• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Kajian Terhadap Dinamika Internal Par

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "1. Kajian Terhadap Dinamika Internal Par"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

1. Kajian Terhadap Dinamika Internal Partai Keadilan Sejahtera

dan Jamaah Tarbiyah

Ahmad-Norma Permata

1. Pendahuluan

Penelitian ini mengupas dinamika internal Partai Keadilan1 Sejahtera (PKS) dan akar massa organisasi serta pendukungnya, yaitu Jamaah Tarbiyah (JT).2 Sejak organisasi politik bukan lagi digambarkan sebagai aktor peran tunggal, di dalamnya selalu saja

ada pluralitas, perbedaan visi, friksi dan, bahkan konflik. Penelitian ini mencoba

mengungkap dinamika internal di dalam dua organisasi tersebut, mengupas berbagai

ketegangan dan mengklasifikasi permasalahan tersebut ke dua bagian serta mengulas

tokoh-tokoh kunci masing-masing kelompok. JT adalah organisasi yang khas dalam

kancah politik Indonesia kontemporer. Pada intinya, kelompok ini adalah cabang

Ikhwanul Muslimin Mesir di Indonesia, yang didirikan pada tahun 1983 oleh

sekelompok sarjana yang menuntut ilmu di Timur Tengah. Di kemudian hari,

sarjana-sarjan tersebut berfusi dengan jaringan-jaringan aktivis di berbagai organisasi. Mulai

dari organisasi politik dan sosial di dalam negeri, seperti DDII,3 Muhammadiyah,

1

Kata ini patut disoroti dikarenakan kata 'keadilan' telah digunakan dimana-mana dalam jaringan-jaringan Ikhwanul Muslimin di seluruh dunia (baik dalam partai politik atau gerakan sosial). Misalnya, 'Keadilan dan Pembangunan' digunakan pada saat yang sama di Turki, Libya, Maroko, Suriah dan Aljazair. Sedangkan kelompok Ikhwanul Mesir menamai 'Partai Keadilan dan Kemerdekaan. Jika kita mencermati lebih dekat tampak bahwa setidaknya untuk kata 'keadilan', PKS tidak mengacu pada gagasan 'perlakuan yang adil', melainkan untuk 'dendam politik'. Para kader PKS menganggap diri mereka sebagai korban penindasan dan penganiayaan, baik oleh penguasa Kolonial Barat atau Pemerintahan domestic yang sekuler. Sekaranglah waktu yang tepat bagi mereka untuk melawan dan melakukan apa yang pihak lain telah lakukan pada mereka, untuk menuntut keadilan.

2Ja aah Tar iyah se ara eti ologis adalah Ko u itas Pe didika . Suku kata dari kata itu adalah pe didika ya g erarti pe gajara da i doktri asi. Se agai isal, pendidikan Islam yang komperhensif (kaffah) sebagai jalan hidup.

3

(2)

Nahdlatul Ulama (NU), HMI4 hingga kelompok Salafi.5 Berbagai kelompok ini mengatur organisasinya secara independen dari rekanannya di Mesir. Pada tahun

1998, aktivis JT mendirikan sebuah partai politik yang dinamai Partai Keadilan (PK),

yang kemudian berganti nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Hubungan

antara JT dan PKS juga cukup unik karena JT merupakan organisasi informal, karena

sejauh ini tak terdaftar resmi di Kemendagri. Pun demikian, organisasi ini juga tidak

bisa dilarang menurut penalaran hukum Indonesia. JT bisa dideskripsikan sebagai

organisasi bayangan PKS yang tentu saja hubungan itu berbeda dengan hubungan NU

dan PKB6 atau Muhammadiyah dan PAN,7 yang mana keduanya merupakan organisasi formal meskipun bergerak di ranah berbeda (satu di ranah sosial dan yang

lainnya ranah politik).

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah salah satu ‘bintang terang’ dalam sejarah

demokratisasi Indonesia. Pertama, keberadaannya menandai era baru politik Islam.

Hal ini dikarenakan partai tersebut tidak lahir dari Ormas besar Islam di Indonesia.

Hal tersebut merupakan fenomena yang patut disoroti, karena pada masa Orde Baru,

penguasa telah memanipulasi dan berkompromi dengan semua ormas Islam dan

Organisasi tersebut menerima kucuran dana besar dari negara-negara Timur Tengah, terutama Arab Saudi.

4

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) didirikan pada tahun 1947, dan merupakan organisasi ekstra kampus terbesar di Indonesia dan memiliki jaringan politik sangat kuat. HMI juga menjadi pemasok elit dan kader partai politik, termasuk di antaranya Akbar Tanjung (Golkar), Ismail Hassan Metareum (PPP) dan Anas Urbaningrum (pada saat menulis buku ini sebagai Ketua Umum Partai Demokrat). Pada tahun 1986, menanggapi pemberlakuan UU yang mewajibkan semua organisasi massa untuk mengadopsi ideologi negara, Pancasila, HMI terpecah menjadi dua kubu: kelompok yang menerima ketentuan UU tersebut demi diakui sebagai organisasi hukum oleh pemerintah, dikenal sebagai faksi Dipo (singkatan dari jalan Diponegoro mana kantor terletak di Jakarta). Kelompok lain yang menolak ideologi Pancasila, mempertahankan ideologi Islam dan bergerak secara klandestain.

5

Dari istilah Arab Salafus al-Salihin, atau generasi murni, mengacu pada generasi pertama Muslim, termasuk para sahabat Nabi Muhammad. Mereka adalah kelompok konservatif yang mengadopsi ide-ide Islam Arab dalam gaya dan praktik kehidupan.

6

Partai Kebangkitan Bangsa didirikan oleh beberapa elit NU, tetapi tidak memiliki ikatan formal dengan NU.

7

(3)

tokoh-tokoh kuncinya ke dalam lingkaran rezim. Akibatnya, hampir tidak ada ormas

Islam waktu itu mampu lepas terhadap rekayasa poltik Orde Baru.

