• Tidak ada hasil yang ditemukan

Partisipasi demokrasi

Dalam dokumen 1. Kajian Terhadap Dinamika Internal Par (Halaman 42-65)

Bagian ini membahas pengalaman PKS dalam hal partisipasi politik yang demokratis, yaitu bagaimana partai telah terperangkap di antara memaksimalkan kepentingan politik dan mempromosikan nilai-nilai Islam di lain sisi. Bab ini mengeksplorasi perilaku PKS di tiga arena politik berbeda; (i) mobilisasi politik, (ii) koalisi dan ikut serta pemerintahan , (iii) dan perumusan kebijakan dan pelaksanaan. Dalam tiga hal tersebut, partai mengalami perubahan dramatis dari persepsi normatif dan perilaku dalam memahami politik sebagai bagian integral dari kegiatan dakwah. Oleh karena itu, perlu dilakukan sejalan dengan norma-norma Islam dalam memahamami pragmatisme dan politik transaksional dengan menjadikan politik sebagai instrumen untuk tujuan dakwah yang perlu ditangani dengan cara mereka pandang mereka sendiri. Pada saat yang sama, perubahan-perubahan tersebut ditandai dengan polarisasi antara politisi PKS yang semakin pragmatis dan aktivis JT yang normatif, yang menjadikan adanya faksionalisme dan friksi.

Berkaitan mobilisasi politik, PKS telah memiliki pengalaman panjang dalam memahamami alur alamiah persaingan politik. Memandang Pemilu sebagai ujian formal dan pertaruhan reputasi partai politik di mata masyarakat menjadi keniscayaan pemahaman rasional terkait perlombaan yang melibatkan strategi dalam melakukan penyebaran informasi dan reputasi, dan mengarahkan kesadaran politiknya ke bentuk

69

Wawacara dengan Yusuf Supendi, Jakarta. 70

transaksional, yang mana didasari pemahaman bahwa kompetisi politik melalui Pemilu bukan hanya tentang menang atau kalah, melainkan bagaimana memainkan apa yang telah dipunyai. Demikian halnya, dalam konteks koalisi dan peran sertanya dalam pemerintahan. Awalnya dirasakan perlunya koalisi secara eksklusif berkaitan bidang kerja sama berdasar ideologi dan menolak gagasan berkoalisi dengan partai sekuler. Selanjutnya, PKS mulai menyadari bahwa koalisi dengan partai sekuler bisa dipandang sebagai strategi jangka pendek yang pragmatis untuk mencapai tujuan jangka panjang yang normatif. Akhirnya, dalam perumusan kebijakan dan menjalankan partai, tampak telah terperangkap antara formulasi simbolik-normatif dan mencari kebijakan alternatif lain.

4.1. Mobilisasi politik

PKS telah mengalami perubahan secara signifikan dalam pola mobilisasi politik. Terkait bagaimana memahami ide mobilisasi serta cara membawanya keluar. Pertama, selama tahun-tahun awal, pemimpin JT dan PKS menganggap mobilisasi politik sebagai suatu proses alamiah sosial, di mana reputasi dan popularitas merupakan hasil dari apresiasi masyarakat atas amal baik dan nilai kemanfaatan yang mereka perbuat. Kedua, setelah mereka mengikuti berbagai event mobilisasi politik, dari aksi unjuk rasa turun di jalanan, perang media untuk mempengaruhi opini publik, kampanye untuk pemilu, mereka mulai menyadari kenyataan bahwa politik bukanlah proses sosial alamiah, melainkan serangkaian peristiwa yang direkayasa melalui manipulasi informasi. Dengan demikian, mereka memulai untuk tidak hanya memperkuat citra dan reputasi saja, tetapi kadang-kadang juga membuat langkah yang hampir keluar dari identitas mereka sendiri.71 Ketiga, ketika muncul ide pluralitas, mereka mulai memanfaatkan mobilisasi politik sebagai alat transaksi.

71

Termasuk strategi untuk mensosialisasikan partai di antaranya adalah melalui pengiriman relawan ketika terjadi bencana alam yang mana sering dibutuhkan, menempelkan logo partai dalam paket bantuan yang dikirim oleh pihak atau organisasi lain untuk korban bencana, mengawal truk yang membawa bantuan, tetapi tidak bantuan bersumber dari PKS, atau bantuan yang dikirim dengan menggunakan kendaraan dengan bendera PKS. Kegiatan-kegiatan seperti ini bisa membantu membuat citra partai di mata publik sebagai pihak yang peduli atas penderitaan rakyat.

