Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
Tazkiatun Nafs Az Zahra NIM: 1111048000020
K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S PROGRAM STUDI I L M U HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
iv
TERHADAP KREDITUR (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 1993K/Pdt/2012). Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2015 M. ix + 78 halaman + 22 halaman lampiran.
Skripsi ini membahas tentang parate eksekusi hak tanggungan sebagai perlindungan hukum terhadap kreditur jika dilihat dari kasus Putusan MA Nomor 1993K/Pdt/2012. Hal ini dilatarbelakangi oleh lahirnya parate eksekusi hak tanggungan dari cideranya janji atau wanprestasi yang dilakukan debitur dalam melakukan pembayaran kembali utangnya. Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan sudah memberi gambaran yang jelas mengenai eksekusi yang bisa dilakukan apabila debitur cidera janji, salah satunya adalah dengan melakukan pelelangan yang disebut parate eksekusi.
Penelitian ini menggunakan tipe penelitian library research, yang mengkaji berbagai dokumen terkait dengan penelitian. Metode yang digunakan penulis adalah metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Selanjutnya ada tiga bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini, yakni bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan non-hukum.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam kasus parate eksekusi hak tanggungan ada beberapa debitur wanprestasi yang mengajukan perlawanan terhadap barang jaminan yang dilelang. Dalam Putusan MA yang diangkat oleh penulis, Majelis Hakim menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi dan menghukum Pemohon Kasasi untuk membayar sisa tanggungan kredit kepada Termohon Kasasi.
Kata Kunci : Parate Eksekusi, Hak Tanggungan, Perlindungan Hukum, Perjanjian Kredit, Hukum Jaminan.
Pembimbing : Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M.
v
Segala puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya yang tak terkira, alhamdulillahi rabbil ‘alamin tiada henti diucapkan karena dapat terselesaikannya skripsi ini. Selawat serta salam semoga selalu
tercurah limpahkan atas insan pilihan Tuhan Nabi Muhammad SAW.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan,
tetapi skripsi ini merupakan hasil usaha dan upaya yang maksimal. Banyak hal
yang tidak dapat dihadirkan di dalamnya karena keterbatasan pengetahuan dan
waktu. Namun patut disyukuri karena banyak pengalaman yang didapat dalam
penulisan.
Selama proses penulisan skripsi ini sangat disadari bahwa banyak hal tidak
terlepas dari bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena
itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, serta
para wakil Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H., Ketua Program Studi Ilmu
Hukum dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum., Sekretaris Program Studi Ilmu
vi
waktunya untuk memberikan bimbingan hingga skripsi ini selesai.
4. Bapak Nahrowi, S.H., M.H., dosen pembimbing akademik dari semester satu
hingga akhir perkuliahan.
5. Semua dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
khususnya dosen program studi ilmu hukum yang telah memberikan ilmu
pengetahuan dengan tulus ikhlas, semoga ilmu pengetahuan yang diajarkan
dapat bermanfaat dan menjadi keberkahan bagi penulis dan semoga Allah SWT
senantiasa membalas jasa-jasa mereka serta menjadikan semua kebaikan ini
sebagai amal jariyah untuk mereka semua.
6. Segenap staf Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan guna
menyelesaikan skripsi ini.
7. Orangtua tercinta bapak Dr. H. Mardani Ali Sera M.Eng dan ibu Hj. Siti Oniah
S.Pd serta kakak dan adik-adik penulis, Abdurrahman Harits, Asad Izzuddin
Zaki, Qonita Mumtahanah, Azimah, Siti Raina Hajida, Muhammad Adib
Zahidi, Abidah Shabira dan Muhammad Ibrahim Hafy serta suami tercinta
Wijaya S.T berkat doa, motivasi, dan kasih sayang yang telah diberikan dengan
tulus sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan pada jenjang Perguruan
vii
Nya Icha, Sri, Endang, Ida, Shinta, Tami, Hilda, Fanny, Novita, Ummu dan
lainnya yang tidak bisa disebutkan, yang telah memberikan segala dukungan
dan hiburan kepada penulis, sehingga penulis selalu optimis untuk
menyelesaikan skripsi ini.
Akhirnya, atas jasa dan bantuan semua pihak berupa moril dan materiil
sampai detik ini penulis panjatkan doa, semoga Allah memberikan balasan yang
berlipat dan menjadikannya amal yang tidak pernah berhenti mengalir hingga hari
akhir. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis
khususnya dan para pembaca pada umumnya. Semoga Allah senantiasa
memberikan kemudahan bagi kita semua dalam menjalani hari esok. Aamiin.
Jakarta, 23 September 2015
viii
LEMBAR PERNYATAAN………...ii
ABSTRAK………...iii
KATA PENGANTAR……….…...iv
DAFTAR ISI………...vii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………...1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah………...6
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ………...7
D. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu...8
E. Kerangka Teoritis dan Konseptual...…...9
F. Metode Penulisan...………...11
G. Sistematika Penulisan...………...14
BAB II JAMINAN DAN KREDIT PERBANKAN A. Tinjauan Umum tentang Perjanjian ...………...……...16
B. Tinjauan Umum tentang Hukum Jaminan ...24
C. Jaminan dalam Perjanjian Kredit Perbankan ...30
ix
BAB IV. ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1993K/Pdt/2012
A. Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 1993K/Pdt/2012 ... 59
B. Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara pada Putusan Mahkamah
Agung Nomor 1993K/Pdt/2012 ...………... 66
C. Analisis Penulis Mengenai Kesesuaian antara Putusan Mahkamah Agung
Nomor 1993K/Pdt/2012 dengan Peraturan Perundang-undangan yang
Berlaku ...69
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan ...………..……... 74
B. Saran ...………...………... 75
DAFTAR PUSTAKA ... 76
1
A. Latar Belakang Masalah
Bank merupakan lembaga perantara keuangan (financial intermediary) yang mempunyai kegiatan pokok menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang kemudian menyalurkan dana
tersebut kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman. Hal ini sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang menyatakan
bahwa bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam
bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan
taraf hidup masyarakat (rakyat banyak).1
Untuk lebih meningkatkan peranan perbankan dalam pembangunan di
Indonesia, maka pemerintah dalam hal ini mengeluarkan kebijaksanaan dalam
dunia perbankan, salah satunya yaitu pelaksanaan pemberian kredit.
Berdasarkan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perbankan, menyebutkan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau
tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak meminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu
tertentu dengan pemberian bunga. Peraturan pelaksanaan pemberian kredit
oleh bank dikenal dengan sebutan manajemen perkreditan bank. Manajemen
perkreditan bank adalah kegiatan mengatur pemanfaatan dana-dana bank,
supaya produktif, aman dan giro wajib minimalnya tetap sehat. Termasuk
kegiatan di dalamnya yaitu perencanaan, alokasi dan kebijaksanaan
penyaluran kreditnya.2
Pemberian fasilitas kredit yang tertuang dalam suatu perjanjian kredit
oleh bank kepada debitur bukanlah tanpa resiko, resiko mungkin saja terjadi
khususnya karena debitur tidak wajib membayar utangnya secara lunas atau
tunai, melainkan diberi kepercayaan oleh undang-undang dalam perjanjian
kredit untuk membayar belakangan serta secara bertahap atau mencicil.