Meski didirikan pada masa rezim Suharto, namun PKS dipimpin oleh generasi

baru aktivis Muslim yang tidak tergabung ke dalam salah satu ormas Islam yang ada

saat itu. Para aktivis ini menganggap diri mereka sebagai bagian dan kelangsungan

politik Islam dalam sejarah Indonesia, mereka juga memisahkan dan membedakan

diri dari ormas Islam yang ada, dan berada di spektrum luar lingkaran para aktivis

ormas-ormas lain yang mereka anggap mau berkompromi dan terkontaminasi oleh

rezim Orde Baru.8

Kedua, partai memiliki banyak politisi Muslim yang genius dan bukan lulusan

dari lembaga pendidikan Islam seperti halnya para tokoh ormas-ormas Islam lainnya,

melainkan lulusan dari universitas-universitas sekuler terkemuka di seluruh penjuru

negeri. Tampuk kepemimpinan PKS sendiri juga berbeda dari yang lainnya,

pemimpin bukan dari kalangan ulama-ulama dengan latar belakang pendidikan

keagamaan sebagaimana ormas-ormas keagamaan lainnya. Para aktivisnya

merupakan lulusan dari berbagai disiplin ilmu sekuler mulai dari teknik, ekonomi,

kedokteran hingga fisika dan matematika. Universitas sendiri tetap sebagai gerbang

utama bagi generasi muda yang ingin duduk dalam birokrasi dan pekerjaan

profesional lainnya. Dengan cara seperti ini, partai cepat mengembangkan jaringan di

antara elit negara.9

Ketiga, banyak pihak menganggap ideologi politiknya mencurigakan berkaitan

dengan partisipasinya dalam politik demokratis. JT sendiri mengadopsi ideologi

Ikhwanul Muslimin Mesir dan bertahap melakukan proyek Islamisasi politik, yaitu:

(i) Islamisasi individu; (ii) Islamisasi keluarga; (iii) Islamisasi masyarakat; (iv)

Islamisasi sistem.10 Program-program mereka bertitik anjak dari dalam dan luar komunitas Muslim itu sendiri. Banyak ormas Islam lainnya melihat Partai tersebut

8

Yon Machmudi, Partai Keadilan Sejahtera: Wajah Baru Politik Islam Indonesia

(Jakarta: Harakatuna, 2005), 23–24.

9Elisa eth Colli s, Isla is the Solutio ,

Kultur 3, no. 2 (2003), 157–182. 10

(4)

mendemonstrasikan sepak terjang yang agresif, yang tidak hanya mengganggu

wilayah pengikut ormas lain, tetapi juga membahayakan spektrum politik Islam

moderat di Indonesia. Pihak lainnya bahkan menuduh Partai tersebut sedang

mengagendakan haluan politik radikal guna mengubah Indonesia ke bentuk sistem

politik Islam (khilafah).

Keempat, partai juga mampu mengesankan masyarakat Indonesia karena

kelihaian organisasi dalam melakukan konsolidasi. PKS adalah satu-satunya partai

politik besar di Indonesia yang tidak mengalami perpecahan di internal organisasi

secara cukup serius. PKS juga satu-satunya partai yang mampu mempertahankan

jumlah kuantitas pendukungnya. Karakteristik ini telah memberikan keuntungan bagi

partai, terutama dalam Pilkada, PKS mampu memenangkan Pilkada di beberapa

daerah yang mayoritas konstituennya merupakan masyarakat plural, meski ada

beberapa kandidat ikut serta dalam kontestasi Pilkada. Pilgub Jakarta pada 2007

adalah contoh nyata yang mana gubernur terpilih membutuhkan dukungan koalisi 16

partai (44 persen) yang duduk di DPRD Propinsi guna mengimbangi kursi PKS

sebesar 56 persen. Solidnya dukungan juga senjata ampuh untuk PKS dalam lobi

melakukan politik, atau untuk menaikan nilai tawar politik.11

1.1. Keretakan internal

Para peneliti tidak akan meleset memotret kondisi internal partai, kadang-kadang

perpecahan itu sangat serius, yaitu perpecahan dalam partai tersebut. Pertama,

ketegangan internal sudah mulai muncul ke permukaan semenjak berdirinya. Pada

tahun 1998, setelah perubahan rezim, aktivis senior JT membahas kemungkinan

membentuk partai politik untuk memajukan kepentingan dan agenda politik mereka,

namun tidak mencapai kesepakatan saat itu. Sebagian yang lain setuju bahwa saat

itulah waktu yang tepat untuk mendirikan partai politik dan ikut berkompetisi dalam

iklim demokrasi. Pihak yang berseberangan berpikir bahwa mereka belum siap dan

11

(5)

lebih memilih untuk tetap menjauhkan diri dari kompetisi memenangkan kekuasaan.

Sengketa tersebut diselesaikan dengan membagikan kuesioner kepada sekitar 6.000

aktivis Tarbiyah di seluruh dunia. Enam puluh delapan persen dari kuesioner yang

kembali setuju untuk membuat sebuah partai politik.12

Kedua, visi yang berbeda juga dapat dijumpai di antara elit partai terkait

bagaimana pengelolaan organisasi. Selama empat tahun pertama dalam sejarah

berdirinya dengan memakai nama Partai Keadilan, sistem keorganisasian adalah

bottom up dan lebih demokratis yang mana bentuk pengambilan keputusan tertinggi

ada pada kongres nasional partai. Hal ini berarti kedaulatan berada di tangan para

kader partai. Namun sejak 2003, ketika nama partai berubah menjadi Partai Keadilan

Sejahtera, AD/ART-nya juga diamandemen, keputusan tertinggi berada di tangan elit

yang diwakilkan kepada Majelis Syuro. Perubahan ini bukan hanya

merepresentasikan struktur keorganisasian yang berubah, tetapi juga menunjukan

persaingan politis di internal. Misalnya, kelompok demokratis versus kelompok

pragmatis tendensius.13

Ketiga, perbedaan pendapat juga muncul di dalam platform program

kebijakan partai, terdapat inkonsistensi dalam AD/ART organisasinya. Banyak yang

beranggapan bahwa hal ini sebagai bentuk kesengajaan dalam kebijakan ganda Partai.

