• Tidak ada hasil yang ditemukan

PASANG SURUT STASION MARANGTALE-AMPIBABO

B. Parameter kimia perairan a Salinitas

Hasil pengukuran salinitas di perairan pantai Kecamatan Ampibabo pada Bulan Mei Tahun 2006 mendapatkan nilai salinitas berkisar antara 30 – 34 ppto dengan rerata 33.42 ppt. Untuk setiap stasiun pengamatan diperoleh salinitas yang cukup tingggi yaitu berkisar antara 33 – 34 ppt, begitu pula dengan berdasarkan stratifikasi kedalamannya yaitu permukaan, pertengahan dan dekat dasar perairan. Hal berbeda dijumpai pada lokasi pengamatan di mana merupakan muara sungai, salinitas yang diukur bernilai 30 ppt. Untuk jelasnya kisaran salinitas dapat dilihat pada Gambar 9. 28 29 30 31 32 33 34 35 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Stasiun Sa li n it a s ( o / oo ) Permukaan Tengah Dekat dasar

Gambar 9. Salinitas di perairan pantai Kecamatan Ampibabo pada bulan Mei 2006

Secara umum salinitas di perairan pantai Kecamatan Ampibabo tidak menunjukkan variasi yang besar. Selain itu, salinitas perairan daerah ini dinilai cukup tinggi yang dikarenakan pada saat penelitian supplay air tawar yang berasal dari muara-muara sungai disekitarnya sangat sedikit, serta rendahnya curah hujan. Dalam Nontji (1989), Salinitas laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai.

Salinitas berhubungan dengan fungsi fisiologis organisme perairan dalam mengatur keseimbangan tubuh akibat tekanan osmotik yang diterimanya. Setiap jenis organisme dapat tumbuh dengan baik pada kisaran salinitas tertentu

47

tergantung pada toleransi dan adaptasinya terhadap lingkungan. Kisaran salinitas di perairan pantai Kecamatan Ampibabo sesuai bagi kegiatan budidaya laut. Untuk kegiatan budidaya rumput laut jenis Eucheuma cottonii misalnya, dapat tumbuh dengan baik pada perairan dengan salinitas antara 28 – 35 ppt (Dirjenperbud-DKP 2006) dan salinitas optimumnya 33 ppt (Mubarak dkk 1990), untuk budidaya ikan kerapu sistem keramba jaring apung salinitas air laut antara 30 – 35 ppt merupakan kisaran yang sesuai, karena sesuai dengan kondisi alami kehidupannya yaitu di perairan karang (Hafiz dkk 1999).

b. Oksigen Terlarut (DO)

Dari hasil pengukuran kandungan oksigen terlarut di perairan pantai Kecamatan Ampibabo pada stasiun 1 sampai 9 saat musim, di peroleh kisaran nilai DO antara 6.6 – 7.3 mg/l dengan rerata 6.9 mg/l. Berdasarkan stratifikasi perairan, nilai DO pada permukaan berkisar antara 6.8 – 7.3 mg/l dengan rerata 6.93 mg/l, pada bagian tengah perairan 6.6 -7.2 mg.l dengan rerata 6.9 mg/l, sedangkan untuk bagian dasar bernilai 6.6 – 7.3 mg/l dengan rerata 6.89 mg/l (Gambar 10). Perbedaan nilai oksigen diperairan dipengaruhi oleh beberapa hal seperti waktu pengambilan sampel dan kondisi cuaca pada saat itu. Pada siang hari fotosintesis lebih tinggi karena intensitas cahaya matahari yang lebih tinggi dibandingkan pagi dan sore hari sehingga oksigen yang dihasilkan akan lebih banyak. Pada saat pengukuran dan pengambilan contoh air, intensitas cahaya matahari penuh bersinar, hal ini menyebabkan intensitas cahaya sampai menembus hingga ke kedalaman tertentu perairan.

6.2 6.4 6.6 6.8 7.0 7.2 7.4 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Stasiun O k s ige n Te rl a rut ( m g/ l) Permukaan Tengah Dekat dasar

Gambar 10. Oksigen Terlarut (DO) di perairan pantai Kecamatan Ampibabo pada musim peralihan

Menurut Boyd (1990), kadar oksigen terlarut perairan yang diperuntukkkan bagi kepentingan perikanan tidak kurang dari 5 mg/l. Dalam Akbar dkk (2002) mengatakan bahwa, untuk kegiatan budidaya ikan kerapu macan dan kerapu tikus dalam keramba jaring apung konsentrasi oksigen dalam air yang sesuai lebih dari 5 mg/l, lebih lanjut dijelaskan bahwa konsentrasi oksigen terlarut dapat mempengaruhi pertumbuhan, konversi pakan dan mengurangi daya dukung perairan. Oleh karena itu kondisi DO perairan pantai kecamatan Ampibabo dinilai sangat layak untuk kegiatan perikanan budidaya.