Resiko yang umumnya terjadi adalah kegagalan atau kemacetan dalam
pelunasan kredit (resiko kredit), resiko yang timbul karena pergerakan pasar
(resiko pasar), resiko karena bank tidak mampu memenuhi kewajibannya
yang telah jatuh tempo (resiko likuiditas), serta resiko karena adanya
kelemahan aspek yuridis yang disebabkan adanya tuntutan hukum, ketiadaan
peraturan perundang-undangan yang mendukung (resiko hukum).3
Dalam praktik perbankan masalah jaminan menjadi penting karena
jaminan merupakan perlindungan bagi kreditur seperti Bank, selain itu
penyerahan jaminan juga berkaitan dengan kesungguhan debitur untuk
memenuhi kewajibannya dalam melunasi kredit, mengantisipasi resiko yang
2
Malayu S. P. Hasibuan, Dasar-Dasar Perbankan (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008), h. 88
mungkin timbul dalam tenggang waktu antara pelepasan dan pelunasan kredit
yang diberikan oleh Bank, sehingga dapat digarisbawahi bahwa lembaga
jaminan bertugas untuk melancarkan dan mengamankan pemberian kredit.4
Jaminan secara umum diatur dalam Pasal 1131 KUH Perdata yang
menetapkan bahwa segala hak kebendaan debitur baik yang bergerak maupun
yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada dikemudian
hari menjadi tanggungan bagi semua perikatan perseorangan.
Penggunaan tanah sebagai jaminan kredit didasarkan pada
pertimbangan tanah paling aman dan mempunyai nilai ekonomis yang relatif
tinggi. Lembaga jaminan oleh lembaga perbankan dianggap paling efektif dan
aman yakni tanah dengan jaminan Hak Tanggungan. Hal itu didasari adanya
kemudahan dalam mengidentifikasi obyek Hak Tanggungan, jelas dan pasti
eksekusinya, di samping itu hutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan
harus dibayar terlebih dahulu dari tagihan lainnya dengan uang hasil
pelelangan tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan. Pemanfaatan
lembaga eksekusi Hak Tanggungan dengan demikian merupakan cara
percepatan pelunasan piutang agar dana yang telah dikeluarkan itu dapat
segera kembali kepada kreditur (Bank), dan dana tersebut dapat digunakan
dalam perputaran roda perekonomian.
Dalam kaitannya dengan alternatif pelunasan piutang kreditur, maka
berdasarkan ketentuan Undang-Undang Hak Tanggungan, beberapa alternatif
pelunasan piutang adalah melalui beberapa cara sebagai berikut:
1. Pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual
objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan
umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan
tersebut. Hal ini disebut parate executie;
2. Dengan menggunakan titel eksekutorial melalui fiat ketua pengadilan
negeri dengan menggunakan ketentuan Pasal 224 HIR / 258 Rbg
tentang grosse akta;
3. Dengan cara penjualan di bawah tangan berdasarkan kesepakatan
kedua belah pihak untuk mendapatkan harga penjualan yang lebih
tinggi.
Alternatif pelunasan piutang kreditur dalam Undang-Undang Hak
Tanggungan menggambarkan bahwa eksekusi Hak Tanggungan mudah dan
pasti. Seperti parate eksekusi memiliki arti bahwa pemegang Hak
Tanggungan tidak perlu memperoleh persetujuan dari pemberi Hak
Tanggungan dan juga tidak perlu meminta penetapan dari pengadilan
setempat apabila akan melakukan eksekusi atas Hak Tanggungan yang
menjadi jaminan debitur dalam hal debitur cidera janji. Pemegang Hak
Tanggungan dapat langsung datang dan meminta kepada Kepala Kantor
Lelang untuk melakukan pelelangan atas objek Hak Tanggungan yang
sendiri merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan yang diutamakan
yang dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan pertama dalam hal terdapat
lebih dari satu pemegang Hak Tanggungan.5
Namun demikian, dalam praktiknya segala kemudahan dan kelebihan
parate ekskusi Hak Tanggungan berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Hak
Tanggungan tersebut tidak selamanya dapat dimanfaatkan oleh bank sebagai
alternatif penyelesaian kredit bermasalah yang dijamin dengan Hak
Tanggungan. Banyak faktor permasalahan yang menyebabkan proses parate
eksekusi Hak Tanggungan tersebut tidak dapat berjalan sebagaimana
mestinya. Faktor permasalahan tersebut meliputi berbagai hal, antara lain
adalah ketidaksesuaian substansi hukum Undang-Undang Hak Tanggungan
yang mengatur tentang parate eksekusi Hak Tanggungan itu sendiri, tindakan
dan paradigma dari aparat penegak hukum, serta budaya hukum yang ada
pada masyarakat termasuk juga paradigma debitur sebagai pihak terseksekusi
Hak Tanggungan.6
Sebagaimana tercantum dalam kasus yang diangkat Penulis dan telah
diputus dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1993 K/Pdt/ 2012 pada 11
Juli 2013, Penggugat Neni Tarina Lavau selaku Direktur CV. Feralex
Indonesia mendapat fasilitas kredit sebesar Rp 580.000.000,00 sebagaimana
5
ST. Remy Sjahdeni, Hak Tanggungan, Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah yang Dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), (Bandung: Alumni, 1999), h. 46
tertuang dalam Akta Perjanjian Kredit No. 53 dihadapan Notaris Osrimami
S.H. tanggal 21 Desember 2004 namun menunggak pembayaran kreditnya
pada September 2006 dan menggugat PT Bank Danamon Indonesia Kantor
Cabang Jakarta Danau Sunter sebagai Tergugat 1 karena harga lelang aset
yang diagunkan dijual dengan harga yang sangat murah sehingga
menyebabkan kerugian materiil bagi Penggugat.
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut di atas, Penulis
tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai pelaksanaan Parate Eksekusi
Hak Tanggungan yang dilakukan oleh bank dalam rangka menyelesaikan
kredit bermasalah, maka dalam penelitian hukum ini Penulis menyusun
penulisan Skripsi dengan judul PARATE EKSEKUSI HAK
TANGGUNGAN SEBAGAI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
KREDITUR (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 1993 K/Pdt/2012).
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya cakupan parate eksekusi dalam Hukum Jaminan,
maka pokok pembahasan skripsi ini hanya menyangkut pada parate
eksekusi Hak Tanggungan sebagai perlindungan hukum terhadap kreditur
dengan analisis putusan Mahkamah Agung nomor 1993 K/Pdt/2012.
2. Perumusan Masalah
Adapun perumusan masalah yang akan menjadi pokok pembahasan
a. Bagaimana pertimbangan hakim dalam memutus perkara pada
putusan Mahkamah Agung nomor 1993K/Pdt/2012?
b. Sesuaikah putusan Mahkamah Agung nomor 1993K/Pdt/2012
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang harus di capai oleh penulis dalam melakukan
analisis dan pengkajian tentang judul topik tersebut di atas adalah sebagai
berikut:
a. Untuk mengkaji apa landasan yang digunakan hakim sebagai
pertimbangan hakim dalam putusan Mahkamah Agung nomor
1993K/Pdt/2012.
b. Untuk mengetahui sesuai atau tidak putusan Mahkamah Agung
nomor 1993K/Pdt/2012 dengan peraturan perundangan-undangan
yang berlaku.
c. Untuk setidaknya dapat berkontribusi sebagai data sekunder dalam
penelitian mengenai parate eksekusi hak tanggungan diwaktu
mendatang.
2. Manfaat Penulisan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik
manfaat secara teoritis maupun praktis.
Memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu Hukum Jaminan
khususnya mengenai pelaksanaan parate eksekusi dalam Hak
Tanggungan.
b. Secara Praktis
Dapat bermanfaat bagi penegak hukum yang ingin memahami lebih
tentang parate eksekusi dalam Hak Tanggungan. Selain itu, dapat
digunakan sebagai tambahan pemikiran dalam bentuk data
sekunder dengan permasalahan yang sama.
D. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu
Adapun tinjauan kajian terdahulu yang digunakan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Buku yang menjadi kajian review dalam penulisan penelitian ini yaitu buku yang berjudul “Hak Tanggungan, Asas-Asas, Ketentuan Pokok
dan Masalah yang Dihadapi oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai
Undang-Undang Hak Tanggungan”, diterbitkan oleh penerbit Alumni,
Bandung tahun 1999. Pada buku ini menjelaskan secara komprehensif
dan intensif tentang Hak Tanggungan yang meliputi mulai dari
asas-asas Hak Tanggungan sampai eksekusi Hak Tanggungan.
2. Skripsi program studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas
Sebelas Maret Surakarta yang disusun oleh Martha Noviaditya, NIM
E0006170 pada tahun 2010 dengan judul “Perlindunganِ Hukumِ
Bagi Kreditur dalam Perjanjian Kredit dengan Jaminan Hak
hukum bagi kreditur dalam perjanjian kredit dengan jaminan hak
tanggungan.
E. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Teori yang digunakan dalam kasus ini adalah teori perlindungan
hukum oleh Philipus M. Hadjon, dalam kepustakaan hukum berbahasa
Belanda dikenal dengan sebutan “rechtbescherming van de burgers”.7
Dari pendapat di atas bisa ditarik bahwa perlindungan hukum berasal dari
kata rechtbescherming dalam bahasa Belanda.
Adanya hubungan hukum yang terjadi antara kreditur dan debitur
menciptakan adanya perlindungan hukum bagi keduanya dengan saling
tidak mengurangi perlindungan hukum dari tiap pihak.
Hans Kelsen mengemukakan dalam teorinya mengenai
pertanggungjawaban bahwa seseorang bertanggung jawab secara hukum
terhadap suatu perbuatan tertentu atau karena ia memikul tanggung jawab
hukum tersebut yang berarti ia bertanggung jawab apabila ia melakukan
suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum.8
Subekti mengemukakan bahwa:9
7
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia: Sebuah Studi tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), h. 1
8
Hans Kelsen, General Theory Of Law and State, Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif sebagai Ilmu Hukum Deskriptif Empirik, Penerjemah Somardi (Jakarta: BEE Media Indonesia, 2013), h. 95
9
Eksekusi berasal dari kata “executie” yang artinya melaksanakan
putusan hakim (ten uitvoer legging van vonnissen). Di mana maksud eksekusi adalah melaksanakan secara paksa putusan pengadilan dengan
bantuan kekuatan umum, guna menjalankan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam pengetian yang lain; eksekusi
putusan perdata secara paksa sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku karena pihak tereksekusi tidak bersedia
melaksanakan secara sukarela.
2. Kerangka Konseptual
Untuk memberikan arah atau pedoman yang jelas dalam penelitian ini,
maka perlu memahami definisi-definisi berikut:
1. Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan
dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak
jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain
yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan
utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada
kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.
2. Kreditur adalah pihak yang berpiutang dalam suatu hubungan
utang-piutang tertentu.
3. Debitur adalah pihak yang berutang dalam suatu hubungan
4. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang
diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah,
akta pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa
membebankan Hak Tanggungan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
5. Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) adalah akta PPAT yang
berisi pemberian Hak Tanggungan kepada kreditur tertentu sebagai
jaminan untuk pelunasan piutangnya.
6. Kantor Pertanahan adalah unit kerja Badan Pertanahan Nasional di
wilayah kabupaten, kotamadya, atau wilayah administratif lain yang
setingkat, yang melakukan pendaftaran hak atas tanah dan
pemeliharaan daftar umum pendaftaran tanah.
7. Parate Eksekusi ialah pelaksanaan langsung tanpa melalui proses
pengadilan.
8. Perlindungan Hukum adalah memberikan pengayoman kepada hak
asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut
diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua
hak-hak yang diberikan oleh hukum.
F. Metode Penulisan
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian hukum
normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti
bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan hukum
tersebut disusun secara sistematis, dikaji kemudian ditarik suatu
kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Pendekatan perundang-undangan yang meliputi penelitian terhadap hukum, sumber-sumber hukum, atau peraturan
perundang-undangan yang bersifat teoritis dan dapat digunakan untuk menganalisa
permasalahan yang akan di bahas secara benar. Pendekatan kasus
dilakukan dengan cara menelaah kasus terkait dengan isu yang dihadapi
dan telah menjadi putusan berkekuatan hukum tetap. Di harapkan adanya
pemahaman terhadap konsep hak tanggungan beserta aturan-aturannya
yang mengikat para pihak terutama debitur agar tidak terjadi perbuatan
melawan hukum/pelanggaran hukum.
3. Bahan Hukum
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum bersifat otoritatif.
Artinya sumber-sumber hukum yang dibentuk oleh pihak yang
berwenang. Badan hukum primer terdiri dari peraturan
perundang-undangan, catatan resmi dalam pembuatan perundang-undangan.10
Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta
Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, dan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 40/PMK.07/2006.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer. Terdiri dari buku-buku teks, jurnal
hukum, kamus hukum, hasil penelitian yang berkaitan dengan
perlindungan hukum terhadap kreditur dan parate eksekusi hak
tanggungan.
4. Analisa Data
Dari bahan hukum yang sudah terkumpul baik bahan hukum primer
maupun bahan hukum sekunder di klasifikasikan sesuai isu hukum yang
akan di bahas. Kemudian bahan hukum tersebut diuraikan untuk
mendapatkan penjelasan yang sistematis.
5. Metode Penulisan
Dalam penyusunan penulisan ini penulis menggunakan metode
penulisan sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku
Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN Syarif
G. Sistematika Penulisan
Dalam penyusunan skripsi ini peneliti membahas dan menguraikan
permasalahan yang terbagi dalam 5 (lima) bab, dengan maksud untuk
menjelaskan dan menguraikan setiap permasalahan dengan baik. Adapun
bab-bab yang penulis maksud adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Pendahuluan memuat secara keseluruhan mengenai latar
belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teoritis dan
konseptual, tinjauan kajian terdahulu, metode penelitian dan
sistematika penulisan.
BAB II JAMINAN DAN KREDIT PERBANKAN
Pada bab ini akan dibahas mengenai tinjauan umum tentang
perjanjian, tinjauan umum tentang hukum jaminan dan
jaminan dalam perjanjian kredit perbankan.
BAB III PARATE EKSEKUSI DAN PERLINDUNGAN HUKUM
TERHADAP KREDITUR
Pada bab ini akan dibahas mengenai hak tanggungan di
Indonesia, tinjauan umum tentang eksekusi hak tanggungan
dan parate eksekusi sebagai perlindungan hukum terhadap
kreditur.
BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR
Pada bab ini akan dibahas mengenai landasan pertimbangan
hakim dalam memutus perkara dan analisis penulis
mengenai kesesuaian antara putusan Mahkamah Agung
nomor 1993K/Pdt/2012 dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
BAB V PENUTUP
Bab ini merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan
16
BAB II
JAMINAN DAN KREDIT PERBANKAN
A. Tinjauan Umum tentang Perjanjian. 1. Pengertian Perjanjian
Hukum perjanjian terdapat dua istilah yang berasal dari bahasa
Belanda, yaitu istilah verbintenis dan overeenkomst diatur dalam Buku III KUH Perdata. Pengertian perjanjian itu sendiri dimuat di dalam Pasal
1313 yang menyatakan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau
lebih. Dalam menerjemahkan istilah verbintenis dan overeenkomst dalam bahasa Indonesia mempunyai arti yang luas, sehingga menimbulkan
perbedaan dan beragam pendapat dari pada sarjana hukum.1
Subekti mengemukakan suatu perjanjian adalah suatu peristiwa
dimana seorang berjanji kepada seorang yang lain atau dimana dua orang
itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Perjanjian ini
menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya.2
Sedangkan menurut Salim HS, perjanjian adalah hubungan hukum
antara subjek yang satu dengan subjek yang lain dalam bidang harta
kekayaan, di mana subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan
1
Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional (Bandung: Alumni 1986), h. 3
2
begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan
prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya.3
Berdasarkan beberapa pengertian perjanjian di atas, dapat
disimpulkan bahwa di dalam suatu perjanjian minimal harus terdapat dua
pihak, dimana kedua belah pihak tersebut telah sepakat untuk
menimbulkan suatu akibat hukum. Adapun yang dimaksud dengan
prestasi adalah menyerahkan suatu barang, melakukan suatu perbuatan
dan tidak melakukan suatu perbuatan. Perjanjian itu sendiri bisa berupa
rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji yang diucapkan atau
ditulis.
Dari pengertian-pengertian di atas dapat dilihat unsur-unsur yang
tercantum dalam kontrak, yaitu:4
1. Adanya hubungan hukum.
Hubungan hukum merupakan hubungan yang menimbulkan
akibat hukum. Akibat hukum yaitu timbulnya hak dan kewajiban.
2. Adanya subjek hukum.
Subjek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban. Subjek dalam
hukum perjanjian termasuk subjek hukum yang diatur dalam
KUH Perdata, sebagai mana diketahui bahwa hukum perdata
mengkualifikasikan subjek hukum terdiri dari dua bagian yaitu
manusia dan badan hukum. Sehingga yang membentuk perjanjian
3
Salim HS, Hukum Kontrak, Teori & Teknik Penyusunan Kontrak (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 27
4
menurut hukum perdata bukan hanya manusia secara individual
ataupun kolektif, tetapi juga badan hukum atau rechtperson, misalnya Yayasan, Koperasi dan Perseroan Terbatas.
3. Adanya prestasi.
Prestasi menurut Pasal 1234 KUH Perdata terdiri atas untuk
memberi sesuatu, untuk berbuat sesuatu, dan untuk tidak berbuat
sesuatu.
4. Di bidang harta kekayaan.
Pada umumnya kesepakatan yang telah dicapai antara dua atau
lebih pelaku bisnis dituangkan dalam bentuk tertulis dan
kemudian ditandatangani oleh para pihak. Dokumen tersebut
disebut sebagai kontrak bisnis atau kontrak dagang.
2. Syarat Sahnya Perjanjian
Syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUH
Perdata yang mengemukakan empat syarat, yaitu:
1. Adanya kesepakatan kedua belah pihak.
2. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum.
3. Adanya suatu hal tertentu.
4. Adanya sebab yang halal.
Kedua syarat yang pertama disebut syarat subjektif karena kedua
syarat tersebut mengenai subjek perjanjian sedangkan dua syarat
terakhir merupakan syarat objektif karena mengenai objek dari
Keempat syarat tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Adanya kesepakatan kedua belah pihak.
Kedua belah pihak atau para pihak yang mengadakan
perjanjian tersebut bersepakat atas hal-hal yang diperjanjikan.
2. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum.
Pasal 1329 KUH Perdata menyebutkan bahwa setiap orang
adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan jika oleh
undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Pasal 1330 KUH
Perdata lebih lanjut menyatakan semua orang berwenang untuk
membuat perjanjian atau kontrak kecuali mereka yang masuk ke
dalam golongan:
1. Orang belum dewasa.
2. Orang yang ditempatkan di bawah pengampuan.
3. Orang perempuan dalam hal-hal yang telah ditetapkan oleh
undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada
siapa undang-undang telah melarang membuat
perjanjian-perjanjian tertentu. Tetapi dalam perkembangannya istri
dapat melakukan perbuatan hukum sesuai dengan Pasal 31
ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. SEMA
No. 3 Tahun 1963.
3. Adanya suatu hal tertentu.
Suatu hal dapat diartikan sebagai objek dari perjanjian. Yang
jelas. Menurut Pasal 1332 KUH Perdata, hanya barang-barang
yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok-pokok
perjanjian. Pasal 1333 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu
perjanjian harus mempunyai pokok suatu barang yang paling
sedikit dapat ditentukan jenisnya.
4. Adanya sebab yang halal.
Menurut undang-undang sebab yang halal adalah jika tidak
dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan
kesusilaan dan ketertiban umum, ketentuan ini disebutkan dalam
Pasal 1337 KUH Perdata.
Selain itu, Al – Quran juga menegaskan pada surat Al-Maidah
ayat 1 tentang keharusan memenuhi perjanjian yang halal:
“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah janji-janji. Hewan ternak dihalalkan bagimu, kecuali yang akan disebutkan kepadamu, dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang berihram (haji atau umrah). Sesungguhnya Allah menetapkan hukum sesuai dengan yang Dia kehendaki.”
Mengernai firman-Nya
اوف ْوأ
ِدوقعْلاب
“Penuhilah akad-akad itu,”Ibnu „Abbas, Mujahid, dan beberapa ulama lainnya mengatakan:
“Yang dimaksud dengan aqad adalah perjanjian.” Ibnu Jarir juga
“Perjanjian-perjanjian adalah apa yang mereka sepakati, berupa
sumpah atau yang lainnya.”5
Dengan kata lain, selain butuh kesepakatan perjanjian juga
membutuhkan sebab yang halal sehingga dapat terlaksana. Jika
perjanjian sudah dilandaskan dengan sebab yang halal, maka
perjanjian tersebut haruslah dipenuhi secara keseluruhan.
Keempat syarat tersebut haruslah dipenuhi oleh para pihak dan
apabila syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut telah dipenuhi, maka
melihat pada Pasal 1338 KUH Perdata, perjanjian tersebut mempunyai
kekuatan hukum yang sama dengan kekuatan suatu undang-undang.
3. Asas-Asas dalam Perjanjian
Asas-asas yang terdapat dalam perjanjian, terdiri dari:
a. Asas kebebasan berkontrak.
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal
1338 KUH Perdata yang berbunyi:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Dari pasal tersebut dapat dibuat kesimpulan bahwa pada
dasarnya setiap orang boleh membuat suatu perjanjian secara bebas
yang berisi dan berbentuk apapun, asal tidak bertentangan dengan
undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum. Adapun
5
kebebasan untuk membuat perjanjian itu terdiri dari beberapa hal
yaitu:
a. Kebebasan untuk mengadakan atau tidak mengadakan
perjanjian.
b. Bebas untuk mengadakan perjanjian dengan siapa saja.
c. Bebas untuk menentukan isi perjanjian yang dibuatnya.
d. Kebebasan untuk menentukan bentuk perjanjian.
e. Kebebasan untuk menentukan terhadap hukum mana
perjanjian itu akan tunduk.
b. Asas konsensualisme
Asas ini berkaitan dengan lahirnya suatu perjanjian. Kata
konsensualisme berasal dari kata consensus yang berarti sepakat. Hal ini menjelaskan bahwa pada asasnya suatu perjanjian timbul sejak
saat tercapainya konsensus atau kesepakatan yang bebas antara para
pihak yang melakukan perjanjian. Asas ini mempunyai arti yang
terpenting, yaitu bahwa untuk melahirkan perjanjian adalah cukup
dengan dicapainya kata sepakat mengenai hal-hal pokok dari
perjanjian tersebut, dan bahwa perjanjian sudah lahir pada saat
tercapainya kesepakatan.
c. Asas kekuatan mengikat hukum.