Namun jika diamati lebih jauh, hal itu menunjukkan sebuah realita bahwa

inkonsistensi dalam AD/ART tersebut mencerminkan perbedaan pendapat di antara

penyusun AD/ART dan adanya perpecahan di internal partai itu sendiri. Misalnya,

adanya pasal dalam AD/ART-nya yang menetapkan bahwa PKS adalah partai terbuka

bagi seluruh masyarakat Indonesia yang berusia 17 tahun lebih, atau yang telah

memenuhi syarat untuk menjadi anggota. Namun, dalam pasal lainnya dalam

AD/ART yang sama menetapkan bahwa untuk menjadi anggota partai itu harus

mengucapkan sumpah yang di dalamnya mencakup pengucapan syahadat Islam

berupa ‘tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah Rasul-Nya’. Hal ini

12

Collins, ibid. 13

(6)

menjelaskan, setidaknya menunjukan, bahwa mereka Muslim. Dengan demikian,

hanya Muslim yang bisa menjadi anggota partai.14

Terakhir, perihal kebijakan politik partai tersebut juga menunjukan perbedaan di

dalam internal. Misalnya, partai melihat Pemilu Legislatif 1999 hanya sebagai

kegiatan dakwah (atau tabligh). Selama kampanye Pemilu, elit Partai

menginstruksikan para kader dan aktivisnya untuk mengintensifkan kegiatan

keagamaan mereka, untuk membujuk orang-orang agar menerima Islam, bukan

mempromosikan partai. Di samping itu, juga mengajak mereka berdoa (munajat)

kepada Tuhan agar menolong partai memenangkan Pemilu. Uniknya, lima tahun

kemudian pada Pemilu 2004, Ketua Umum Partai, yaitu figur yang sama,

mengeluarkan fatwa untuk para aktivis dan kadernya supaya memobilisasi

masyarakat untuk mencoblos PKS dalam Pemilu, terlepas apakah mereka setuju

dengan garis kebijakan politik Partai atau tidak.15

Kajian lebih dekat telah memperlihatkan adanya ketegangan dan friksi antara JT

dan PKS, serta ketegangan internal di dalam masing-masing organisasi tersebut

sebagai puncak dari perjalanan mereka dalam dinamika politik yang demokratis. Pada

dasarnya, anggota JT adalah anggota PKS juga. Namun, kegiatan politik yang intensif

dan sedemikian sistematis telah memisahkan aktivis PKS menjauh dari anggota JT

lainnya yang tidak terlibat dalam organisasi partai politik. Para aktivis PKS

cenderung semakin bersikap pragmatis dalam perilaku politik mereka, sementara

anggota JT lebih berpegang untuk tetap senormatif mungkin.

Di dalam PKS sendiri, ada perpecahan antara garis ideologi Partai dengan

kebijakan politiknya. Kelompok pertama memandang politik sebagai kompetisi untuk

memaksimalkan kekuatan, dan sumber daya yang harus diperoleh dengan cara dan

dengan aturan mereka sendiri. Sedangkan kelompok kedua memandang politik

sebagai kompetisi untuk mempengaruhi kebijakan publik, dan hal itu harus perlu

diperoleh sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Selanjutnya, di dalam kelompok yang

berorienetasi kekuasaan, ada orang-orang pragmatis yang memiliki hubungan dengan

14

Ibid., 176. 15

(7)

keluarga mantan Presiden Soeharto, militer dan pengusaha Tionghoa, dan mendorong

gagasan ke permukaan bahwa partai harus menjadi partai politik yang sekuler dan

terbuka. Ada juga kelompok reformis, yang secara politik lebih dekat dengan jaringan

aktivis gerakan demokrasi yang sebelumnya merobohkan rezim Suharto dan yang

menggerakan roda agenda politik PKS sejalan dengan agenda yang lebih luas di

Indonesia menuju demokratisasi. Pun sebaliknya, di antara kelompok penganut

orientasi kebijakan (policy oriented) ada beberapa orang ‘moderat’, yang

menganggap kebijakan politik hanya sebagai strategi jangka pendek yang dapat

ditolerir. Juga ada kelompok ‘radikal’ yang memandang politik murni sebagai perjuangan untuk mempengaruhi kebijakan; kelompok ini bersikeras bahwa aktivis

PKS pada prinsipnya adalah pendakwah bukan politisi.

Sementara itu, di dalam JT juga terdapat perbedaan pandangan antara kelompok

‘loyalis’ buta yang mendukung PKS, dan ada juga kelompok ‘kritikus’ yang mendukung PKS jikalau mengikuti prinsip-prinsip JT. Lebih lanjut, di dalam

kelompok ‘loyalis’ juga ada beberapa individu yang loyal kepada elit tertentu dikarenakan akses terhadap suatu hal atau karena resources yang di miliki para elit

tertentu itu atau karena alasan yang lebih pribadi lainnya, tetapi di lain kesempatan

mereka kritis terhadap pihak lain.

Ketegangan, friksi dan perpecahan ini sangat mengganggu dan meresahkan bagi

elit-elit JT dan PKS. Mereka sendiri bingung mencari solusi untuk mengatasinya.

