• Tidak ada hasil yang ditemukan

Parpol dan Kebijakan Affirmative Action

III. Perempuan dan Partai Politik di Aceh: Peluang dan Tantangan

III.1. Parpol dan Kebijakan Affirmative Action

Berbicara mengenai parpol di Aceh tentu tidak terlepas dari keberadaan parpol lokal. Parpol lokal Aceh adalah konsekuensi logis dari kesepakatan MoU Helsinki dan turut menjadi peserta pemilu 2009 di Aceh. Penjabaran bagian tentang penyelenggaraan pemerintahan Aceh terdapat dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan A ceh (UU PA) dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 20 Tahun 2007 tentang Parpol Politik Lokal di Aceh.10 Parpol lokal semakin dipertegas pula dalam Qanun Aceh No. 3 Tahun 2008 tentang parpol lokal peserta pemilu anggota DPRA dan DPRK. Keberadaan parpol lokal dianggap memberikan harapan bagi masyarakat Aceh agar lebih menyuarakan aspirasi mereka, terutama aspirasi perempuan. Besarnya harapan ini tercermin lewat jumlah perolehan suara yang berhasil dimenangkan oleh Parpol Aceh pada pemilu tahun 2009. Parpol Aceh

10 Ibid., hlm. 46.

meraih 48,8 persen jumlah kursi (33 kursi) di DPR tingkat provinsi NAD.

Selain Parpol Aceh, terdapat pula Parpol Aliansi Rakyat Aceh Peduli Perempuan (PARA). Tetapi parpol ini dinyatakan tidak lolos dalam proses verifikasi peserta Pemilu 2009. Tidak lolosnya PARA sempat menimbulkan polemik antara PARA dengan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Provinsi Aceh. Pihak PARA menganggap alasan KIP tidak meloloskan parpolnya sebagai peserta pemilu terlalu “ mengada-ngada” dan cenderung diskriminatif.11 Ketua PARA saat itu menolak hasil verifikasi faktual KIP dan mengirimkan surat keberatan serta sanggahan. Isi dari surat tersebut adalah PARA telah menerima intimidasi dari oknum tak dikenal di lapangan. Intimidasi tersebut dilakukan berupa penurunan atribut parpol dan instruksi untuk menutup kantornya. Perlakuan tersebut terjadi di lima wilayah, yaitu di Kabupaten Pidie, Pidie Jaya, Bener Meriah, Aceh Utara, dan Aceh Timur.

Di lain pihak, keberadaan PARA agaknya menuai kritik pula dari beberapa kalangan. PARA yang menaungi perempuan potensial yang notabene

adalah mantan kader beberapa parpol nasional dianggap berdampak pada parpol lainnya yang kesulitan mencari caleg perempuan untuk mengisi

daftar pencalonan anggota legislatif demi memenuhi persyaratan kuota 30 persen.12 Ini dikarenakan sebagian besar dari mereka telah bergabung ke PARA. Namun demikian, pihak KIP merasa tidak ada yang salah dalam proses verifikasi dan pada akhirnya PARA memang dinyatakan tidak lolos verifikasi. Pasca kegagalannya ini, PARA mendapat tawaran untuk bergabung dengan tiga parpol nasional, yaitu Parpol Gerindra, Parpol Hanura, dan Parpol Indonesia Sejahtera. PARA akhirnya bergabung dengan Parpol Gerindra dengan syarat tetap menyuarakan aspirasi parpol agar berpihak kepada kepentingan perempuan, menempatkan bendera PARA berdampingan dengan bendera Parpol Gerindra.

Di sisi lain, kemenangan parpol lokal lainnya yakni Parpol Aceh menyisakan satu pertanyaan besar. Apakah dengan adanya parpol lokal tersebut juga dapat menciptakan suasana kondusif bagi perempuan Aceh untuk berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan politik di Aceh? Ini patut dipertanyakan mengingat dalam realitasnya tingkat keterwakilan perempuan di DPRD masih sangat rendah, bahkan mengalami penurunan di kota Banda Aceh. Padahal sebagaimana yang diketahui bersama, sudah ada aturan pemilu yang memuat agar parpol mengakomodir partisipasi perempuan dengan

menempatkan minimal 30 persen perempuan dalam pencalonan anggota legislatiif.