Disadari bahwa untuk memenangkan kompetisi tidak hanya soal menjadi mayoritas, tapi juga dengan mengukur prestasi setiap standar yang telah beranjak ke level tertentu. Bagaimanapun, perubahan pola seperti ini tidak memberikan ruang bagi PKS sebagai satu kesatuan, melainkan lebih menekankan pada kecondongan di antara elit politiknya. Tidak semua anggota PKS setuju dengan penafsiran politik seperti ini. Banyak dari kalangan PKS sangat percaya bahwa politik hanyalah sarana untuk dakwah, dan prestasi dalam politik hanyalah hasil akhir dari pencapaian dakwah. Dengan demikian, perubahan pola tersebut menandakan terjadinya polarisasi persepsi dan perilaku antara anggota JT dan PKS, antara yang berorientasi politik dan kelompok yang berorientasi dakwah.

Pertama kali JT terlibat dalam program mobilisasi massa politik secara serius adalah pada Pemilu 1999. Pada saat itu, mungkin karena dipengaruhi oleh ide Islamisasi bertahap, JT mulai memahami politik merupakan proses alamiah masyarakat, yang mana pemilihan hanyalah ajang bagi partai politik untuk menguji popularitas dan reputasi mereka di masyarakat. Oleh karena itu, mereka tidak mempersiapkan kampanye secara sistematis menjelang pemilu, melainkan mengintensifkan kegiatan rutin mereka seperti rapat koordinasi, khotbah keagamaan, serta ibadah-ibadah mendekatkan diri ke Tuhan seperti shalat malam. Sebuah pernyataan (Bayan) yang dirilis oleh Dewan pimpinan pusat Partai sepuluh bulan menjelang Pemilu mejelaskan kepada kita tentang hal apa saja yang dianggap penting. Pertama, anggota JT haruslah mendedikasikan setiap tindakan mereka sebagai ibadah kepada Allah, bukan kepada partai. Kedua, misi utama partai adalah untuk memberlakukan hukum-hukum Allah di atas muka bumi, kegiatan politik melalui partai hanyalah sebuah media untuk mencapai tujuan. Ketiga, menjaga keharmonisan dan mencegah syak wasangka, terutama dengan umat Muslim lainnya, yang dianggap lebih penting daripada prestasi politik itu sendiri. Keempat, pemilu bukanlah media uji coba untuk partai, tetapi arena untuk mengukur kesiapan JT dalam menerapkan kecakapan pengimplementasian nilai-nilai keagamaan dan politik.

Kelima, meminimalisir biaya kegiatan politik dan sosial lebih penting daripada prestasi.72

Bagaimanapun banyak hal yang telah berubah selama Pemilu 2004. Setelah Partai Keadilan gagal melewati ambang batas minimal 2,5 persen electoral threshold, JT mendirikan partai Keadilan Sejahtera dengan mengusung pemahaman baru tentang dinamika politik dan mobilisasi politik. Setidaknya terdapat tiga perubahan; pertama, berkaitan hal keorganisasian, mereka membentuk struktur organisasi yang lebih sistematis. Periode sebelumnya, partai tidak membentuk struktur jaringan organisasi terlembagakan, kondisi seperti ini nyaris terjadi semenjak tahun pertama pendirian sampai pemilu tiba, partai lebih mengandalkan jaringan internal dari sel-sel usroh. Di samping itu, Undang-Undang Pemilu tidak mensyaratkan standar minimal suatu organisasi partai politik. Sedangkan dalam Pemilu 2004, UU No. 8/2000 tentang Pemilu mensyaratkan bahwa untuk berpartisipasi dalam Pemilu, partai politik harus mendirikan kantor-kantor cabang di setiap provinsi dan harus memiliki kantor perwakilan minimal setengah jumlah total kabupaten/kota di masing-masing provinsi. Kedua, dalam hal sumber daya manusia, partai mulai memilih dan memilah pemimpin dan para fungsionaris tidak hanya didasarkan atas dasar senioritas mereka dalam jaringan JT, tetapi lebih menekankan pada kualitas karakter individu dan skil yang sesuai dengan kebutuhan organisasi. PKS secara sistematis juga melakukan pelatihan dan peningkatan berbagai keterampilan dan skil para pemimpin partai dan para fungsionaris dengan menyelenggarakan kursus, lokakarya dan pelatihan di berbagai berbagai bidang, misalnya memberikan orasi di depan publik, menulis untuk media massa, berbicara di depan kamera tv, melakukan lobi, penggalangan dana, bahkan dalam melakukan psywar melalui kampanye hitam, seperti halnya untuk mengeksploitasi kelemahan dan skandal dari pihak lawan dalam rangka untuk mengacaukan pesaing politiknya dan untuk meningkatkan kepercayaan pendukungnya.

