• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1. Pertambangan Timah Belitung Timur 1 Pertambangan Timah dan Dampaknya

2.1.3. Tambang Inkonvensional, Potensi dan Permasalahannya

Istilah tambang inkonvensional (TI) secara sederhana diartikan sebagai kegiatan penambangan timah yang dilakukan oleh masyarakat dengan memanfaatkan peralatan mekanis sederhana dan modal usaha berkisar antara Rp 10 – 15 juta. Secara legal formal, TI sebenarnya kegiatan penambangan yang melanggar hukum karena pada umumnya tidak memiliki izin penambangan (Anonim, 2001).

Secara aspek hukum kegiatan TI merupakan pelanggaran terhadap Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Pasal 50 ayat 3); Perda Propinsi Kepulauan Bangka Belitung Nomor 3 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Usaha Pertambangan Umum (Pasal 8 ayat 2) dan Surat Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 443/MPP/KEP/5/2002 tentang pelarangan ekspor bijih timah (Herman, 2005).

Sebelum era reformasi (1997), munculnya kegiatan TI dikarenakan PT Timah melakukan kegiatan pendulangan di daerah-daerah yang tidak ekonomis dengan melibatkan masyarakat sekitar dan hasilnya dijual ke PT. Timah Tbk. Pada tahun 2001, kegiatan tersebut dilakukan di areal kuasa penambangan (KP) PT Timah Tbk, dan setelah cadangan timah habis dipindahkan ke lokasi yang telah ditetapkan PT. Timah Tbk. Kegiatan TI hanya melakukan kegiatan penambangan timah (PT Timah, 2002 dalam Herman, 2005).

Memasuki era reformasi, kegiatan TI berkembang sangat pesat dari pelaku penambangan menjadi pengolah dan eksportir bijih timah bahkan munculnya pabrik-pabrik peleburan skala kecil dan eksport logam timah tanpa merk. Kegiatan TI tersebut menjadi semakin marak sejak dikeluarkannya SK Menperindag No. 146/MPP/Kep/4/1999 tanggal 22 April 1999 bahwa Timah diketegorikan sebagai barang bebas (tidak diawasi) dan pencabutan status timah sebagai komoditas strategis, sehingga tidak dimonopoli lagi oleh satu BUMN dan dapat dieskpor secara bebas oleh siapapun (BIP, 2006).

Lokasi penambangan juga tidak terbatas pada areal kuasa pertambangan (KP) PT Timah Tbk, namun pelaku TI mencari alternatif lokasi baru di luar areal KP PT Timah Tbk. Pengolahan bahan timah dan eksport timah tanpa merek oleh

pelaku TI menyebabkan terjadinya pasar gelap dan menyebabkan penurunan harga timah di pasar internasional (Herman, 2005).

Berdasarkan data tahun 2001, bila diasumsikan terdapat 6000 unit TI dengan rata-rata produksi 10 ton pasir timah, maka jumlah produksi bijih timah yang dihasilkan mencapai 60.000 ton per tahun. Jumlah ini lebih besar dari produksi bijih timah PT. Timah Tbk dan PT. Koba Tin yang hanya mencapai 45.000 ton per tahun. Sementara pada tahun 2006, total eksport logam timah Indonesia diperkirakan mencapai 123.500 ton. Bank Indonesia Palembang (BIP) Tahun 2006 melaporkan bahwa konstribusi PT. Timah Tbk sebesar 43.000 ton dan PT. Koba Tin sebesar 20.500 ton dan sisanya berasal dari smelter swasta illegal sebesar 60.000 ton atau hampir sepertiga produksi timah dunia.

Kegiatan TI di Belitung Timur awalnya juga dilakukan di bekas areal PT Timah Tbk yang sudah ditinggalkan (Anonim, 2001). Kemudian berkembang ke lokasi-lokasi lain dan bahkan perkebunan lada yang dinilai kurang ekonomis dikonversi menjadi areal pertambangan. Lokasi TI tersebar pada jalur antara Tanjung Pandan, Bidang, Kelapa Kampit dan Manggar (sepanjang 91 km) dan antara Manggar, Gantung, Badau dan Tanjung Pandan (sekitar 105 km).

Kegiatan TI berdampak positif bagi perkembangan perekonomian Bangka Belitung terutama sektor pertambangan dan penyerapan tenaga kerja. Namun menimbulkan permasalahan lain (dampak turunan) yang lebih besar antara lain merugikan ekonomi sektor lain terutama pertanian, kerusakan lingkungan dan sosial (BIP, 2006). Dampak keberadaan TI disampaikan pada Tabel 1.