c. Biologycal Oxygen Demand (BOD)

Pengukuran BOD5 pada bulan Mei 2006, diperoleh nilai BOD5 berkisar antara 0.6 – 2.3 mg/l dengan rata-rata 1.27 mg/l. Nilai tertinggi (2.3 mg/l) diperoleh di dekat dasar perairan pada stasiun 4 atau dekat pelabuhan desa Paranggi, sedangkan nilai terendah (0.6 mg/l) di peroleh pada permukaan air stasiun 8(Gambar 11).

Tingginya nilai BOD menggambarkan semakin besarnya bahan organik yang akan di dekomposisi dengan menggunakan oksigen di perairan. Apabila tidak diimbangi dengan kandungan oksigen terlarut yang tinggi juga, maka akan mengganggu biota yang hidup di perairan. Selain itu akan menghasilkan bahan- bahan beracun sebagai hasil dari dekomposisi seperti amonia dan hidrogen sulfida. Masih kurangnya kegiatan yang menghasilkan limbah, terutama limbah organik di wilayah pantai Ampibabo menyebabkan rendahnya nilai BOD5. Untuk kegiatan budidya ikan sistem keramba jaring apung nilai BOD5 yang sesuai < 5 mg/l (FAO, 1989). Lebih lanjut, berdasarkan kriteria baku mutu air laut (KEPMENLH Nomor 51 tahun 2004) untuk biota perairan nilai BOD5 harus < 20 mg/l, dengan demikian nilai BOD5 pada stasiun-stasiun pengamatan memenuhi kriteria untuk budidaya perikanan.

49

Berdasarkan hasil analisis lapangan pada musim peralihan, air laut menunjukkan nilai pH berkisar antara 7.1 – 8.9 dengan rata-rata 8.4. Nilai pH pada permukaan berkisar antara 7.1 – 8.4 dengan rata-rata 8.05, pada pertengahan perairan berkisar antara 7.6 – 8.4 dengan rata-rata 8.10, sedangkan dekat dasar perairan berkisar antara 7.8 – 8.4 dengan rata-rata 8.18 (Gambar 12). Nilai pH yang diperoleh pada setiap stasiun umumnya bersifat basah, terkecuali nilai pH pada permukaan muara sungai Towera yang hampir mendekati netral atau tujuh karena pengaruh air tawar.

- 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Stasiun BO D5 ( m g /l ) Permukaan Pertengahan Dekat Dasar

Gambar 11. Nilai BOD5 di perairan pantai kecamatan Ampibabo pada bulan Mei 2006

Hinga (2002), mengatakan bahwa pada sebagian besar lingkungan pesisir mengalami perubahan 1 unit nilai pH dari 7.5 sampai 8.5, terkadang juga terjadi perubahan dari pH lebih besar dari 9 atau kurang dari 7. Setiap spesies mempunyai batasan dalam beradaptasi terhadap perubahan nilai pH, karena sebagian besar organisme laut mempunyai sesuai pada kisaran pH 7 sampai 8.5, di luar daripada itu dapat menggangu perumbuhannya. Lebih Lanjut, McDonald (1983) dalam Beveridge (1987), bahwa pH merupakan ukuran dari aktifitas ion hidrogen, penting dalam kegiatan budidaya karena nilai pH yang terlalu asam atau basa dapat dengan cepat merusak permukaan insang, sampai menyebabkan kematian.

e. Amonia (NH3-N)

Berdasarkan hasil analisis contoh air di laboratorium diperoleh kadar Amonia pada stasiun 1 sampai 9 berkisar antara 0.277 – 0.535 mg/l dengan rata- rata 0.32 mg/l. Nilai amonia tertinggi diperoleh pada stasiun 1 dekat dasar

perairan pantai desa lemo, sedangkan nilai terendah diperoleh pada stasiun 4 yaitu permukaan perairan pantai desa Paranggi atau dekat pelabuhan perikanan. (Gambar 13). 6.0 6.5 7.0 7.5 8.0 8.5 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Stasiun PH Permukaan Pertengahan Dasar

Gambar 12. Nilai pH di perairan pantai Kecamatan Ampibabo pada bulan Mei 2006

Perairan pantai kecamatan Ampibabo, di sekitarnya belum banyak terdapat aktivitas atau kegiatan manusia yang dapat mempengaruhi kondisi perairan. Dalam Hodgkiss & Lu (2004), bahwa peningkatan aktifitas manusia di wilayah pesisir seperti limbah dan buangan manusia, peningkatan penggunaan pupuk dalam kegiatan pertanian, aliran permukaan, masukan nutrien dari sungai, kegiatan pariwisata, budidaya laut, dan sebagainya merupakan penyebab pencemaran lingkungan.