Ketiga, dalam hal strategi politik, mereka meyakini bahwa politik harus diupayakan dengan caranya sendiri. Mereka menggalang dana secara intensif, baik

72

dari internal JT sendiri ataupun pendonor eksternal, dari dalam dan luar negeri. Mereka mulai memandang politik hanya sekedar alat untuk mencapai tujuan, dan melakukan koalisi strategis dengan siapa pun yang dinilai bisa ditolerir atau selama dibutuhkan, selagi mitra koalisi memiliki komitmen untuk tujuan jangka panjang terhadap misi partai.73 Mereka dipublikasikan pendapat dan kegiatan mereka dengan mengorganisir demonstrasi dan aksi protes menentang berbagai isu domestik dan internasional. Pemimpin mulai mengerti dan terampil dalam menggunakan media publik di antaranya dengan mengundang wartawan untuk meliput kegiatan mereka.74

Pada fase ini perbedaan pendapat masing-masing mulai muncul di kalangan anggota JT dan PKS. Perbedaan pandangan sering terfokus di sekitar isu penggalangan dana, yang mana fungsionaris PKS secara aktif memobilisasi dukungan keuangan dari pendonor eksternal, termasuk dari lembaga pemerintahan, pendonor dari lingkaran dekat keluarga Suharto dan perusahaan-perusahaan yang dimiliki pebisnis non-Muslim. Kritik dan ketidaksetujuan mulai muncul di antara kalangan aktivis JT yang menganggap cara-cara seperti itu bertentangan baik secara moral dan politik. Secara moral, pihak yang mengkritik berpendapat bahwa politik harus dijalankan sebagai bagian integral dari kegiatan dakwah, oleh karena itu harus dibiayai secara eksklusif dari dana yang bisa dipertanggungjawabkan secara moral. Sementara secara politis, mereka juga menuduh para politisi PKS yang menerima dana dari non-Muslim sama saja berkolaborasi dengan musuh, dan dengan demikian mengkhianati misi mereka sendiri. Kedua para pendukung baik yang pro dan kontra mencari pembenaran atas pendapat mereka dengan argumentasi agama yang didukung dengan kutipan dari kitab-kitab dan menyitir pendapat-pendapat berdasar keagamaan.75

73

Wawancara dengan Hidayat Nur Wahid, Jakarta. Dia juga menyebutkan bahwa pemilu tahun depan para anggota PKS juga membujuk anggota JT untuk menyiapkan kemeja putih dan jilbab yang akan dicetak dengan logo partai untuk keperluan kampanye.

74 Permata, Isla ist Part a d De ocratic Participatio , 216. 75

Sebagai contoh adalah kasus yang menimpa seorang politisi PKS, seseorang yang memegang gelar doctor di bidang keilmuan Islam dari Arab Saudi. Pada Pemilu 2004 ia kalah di Dapil Banten yang notabene penduduknya adalah muslim tradisional kuat.

Di kemudian waktu, PKS menunjukan tren perilaku berbeda dalam hal mobilisasi politik, yaitu dengan bertransaksi suara dengan partai politik lain. Dalam mengikuti aturan main sistem demokrasi multi partai, politisi PKS cepat belajar bahwa pilihan yang tersedia untuk peserta pemilu bukan hanya soal menang atau kalah, melainkan bagaimana menjaring hadiah yang lebih besar atau kecil sesuai dengan apa yang mereka upayakan. Dalam dinamika politik yang demokratis, suara bagi partai politik seperti income dalam bisnis perusahaan yang bisa ditransfer untuk kepentingan sumber daya lainnya.