Dua ide yang layak menjadi perhatian adalah; beberapa pihak menganggap masalah

tersebut merupakan akar perpecahan elit JT dan PKS. Kedua organisasi ini pada

dasarnya ibarat dua sisi mata uang yang sama dalam mengikuti semboyan Ikhwanul

Muslimin bahwa Partai adalah jamaah dan jamaah adalah partai (hizb hiya

al-jamaah, wa al jamaah hiya al-hizb). Akan tetapi, keduanya memiliki aturan dan

pola-pola perilaku yang saling bertentangan. JT mengikuti prinsip-prinsip Islam di bawah

bimbingan dari seorang pemimpin tertinggi (muraqib al-amm), di lain pihak PKS

harus mengikuti sistem politik Indonesia dalam ikut andil berkompetisi di bawah

komando Presiden Partai. Karena itu, JT dan PKS cenderung berpegang pada

(8)

adanya model kepemimpinan seharusnya disatukan, dan pemimpin tertinggi JT juga

harus mengasumsikan posisinya sebagai presiden partai PKS. Dengan cara seperti ini

maka akan ada satu baris komando di kedua lembaga tersebut sebagai satu kesatuan

jaringan organisasi, dan solusi ini akan meminimalisir perseteruan dan friksi.16

16

(9)

Kedua, muncul argumen lain berkaitan titik pengamatan yang sama. Dikatakan

bahwa akar dari ketegangan dan friksi antara JT dan PKS adalah ketidaksesuaian

antara dua organisasi satu sama lain: anggota JT yang informal mengikuti aturan

dasar internal mereka sendiri, sementara PKS adalah partai politik yang harus tunduk

pada aturan negara dan realitas politik. Berbeda dengan pandangan awal yang

mengusulkan bahwa kepemimpinan harus disatukan, pandangan kedua ini

menyarankan sebaiknya JT dan PKS harus dipisahkan secara struktur organisasi. JT

dipandang perlu untuk dilegal-formalkan sebagai organisasi sosial, terdaftar dan

terikat oleh peraturan negara. Dengan cara seperti ini, dua organisasi yang sebenarnya

terdiri dari kelompok yang sama dapat berjalan searah beriringan di ranah berbeda,

satu di ranah sosial dan yang lain politik, dan tidak perlu mengganggu atau saling

mengintervensi.17 Dengan kata lain, politisi PKS dapat melakukan pekerjaan politik pragmatisnya tanpa khawatir merasa diawasi JT.

1.2. Kajian kepustakaan

Peneliti dan para pengamat politik memiliki sikap berbeda terkait dinamika

internal PKS dan Jamaah Tarbiyah. Sebagian beranggapan bahwa dinamika saat ini

justru menjadi bukti kekuatan dan keunggulan Partai tersebut. Secara umum,

pemikiran kebijakan Partai biasanya digariskan oleh fungsionaris Partai dan

kadernya. Zulkieflimansyah, anggota Parlemen dari PKS, beberapa kali telah menulis

artikel mengenai hal tersebut. Dia dengan mengesankan berpendapat tentang

bagaimana kebijakan partai seharusnya, yang mana Partai merupakan evolusi dari

gerakan dakwah yang berusaha untuk mencapai tujuan yang lebih progresif dalam

kancah demokrasi di Indonesia tanpa kehilangan komitmen cita-cita moralnya. Yon

Machmudi, seorang akademikus dan pendiri PKS menjelaskan bahwa Jamaah

Tarbiyah dan PKS itu mewakili generasi baru politisi Muslim dan aktivis gerakan

sosial. Lanjutnya, hal tersebut tidak harus dibatasi oleh dikotomi gerakan moderat

dan radikal dalam gerakan politik Islam sebagaimana pendikotomian yang khas

selama era Orde Baru, rezim Orba sangatlah represif. JT dan PKS sendiri lebih

17

(10)

menitikberatkan pemurnian akidah (purification). JT memilih solusi dilematis misi

pemurnian akidah akan nilai-nilai Islam terhadap masyarakat dengan cara

mengakomodasi Islamisasi berkelanjutan dan sikap non-konfrontatif. Strategi ini

terbukti berhasil menarik pengikut dan simpatisan dari kalangan Muslim modernis

dan tradisional di Indonesia. Suatu pendekatan sebagaimana Machmudi katakan

belum pernah terjadi sebelumnya.18

Sebuah artikel yang beredar luas yang menggambarkan hipokrisi tersebut adalah

artikel Sadanand Dhume. Di dalam artikelnya, ia menggambarkan PKS sebagai partai

radikal yang aktif mempromosikan nilai-nilai Islamisasi politik di Indonesia.

Meskipun Dhume juga menilai PKS sebagai organisasi politik yang damai yang

bersedia untuk berpartisipasi dalam proses politik yang demokratis, tetapi ia meyakini

bahwa itu hanyalah topeng untuk menyembunyikan agenda politik sebenarnya. Dia

menulis sangat provokatif sebagai berikut:

meskipun gerakan sosialisasi Partai Keadilan, sedikit melenceng pemikirannya dari Jamaah Islamiyah, akan tetapi seperti halnya pemikiran Jamaah Islamiyah. Dalam manifesto pendiriannya, Partai Keadilan menyerukan berdirinya negara Islam. Seperti halnya Jamaah Islamiyah, ada rahasia disembunyikan yang difasilitasi oleh kedua kelompok yang secara struktural organisasi meniru dari gerakan Ikhwanul (Muslimin Mesir) yang mana sebagai induk organisasinya. Kedua kelompok organisasi tersebut menawarkan visi modern selektif, satu sisi ilmu pengetahuan dan teknologi global dipersilahkan, tetapi juga (penonjolan) nilai-nilai Islam dihindari. Kedua kelompok tersebut sangat berbeda, terutama dalam metode mereka: Jamaah Islamiyah revolusioner, sedangkan Partai Keadilan bertipikal evolusioner.19

Di kesempatan lain, ada pengamat yang mencoba untuk menangkap

kompleksitas dan paradoks secara lebih komprehensif. Martin van Bruinessen

18Lihat Zulkiflie a syah, O er o i g the Fear: pks a d the De o ratizatio , Jakarta Post De e er . Prospe t for the Justi e a d Prosperous Party (PKS) and Political Isla , usi do Ope Foru , Washi gto d. . Ju e . U dersta di g pks as Li i g E tity ithi I do esia s De o rati Spa e , Jakarta Post August . Yo Machmudi, Partai Keadilan Sejahtera: Wajah Baru Islam Politik Indonesia (Jakarta: Harakatuna, 2005).

