• Tidak ada hasil yang ditemukan

TERHADAP KREDITUR

Pada bab ini akan dibahas mengenai hak tanggungan di

Indonesia, tinjauan umum tentang eksekusi hak tanggungan

dan parate eksekusi sebagai perlindungan hukum terhadap

kreditur.

BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR

Pada bab ini akan dibahas mengenai landasan pertimbangan

hakim dalam memutus perkara dan analisis penulis

mengenai kesesuaian antara putusan Mahkamah Agung

nomor 1993K/Pdt/2012 dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

BAB V PENUTUP

Bab ini merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan

16

BAB II

JAMINAN DAN KREDIT PERBANKAN

A. Tinjauan Umum tentang Perjanjian. 1. Pengertian Perjanjian

Hukum perjanjian terdapat dua istilah yang berasal dari bahasa

Belanda, yaitu istilah verbintenis dan overeenkomst diatur dalam Buku III KUH Perdata. Pengertian perjanjian itu sendiri dimuat di dalam Pasal

1313 yang menyatakan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan

mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau

lebih. Dalam menerjemahkan istilah verbintenis dan overeenkomst dalam bahasa Indonesia mempunyai arti yang luas, sehingga menimbulkan

perbedaan dan beragam pendapat dari pada sarjana hukum.1

Subekti mengemukakan suatu perjanjian adalah suatu peristiwa

dimana seorang berjanji kepada seorang yang lain atau dimana dua orang

itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Perjanjian ini

menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya.2

Sedangkan menurut Salim HS, perjanjian adalah hubungan hukum

antara subjek yang satu dengan subjek yang lain dalam bidang harta

kekayaan, di mana subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan

1

Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional (Bandung: Alumni 1986), h. 3 2

begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan

prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya.3

Berdasarkan beberapa pengertian perjanjian di atas, dapat

disimpulkan bahwa di dalam suatu perjanjian minimal harus terdapat dua

pihak, dimana kedua belah pihak tersebut telah sepakat untuk

menimbulkan suatu akibat hukum. Adapun yang dimaksud dengan

prestasi adalah menyerahkan suatu barang, melakukan suatu perbuatan

dan tidak melakukan suatu perbuatan. Perjanjian itu sendiri bisa berupa

rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji yang diucapkan atau

ditulis.

Dari pengertian-pengertian di atas dapat dilihat unsur-unsur yang

tercantum dalam kontrak, yaitu:4

1. Adanya hubungan hukum.

Hubungan hukum merupakan hubungan yang menimbulkan

akibat hukum. Akibat hukum yaitu timbulnya hak dan kewajiban.

2. Adanya subjek hukum.

Subjek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban. Subjek dalam

hukum perjanjian termasuk subjek hukum yang diatur dalam

KUH Perdata, sebagai mana diketahui bahwa hukum perdata

mengkualifikasikan subjek hukum terdiri dari dua bagian yaitu

manusia dan badan hukum. Sehingga yang membentuk perjanjian

3

Salim HS, Hukum Kontrak, Teori & Teknik Penyusunan Kontrak (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 27

4

menurut hukum perdata bukan hanya manusia secara individual

ataupun kolektif, tetapi juga badan hukum atau rechtperson, misalnya Yayasan, Koperasi dan Perseroan Terbatas.

3. Adanya prestasi.

Prestasi menurut Pasal 1234 KUH Perdata terdiri atas untuk

memberi sesuatu, untuk berbuat sesuatu, dan untuk tidak berbuat

sesuatu.

4. Di bidang harta kekayaan.

Pada umumnya kesepakatan yang telah dicapai antara dua atau

lebih pelaku bisnis dituangkan dalam bentuk tertulis dan

kemudian ditandatangani oleh para pihak. Dokumen tersebut

disebut sebagai kontrak bisnis atau kontrak dagang.

2. Syarat Sahnya Perjanjian

Syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUH

Perdata yang mengemukakan empat syarat, yaitu:

1. Adanya kesepakatan kedua belah pihak.

2. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum.