Setelah para politisi PKS memahami hal tersebut, mereka mulai menggadaikan ideologi mereka untuk sumber daya lainnya, untuk kedudukan atau uang. Hal seperti ini jamak dikenal dengan istilah mahar politik (political dowry). Politisi PKS memainkannya secara efektif, dan sebagian besar berjalan dengan mulus, terutama saat pemilihan gubernur dan bupati/walikota, dikarenakan mereka memiliki pemilih loyal. Dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta pada tahun 2007, PKS menerima dana 30 miliar rupiah untuk pencalonan Letnan Jenderal (Purn) Adang Darajatun, salah satu mantan Wakapolri Indonesia.76 Sementara dalam gelaran terakhir Pilgub DKI Jakarta tahun 2012, setelah kandidatnya kalah di putaran pertama, PKS meminta 100 miliar rupiah dari incumbent Fauzi Bowo dengan imbalan 500.000 suara, tetapi pihak Fauzi menawar Rp 20 miliar, dan kesepakatan pun tercapai: deal.77

Kebijakan-kebijakan politik sebagaimana disebutkan di atas menambah kekuatan lebih untuk melakukan perlawanan terhadap aktivis konservatif JT yang ada, transaksi politik seperti ini dihalalkan beberapa politisi tertentu demi menikmati gaya hidup mewah. Ketegangan semakin memuncak ketika beberapa aktivis JT

Contoh lain adalah seorang politisi beragama Katolik dari partai sekuler PDI Perjuangan. Bingung dengan kekalahannya, padahal mereka sudah merasa sudah menjalin relasi dan berkoordinasi dengan para pendukungnya. Akhirnya, mereka melakukan penyelidikan terkait mengapa bias kalah. Mereka menemukan fakta bahwa itu dikarenakan saingannya telah memberikan 'bantuan langsung' beberapa hari menjelang hari pemungutan suara. Ketika pemilu 2009, mereka tidak mau mengulangi kesalahan yang sama, mereka memberikan pemilih dengan bantuan langsung dan memenangkan kursi di Dewan.

76

Wawancara dengan Yusuf Supendi, Jakarta. 77

benar dikucilkan atau dikeluarkan dari partai karena mengkritik perilaku seperti ini. Memang, beberapa di antara mereka bahkan ada yang meninggalkan JT dan mendirikan organisisasi sendiri dan mengkritik PKS dan elit JT atas ketersesatan organisasi dan praktek yang mengkhianati misi politik Ikhwanul Muslimin.78 Namun, beberapa politisi PKS yang handal mampu mengamankan dukungan bagi mereka, baik dari elit petinggi partai dengan menyediakan pasokan dana yang secara signifikan sangat dibutuhkan oleh partai dalam kompetisi politik yang intensif dan semakin kapitalistik, serta mengamankan dukungan dari aktivis JT yang lebih muda dengan membuka kran saluran pendanaan, jaringan dan peluang karir.79

4.2. Koalisi dan peran serta dalam formasi parti-partai pemerintahan

Mirip dengan yang terjadi dalam hal mobilisasi untuk kepentingan politik, PKS juga mengalami pergeseran persepsi dan perilaku politik berkaitan dengan melakukan koalisi dalam formasi partai penyelenggara pemerintahan. Di tahun-tahun awal berdiri, para elit PKS menganggap bahwa pemerintahan merupakan suatu mekanisme yang bersifat institusional untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan, dan berasumsi bahwa partai-partai politik dengan ideologinya masing-masing akan memperjuangkan kebijakan-kebijakan tertentu dan programnya masing-masing. Di kemudian hari, mereka mulai belajar bahwa melakukan koalisi merupakan instrumen untuk mengejar tujuan-tujuan politis. Oleh karena itu, mereka juga mulai menggunakan instrumen politik berupa memperlakukan koalisi tersebut sebagaimana halnya menjaring suara dalam pemilihan. Sekali lagi, perubahan cara pandang tersebut juga diikuti dengan munculnya perpecahan di internal PKS itu sendiri, antara aktivis yang memandang aktifitas politik sebagai bagian tak terpisahkan dari kegiatan dakwah yang harus dilakukan sejalan dengan prinsip-prinsip Islam, dengan pihak-pihak yang menganggap politik sebagai instrumen untuk tujuan dakwah, oleh karena itu, politik dianggap sebagai alat melakukan dakwah. Sekali lagi, perubahan sikap politik seperti ini juga menandai munculnya perpecahan di dalam internal antara para

78

Korespondensi via email dengan mantan anggota JT. 79

aktivis yang menganggap kegiatan politik sebagai bagian integral dari kegiatan dakwah, dengan demikian harus dilakukan sejalan dengan prinsip-prinsip Islam, dengan mereka yang menganggap politik sebagai instrumen untuk tujuan dakwah, dengan demikian sah-sah saja menggunakan segala cara.