Berdasarkan asas ini kedua belah pihak terikat oleh kesepakatan
apa yang telah mereka sepakati, sehingga perjanjian itu berlaku
sebagai undang-undang.
d. Asas itikad baik.
Semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik, seperti
yang tercantum dalam Pasal 1338 KUH Perdata. Jadi dalam
perikatan yang dilahirkan dari perjanjian, maka para pihak bukan
hanya terikat oleh kata-kata perjanjian itu dan oleh kata-kata
perundang-undangan mengenai perjanjian itu, melainkan juga oleh
itikad baik.
e. Asas kepribadian (personality)
Asas kepribadian berarti isi perjanjian hanya mengikat para pihak
secara personal, tidak mengikat pihak-pihak lain yag tidak
memberikan kesepakatannya. Seseorang hanya dapat mewakili
dirinya sendiri dan tidak dapat mewakili orang lain dalam membuat
perjanjian. Perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku
bagi mereka yang membuatnya. Hal ini tercantum dalam Pasal 1315
dan 1340 KUH Perdata.
4. Berakhirnya Perjanjian
Suatu perjanjian pada umumnya berakhir apabila tujuan itu telah
tercapai, dimana masing-masing pihak telah memenuhi prestasi yang
diperjanjikan sebagaimana yang merupakan kehendak bersama dalam
seperti yang disebutkan di atas, terdapat beberapa cara lain untuk
mengakhiri perjanjian, yaitu:6
1. Ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak. Misalnya dalam
perjanjian itu telah ditentukan batas berakhirnya perjanjian dalam
waktu tertentu.
2. Undang-undang menentukan batas berlakunya perjanjian. Misalnya
Pasal 1250 KUH Perdata yang menyatakan bahwa hak membeli
kembali tidak boleh diperjanjikan untuk suatu waktu tertentu yaitu
tidak boleh lebih dari 5 tahun.
3. Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan
terjadinya peristiwa tertentu maka perjanjian akan berakhir.
Misalnya apabila salah satu pihak meninggal dunia maka perjanjian
akan menjadi hapus (Pasal 1603 KUH Perdata) yang menyatakan
bahwa perhubungan kerja berakhir dengan meninggalnya si buruh.
4. Karena persetujuan para pihak.
5. Pernyataan penghentian pekerjaan dapat dikarenakan oleh kedua
belah pihak atau oleh salah satu pihak hanya pada perjanjian bersifat
sementara.
6. Berakhirnya perjanjian karena putusan hakim.
7. Tujuan perjanjian sudah tercapai.
8. Karena pembebasan utang.
B. Tinjauan Umum tentang Hukum Jaminan
1. Istilah dan Pengertian Hukum Jaminan
Istilah hukum jaminan berasal dari kata zakerheidesstelling,
zekerheidsrechten atau security of law. Dalam keputusan Seminar Hukum Jaminan yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum
Nasional Departemen Kehakiman bekerja sama dengan Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada tanggal 9 sampai dengan 11 Oktober 1978 di
Yogyakarta menyimpulkan bahwa istilah hukum jaminan itu meliputi
pengertian baik jaminan kebendaan maupun jaminan perorangan.
Menurut M. Bahsan, hukum jaminan merupakan himpunan ketentuan
yang mengatur atau berkaitan dengan penjaminan dalam rangka utang
piutang (pinjaman uang) yang tedapat dalam berbagai peraturan
perundang-undangan yang berlaku saat ini.7 Sementara itu, Salim HS
memberikan perumusan hukum jaminan adalah keseluruhan
kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan antara pemberi dan penerima
jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk mendapat
fasilitas kredit.8
Unsur-unsur yang tercantum dalam definisi ini adalah:9
1. Adanya kaidah hukum.
Kaidah hukum dalam bidang jaminan dapat dibedakan
menjadi 2 macam, yaitu kaidah hukum jaminan tertulis dan
7
M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), h. 3
8
Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), h. 6
9
kaidah hukum jaminan tidak tertulis. Kaidah hukum jaminan
tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang terdapat dalam
peraturan perundang-undangan, traktat dan yurisprudensi.
Sedangkan kaidah hukum jaminan tidak tertulis adalah
kaidah-kaidah hukum jaminan yang tumbuh, hidup dan berkembang
dalam masyarakat. Hal ini terlihat pada gadai tanah dalam
masyarakat yang dilakukan secara lisan.
2. Adanya pemberi dan penerima jaminan.
Pemberi jaminan adalah orang-orang atau badah hukum yang
menyerahkan barang jaminan kepada penerima jaminan. Yang
bertindak sebagai pemberi jaminan ini adalah orang atau badan
hukum yang membutuhkan fasilitas kredit. Orang ini lazim
disebut dengan debitur. Penerima jaminan adalah orang atau
badan hukum yang menerima barang jaminan dari pemberi
jaminan. Yang bertindak sebagai penerima jaminan ini adalah
orang atau badan hukum. Badan hukum adalah lembaga yang
memberikan fasilitas kredit, dapat berupa lembaga perbankan dan
atau lembaga keuangan non-bank.
3. Adanya jaminan.
Pada dasarnya, jaminan yang diserahkan kepada kreditur
adalah jaminan materiil dan imateriil. Jaminan materiil
jaminan atas benda bergerak dan benda tidak bergerak. Jaminan
imateriil merupakan jaminan non-kebendaan.
4. Adanya fasilitas kredit.
Pembebanan jaminan yang dilakukan oleh pemberi jaminan
bertujuan untuk mendapatkan fasilitas kredit dari bank atau
lembaga keuangan non-bank. Pemberian kredit merupakan
pemberian uang berdasarkan kepercayaan, dalam arti bank atau
lembaga keuangan non-bank percaya bahwa debitur sanggup
untuk mengembalikan pokok pinjaman dan bunganya. Begitu
juga debitur percaya bahwa bank atau lembaga keuangan
non-bank dapat memberikan kredit kepadanya.
2. Sumber Pengaturan Hukum Jaminan
Adapun yang menjadi sumber hukum jaminan tertulis adalah sebagai
berikut:10
a. Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
KUH Perdata merupakan ketentuan hukum yang berasal dari produk
Pemerintah Hindia Belanda, yang diundangkan pada tanggal 1 Mei 1848.
Diberlakukan di Indonesia atas dasar asas konkordansi. KUH Perdata
terdiri atas 4 buku, yaitu Buku I tentang Orang, Buku II tentang Hukum
Benda, Buku III tentang Perikatan, dan Buku IV tentang Pembuktian dan
Kadaluarsa. Jaminan-jaminan yang masih berlaku dalam Buku II KUH
Perdata hanyalah gadai (pand) dan hipotek kapal laut sedangkan atas
10
tanah tidak berlaku lagi karena telah diganti oleh Undang-Undang Nomor
4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Gadai diatur di dalam Pasal
1150 sampai dengan 1160 KUH Perdata. Sedangkan hipotek diatur
dalam Pasal 1162 sampai dengan 1232 KUH Perdata.
b. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
KUH Dagang diatur dalam Stb. 1847 Nomor 23. KUH Dagang terdiri
atas 2 buku, yaitu Buku I tentang Dagang pada Umumnya dan Buku II
tentang Hak-Hak dan Kewajiban yang Timbul dalam Pelayaran. Pasal
yang erat kaitannya dengan jaminan hipotek kapal laut adalah Pasal 314
sampai dengan 316 KUH Dagang.
c. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria.