3. Adanya suatu hal tertentu.

4. Adanya sebab yang halal.

Kedua syarat yang pertama disebut syarat subjektif karena kedua

syarat tersebut mengenai subjek perjanjian sedangkan dua syarat

terakhir merupakan syarat objektif karena mengenai objek dari

Keempat syarat tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. Adanya kesepakatan kedua belah pihak.

Kedua belah pihak atau para pihak yang mengadakan

perjanjian tersebut bersepakat atas hal-hal yang diperjanjikan.

2. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum.

Pasal 1329 KUH Perdata menyebutkan bahwa setiap orang

adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan jika oleh

undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Pasal 1330 KUH

Perdata lebih lanjut menyatakan semua orang berwenang untuk

membuat perjanjian atau kontrak kecuali mereka yang masuk ke

dalam golongan:

1. Orang belum dewasa.

2. Orang yang ditempatkan di bawah pengampuan.

3. Orang perempuan dalam hal-hal yang telah ditetapkan oleh

undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada

siapa undang-undang telah melarang membuat

perjanjian-perjanjian tertentu. Tetapi dalam perkembangannya istri

dapat melakukan perbuatan hukum sesuai dengan Pasal 31

ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. SEMA

No. 3 Tahun 1963.

3. Adanya suatu hal tertentu.

Suatu hal dapat diartikan sebagai objek dari perjanjian. Yang

jelas. Menurut Pasal 1332 KUH Perdata, hanya barang-barang

yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok-pokok

perjanjian. Pasal 1333 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu

perjanjian harus mempunyai pokok suatu barang yang paling

sedikit dapat ditentukan jenisnya.

4. Adanya sebab yang halal.

Menurut undang-undang sebab yang halal adalah jika tidak

dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan

kesusilaan dan ketertiban umum, ketentuan ini disebutkan dalam

Pasal 1337 KUH Perdata.

Selain itu, Al – Quran juga menegaskan pada surat Al-Maidah ayat 1 tentang keharusan memenuhi perjanjian yang halal:

“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah janji-janji. Hewan ternak dihalalkan bagimu, kecuali yang akan disebutkan kepadamu, dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang berihram (haji atau umrah). Sesungguhnya Allah menetapkan hukum sesuai dengan yang Dia kehendaki.”

Mengernai firman-Nya

اوف ْوأِدوقعْلاب

“Penuhilah akad-akad itu,” Ibnu „Abbas, Mujahid, dan beberapa ulama lainnya mengatakan: “Yang dimaksud dengan aqad adalah perjanjian.” Ibnu Jarir juga menceritakan adanya ijma’ tentang hal itu. Ia mengatakan

“Perjanjian-perjanjian adalah apa yang mereka sepakati, berupa sumpah atau yang lainnya.”5

Dengan kata lain, selain butuh kesepakatan perjanjian juga

membutuhkan sebab yang halal sehingga dapat terlaksana. Jika

perjanjian sudah dilandaskan dengan sebab yang halal, maka

perjanjian tersebut haruslah dipenuhi secara keseluruhan.

Keempat syarat tersebut haruslah dipenuhi oleh para pihak dan

apabila syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut telah dipenuhi, maka

melihat pada Pasal 1338 KUH Perdata, perjanjian tersebut mempunyai

kekuatan hukum yang sama dengan kekuatan suatu undang-undang.

3. Asas-Asas dalam Perjanjian

Asas-asas yang terdapat dalam perjanjian, terdiri dari:

a. Asas kebebasan berkontrak.

Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal

1338 KUH Perdata yang berbunyi:

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

Dari pasal tersebut dapat dibuat kesimpulan bahwa pada

dasarnya setiap orang boleh membuat suatu perjanjian secara bebas

yang berisi dan berbentuk apapun, asal tidak bertentangan dengan

undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum. Adapun

5

Abdullah Bin Muhammad Bin Abdurrahman Bin Ishaq Alu Syaikh, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 3, Penerjemah M. Abdul Ghoffar, (Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2008), h. 2

kebebasan untuk membuat perjanjian itu terdiri dari beberapa hal

yaitu:

a. Kebebasan untuk mengadakan atau tidak mengadakan

perjanjian.

b. Bebas untuk mengadakan perjanjian dengan siapa saja.

c. Bebas untuk menentukan isi perjanjian yang dibuatnya.