Untuk kegiatan budidaya laut kadar amonia yang optimum mencapai 0 mg/l. Akan tetapi dalam kisaran tertentu masih dapat di toleransi karena kondisi alamiah. Kadar amonia yang diperoleh hampir seluruh stasiun belum melebihi batas nilai yang ditentukan untuk budidaya perikanan. Dalam FAO (1989), untuk kegiatan budidaya ikan sistem keramba jaring apung kandungan amonia di perairan haruslah < 0.5 mg/l. Lebih lanjut, dalam KEPMENLH nomor 51 tahun 2004 tentang baku mutu air laut, memberikan batasan kadar amonia 0,3 mg/l. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dari hasil pengukuran kadar amonia perairan layak untuk kegiatan budidaya atau untuk kehidupan biota lainnya.

f. Nitrat (NO3-N)

Hasil analisis kandungan nitrat pada perairan pantai Kecamatan Ampibab pada bulan Mei 2006 rata-rata 0.110 mg/l. Diperoleh nilai tertinggi pada stasiun 6

51

tepatnya pada permukaan sungai Towera yaitu 0.326 mg/l, sedangkan nilai terendah terdapat pada stasiun 1 tepatnya pada pertengahan perairan di stasiun 1 yaitu 0.032 mg/l (Gambar 14). - 0.100 0.200 0.300 0.400 0.500 0.600 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Stasiun A m oni a ( m g/ l) Permukaan Pertengahan Dekat Dasar

Gambar 13. Nilai Amonia pada permukaan, pertengahan, dan dekat dasar perairan pantai Kecamatan Ampibabo pada Bulan Mei

Tingginya kadar nitrat pada permukaan stasiun 6 di pengaruhi oleh sungai Towera yang berada tepat di lokasi pengambilan contoh air. Sungai towera membawa zat organik terurai sehinga mempengaruhi tinggat kesuburan. Hodgkiss & Lu (2004), mengatakan bahwa, secara alami nitrogen yang masuk ke perairan pesisir di bawa oleh aliran permukaan sungai, sebagai hasil fiksasi nitrogen, presipitation, dan upweling. Tetapi, jika di kaitkan dengan tingkat kesuburan perairan, maka perairan pantai kecamatan Ampibabo masih belum dikategorikan sebagai perairan yang belum mengalami eutrofikasi, dan akan mengakibatkan terjadinya blooming algae, yang lebih jauh menyebabkan perairan mengalami kekurangan oksigen. Oleh FAO (1989), untuk kegiatan budidaya ikan hendaknya pada perairan dengan kadar amonia < 4 mg/l.

- 0.050 0.100 0.150 0.200 0.250 0.300 0.350 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Stasiun Ni tr at (M g /l ) Permukaan Pertengahan Dekat Dasar

Gambar 14. Nilai Amonia pada permukaan, pertengahan, dan dekat dasar perairan pantai Kecamatan Ampibabo.

g. Fosfat (PO4-P)

Kadar fosfat di perairan pantai kecamatan Ampibabo pada bulan Mei 2006 untuk stasiun 1 sampai 9 pada permukaan, pertengahan dan dekat dasar perairan bernilai < 0.001 mg/l. Kisaran nilai fosfat yang diperoleh di seluruh stasiun jika dibandingkan dengan KEPMENLH nomor 51 tahun 2004 tentang baku mutu air laut bagi biota belum melebihi batas nilai yang ditentukan yaitu 0,013 mg/l.

Fosfat merupakan salah satu bioindikator kesuburan dalam suatu perairan, oleh sebab itu keberadaannya di perairan sangat penting. Akan tetapi, kadar fosfat pada peraiaran laut tidak dibutuhkan dalam jumlah yang terlalu banyak. Meningkatnya kadar fosfat di suatu perairan akan menyebababkan terjadinya eutrofikasi. Berdasarkan hasil penelitian Hodgkis dan Lu (1997), perbandingan unsur N dan P di perairan untuk berapa jenis alga antara 5 : 1 sampai 15 : 1, dan itu berbeda untuk setiap jenisnya. Lebih lanjut oleh Redfield (1958) dalam Lu dan Hodgkis (2004) yang dikenal juga dengan perbandingan Redfield, dalam air laut perbandingan unsur N dan P yang optimal bagi pertumbuhan fitoplankton yaitu 15 : 1.

C. Parameter biologi

Dokumen terkait