Ketentuan-ketentuan yang erat kaitannya dengan jaminan adalah Pasal 51
dan Pasal 57 UUPA.
d. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.
Undang-undang ini mencabut berlakunya hipotek sebagaimana yang
diatur dalam Buku II KUH Perdata, sepanjang mengenai tanah dan
ketentuan mengenai Credietverband dalam Stb. 1937-190 adalah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan kegiatan perkreditan sehubungan dengan
perkembangan tata perekonomian Indonesia.
e. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
f. Pasal 49 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran.
Berdasarkan hasil analisis terhadap berbagai peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang jaminan maupun kajian terhadap berbagai
literatur tentang jaminan, maka ditemukan 5 asas penting dalam hukum
jaminan, sebagaimana dipaparkan berikut ini:11
1. Asas Publiciet
Asas bahwa semua hak, baik hak tanggungan, hak fidusia dan hipotek
harus didaftarkan. Pendaftaran ini dimaksudkan supaya pihak ketiga
dapat mengetahui bahwa benda jaminan tersebut sedang dilakukan
pembebanan jaminan. Pendaftaran hak tanggungan di Kantor Badan
Pertanahan Nasional Kabupaten/Kota, pendaftaran jaminan fidusia
dilakukan di Kantor Pendaftaran Fidusia dengan wilayah kerja mencakup
seluruh wilayah negara Republik Indonesia dan berada di lingkup tugas
Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, sedangkan pendaftaran
hipotek kapal laut dilakukan di depan pejabat pendaftaran dan pencatat
balik nama, yaitu Syahbandar;
2. Asas Specialitet
Yaitu bahwa hak tanggungan, hak fidusia dan hipotek hanya dapat
dibebankan atas persil atau atas barang-barang yang sudah terdaftar atas
nama orang tertentu.
3. Asas tak dapat dibagi-bagi.
11
Asas dapat dibaginya hutang tidak dapat mengakibatkan dapat
dibaginya hak tanggungan, hak fidusia, hipotek dan hak gadai walaupun
telah dilakukan pembayaran sebagian.
4. Asas inbeziittstelling.
Barang jaminan (gadai) harus berada pada penerima gadai.
5. Asas horizontal.
Bangunan dan tanah bukan merupakan satu kesatuan. Hal ini dapat
dilihat dalam penggunaan hak pakai, baik tanah negara maupun tanah
hak milik. Bangunannya milik dari yang bersangkutan atau pemberi
tanggungan, tetapi tanahnya milik orang lain, berdasarkan hak pakai.
C. Jaminan dalam Perjanjian Kredit Perbankan. 1. Pengertian Kredit dan Perjanjian Kredit
Istilah kredit berasal dari bahasa Latin credere yang berarti kepercayaan (dalam bahasa Inggris faith dan trust). Dapat dikatakan dalam hubungan ini bahwa kreditur (yang memberi kredit, lazimnya
bank) dalam hubungan perkreditan dengan debitor (nasabah, penerima
kredit) mempunyai kepercayaan, bahwa debitur dalam waktu dengan
syarat-syarat yang telah disetujui bersama, dapat mengembalikan
(membayar kembali) kredit yang bersangkutan.12
Kredit pada masa sekarang bukanlah menjadi hal yang baru. Kredit
telah menjadi model perjanjian yang lazim di masyarakat terutama dalam
hal jual beli. Konsep dari kredit tersebut adalah memberikan pinjaman
uang untuk digunakan oleh seseorang yang kemudian dikembalikan
setelah waktu tertentu beserta bunganya. Pemberian pinjaman tersebut
umumnya digunakan untuk modal usaha. Pemberian kredit ini dapat
dilakukan dengan atau tanpa jaminan, yang mana berupa hipotek, gadai,
hak tanggungan dan fidusia.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan, yang dimaksud dengan kredit adalah sebagai berikut:
“Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.
Dengan demikian secara singkat dapat dikatakan bahwa pemberian
kredit adalah salah satu bentuk penyaluran dana. Berdasarkan ketentuan
UU Perbankan tersebut maka secara yuridis dapat dirinci dan dijelaskan
unsur-unsur kredit adalah sebagai berikut:13
1. Penyediaan uang sebagai hutang oleh pihak bank;
2. Tagihan yang dapat dipersamakan dengan penyediaan uang sebagai
pembiayaan, misalnya pembiayaan pembuatan rumah atau
pembelian kendaraan;
3. Kewajiban pihak peminjam (debitur) melunasi hutangnya menurut
jangka waktu disertai pembayaran bunga;
4. Berdasarkan persetujuan pinjam meminjam uang antara bank dan
peminjam (debitur) dengan persyaratan yang disepakati bersama.
Sementara untuk perjanjian kredit, perjanjian ini adalah jenis
perjanjian yang tidak diatur dalam KUH Perdata. Perjanjian kredit
merupakan suatu bentuk perjanjian yang berkembang dalam masyarakat,
sesuai dengan asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1338
KUH Perdata. Pada hakikatnya, perjanjian kredit merupakan bentuk
perjanjian pinjam meminjam, dalam hal ini adalah pinjam meminjam
uang. Perjanjian pinjam meminjam yang diatur dalam KUH Perdata
didefinisikan sebagai suatu perjanjian dengan ana pihak yang satu
memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang
yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang
belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam
dan keadaan yang sama pula.
2. Asas-Asas Pemberian Kredit
Pemberian kredit oleh bank kepada nasabah atau debitur tentunya
memiliki asas atau prinsip. Pada dasarnya ada 2 prinsip utama yang
menjadi pedoman dalam pemberian kredit, yaitu:14
1. Prinsip kepercayaan.
Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa pemberian kredit oleh bank
kepada nasabah debitur selalu didasarkan pada kepercayaan. Bank
mempunyai kepercayaan bahwa kredit yang diberikannya bermanfaat
bagi nasabah debitur sesuai dengan peruntukannya, dan terutama
sekali bank percaya nasabah debitur yang bersangkutan mampu
melunasi utang kredit beserta bunga dalam jangka waktu yang telah
ditentukan.
2. Prinsip kehati-hatian.
Bank dalam menjalankan kegiatan usahanya, termasuk pemberian
kredit kepada nasabah debitur harus selalu berpedoman dan
menerapkan prinsip kehati-hatian. Prinsip ini antara lain diwujudkan
dalam bentuk penerapan secara konsisten berdasarkan itikad baik
terhadap semua persyaratan dan peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan pemberian kredit oleh bank yang bersangkutan.