Kebijakan kuota 30 persen ini sebenarnya merupakan kebijakan affirmative action yang ditetapkan oleh KPU Pusat dan kemudian diadopsi ke dalam Qanun No. 3 Tahun 2008. Dalam Qanun disebutkan adanya keharusan parpol untuk memasukkan sekurang-kurangnya (minimal) 30 persen perempuan dalam daftar pencalonan anggota legislatif. Hasil temuan yang dimuat dalam Jurnal Afirmasi memperlihatkan bahwa beberapa pengurus parpol ternyata menyatakan sulit untuk merealisasikannya.13 Mereka beralasan sangat sulit menemukan perempuan yang berkualitas dan bersedia dicalonkan sebagai calon anggota legislatif (caleg), terlebih dengan adanya aturan yang melarang Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai caleg.

Namun alasan yang dikemukakan tersebut berlawanan dengan argumentasi para narasumber di lapangan. Menurut salah satu narasumber,14 yang dulunya adalah anggota DPRA dari fraksi PAN hasil pemilu 1999-2004, kesulitan dalam menjaring calon perempuan yang potensial lebih dikarenakan belum

13 Ibid., hlm. 53.

14 Hasil wawancara dengan narasumber Majelis A dat A ceh (mantan anggota DPRD Provinsi NA D, saat ini kader dari Parpol Gerindra), Juni 2012.

adanya keinginan kuat dari parpol dalam merekrut kader perempuan. Padahal kebijakan affirmative action

ini telah menjadi kebijakan yang matang dan usianya sudah cukup lama. Mestinya tidak perlu ada kesulitan dalam melakukan kaderisasi dan perekrutan caleg perempuan di dalam parpolnya. Parpol-parpol; termasuk parpol lokal dinilai belum cukup serius dalam menjaring kader perempuan. Justru perempuan yang sering dijanjikan banyak hal dalam dunia politik, tetapi pada akhirnya mengalami kekecewaan besar. Berikut penuturan narasumber:

“ Kebijakan affirmative action ini usianya sudah 10 tahun, mestinya sudah jadi kebijakan yang matang. Tetapi yang saya lihat adalah masih ada dominasi laki-laki. Pada waktu perempuan Aceh berjuang, mereka selalu dijanjikan. Tetapi pada saat pencalonan, justru mereka dikecewakan. Misal kekecewaan dalam hal nomor urut.”

Data KIP Aceh juga menunjukkan hanya 13 dari 39 parpol peserta pemilu 2009 yang memenuhi ketentuan kuota. KIP, sebagai lembaga yang memiliki otoritas untuk mendorong parpol agar memenuhi aturan pemilu, menyatakan tidak mudah memaksa parpol untuk memenuhi aturan tentang kuota. Tidak ada perubahan yang signifikan dalam susunan Daftar Calon Sementara (DCS) yang diusulkan parpol walaupun KIP telah memberikan teguran, bahkan

mengembalikan DCS yang tidak memenuhi kuota 30 persen kepada parpol yang bersangkutan. Upaya paling keras yang dapat dilakukan oleh KIP adalah dengan cara mengumumkan melalui media massa setempat nama-nama parpol yang tidak memenuhi kuota tersebut.15 Namun ternyata sanksi semacam ini tidak memberikan dampak apapun terhadap parpol.

Walaupun secara wacana tidak ada penolakan bagi masuknya perempuan dalam parpol serta lembaga politik formal, namun kenyataan menunjukkan sebaliknya. Jumlah keterwakilan perempuan dalam kepengurusan parpol dan lembaga politik formal (legislatif dan eksekutif) masih tetap rendah. Parpol masih menempatkan perempuan dalam posisi-posisi yang “ khas perempuan” seperti sekretaris ataupun bendahara dalam kepengurusan parpol. Perempuan jarang dilibatkan dalam rapat-rapat penting parpol seperti pada saat proses penyusunan DCS yang akan diusulkan parpol kepada KIP. Beberapa perempuan pengurus parpol menyatakan mereka tidak tahu menahu tentang proses penetapan DCS, termasuk caleg perempuan.16 Akibatnya, caleg perempuan juga tidak memiliki akses dan kekuatan

15 Erni A gustini, “ Perempuan dan Parpol Politik Lokal di A ceh,” dalam Jurnal Afirmasi...Op.Cit., hlm.53.

untuk menentukan proses penyusunan daftar caleg yang diajukan parpolnya.

Tantangan lainnya bagi perempuan untuk terlibat dalam politik melalui parpol adalah masih ada pandangan dari parpol bahwa keberadaan perempuan hanya sebatas memenuhi kriteria dalam kebijakan

affirmative action. Ironisnya pandangan ini banyak berasal dari parpol-parpol besar ketimbang parpol kecil. Seorang narasumber yang pernah menjadi caleg dari Parpol Rakyat Aceh untuk daerah pemilihan (dapil) di Aceh Tengah, mengemukakan bahwa posisi parpol kecil sulit bergerak, padahal jika dilihat dari visi dan misinya sangat idealis, terutama untuk kepentingan perempuan. Parpol Rakyat Aceh memiliki Departemen Bidang Perempuan dan secara faktual mendukung perjuangan untuk kesadaran dan perubahan bagi perempuan Aceh. Lain halnya dengan parpol besar. Parpol ini dianggap seolah-olah tidak serius dan tidak menganggap penting keberadaan perempuan di dalam parlemen.

