• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pasang Surut Keterlibatan Perempuan Aceh Dalam Ranah Politik

Jika ditelusuri secara historis, peran perempuan Aceh di dunia politik telah ada jauh sebelumnya. Sejarah telah memperlihatkan misalnya bagaimana peran Cut Nyak Dien, sebagai salah satu panglima perang Aceh dan pejuang nasional yang mampu memimpin pasukan dengan gayanya tersendiri dalam melawan penjajah Belanda. Begitu juga dengan tokoh perempuan Aceh lainnya, seperti Laksamana Malahayati yang mampu membuktikan dirinya memimpin dalam beberapa pertempuran dan tampil menjadi Sultanah di Aceh pada masa lalu. Dan beberapa tokoh perempuan lainnya yang menorehkan catatan keberhasilan atas peran mereka di masa lalu.

Namun, ketika Aceh memasuki masa konflik terutama era Orde Baru, seperti yang telah dijelaskan di atas, kaum perempuan menjadi kelompok yang terpinggirkan dalam dunia politik. Dalam banyak kasus, kaum perempuan di daerah pedesaan yang terlibat atau dilibatkan sebagai korban konflik, mengalami proses marjinalisasi sosial-ekonomi dan politik. Mereka telah kehilangan kehormatan dan rasa percaya diri sehingga menjadi rendah diri sebagai konsekuensi dari pengalaman traumatik yang dialaminya. Pada akhirnya mereka kehilangan kesempatan dalam upaya mengangkat status dan peran mereka sendiri.3 Tentu hal ini berdampak pada partisipasi perempuan Aceh dalam kehidupan masyarakat, terutama kehidupan politik. Mereka menjadi kurang responsif atas berbagai upaya pemberdayaan yang diperkenalkan pemerintah atau institusi lain yang berasal dari luar lingkungan mereka. Suasana apatis menjadi dominan di kalangan perempuan; bahkan selalu merasa curiga terhadap sesuatu yang berasal dari luar komunitasnya.

Selain itu, karena berbagai keterbatasan dan karakteristik sosial budaya perempuan yang bersangkutan, mereka saat itu belum memiliki daya yang cukup untuk mewakili kaumnya dalam mempertanyakan dan mempertahankan hak-hak

mereka.4 Tingkat keberdayaan secara sosial, ekonomi, dan budaya mereka belum memungkinkan mitra mereka para laki-laki untuk berjuang bersama tanpa adanya bias jender, kendati hak dan kewajiban mereka secara formal di depan hukum tidak berbeda.

Di jajaran kelembagaan pemerintahan daerah juga relatif sama. Di masa tersebut, anggota perempuan DPRD (DPRA) tingkat provinsi dan DPRD tingkat kabupaten/ kota (DPRK) jumlahnya masih sedikit dibandingkan dengan laki-laki. Bahkan jumlah anggota legislatif perempuan di DPR RI yang mewakili daerah pemilihan Aceh masih sedikit, padahal jumlah penduduk daerah ini lebih banyak yang perempuan. Walaupun hak dan kewajiban secara hukum memang tidak ada perbedaan dengan anggota yang laki-laki, jumlah perempuan yang sedikit tersebut agaknya terkait erat dengan sistem pemilihan umum yang berlaku. Selain itu, jumlah perempuan yang bergelut dalam dunia politik praktis masih terbatas. Ini terlihat melalui keberadaan organisasi yang terfokus pada masalah-masalah yang terkait dengan isu perempuan masih terbatas.5

Memasuki era pasca konflik yang ditandai dengan peristiwa tsunami dan ditandatanganinya MoU Helsinki, setidaknya telah membuka peluang

4 Ibid.

bagi perempuan Aceh untuk bangkit kembali. Akan tetapi, kebangkitan peran perempuan Aceh pasca konflik belum mengarah kepada kesadaran dan (mau) terlibat dalam ranah politik. Ini dapat dipahami mengingat peristiwa tsunami telah memporak-porandakan kehidupan sosial ekonomi mereka. Temuan di lapangan turut memperkuat asumsi ini. Pasca konflik, kebangkitan kaum perempuan Aceh tidak langsung mengarah pada keterlibatan mereka di dunia politik, melainkan lebih kepada persoalan kesejahteraan ekonomi. Seperti penuturan salah satu narasumber:6

” Saya melihat persoalan perempuan di Aceh setelah konflik, terutama setelah MoU Helsinki sebenarnya lebih kepada kesejahteraan. Karena pasca konflik, perempuan Aceh sebenarnya punya kebutuhan khusus untuk keluarganya, apalagi bagi mereka yang pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga.”