19

(11)

menulis bahwa politisi PKS itu ‘kaum demokrat yang setengah-setengah dan mungkin menjadi kelompok berpengaruh di Indonesia untuk gerakan demokratisasi’

didasarkan pada kenyataan bahwa banyak dari juru bicara Partai yang percaya akan

konspirasi anti-Islam, anti-Zionis, anti-Barat, dan dikenal dalam memusuhi kaum

liberal dan Muslim sekuler. Pada saat yang sama, PKS;

adalah sebagian kecil kekuatan di arena politik yang begitu memiliki keseriusan supaya bisa berkontribusi pada demokratisasi bertahap Bangsa [Indonesia; penerjemah], karena keyakinannya terhadap partisipasi dalam sistem politik yang ada, dan dalam mengubah masyarakat melalui pendekatan individual yang persuasif daripada melalui pendekatan grabbing power [revolusi].20

Sebagaimana halnya yang ditulis Bubbalo dan Fealy bahwa PKS memiliki

beberapa sikap ambivalen terhadap Barat, ikut aktif dalam berbagai protes terhadap

Amerika yang selalu mendukung Israel dan invasinya ke Irak, dan juga cenderung

curiga terhadap agenda politik dari EU dan US, terutama terkait ‘perang melawan

teror’. Uniknya, banyak tokoh seniornya memperoleh pendidikan tinggi dari Barat dan sering pula mengunjungi Barat, dan kesadaran mereka tentang perkembangan

internasional mungkin lebih baik daripada elit-elit partai Islam Indonesia lainnya.21 Selanjutnya, Kees van Dijk juga memaparkan bahwa ambiguitas yang terlihat

dalam sikap politik PKS merupakan konsekuensi logis dari kompleksitas lingkungan

politik yang berubah-ubah di Indonesia. Kompleksitas ini telah menciptakan aliansi

asimetris antara aktor yang berbeda pandangan kancah politik, kemudian perilaku

ambigu dan dinamika internal di antara aktor-aktor politik mencari titik kompromi

tujuan ideologis mereka atas realitas politik yang ada. PKS merupakan partai khas

Indonesia dalam pola struktur dan perilaku.22

20

Martin van Bruinessen, Ge ealogies of Isla ic Radicalis i post-Soeharto

I do esia, Southeast Asian Research 10, no. 2 (2007), 117–154.

21A tho y Bu alo da Greg Fealy, Joi i g the Cara a ? The Middle East, Isla is a d I do esia , The Lowy Institute for International Policy paper 05 (Alexandria: Longueville, 2005).

22C. a Dijk, Differe t Setti gs, Differe t Defi

(12)

1.3. Catatan teoretis: Sebuah kegagalan atau Post-Islamisme?

Setiap upaya untuk memaparkan perkembangan dari suatu organisasi politik pasti

akan menghadapi setidaknya dua permasalahan dilematis. Pertama, dilema berkaitan

antara pendekatan dari sudut pandang rasional dan alamiah suatu organisasi. Sudut

pandang rasional mencoba memahami sebuah organisasi, utamanya, sebagai alat bagi

sekelompok orang untuk mencapai tujuan –satu set tujuan– tertentu yang telah

ditetapkan sebelumnya. Tentu saja deskripsi ini adalah definisi yang paling lumrah

dipakai untuk mendeskripsikan sebuah organisasi. Dalam arti, setiap perkembangan

dan dinamika dalam organisasi hanya dapat dijelaskan secara komperhensif berdasar

tujuan organisasi tersebut, karena setiap anggota organisasi harus bekerja sesuai

dengan spesifikasi tugas dan menurut pembagian beban kerja dari organisasi. Ini

berarti parameter untuk mengukur dan menilai perilaku setiap anggota dalam

dinamika suatu organisasi adalah tujuan organisasi itu sendiri, yang ditetapkan secara

a priori.

Sedangkan dilema kedua adalah sudut pandang alamiah dari keberadaan suatu

organisasi menyatakan bahwa dalam setiap organisasi, asalkan di situ ada beberapa

orang pasti ada tujuan-tujuan yang ingin dicapai. Akibatnya, tujuan sebenarnya dari

suatu organisasi tidak pernah ditetapkan secara a priori, melainkan secara a

posteriori berikut masalah-masalah insidental yang dihadapi oleh organisasi. Tentu

saja, tujuan jangka panjang telah ditetapkan sebelumnya, tetapi tujuan jangka panjang

itu sering kali disubordinasi atau dikompromikan dengan tujuan jangka pendek yang

lebih cepat digapai dan lebih mendesak. Di samping itu, adanya sejumlah tujuan yang

dikejar secara bersamaan oleh masing-masing anggota, menyiratkan tujuan

sebenarnya dari suatu organisasi tidak lain adalah lowest common denominator.

Tujuan utama yang semua anggota sepakati adalah kelangsungan hidup mati

organisasi. Oleh karena itu, pendekatan sisi alamiah berbeda dengan pendekatan

rasional yang bertitik tolak dari penetapan sebuah tujuan secara a priori sebagai tolak

ukur memotret perilaku setiap anggota dan dinamika organisasi. Sudut pandang

alamiah menempatkan setiap pola perilaku dan dinamika yang mampu menjamin

(13)

Dilematisme pendekatan yang kedua terkait antara sistem kolektif the (collective

system) dan sistem insentif selektif (selective system of incentives). Perihal pertama

menyatakan bahwa suatu sistem insentif kolektif organisasi politik itu memberi dan

mendistribusikan segala sesuatu kepada setiap anggotanya dengan proporsi sama,

karena hal paling mendasar ini merupakan suatu identitas dan bentuk solidaritas.