3. Bentuk Perjanjian Kredit
Perjanjian kredit merupakan kesepakatan para pihak, dengan demikian
maka bentuknya juga tergantung kepada para pihak yang mengikatkan
dirinya dalam perjanjian. Suatu perjanjian kredit dapat dibuat secara lisan
atau tertulis, asalkan pada pokoknya telah memenuhi syarat-syarat dalam
membuat perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
Praktik yang lazim pada masyarakat sekarang dalam membuat
perjanjian kredit adalah secara tertulis. Hal ini dikarenakan dari sudut
pembuktian perjanjian secara lisan sulit untuk dijadikan sebagai alat
pembuktian apabila dikemudian hari terjadi masalah. Berbeda dengan
perjanjian yang dibuat secara tertulis, yang lebih memudahkan para pihak
para pihak. Namun bagaimanapun, perjanjian kredit yang dibuat secara
lisan tetap diakui sebagai bentuk perjanjian kredit, sepanjang dapat
dibuktikan dengan baik oleh para pihak.
Dalam praktik bank dan juga dalam kamus hukum ada dua bentuk
perjanjian kredit yang tertulis, yaitu:
1. Perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan, dinamakan akta di
bawah tangan. Akta di bawah tangan ini sesuai dengan Pasal 1874
KUH Perdata adalah surat atau tulisan yang dibuat oleh para pihak
tidak melalui perantara pejabat yang berwenang (pejabat umum) untuk
dijadikan alat bukti. Dengan demikian semua perjanjian yang dibuat di
antara para pihak sendiri dikategorikan sebagai akta di bawah tangan.
2. Perjanjian kredit yang dibuat oleh dan di hadapan notaris, dinamakan
akta otentik atau akta notariil. Menurut Pasal 1868 KUH Perdata, akta
otentik adalah akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh
undang-undang yang dibuat oleh atau di hadapan pegawai yang
berkuasa (pegawai umum) untuk itu, tempat dimana akta dibuatnya.
Perjanjian kredit saat ini lazimnya sudah menggunakan akta notariil.
4. Penggolongan Jaminan Kredit Bank
Jaminan kredit yang diatur secara khusus dalam praktik dunia
perbankan terdiri dari:15
1. Jaminan perorangan.
Jaminan perorangan dalam Pasal 1820 KUH Perdata disebut sebagai
penanggungan utang. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa jaminan
perorangan adalah suatu perjanjian dengan mana pihak ketiga, guna
kepentingan pihak si berpiutang (kreditur), mengikatkan diri untuk
memenuhi perikatan si berutang manakala orang tersebut tidak
memenuhinya. Pelaksanaan perjanjian selalu dibuat oleh pihak ketiga yang
menjamin terpenuhnya kewajiban membayar kredit tersebut, baik
diketahui maupun tidak diketahui oleh debitur.
2. Jaminan kebendaan.
Mengingat Pasal 8 UU Perbankan, yang berbunyi:
a. Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan
analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta
kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau
mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang
diperjanjikan.
b. Bank Umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman
perkreditan dan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan Bank Indonesia.
Menurut UU Perbankan, jaminan dan agunan merupakan dua unsur
yang berbeda. Jaminan pokok merupakan keyakinan, sedangkan jaminan
tambahan adalah sesuatu yang dapat menguatkan keyakinan bank, yaitu
jaminan kebendaan merupakan jaminan tambahan. Jaminan tambahan
tersebut dapat hanya berupa barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai
dengan kredit yang bersangkutan. Tanah yang kepemilikannya didasarkan
pada hukum adat yaitu tanah yang bukti kepemilikannya berupa girik,
petuk dan lain-lain yang sejenis dapat juga digunakan sebagai agunan.
Bank tidak wajib meminta agunan barang yang berkaitan langsung dengan
objek yang dibiayai, yang lazim dikenal dengan agunan tambahan.
5. Hubungan Perjanjian Kredit dengan Jaminan
Perjanjian adalah suatu hubungan hukum mengenai kekayaan harta benda
antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang
sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan
memenuhi tuntutan itu.16 Salah satu kegiatan usaha perbankan adalah
perjanjian kredit. Perjanjian kredit merupakan perjanjian antara pihak bank
dengan pihak nasabah. Dengan melihat bentuk perjanjiannya, maka
sebenarnya perjanjian kredit merupakan perjanjian yang tergolong dalam
perjanjian pinjam pengganti.
Banyak hal mengenai perjanjian kredit yang dapat dikaitkan dengan
ketentuan hukum jaminan. Salah satunya adalah penerapan Pasal 1131 KUH
Perdata yang mengatur tentang kedudukan harta seorang yang berutang untuk
menjamin utangnya. Ketentuan Pasal 1131 ini dipatuhi pada saat bank
melakukan penilaian calon nasabah dan ketika melakukan penanganan kredit
bermasalah debitur.
16
Sehubungan dengan itu hukum jaminan sangat berkaitan dengan kegiatan
perbankan, terutama dalam perjanjian kredit. Dapat disimpulkan bahwa laju
pertumbuhan roda ekonomi saat ini penerapan hukum jaminan banyak
38
BAB III
PARATE EKSEKUSI DAN PERLINDUNGAN
HUKUM TERHADAP KREDITUR
A. Hak Tanggungan di Indonesia 1. Pengertian Hak Tanggungan
Adapun yang dimaksud dengan Hak Tanggungan atas tanah beserta
benda-benda yang berkaitan dengan tanah, selanjutnya disebut Hak
Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut
benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk
pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan
kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur yang lain.1
Definisi tersebut mengadung pengertian bahwa Hak Tanggungan
adalah identik dengan hak jaminan, yang bilamana dibebankan atas tanah
Hak Milik, tanah Hak Guna Bangunan dan/atau tanah Hak Guna Usaha
memberikan kedudukan utama kepada kreditur-kreditur tertentu yang akan
menggeser kreditur lain dalam hal si berutang (debitur) cidera janji atau
wanprestasi dalam pembayaran hutangnya, dengan perkataan lain dapat
dikatakan bahwa pemegang hak tanggungan pertama lebih preferent
terhadap kreditur-kreditur lainnya. Hal ini lebih ditegaskan lagi dalam
Pasal 6 UUHT, yang mengatakan apabila debitur cidera janji
(wanprestasi), pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk
menjual objek hak tanggungan atas kekuasaannya sendiri melalui
pelelangan umum, serta mengambil hasil penjualan objek hak tanggungan
tersebut untuk pelunasan utangnya.
2. Prinsip-Prinsip Hak Tanggungan
Dalam kaitannya dengan Hak Tanggungan berikut adalah prinsip
hukum jaminan yang mendasari Prinsip-Prinsip Hak Tanggungan, yaitu:2
a. Prinsip absolut/mutlak.
Jaminan dengan hak kebendaan mempunyai sifat absolut, artinya
hak ini dapat dipertahankan setiap orang. Pemegang hak tersebut
berhak menuntut setiap orang yang mengganggu haknya.
b. Prinsip droit de suite.
Hak kebendaan itu mempunyai zaakzgevolg atau droit de suite
yang artinya hak itu terus mengikuti bendanya di manapun juga
(dalam tangan siapaun juga) barang itu berada.
c. Prinsip droit de preference.
Pada prinsipnya hak jaminan kebendaan memberikan kedudukan
didahulukan bagi kreditur pemegang hak jaminan terhadap
kreditur lainnya.
d. Prinsip spesialitas.
2
Prinsip ini menghendaki bahwa Hak Tanggungan hanya dapat
dibebankan atas tanah yang ditentukan secara spesifik,
sebagaimana dimaksud dalam rumusan Pasal 8 dan Pasal 11 ayat
(1) huruf (e) Undang-Undang Hak Tanggungan.
e. Prinsip publisitas.