Persoalan kesejahteraan memang menjadi hal utama yang perlu diperhatikan, sebab kesejahteraan-lah yang akan menjadi batu loncatan penting bagi perempuan Aceh agar mau melangkah pada tahap selanjutnya, yakni terlibat dalam dunia politik. Hal ini diakui oleh

6 Hasil wawancara dengan narasumber A ktivis Perempuan CPCRS, Juni 2012.

salah satu narasumber7 yang mengatakan bahwa fenomena global Aceh pasca konflik adalah persoalan ekonomi dulu; belum masuk pada ranah politik. Untuk masuk ke dunia politik, perempuan Aceh era pasca konflik dianggap masih belum siap secara materi karena mereka sendiri masih berpikir di seputar masalah ekonomi. Jika hal ini mendapat perhatian oleh pemerintah, maka kemungkinan besar dapat membangkitkan partisipasi kaum perempuan yang lebih luas lagi.

Selain persoalan kesejahteraan, dukungan dan kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan perempuan juga perlu dibangun. Beberapa narasumber mengakui bahwa tantangan bagi perempuan yang terlibat dalam dunia politik di Aceh adalah masih kentalnya budaya patriarki. Budaya ini masih memandang perempuan tidak selayaknya terlibat dalam ranah politik. Ini memang tidak mudah bagi kaum perempuan Aceh, karena budaya tersebut turut dibalut dengan nilai agama/ syariah Islam yang melarang perempuan menjadi pemimpin. Bahasa lainnya adalah perempuan tidak pantas masuk ke dalam ranah politik. Seperti penuturan salah satu narasumber:8

7 Hasil wawancara dengan narasumber Women Development Centre, Juni 2012.

” Di Aceh Selatan masih sangat kental pandangan bahwa perempuan Aceh tidak boleh menjadi pemimpin. Memang masih ada kepentingan-kepentingan tertentu supaya perempuan Aceh ini tidak bisa berkembang. Saya melihatnya seperti itu. Karena itulah kita perlu berjuang untuk perempuan.”

Pandangan di atas semakin menguatkan asumsi bahwa politik adalah dunia laki-laki. Jika memang perempuan ingin masuk ke dunia politik, maka ia harus mendapatkan ijin dari suaminya. Oleh karena itu, dukungan terhadap perempuan yang ingin masuk ke dunia politik perlu diperjuangkan terus menerus. Dukungan tidak hanya berasal dari sesama kaum perempuan, melainkan juga dari laki-laki atau para suami terhadap istrinya yang ingin terlibat atau berpartisipasi dalam dunia politik.

Di lain pihak, realitas yang menarik dari hasil kajian ini adalah walaupun di beberapa daerah di Aceh masih dominan tantangan bagi perempuan untuk berpartisipasi, di kota Banda Aceh justru mengalami fenomena sebaliknya. Dalam pandangan beberapa narasumber, kota Banda Aceh termasuk kota yang sudah sangat terbuka mengenai keadilan jender. Hal ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh peranan Wakil Walikota Banda Aceh yang merupakan perempuan. Pemerintah Kota Banda Aceh saat ini

memiliki sebuah forum khusus perempuan yang posisinya setara dengan forum Musrembang (Musyawarah Perencanaan dan Pembangunan Daerah; yaitu Musrena (Musyawarah Rencana Aksi Perempuan).

Awal didirikannya forum tersebut dikarenakan keterlibatan dan kehadiran kaum perempuan Aceh yang sangat sedikit di forum Musrenbang dimana tingkat kehadiran mereka tidak sampai mencapai 2 persen. Hal ini yang kemudian mendorong Wakil Walikota Banda Aceh membentuk suatu forum tersendiri agar partisipasi dan keterlibatan perempuan dapat terakomodir dalam proram-program pembangunan di daerah. Forum Musrena ini seluruh anggotanya adalah perempuan yang diterapkan mulai dari tingkat desa. Banyak program berbasis kepentingan perempuan (jender) telah masuk dan dibahas sampai dibentuk SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah). Sampai tahun 2011, Musrena Banda Aceh telah menghasilkan rancangan pembangunan yang adil jender dengan alokasi anggaran sekitar 5,11 persem untuk pemberdayaan perempuan dan anak.9 Dalam perkembangannya, tidak hanya forum Musrena saja yang menjadi wadah berbasis kepentingan perempuan Aceh. Beberapa

9 Erni A gustini, “ Perempuan dan Parpol Politik Lokal di A ceh,” dalam Jurnal Afirmasi: Representasi Politik Perempuan, Vol. 01, Oktober 2011, hlm. 60.

perangkat pemerintahan daerah di Banda Aceh mulai dipegang oleh perempuan, seperti Camat dan Kepala Dinas.

III. Perempuan dan Partai Politik di Aceh: Peluang