Padahal sesuai amanat UU, kebijakan affirmative action bagi parpol sangat diperlukan untuk perubahan bagi kemajuan perempuan di Aceh. Parpol yang dianggap sebagai institusi politik paling potensial dalam melakukan fungsi kaderisasi dan pendidikan politik mestinya memahami bahwa affirmative action

lewat kuota 30 persen perempuan dapat menjadi pendidikan politik bagi perempuan. Jika kebijakan ini

benar-benar dilaksanakan dengan serius oleh parpol, maka jumlah perempuan di parlemen hasil pemilu tahun 2009 mestinya meningkat. Namun faktanya justru menurun dibandingkan dengan hasil pemilu tahun 2004.

Peran parpol di Aceh dapat dinilai kurang responsif dalam melaksanakan amanat kuota 30 persen caleg perempuan. Padahal angka 30 persem ini menjadi peluang yang cukup bagus bagi perempuan dalam memberdayakan diri mereka sendiri agar teruji kualitasnya dalam dunia politik. Parpol mestinya menjadi fasilitatornya, sebab dengan adanya kuota ini secara tidak langsung akan mendorong perempuan untuk semakin sadar, mau, dan jelas tujuannya dalam berpolitik.

Ketidakseriusan parpol dalam menjaring caleg perempuan untuk memenuhi kuota 30 persen terlihat dari temuan di daerah. Penuturan salah satu narasumber menyebutkan terdapat salah satu parpol yang memiliki caleg perempuan berkualitas tetapi ditempatkan di dapil yang masyarakatnya tidak mengenal caleg tersebut. Begitu juga sebaliknuya. Realitas ini menunjukkan bahwa seolah-olah parpol di Aceh enggan memberikan kesempatan maupun peluang untuk berpartisipasi dalam ranah politik. Seperti penuturan salah satu narasumber:17

” ...ada caleg perempuan yang berkualitas, dia memperjuangkan kepentingan perempuan, tetapi justru ditempatkan di dapil yang dia dan masyarakatnya tidak kenal sama sekali. Kalau perempuan dituntut punya kemampuan tetapi tidak dikasih kesempatan ya susah juga.”

Parpol juga dinilai hanya merekrut caleg perempuan demi mencukupi persyaratan administrasi belaka. Ibaratnya adalah telah ada keinginan untuk menjaring caleg perempuan di dalam parpol namun pada saat implementasinya justru menjadi sulit karena banyaknya kepentingan di dalam parpol tersebut sehingga ujungnya adalah kepentingan perempuan terabaikan. Akibatnya, perekrutan caleg perempuan oleh parpol di Aceh masih sebatas formalitas saja. Parpol dianggap tidak benar-benar menginginkan perempuan masuk ke dalam legislatif. Fenomena inilah yang kebanyakan dilihat sebagai fakta oleh beberapa narasumber dan menjadi kendala eksternal yang cukup menghambat bagi perempuan Aceh pada saat terjun ke dalam dunia politik.

Selain ketidakseriusan parpol, tantangan lainnya dalam kebijakan affirmative action adalah bahasa hukum dari kebijakan tersebut. Menurut pandangan beberapa narasumber perempuan di Aceh, kebijakan tersebut jika dilihat dari aspek hukum masih

lemah. Amanat kuota minimal 30 persen masih berupa himbauan atau hanya mengusung; bukan perintah tegas yang mewajibkan parpol agar menerapkan kuota tersebut. Tidak ada reward dan punishment bagi parpol pada saat parpol tidak (mampu) menjaring caleg perempuan sebesar 30 persen. Bahkan ada pula salah satu narasumber18 yang akhirnya kecewa dengan “ tidak tegasnya” bahasa hukum dari kebijakan

affirmative action. Menurutnya, apapun alasannya, apabila parpol memang tidak bisa merekrut caleg perempuan sebesar 30%, maka biarkan saja kursi tersebut kosong; tidak diganti dengan caleg laki-laki. Berikut penuturannya:

“ Saya justru kecewa dengan kebijakan itu. Mestinya jika tidak mampu menjaring 30% untuk masuk dalam parlemen, kursi itu tidak boleh diduduki oleh laki-laki. Biarkan saja kosong. Kita maunya seperti itu.”

III.2. M engukur Kinerja Anggota Legislatif Perempuan