Usaha pertama kali partai PKS adalah ikut berpartisipasi dalam pembentukan Forum Komunikasi Partai-Partai Islam (FKPPI) pada tahun 1998. Forum tersebut menuntut Pemerintah supaya mencabut UU No. 3/1985 dan UU No. 8/1985 yang mewajibkan organisasi agar mengadopsi Pancasila sebagai asas tunggal, dan tuntutan tersebut sukses. Kedua, secara keseluruhan, 8 partai menyepakati minus PPP dan PBB menyetujui atas alokasi sisa suara mereka dalam Pemilu untuk mendapatkan kursi tambahan, yang disebut Stembus Accoord; istilah yang dipinjam dari bahasa Belanda.80

Langkah politik kedua adalah untuk berkoalisi dengan PAN untuk membentuk Fraksi Reformasi di Parlemen. Fenomena ini cukup menarik, karena PAN sebenarnya bukanlah partai Islam. Pada saat yang sama, partai-partai yang berbasis Islam dari anggota FPSPI meminta agar PKS bergabung dengan Fraksi Partai Islam. Menurut Hidayat Nur Wahid, justru Amin Rais lah yang menjadi faktor penentu atas pilihan politik PKS, bukan PAN itu sendiri. Elit-elit PKS mempercayai Amien Rais memiliki itikad baik dan percaya bahwa PKS akan mampu mencapai target pararel agenda politiknya. Selanjutnya, Amien Rais dan elit PAN lainnya juga mengklaim memiliki mandat sebagai kaum reformis, yang mana sejalan dengan visi politik PKS itu sendiri. Kesimpulannya, keputusan PKS untuk bergabung dengan PAN didasarkan pada alasan yang demokratis. Oleh karena itu, Fraksi Reformasi, dengan 41 kursi di Parlemen, merupakan fraksi terbesar kelima di Parlemen. Dengan demikian, Fraksi Reformasi memiliki hak untuk menjabat wakil ketua di legislatif, mengalahkan Fraksi Militer yang menguasai 38 kursi.81

Koalisi PKS berikutnya adalah bergabung dengan Poros Tengah, yaitu koalisi politisi-politisi berbasis Islam di bawah Amien Rais dirancang untuk menantang

80

Permata, Isla ist Part a d De ocratic Participatio , 240–241. 81

pencalonan BJ Habibie (yang dianggap sebagai sisa-sisa rezim Suharto), dan Megawati (yang dianggap sebagai politisi sekuler yang didukung oleh orang-orang Kristen).82 Dengan melawan segala aral rintangan, Amien Rais menominasikan Abdurrahman Wahid sebagai Calon Presiden Poros Tengah, padahal awalnya PKS bersama dengan partai berbasis Islam lainnya yaitu PBB, lebih suka mendukung Habibie.83 Namun, ketika akhirnya Habibie menarik diri dari pencalonannya, PKS pun enggan memberi dukungan kepada Abdurrahman Wahid dengan menyatakan bahwa kualifikasi Gus Dur adalah pilihan paling buruk di antara Capres.84 Aktivis senior JT dan mantan Presiden interim PKS, Untung Wahono melakukan observasi bahwa tak diragukan lagi jika PKS lebih memilih Habibie ketimbang Amdurrahman Wahid.85

Ketika Abdurrahman Wahid terpilih sebagai presiden,dia menawarkan satu pos kementrian di Kementrian. PKS pun menerimanya dan menominasikan presiden

partainya Nur Mahmudi Ismaʾil untuk menduduki posisi tersebut. Dalam pertemuan

yang diadakan setelah adanya tawaran tersebut, para elit PKS membahas departemen mana saja yang paling disukai, dan mereka menyutujui beberapa kriteria: pertama, hal itu harus menjadi pos kementerian yang populis, yang bersinggungan langsung dengan masyarakat. Kedua, pos tersebut harus sesuai dengan sumber daya manusia

82

Meskipun ada desas-desus bahwa koalisi diprakarsai oleh Amien Rais untuk memobilisasi dukungan dari politisi-politisi Muslim. Nyatanya, pengamatan lebih dekat mengungkapkan fakta berlawanan. Forum ini diprakarsai oleh sejumlah politisi Muslim senior untuk membawa Amien Rais kembali ke habitat yang tepat pada gerakan politik Islam. Prakarsa itu dipicu oleh kesepakatan Amien Rais untuk bergabung dengan Megawati dan Abdurrahman Wahid dalam agenda memajukan agenda reformasi. Para politisi Islam merespons langkah ini dengan kecemasan, baik karena alasan ideologis serta demokratis. Secara ideologis, mereka dihubungkan dengan Megawati dan PDI Perjuangan dengan politik haluan sekuler dan Kristen. Sementara secara agenda demokratisasi, baik Megawati atau Abdurrahman Wahid dianggap tidak benar-benar sebagai kelompok reformis, karena mereka enggan untuk mendukung reformasi, seperti mengamandemen konstitusi dan demiliterisasi. Lihat Suharsono, Cemerlangnya Poros Tengah (Jakarta: Perennial Press, 1999), 86–88.