d. Kebebasan untuk menentukan bentuk perjanjian.

e. Kebebasan untuk menentukan terhadap hukum mana

perjanjian itu akan tunduk.

b. Asas konsensualisme

Asas ini berkaitan dengan lahirnya suatu perjanjian. Kata

konsensualisme berasal dari kata consensus yang berarti sepakat. Hal ini menjelaskan bahwa pada asasnya suatu perjanjian timbul sejak

saat tercapainya konsensus atau kesepakatan yang bebas antara para

pihak yang melakukan perjanjian. Asas ini mempunyai arti yang

terpenting, yaitu bahwa untuk melahirkan perjanjian adalah cukup

dengan dicapainya kata sepakat mengenai hal-hal pokok dari

perjanjian tersebut, dan bahwa perjanjian sudah lahir pada saat

tercapainya kesepakatan.

c. Asas kekuatan mengikat hukum.

Berdasarkan asas ini kedua belah pihak terikat oleh kesepakatan

apa yang telah mereka sepakati, sehingga perjanjian itu berlaku

sebagai undang-undang.

d. Asas itikad baik.

Semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik, seperti

yang tercantum dalam Pasal 1338 KUH Perdata. Jadi dalam

perikatan yang dilahirkan dari perjanjian, maka para pihak bukan

hanya terikat oleh kata-kata perjanjian itu dan oleh kata-kata

perundang-undangan mengenai perjanjian itu, melainkan juga oleh

itikad baik.

e. Asas kepribadian (personality)

Asas kepribadian berarti isi perjanjian hanya mengikat para pihak

secara personal, tidak mengikat pihak-pihak lain yag tidak

memberikan kesepakatannya. Seseorang hanya dapat mewakili

dirinya sendiri dan tidak dapat mewakili orang lain dalam membuat

perjanjian. Perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku

bagi mereka yang membuatnya. Hal ini tercantum dalam Pasal 1315

dan 1340 KUH Perdata.

4. Berakhirnya Perjanjian

Suatu perjanjian pada umumnya berakhir apabila tujuan itu telah

tercapai, dimana masing-masing pihak telah memenuhi prestasi yang

diperjanjikan sebagaimana yang merupakan kehendak bersama dalam

seperti yang disebutkan di atas, terdapat beberapa cara lain untuk

mengakhiri perjanjian, yaitu:6

1. Ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak. Misalnya dalam

perjanjian itu telah ditentukan batas berakhirnya perjanjian dalam

waktu tertentu.

2. Undang-undang menentukan batas berlakunya perjanjian. Misalnya

Pasal 1250 KUH Perdata yang menyatakan bahwa hak membeli

kembali tidak boleh diperjanjikan untuk suatu waktu tertentu yaitu

tidak boleh lebih dari 5 tahun.

3. Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan

terjadinya peristiwa tertentu maka perjanjian akan berakhir.

Misalnya apabila salah satu pihak meninggal dunia maka perjanjian

akan menjadi hapus (Pasal 1603 KUH Perdata) yang menyatakan

bahwa perhubungan kerja berakhir dengan meninggalnya si buruh.

4. Karena persetujuan para pihak.

5. Pernyataan penghentian pekerjaan dapat dikarenakan oleh kedua

belah pihak atau oleh salah satu pihak hanya pada perjanjian bersifat

sementara.

6. Berakhirnya perjanjian karena putusan hakim.

7. Tujuan perjanjian sudah tercapai.

8. Karena pembebasan utang.

B. Tinjauan Umum tentang Hukum Jaminan

6 Gunawan Widjaja, Memahami Prinsip Keterbukaan dalam Hukum Perdata (Jakarta: PT RajaGrafinfo Persada, 2006), h. 387

1. Istilah dan Pengertian Hukum Jaminan

Istilah hukum jaminan berasal dari kata zakerheidesstelling,

zekerheidsrechten atau security of law. Dalam keputusan Seminar Hukum Jaminan yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum

Nasional Departemen Kehakiman bekerja sama dengan Fakultas Hukum

Universitas Gadjah Mada tanggal 9 sampai dengan 11 Oktober 1978 di

Yogyakarta menyimpulkan bahwa istilah hukum jaminan itu meliputi

pengertian baik jaminan kebendaan maupun jaminan perorangan.