Terhadap Hak Tanggungan berlaku prinsip publisitas atas prinsip
keterbukaan. Berdasarkan Pasal 13 Undang-Undang Hak
Tanggungan dinyatakan bahwa “pemberian Hak Tanggungan
wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan”. Pendaftaran ini
merupakan syarat mutlak untuk lahirnya Hak Tanggungan dan
mengikatnya Hak Tanggungan tersebut terhadap pihak ketiga.
3. Ciri dan Sifat Hak Tanggungan
Ciri dari Hak Tanggungan adalah:3
1. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu kepada
pemegangnya atau yang dikenal dengan droit de preference. 2. Selalu mengikuti objek yang dijaminkan dalam tangan siapapun
objek itu berada atau disebut dengan droit de suite. Keistimewaan ini ditegaskan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996. Biarpun objek Hak Tanggungan sudah dipindahkan haknya
kepada pihak lain, kreditur pemegang Hak Tanggungan tetap
masih berhak untuk menjualnya melalui pelelangan umum jika
debitur cidera janji.
3
3. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat
pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum bagi pihak yang
berkepentingan.
4. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya. Dalam
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 memberikan kemudahan dan
kepastian kepada kreditur dalam pelaksanaan eksekusi.
Di samping memiliki empat ciri di atas Hak Tanggungan juga
memiliki beberapa sifat seperti:4
1. Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi
Maksud dari hak tanggungan tidak dapat dibagi-bagi, yaitu hak
tanggungan membebani secara utuh objeknya dan setiap bagian
daripadanya. Pelunasan sebagian utang yang dijamin tidak
membebaskan sebagian objek dari beban hak tanggungan. Hak
tanggungan yang bersangkutan tetap membebani seluruh objek untuk
sisa utang yang belum dilunasi.
Akan tetapi seiring berkembangnya kebutuhan akan perumahan,
ketentuan tersebut ternyata menimbulkan permasalahan yaitu dalam
hal suatu proyek perumahan atau rumah susun ingin diadakan
pemisahan. Oleh karenanya untuk mengatasi permasalahan, maka
ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan membuka kesempatan menyimpangi sifat
tersebut, jika hak tanggungan dibebankan pada beberapa hak atas
tanah dan pelunasan utang yang dijamin dilakukan dengan angsuran
sebesar nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian
dari objek hak tanggungan yang akan dibebaskan dari hak tanggungan
tersebut.
2. Hak tanggungan merupakan perjanjian accesoir.
Hak tanggungan diberikan untuk menjamin pelunasan hutang
debitur kepada kreditur, oleh karena itu hak tanggungan merupakan
perjanjian accesoir pada suatu perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang-piutang sebagai perjanjian pokok. Kelahiran,
eksistensi, peralihan, eksekusi, berakhir dan hapusnya hak tanggungan
dengan sendirinya ditentukan oleh peralihan dan hapusnya piutang
yang dijamin pelunasannya. Tanpa ada suatu piutang tertentu yang
secara tegas dijamin pelunasannya, maka menurut hukum tidak akan
ada hak tanggungan.
4. Objek dan Subjek Hak Tanggungan
Menurut Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang
Hak Tanggungan menyebutkan bahwa hak atas tanah yang dapat dibebani
dengan Hak Tanggungan adalah:5
a. Hak Milik;
b. Hak Guna Usaha;
c. Hak Guna Bangunan.
Hak-hak atas tanah seperti ini merupakan hak-hak yang sudah dikenal
dan diatur di dalam Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960.
Namun selain hak-hak tersebut, ternyata dalam Pasal 4 ayat (2) UUHT ini
memperluas hak-hak tanah yang dapat dijadikan jaminan hutang selain
hak-hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
UUHT, objek hak tanggungan dapat juga berupa:
a. Hak pakai atas tanah negara. Hak pakai atas tanah negara yang
menurut ketentuan yang berlaku wajib di daftarkan dan menurut
sifatnya dapat dipindahtangankan dan dibebani dengan hak
tanggungan;
b. Begitu pula dengan Rumah Susun dan Hak Milik atas Satuan
Rumah Susun yang berdiri di atas tanah Hak Milik, Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai yang diberikan negara
(Pasal 27 jo Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang
Rumah Susun) juga dimasukkan dalam objek Hak Tanggungan.
Bahkan secara tradisional dari hukum adat memungkinkan
bangunan yang ada diatasnya pada suatu saat diangkat atau
dipindahkan dari tanah tersebut.
Mengenai subjek Hak Tanggungan ini diatur dalam Pasal 8 dan Pasal
9 UUHT, dari ketentuan dua pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa yang
menjadi subjek hukum dalam hak tanggungan adalah subjek hukum yang
perjanjian hak tanggungan ada dua pihak yang mengikatkan diri, yaitu
sebagai berikut:6
a. Pemberi Hak Tanggungan, adalah orang perorangan atau badan
hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan
hukum terhadap objek hak tanggungan pada saat pendaftaran hak
tanggungan itu dilakukan;
b. Pemegang Hak Tanggungan adalah orang perorangan atau badan
hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang mendapatkan
pelunasan atas piutang yang diberikan.
5. Proses Pembebanan Hak Tanggungan
Pembebanan Hak Tanggungan dilakukan melalui 2 tahap kegiatan
yaitu:7
a. Pemberian Hak Tanggungan.
Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk
memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan hutang
tertentu yang dituangkan dengan Akta Pemberian Hak
Tanggungan (APHT). APHT ini dibuat oleh Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT) yang berwenang dan ditunjuk untuk
membuat akta pemindahan hak atas tanah dan akta perbuatan
hukum lainnya mengenai hak atas tanah yang terletak di daerah
kerjanya.
6
Adrian Sutedi, Hukum Hak Tanggungan (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 54
7
Pemberian Hak Tanggungan dilakukan di kantor PPAT
dengan dibuatnya APHT oleh pejabat tersebut, yang bentuk dan
isinya ditetapkan dengan Peraturan Menteri Negara Agraria /
Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997.
Dalam surat Al – Baqoroh ayat 282, disebutkan mengenai
pencatatan utang piutang yang terjadi. Dalam hal Hak
“Hai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah dia menuliskan. Dan hendaklah orang yang berhutang itu mendiktekan, dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya), atau dia sendiri tidak mampu mendiktekan sendiri, maka hendaklah walinya mendiktekan dengan benar. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu. Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu sukai dari para saksi-saksi (yang ada), supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Dan janganlah saksi-saksi itu menolak (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil. Dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih mendekatkan kamu kepada ketidakraguan, kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak menulisnya. Dan ambillah saksi apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sungguh, hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah, Allah mengajarkanmu, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”
ُ بتْكاف
ىّمسم
ُ جأ
ى إ
ُ نْي ب
ُْمتْ يا ت
ا إ
ا مآ
ُني ّ ا
ا ّيأ
اي
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (Al-Baqarah: 282)
Inilah prinsip umum yang hendak ditetapkan. Maka menulis
ini merupakan sesuatu yang diwajibkan dengan nash, tidak
dibiarkan manusia memilihnya (untuk melakukannya atau tidak
(utang-piutang), karena suatu hikmah yang akan dijelaskan pada
akhir nash.8
Begitu juga dengan Pemberian Hak Tanggungan yang
menyangkut tentang sebuah perjanjian utang-piutang di mana
sebelumnya didahului dengan janji untuk memberikan Hak
Tanggungan sebagai jaminan pelunasan hutang tertentu yang
dituangkan dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT).
ُ ْ عْ اب
ُ بتاك
ُْم ْيب
ُْبتْ يْ
“Hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan