partikulat maupun terlarut, dan berupa anorganik maupun organik.

f. Silika (SiO2)

Silikon ditemukan dalam bentuk silika (SiO2) di kerak bumi dalam jumlah

yang berlimpah. Silikon tidak ditemukan dalam bentuk elemen bebas, tetapi berikatan dengan oksigen dan elemen lain (Effendi, 2003). Silika tidak larut dalam air maupun asam dan biasanya dalam bentuk koloid.

Perairan tawar alami memiliki kadar silika kurang dari 5 mg/l, perairan sungai dan danau memiliki kadar silika sekitar 5-25 mg/l (Cole, 1988 dalam

Effendi, 2003). Perairan payau dan laut, kadar silika tergolong tinggi berkisar 1.000-4.000 mg/l. Keberadan silika di perairan tidak menimbulkan bahaya bagi makhluk hidup karena tidak bersifat toksik.

g. Logam berat

Logam berat didefinisikan sebagai logam yang mempunyai densitas lebih dari 5 gr/cm3. Dengan demikian logam yang memiliki densitas kurang dari 5 gr/cm3 tergolong logam ringan. Istilah lain menyebutkan sebagai logam trace

yaitu logam yang dalam keadaan alami berjumlah sangat sedikit (Darmono, 1995).

Widowati et al. (2008) menjelaskan logam berat terdapat 80 jenis dari 109 unsur kimia yang ada di muka bumi. Logam berat dibedakan atas 2 jenis yaitu: a. Logam berat esensial, yaitu logam yang dalam jumlah tertentu dibutuhkan

oleh organisme. Namun dalam jumlah yang berlebihan menimbulkan efek toksik. Logam-logam tersebut antara lain: Zn, Cu, Fe, Co, Mn dan lainnya. b. Logam berat tidak esensial, yaitu logam yang keberadaanya dalam tubuh

masih belum diketahui manfaatnya, bahkan bersifat toksik antara lain Hg, Cd, Pb, Cr, dan lain-lain.

Tingginya kandungan logam berat dalam perairan dapat disebabkan oleh kegiatan pertanian yang terbawa ke perairan laut, aktivitas vulkanik, pelapukan batuan dan proses alam lainnya. Logam berat juga dapat berasal dari proses resuspensi (pengadukan) dasar perairan yang terjadi di perairan dangkal dan terbawa oleh pergerakan massa air. Hampir semua jenis logam berat dibutuhkan oleh biota perairan dan makhluk hidup lainnya pada kandungan tertentu.

Beberapa unsur logam yang termasuk elemen mikro merupakan kelompok logam berat yang tidak mempunyai fungsi biologik sama sekali. Logam tersebut pada kadar tertentu bahkan sangat berbahaya dan dapat menyebabkan keracunan (toksisitas) pada mahluk hidup. Jenis logam tersebut antara lain timbal (Pb), kadmium (Cd), merkuri (Hg), arsen (As) dan aluminium (Al). Toksisitas logam pada manusia menyebabkan pengaruh negatif, terutama mengakibatkan kerusakan jaringan detoksikasi dan eksresi (hati dan ginjal). Beberapa logam toksik tersebut dapat menyerang saraf sehingga mengakibatkan kelainan tingkah laku.

Logam berat dapat menimbulkan efek pada kesehatan manusia, bergantung pada tingkat paparan dan bagian mana yang terikat logam berat dalam tubuh. Toksisitas logam berat mampu menghalangi kerja enzim sehingga menggangu metabolisme tubuh, menimbulkan alergi, bersifat mutagen, teratogen,

atau karsinogenik bagi manusia dan hewan (Widowati et al., 2008). Toksisitas logam berat dalam hewan air dari yang paling toksik yaitu Hg, Cd, Zn, Pb, Cr, Ni, dan Co. Sementara toksisitas logam berat bagi manusia dimulai dari Hg, Cd, Ag, Ni, Pb, As, Cr, Sn, dan Zn.

Dokumen terkait