Menurut M. Bahsan, hukum jaminan merupakan himpunan ketentuan

yang mengatur atau berkaitan dengan penjaminan dalam rangka utang

piutang (pinjaman uang) yang tedapat dalam berbagai peraturan

perundang-undangan yang berlaku saat ini.7 Sementara itu, Salim HS

memberikan perumusan hukum jaminan adalah keseluruhan

kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan antara pemberi dan penerima

jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk mendapat

fasilitas kredit.8

Unsur-unsur yang tercantum dalam definisi ini adalah:9

1. Adanya kaidah hukum.

Kaidah hukum dalam bidang jaminan dapat dibedakan

menjadi 2 macam, yaitu kaidah hukum jaminan tertulis dan

7

M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), h. 3

8

Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), h. 6

9

kaidah hukum jaminan tidak tertulis. Kaidah hukum jaminan

tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang terdapat dalam

peraturan perundang-undangan, traktat dan yurisprudensi.

Sedangkan kaidah hukum jaminan tidak tertulis adalah

kaidah-kaidah hukum jaminan yang tumbuh, hidup dan berkembang

dalam masyarakat. Hal ini terlihat pada gadai tanah dalam

masyarakat yang dilakukan secara lisan.

2. Adanya pemberi dan penerima jaminan.

Pemberi jaminan adalah orang-orang atau badah hukum yang

menyerahkan barang jaminan kepada penerima jaminan. Yang

bertindak sebagai pemberi jaminan ini adalah orang atau badan

hukum yang membutuhkan fasilitas kredit. Orang ini lazim

disebut dengan debitur. Penerima jaminan adalah orang atau

badan hukum yang menerima barang jaminan dari pemberi

jaminan. Yang bertindak sebagai penerima jaminan ini adalah

orang atau badan hukum. Badan hukum adalah lembaga yang

memberikan fasilitas kredit, dapat berupa lembaga perbankan dan

atau lembaga keuangan non-bank.

3. Adanya jaminan.

Pada dasarnya, jaminan yang diserahkan kepada kreditur

adalah jaminan materiil dan imateriil. Jaminan materiil

jaminan atas benda bergerak dan benda tidak bergerak. Jaminan

imateriil merupakan jaminan non-kebendaan.

4. Adanya fasilitas kredit.

Pembebanan jaminan yang dilakukan oleh pemberi jaminan

bertujuan untuk mendapatkan fasilitas kredit dari bank atau

lembaga keuangan non-bank. Pemberian kredit merupakan

pemberian uang berdasarkan kepercayaan, dalam arti bank atau

lembaga keuangan non-bank percaya bahwa debitur sanggup

untuk mengembalikan pokok pinjaman dan bunganya. Begitu

juga debitur percaya bahwa bank atau lembaga keuangan

non-bank dapat memberikan kredit kepadanya.

2. Sumber Pengaturan Hukum Jaminan

Adapun yang menjadi sumber hukum jaminan tertulis adalah sebagai

berikut:10

a. Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

KUH Perdata merupakan ketentuan hukum yang berasal dari produk

Pemerintah Hindia Belanda, yang diundangkan pada tanggal 1 Mei 1848.

Diberlakukan di Indonesia atas dasar asas konkordansi. KUH Perdata

terdiri atas 4 buku, yaitu Buku I tentang Orang, Buku II tentang Hukum

Benda, Buku III tentang Perikatan, dan Buku IV tentang Pembuktian dan

Kadaluarsa. Jaminan-jaminan yang masih berlaku dalam Buku II KUH

Perdata hanyalah gadai (pand) dan hipotek kapal laut sedangkan atas

10

tanah tidak berlaku lagi karena telah diganti oleh Undang-Undang Nomor

4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Gadai diatur di dalam Pasal

1150 sampai dengan 1160 KUH Perdata. Sedangkan hipotek diatur

dalam Pasal 1162 sampai dengan 1232 KUH Perdata.

b. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.