Dampak kerusakan lingkungan akibat kegiatan TI (Widyastuti, 2007) antara lain:

• Lubang bekas galian yang tidak direklamasi membentuk cekungan-cekungan (kolong tambang) dan terisi air pada saat hujan sehingga daerah tersebut menjadi tandus dan gersang.

• Terjadinya pendangkalan sungai di sekitar lokasi penambangan. Kegiatan tambang menggunakan air sungai untuk melakukan penyemprotan untuk pelepasan tanah dari pasir timah.

• Rusak dan hilangnya vegetasi diakibatkan penebangan dan asap mesin eksavator.

• Penurunan kualitas air sungai akibat pembuangan tailing (lumpur) hasil pemisahan bijih timah.

• Rusaknya daerah aliran sungai, kawasan sempadan pantai, hutan produksi dan bahkan hutan lindung.

Tabel 1 Dampak keberadaan TI

No. Sektor Dampak

1. Pertambangan ƒ Meningkatkan produksi timah (Indonesia menguasai 40% produksi timah dunia

ƒ Memunculkan negara eksportir timah baru seperti Malaysia, Thailand dan Singapura (meskipun bukan penghasil timah) yang mendapat timah dari Indonesia.

ƒ Pasokan timah dunia melimpah

ƒ Harga timah dunia menurun

2. Pertanian ƒ Penyusutan lahan perkebunan lada seluas 50.000 ha (tahun 2000 hingga 2004) menjadi lahan pertambangan timah

ƒ Penurunan produktivitas lada dari 2 ton menjadi 1 ton per hektar.

3. Ketenagakerjaan ƒ Peningkatan penyerapan tenaga kerja

ƒ Mengurangi pengangguran secara signifikan

4. Lingkungan ƒ Menimbulkan kerusakan lingkungan (sumberdaya air dan hutan)

5. Pendidikan ƒ Peningkatan angka putus sekolah sekitar 16.000 (Juni 2005) karena bekerja di penambangan timah

6. Pendapatan daerah ƒ Peningkatan pendapatan daerah dari royalti timah

Sumber: Laporan Perekonomian dan Perbankan Kepulauan Bangka Belitung, 2006

Sistem penambangan TI

Menurut Widyastuti (2007) sistem penambangan TI dilakukan secara berpindah-pindah dari satu lokasi ke lokasi lainnya (bergantung pada cadangan timah yang tersedia). Besarnya cadangan timah di suatu tempat belum dapat diketahui sebelumnya secara pasti.

Modal yang digunakan bervariasi tergantung pada luas area penambangan, kedalaman, dan jarak dengan lokasi sumber air (sungai). Semakin luas area penambangan, maka alat-alat yang digunakan juga semakin banyak. Bahan bakar untuk mesin-mesin penambangan berbahan bakar solar. Biaya penggunaan bahan bakar kegiatan TI di Kecamatan Belinyu, Kabupaten Bangka rata-rata berkisar

Rp 100.000 – Rp 200.000 dengan produktivitas perolehan timah berkisar 15 – 50 kg per hari (Widyastuti, 2007).

Sistem penjualan Timah

Sistem penjualan timah yang dilakukan oleh pemilik TI yaitu dijual secara langsung kepada tengkulak kecil (kolektor). Kolektor biasanya berbentuk badan hukum CV akan menetapkan harga timah sesuai kualitas timah yang diperoleh dan berat hasil penimbangan. Kemudian, kolektor akan menjual hasil timah yang telah dikeringkan kepada smelter yaitu usaha industri logam timah.

Industri logam timah akan melakukan pengolahan timah lanjutan dengan cara peleburan bijih timah hingga pembentukan logam timah yang berbentuk batangan. Smelter akan menjual hasil pengolahan kepada mitra usaha seperti PT. Timah Tbk. Rendahnya harga jual pasar domestik menyebabkan banyaknya penyelundupan timah ke luar negeri dengan harga jual yang relatif tinggi (Widyastuti, 2007). Bagan alir sistem penjualan timah dijelaskan pada Gambar 2.

Pemilik TI

Pasar Luar Negeri PT Timah Tbk

= Jalur resmi = Jalur tidak resmi

Gambar 2 Bagan alir sistem penjualan timah Kolektor Smelter

Dokumen terkait