Sementara itu, perihal yang terakhir memberi penjelasan dalam memahami organisasi

sebagai arena setiap individu untuk mengejar kepentingan pribadi masing-masing.

Oleh karena itu, masing-masing anggota akan menerima reward yang berbeda sesuai

dengan sumbangsih masing-masing, usaha dan capaiannya. Sebagaimana halnya

keberadaan politik merupakan wadah kolektif dan tidak dimiliki oleh kelompok

tertentu akan tetapi terbuka untuk semua orang. Maka, organisasi politik juga

memberi insentif kolektif untuk masing-masing anggotanya. Hal ini bisa menjelaskan

terkait mengapa orang ikut bergabung dan berpartisipasi dalam organisasi politik

tanpa dibayar atau menerima imbalan materi lainnya. Perspektif ini menjelaskan

mengapa dalam organisasi politik sebagaimana organisasi-organisasi bersifat sukarela

pada umumnya, yaitu suatu organisasi yang mana orang-orang yang berpartisipasi di

dalamnya bukan karena dibayar atau dipaksa. Lebih lanjut, setiap anggota akan selalu

bersaing untuk meguasai kontrol organisasi, kekuatan, dan sumber daya dikarenakan

setiap kedudukan yang berbeda dalam organisasi akan memberikan wewenang yang

berbeda pula, yang mana hal tersebut mengharuskan setiap orang atas segenap

sumbangsihnya.23

Beranjak dari perspektif ini, ketegangan dan friksi di dalam dan di antara orang

JT dan PKS adalah bagian dari proses wajar suatu perjalanan organisasi yang ingin

bertahan di lingkungan politik yang berubah-ubah dengan cepat. Pun begitu,

perkembangan tersebut menarik dicermati, mengingat munculnya perdebatan saat ini

tentang politik berbasis Islam. Dua teori yang relevan pada saat ini adalah teori yang

dikemukakan oleh tesis Oliver Roy berkaitan kegagalan gerakan Islam politik, dan

gagasan Asef Bayat tentang post-Islamisme. Roy mengembangkan penelitiannnya

23

(14)

tentang politik berbasis Islam berangkat dari apa yang terjadi di Afghanistan. Dia

berpendapat bahwa politik berbasis Islam telah gagal mencapai tujuannya guna

membangun sistem kehidupan bercorak Islami yang komprehensif, termasuk

masyarakat Islami dan negara Islam tentu saja. Menurutnya, kegagalan mencapai misi

untuk membangun sistem kehidupan Islami secara menyeluruh, yang di dalamnya

terkandung juga masyarakat Islam dan juga negara Islam, baginya, kegagalan itu

disebabkan tidak adanya kejelasan konsep ideologi dan politiknya, para pendukung

Islam politik meyakini bahwa masyarakat Islam yang benar hanya dapat dibangun di

dalam negara Islam, yang akan menjamin berlaku dan tegaknnya nilai-nilai Islam.

Kenyataan di sisi lain, sebuah negara Islam sejati hanya dapat didirikan jika para

politisi menegakkan dan memberlakukan prinsip-prinsip Islami bagi masyarakatnya,

maksudnya bagi seluruh masyarakatnya. Ketidakmampuan memecahkan lingkaran

permasalahan tersebut membuat mereka meninggalkan ide menciptakan negara Islam

dan terpaksa beralih mempromosikan Islam yang hanya berkaitan norma-norma

Islami yang berhubungan tindak laku individu.24

Sementara itu, Asef Bayat dengan mendasarkan pengamatannya atas Revolusi

Iran mendapati sebuah masa depan yang berbeda dari gerakan Islam politik yang dia

sebut ‘post-Islamisme’. Dia menjelaskan, setelah melewati masa percobaan politik dalam mendirikan suatu sistem kehidupan Islami yang komprehensif, politik Islam

seperti kelelahan oleh kontradiksi-kontradiksi internal dan tekanan eksternal. Namun,

dalam pengamatan Bayat tersebut, gerakan Islam politik itu bukannya runtuh atau

menyerah untuk menggapai tujuannya, melainkan gerakan itu tumbuh kembang

menjadi terbarukan dan lebih terbuka dengan beradaptasi dengan lingkungannya,

menerima kritik dan pertanyaan yang diarahkan kepadanya seperti halnya tumbuh

kembang demokrasi, hak asasi manusia, kesetaraan gender, pluralisme agama dan

sebagainya, sebagai bagian dari tujuan yang terbarukan.25

24

Oliver Roy, The Failure of Political Islam (Harvard: Harvard University Press, 1994), 60–68.

25Asef Bayat, What Is Post

(15)

Penelitian di sini juga mendapati sesuatu sebagaimana fakta yang didapati dalam

tesis Roy. JT dan PKS terjebak oleh agenda yang menyelimuti mereka, yaitu

islamisasi masyarakat dan negara Indonesia. Meskipun di atas kertas, agenda

islamisasi bertahap Ikhwanul Muslimin yang diadopsi oleh JT dan PKS tampaknya

memberi jalan untuk keluar dari lingkaran setan. Akan tetapi, pada kenyataannya

lingkaran tersebut masih membelenggu karena cacatnya konsep masih saja ada.