KUH Dagang diatur dalam Stb. 1847 Nomor 23. KUH Dagang terdiri

atas 2 buku, yaitu Buku I tentang Dagang pada Umumnya dan Buku II

tentang Hak-Hak dan Kewajiban yang Timbul dalam Pelayaran. Pasal

yang erat kaitannya dengan jaminan hipotek kapal laut adalah Pasal 314

sampai dengan 316 KUH Dagang.

c. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria.

Ketentuan-ketentuan yang erat kaitannya dengan jaminan adalah Pasal 51

dan Pasal 57 UUPA.

d. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.

Undang-undang ini mencabut berlakunya hipotek sebagaimana yang

diatur dalam Buku II KUH Perdata, sepanjang mengenai tanah dan

ketentuan mengenai Credietverband dalam Stb. 1937-190 adalah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan kegiatan perkreditan sehubungan dengan

perkembangan tata perekonomian Indonesia.

e. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

f. Pasal 49 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran.

Berdasarkan hasil analisis terhadap berbagai peraturan

perundang-undangan yang mengatur tentang jaminan maupun kajian terhadap berbagai

literatur tentang jaminan, maka ditemukan 5 asas penting dalam hukum

jaminan, sebagaimana dipaparkan berikut ini:11

1. Asas Publiciet

Asas bahwa semua hak, baik hak tanggungan, hak fidusia dan hipotek

harus didaftarkan. Pendaftaran ini dimaksudkan supaya pihak ketiga

dapat mengetahui bahwa benda jaminan tersebut sedang dilakukan

pembebanan jaminan. Pendaftaran hak tanggungan di Kantor Badan

Pertanahan Nasional Kabupaten/Kota, pendaftaran jaminan fidusia

dilakukan di Kantor Pendaftaran Fidusia dengan wilayah kerja mencakup

seluruh wilayah negara Republik Indonesia dan berada di lingkup tugas

Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, sedangkan pendaftaran

hipotek kapal laut dilakukan di depan pejabat pendaftaran dan pencatat

balik nama, yaitu Syahbandar;

2. Asas Specialitet

Yaitu bahwa hak tanggungan, hak fidusia dan hipotek hanya dapat

dibebankan atas persil atau atas barang-barang yang sudah terdaftar atas

nama orang tertentu.

3. Asas tak dapat dibagi-bagi.

11

Asas dapat dibaginya hutang tidak dapat mengakibatkan dapat

dibaginya hak tanggungan, hak fidusia, hipotek dan hak gadai walaupun

telah dilakukan pembayaran sebagian.

4. Asas inbeziittstelling.

Barang jaminan (gadai) harus berada pada penerima gadai.

5. Asas horizontal.

Bangunan dan tanah bukan merupakan satu kesatuan. Hal ini dapat

dilihat dalam penggunaan hak pakai, baik tanah negara maupun tanah

hak milik. Bangunannya milik dari yang bersangkutan atau pemberi

tanggungan, tetapi tanahnya milik orang lain, berdasarkan hak pakai.

C. Jaminan dalam Perjanjian Kredit Perbankan. 1. Pengertian Kredit dan Perjanjian Kredit

Istilah kredit berasal dari bahasa Latin credere yang berarti kepercayaan (dalam bahasa Inggris faith dan trust). Dapat dikatakan dalam hubungan ini bahwa kreditur (yang memberi kredit, lazimnya

bank) dalam hubungan perkreditan dengan debitor (nasabah, penerima

kredit) mempunyai kepercayaan, bahwa debitur dalam waktu dengan

syarat-syarat yang telah disetujui bersama, dapat mengembalikan

(membayar kembali) kredit yang bersangkutan.12

Kredit pada masa sekarang bukanlah menjadi hal yang baru. Kredit

telah menjadi model perjanjian yang lazim di masyarakat terutama dalam

hal jual beli. Konsep dari kredit tersebut adalah memberikan pinjaman

12 Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001), h. 236

uang untuk digunakan oleh seseorang yang kemudian dikembalikan

setelah waktu tertentu beserta bunganya. Pemberian pinjaman tersebut

umumnya digunakan untuk modal usaha. Pemberian kredit ini dapat

dilakukan dengan atau tanpa jaminan, yang mana berupa hipotek, gadai,

hak tanggungan dan fidusia.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang

Perbankan, yang dimaksud dengan kredit adalah sebagai berikut:

“Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.

Dengan demikian secara singkat dapat dikatakan bahwa pemberian

kredit adalah salah satu bentuk penyaluran dana. Berdasarkan ketentuan

UU Perbankan tersebut maka secara yuridis dapat dirinci dan dijelaskan

unsur-unsur kredit adalah sebagai berikut:13

1. Penyediaan uang sebagai hutang oleh pihak bank;

2. Tagihan yang dapat dipersamakan dengan penyediaan uang sebagai

pembiayaan, misalnya pembiayaan pembuatan rumah atau

pembelian kendaraan;

3. Kewajiban pihak peminjam (debitur) melunasi hutangnya menurut

jangka waktu disertai pembayaran bunga;

13 Abdul Kadir Muhammad dan Rilda Murniati, Segi Hukum Lembaga Keuangan dan Pembiayaan (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), h. 59

4. Berdasarkan persetujuan pinjam meminjam uang antara bank dan

peminjam (debitur) dengan persyaratan yang disepakati bersama.

Sementara untuk perjanjian kredit, perjanjian ini adalah jenis

perjanjian yang tidak diatur dalam KUH Perdata. Perjanjian kredit

merupakan suatu bentuk perjanjian yang berkembang dalam masyarakat,

sesuai dengan asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1338

KUH Perdata. Pada hakikatnya, perjanjian kredit merupakan bentuk

perjanjian pinjam meminjam, dalam hal ini adalah pinjam meminjam

uang. Perjanjian pinjam meminjam yang diatur dalam KUH Perdata

didefinisikan sebagai suatu perjanjian dengan ana pihak yang satu

memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang

yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang

belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam

dan keadaan yang sama pula.

2. Asas-Asas Pemberian Kredit

Pemberian kredit oleh bank kepada nasabah atau debitur tentunya

memiliki asas atau prinsip. Pada dasarnya ada 2 prinsip utama yang

menjadi pedoman dalam pemberian kredit, yaitu:14

1. Prinsip kepercayaan.

Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa pemberian kredit oleh bank

kepada nasabah debitur selalu didasarkan pada kepercayaan. Bank

mempunyai kepercayaan bahwa kredit yang diberikannya bermanfaat

14 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), h. 61

bagi nasabah debitur sesuai dengan peruntukannya, dan terutama

sekali bank percaya nasabah debitur yang bersangkutan mampu

melunasi utang kredit beserta bunga dalam jangka waktu yang telah

ditentukan.

2. Prinsip kehati-hatian.

Bank dalam menjalankan kegiatan usahanya, termasuk pemberian

kredit kepada nasabah debitur harus selalu berpedoman dan

menerapkan prinsip kehati-hatian. Prinsip ini antara lain diwujudkan

dalam bentuk penerapan secara konsisten berdasarkan itikad baik

terhadap semua persyaratan dan peraturan perundang-undangan yang

terkait dengan pemberian kredit oleh bank yang bersangkutan.

3. Bentuk Perjanjian Kredit

Perjanjian kredit merupakan kesepakatan para pihak, dengan demikian

maka bentuknya juga tergantung kepada para pihak yang mengikatkan

dirinya dalam perjanjian. Suatu perjanjian kredit dapat dibuat secara lisan

atau tertulis, asalkan pada pokoknya telah memenuhi syarat-syarat dalam

membuat perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata.

Praktik yang lazim pada masyarakat sekarang dalam membuat

perjanjian kredit adalah secara tertulis. Hal ini dikarenakan dari sudut

pembuktian perjanjian secara lisan sulit untuk dijadikan sebagai alat

pembuktian apabila dikemudian hari terjadi masalah. Berbeda dengan

perjanjian yang dibuat secara tertulis, yang lebih memudahkan para pihak

para pihak. Namun bagaimanapun, perjanjian kredit yang dibuat secara

lisan tetap diakui sebagai bentuk perjanjian kredit, sepanjang dapat

dibuktikan dengan baik oleh para pihak.

Dalam praktik bank dan juga dalam kamus hukum ada dua bentuk

perjanjian kredit yang tertulis, yaitu:

Dokumen terkait