83

Untung Wahono, Peran Politik Poros Tengah (Jakarta: Pustaka Tarbiatuna, 2003), 115.

84

Bayanat Partai Keadilan, 17 September 1998. 85

yang dimiliki partai guna memaksimalkan kinerjanya. Ketiga, pos tersebut seyogyanya tidak bergantung pada dana asing. Keempat, PKS juga lebih suka pos Kementrian karena jumlah masalah sedikit. Berdasarkan kriteria tersebut, PKS meminta pos di Kementrian Pertanian. Abdurrahman Wahid tampaknya setuju dengan proposal PKS tersebut dan Ismail berada di daftar kabinet sebagai Menteri Pertanian. Namun, ketika Kabinet Indonesia Bersatu itu baru saja dipublikasikan, Ismail dialihkan ke pos Kementrian Kehutanan.86

Ketika Abdurrahman Wahid digulingkan oleh Parlemen, PKS sepenuhnya mendukung pemakzulan itu dan mendukung Megawati untuk menduduki kursi kepresidenan. Menariknya, PKS tidak ikut bergabung dalam formasi kabinet meskipun Megawati dikabarkan menawarkan satu pos kementerian. Setidaknya ada empat faktor yang mungkin telah mendorong PKS untuk mengambil keputusan tersebut. Pertama, kepemimpinan Megawati dianggap kontroversial menurut kalangan Muslim konservatif berkenaan gendernya. Ideologi PKS yang konservatif memandang bahwa kepemimpinan politik itu menjadi hak istimewa kaum laki-laki. Oleh karena itu, Megawati bukanlah pilihan tepat ketika masih ada banyak politisi laki-laki yang dianggap mampu. Kedua, bergabung dengan pemerintahan di bawah rezim Megawati tidak cukup mengenakkan dari sudut pandang kebijakan, karena Megawati dan partainya dianggap sebagai reinkarnasi PNI yang berhaluan sekuler-nasionalis dari era sebelumnya. Dengan demikian, merupakan saingan berat dari gerakan politik Islam. Ketiga, sentimen anti Megawati lainnya adalah banyaknya Muslim memandang PDI Perjuangan menjadi gerbong politik bagi politisi Kristen, terutama keberadaan Mayor. Jenderal (Purn.) Theo Syafe'i, yaitu salah satu pembantu terdekat Megawati, yang diyakini memiliki sentimen kuat anti Islam. Keempat, elit-elit PKS merasa bahwa mereka perlu fokus meningkatkan performa partai mereka karena telah gagal memenuhi ambang batas electoral threshold dan berimbas tidak dapat berpartisipasi dalam pemilu berikutnya.87

86

Bayanat Partai Keadilan, 29 Oktober 1999. 87

Cara pandang dan sikap terhadap kerja sama politik dengan partai lain berubah drastis semenjak partai tersebut berganti nama PKS. Momen pertama yang sangat mencolok adalah pada saat hari-hari menjelang Pemilihan Presiden tahun 2004. Sejalan dengan perubahan kepemimpinan partai, sudut pandang dan sikap terhadap koalisi politik juga mengalami pergeseran, dari idealis menjadi kebijakan berorientasi pragmatis, berorientasi kekuasaan. Sekali lagi, perubahan tersebut semakin memperburuk ketegangan antara aktivis JT yang normatif dengan politisi PKS yang semakin pragmatis. Konsisten dengan sikap mereka di masa lalu, elit PKS di bawah kepemimpinan Hidayat Nur Wahid tetap mendukung pencalonan Amien Rais. Beberapa minggu menjelang hari pemilihan, sebuah opsi baru dimunculkan oleh Hilmy Aminuddin untuk kembali mendukung Jendral Wiranto. Hilmy berpendapat bahwa prioritas utama dari agenda strategis politik PKS adalah untuk menghentikan langkah Megawati yang difavoritkan oleh beberapa pengamat dikarenakan di

Dalam dokumen 1. Kajian Terhadap Dinamika Internal Par (Halaman 42-65)

Dokumen terkait