Sebagai misal bahwa hal tersebut memang terjadi, yaitu ketika anggota JT dan PKS

memutuskan sejauh mana fase islamisasi mereka dikatakan berjalan sukses. Banyak

dari mereka percaya bahwa mereka telah menyelesaikan islamisasi masyarakat dan

sekarang beranjak ke islamisasi sistem politik. Akan tetapi, ada beberapa orang

meyakini bahwa gerakan mereka masih sejauh tahap islamisasi masyarakat, dan

belum siap untuk melakukan islamisasi negara. Karena mereka semua percaya bahwa

untuk setiap fase dari islamisasi ada prioritas yang berbeda dan strategi yang berbeda

serta komposisi kepemimpinan yang berbeda pula. Juga adanya ketegangan dan friksi

yang muncul dalam dan antara JT dan PKS ketika mereka berseberangan tentang

mana prioritas yang seharusnya didahulukan, strategi yang harus dilakukan, dan siapa

yang harus menanggung biayanya. Dan ketika uang dan kekuasaan ikut terlibat,

konflik dan konfrontasi antar sesamanya tak terelakkan. Namun, sebagaimana yang

Bayat telah amati, JT dan PKS telah melakukan evolusi sedemikian rupa dalam hal

peningkatan kualitatifnya, yaitu dengan beradaptasi ke dalam sistem politik

demokrasi, dan mengadopsi ide-ide baru dan program-progran yang sebelumnya

asing bagi mereka ke dalam gerakan mereka.

2. Sejarah perkembangan dan pengaturan kelembagaan

Bagian ini berkaitan dengan sejarah perkembangan JT dan PKS,sejak mulai

berdirinya hingga ke fase kontemporer sekarang ini. Fokusnya menitikberatkan pada

interaksi antara tiga faktor: (i) ide dan cita-citanya yang diadopsi dari Ikhwanul

Muslimin Mesir, (ii) sejarah dan jejak dari aktivitas politik berbasis Islamnya di

(16)

kompetisi politik. Ketiga faktor ini akan menunjukkan bagaimana JT begitu khas

Indonesia dalam karakter, dan perlunya melihat dalam konteks JT sendiri.

Di antara keunikan karakteristiknya, JT tidak pernah secara terbuka menyatakan

dirinya menjadi bagian dari cabang Ikhwanul Muslimin Mesir dan tidak pernah

mengungkapkan mekanisme hubungan dengan institusi pusatnya di Mesir. Hal

tersebut berakibat munculnya beberapa interpretasi yang berbeda di antara para

pengamat, juga di antara para anggotanya sendiri. JT tidak seperti organisasi

transnasional berbasis Islam lainnya seperti Hizbut Tahrir, Ahmadiyah, atau Jamaah

Tabligh yang secara terbuka menyatakan status diri mereka. Akibatnya, orang-orang

yang bergabung dengan organisasi-organisasi itu tahu bahwa mereka adalah bagian

dari jaringan internasional dan di bawah naungan komando mereka di luar negeri.

Meskipun di antara pemimpin tertinggi JT ini jelas menunjukan gelagat bahwa

organisasi mereka adalah cabang dari Ikhwanul Muslimin Mesir dan memiliki ikatan

dengan AD/ART organisasi induknya, tapi kondisi ini tidak begitu disadari oleh

aktivis JT dan anggota yang lebih rendah secara hirarkis. Banyak dari mereka

menganggap JT merupakan organisasi Islam dalam negeri, atau hanya sebuah

organisasi yang terinspirasi oleh Ikhwanul Muslimin Mesir.

2.1. Sejarah pendirian

Sejarah JT dimulai ketika empat sarjana, yaitu Hilmy Aminuddin, Salim Segaf

al-Jufri, Abdullah Baharmus, Encep Abdusyukur, pulang ke tanah air dari menimba

ilmu di Timur Tengah dan mendirikan sebuah organisasi yang didedikasikan untuk

propagasi Islam (dakwah) dengan mengadopsi model organisasi PIkhwanul Muslimin

Mesir, termasuk struktur organisasi, metode pengkaderan dan pelatihannya. Mereka

menggunakan metode kelompok-kelompok kecil terpisah, setiap mentor merekrut,

melatih, dan mengawasi 5 hingga10 kader, dan masing-masing kader hanya tahu satu

sama lain dalam kelompoknya saja, mereka tidak mengenal kader dari kelompok

lain.26

26

(17)

Semula, di bawah kepemimpinan Salim Segaf Al-Jufri, JT merekrut anggota

hanya dari kalangan tertentu. Mereka menargetkan kader yang fasih berbahasa Arab

dan berpengetahuan luas dalam bidang ilmu agama. Oleh karena itu, jumlah anggota

mereka tetap terbatas dan hanya kelompok kecil. Lalu, ketika Salim Segaf pergi

untuk melanjutkan studi di Arab Saudi, pimpinan organisasi diserahkan kepada

Hilmy Aminuddin. Bertolak belakang dengan Salim Segaf, Hilmy Aminuddin

memutuskan untuk melonggarkan persyaratan rekrutmen dan menargetkan para

mahasiswa dari universitas-universitas sekuler. Dengan metode seperti ini, JT

berhasil merekrut anggota baru dan memperluas cabang ke berbagai kota besar di

seluruh negeri.27

Pada dekade 1980-an, JT telah mendirikan lembaga-lembaga di kota-kota besar.

Mereka membentuk jaringan kelembagaan bernama Nurul Fikri, yaitu pendampingan

kelompok belajar untuk siswa SMA dalam pembelajaran, akan tetapi pendampingan

juga dimanfaatkan oleh para aktivis JT untuk merekrut kader Sabili. Mereka juga

menerbitkan sebuah majalah Khairul Ummah, yang mempromosikan ajaran-ajaran

Islam kepada masyarakat, terutama untuk kaum muda yang dipimpin oleh Rahmat

Abdullah. Mereka juga mendirikan sebuah pesantren yang dipimpin oleh Abdul

Hasib Hasan, dan juga menciptakan ‘kajian dan informasi terkait dunia Islam

kontemporer’, sebuah kelompok studi untuk berbagi informasi tentang politik internasional dan konflik, terutama di Palestina dan Afghanistan, yang dipimpin oleh

Abu Ridho dan Almuzammil Yusuf.28

Selama dekade 1990-an, JT telah memiliki jaringan yang mapan di banyak

universitas kota-kota besar di seluruh Indonesia dan mulai mengambil alih organisasi

Nada Sa i , Ca A y Good Co e of Radi al Isla ? , Opi i Majalah, Septe er . Peneliti lainnya mengatakan bahwa metode mengacu pada tradisi Sufi yang mana Hasan al-Banna merupakan salah satu anggotanya. Lihat Ibrahim M. Abu Rabi, Intellectual Origins of Islamic Resurgence in the Modern Arab (Albany: State University of New York Press, 1996), 67.

27

Arief Munandar, Antara Jemaah Dan Partai Politik: Dinamika Habitus Kader Partai Keadilan Sejahtera (pks) Dalam Arena Politik Indonesia Pasca Pemilu 2004, Disertasi untuk memperoleh PhD, The University of Indonesia, 246.

28

(18)

intra kampus dan ekstra kampus mahasiswa. Mulai dari Universitas Sumatera Utara

di Medan, Sumatera Utara, Universitas Indonesia di Jakarta, Institut Pertanian Bogor

di Bogor, Institut Teknologi Bandung di Bandung, Universitas Gadjah Mada di

Yogyakarta, Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya dan Universitas

Brawijaya di Malang, hingga sampai ke Universitas Hassanuddin di Makassar

Sulawesi Selatan, puncak pimpinan dan aktivis di setiap kegiatan kampus itu adalah

kader-kader JT.

Saat terjadi krisis menjelang perubahan rezim di pertengahan 1990-an, ketika

aktivitas gerakan politik berbasis Islam di bawah payung ICMI (Ikatan Cendekiawan

Muslim Indonesia)29 aktif dalam memobilisasi isu dan dukungan, mahasiswa jaringan JT mendirikan KAMMI yang difasilitasi oleh ICMI, dan dipimpin oleh Fahri

Hamzah. Selanjutnya, organisasi inilah yang menyuplai banyak elit dalam organisasi

JT dan PKS. Ketika Soeharto akhirnya mundur dan pemerintahan demokratis yang

baru dibentuk lalu diikuti dengan keterbukaan sistem politik, para aktivis JT

mendiskusikan apakah mereka harus mengambil kesempatan untuk berpartisipasi

dalam kompetisi untuk meraih kekuasaan. Opini mereka pun terpecah di antara para

elit JT sehingga mereka memutuskan untuk mengadakan voting. Lebih dari 6.000

kuesioner yang dibagikan kepada kader mereka dengan tiga pilihan, yaitu: (i)

bergabung dalam kompetisi politik dengan cara mendirikan partai politik, (ii)

bergabung dengan kelompok lain yang mendirikan partai politik, atau bergerak di

wilayah publik tetapi di wilayah non-politik. Lima puluh enam persen dari kuisioner

yang kembali dari responden memilih opsi pertama.

Lantas, sebuah partai politik yang dinamai Partai Keadilan didirikan pada tahun

1998. Partai Keadilan pada pemilu 1999 hanya mampu mendulang 1,7 persen suara

secara nasional dan gagal memenuhi electoral threshold disyaratkan oleh

Undang-Undang guna memungkinkan mereka untuk berpartisipasi kembali dalam pemilu

berikutnya. Hanya dengan tujuh kursi di Parlemen, PKS memutuskan untuk

29

(19)

berkoalisi dengan PAN di bawah pimpinan Amien Rais untuk menggolkan

amandemen baru Konstitusi guna mencegah Militer kembali berkuasa

Selama rezim Presiden Abdurrahman Wahid yang singkat, PK menerima satu

pos Kementerian (kehutanan), tapi hal ini tidak berlangsung lama karena Menteri dari

PK dicopot oleh Gus Dur yang berkeinginan menangkap dan menyeret ke meja hijau

para pengusaha kuat yang tersangkut pembalakan liar, pencopotan ini dilakukan

karena takut pembalasan politik oleh jaringan bisnis para cukong pembalakan. Di

bawah rezim Megawati, Presiden menawarkan pos kementerian lain kepada PK, akan

tetapi partai tersebut menolak dengan alasan Partai menolak keberadaan presiden

perempuan, dan Megawati dianggap sebagai Presiden yang didukung oleh politisi

sekuler dan Kristen.

Untuk dapat melanjutkan partisipasinya dalam kancah politik, JT membutuhkan

pendirian partai politik baru. Hal itu dilakukan pada tahun 2003 dan mendirikan

Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang sebenarnya juga menggunakan jaringan

organisasi PK dan kepemimpinan sebelumnya. Pada Pemilu 2004, PKS mengejutkan

sekali dengan raihan suara tiga kali lipat dari Pemilu sebelumya, sebesar 7,3 persen,

dan mendapatkan 45 kursi di Parlemen. Sebagai imbalan atas dukungan PKS dalam

pencalonan Presiden, Susilo Bambang Yudhoyono memberikan tiga pos kementerian,

yaitu Kementrian Perumahan, Pertanian, dan Pemuda dan Olahraga. Pada Pemilu

2009, PKS mendulang 7,8 persen suara nasional dan berhak atas 57 kursi di

Parlemen, dan menjadi partai politik berbasis Islam paling dominan. Pencapaian

tersebut juga menerima empat pos Kementerian di Kabinet, yaitu Kementrian Riset

dan Teknologi, Pertanian, Informasi dan Komunikasi, dan Sosial. Menariknya,

meskipun persentase meningkat, suara yang didulang partai menurun, dari 8.325.020

suara pada tahun 2004 menjadi 8.206.955 pada tahun 2009.

2.2. Sejarah panjang gerakan politik berbasis Islam di Indonesia

Bagaimanapun observasi lebih dekat mengungkapkan bahwa sejarah JT tidak dimulai

dari sejak berdirinya, dan sejarahnya tidak muncul dengan hitam di atas putih. Ketika

(20)

dan organisasi yang mencakup seluruh kota-kota besar di negeri ini, dan terutama di

kalangan akademisi muda. Jaringan tersebut menyelenggarakan perekrutan dan

pelatihan secara reguler bagi para aktivisnya, dan juga membuat pusat-pusat kajian

yang didirikan di (atau di seputaran) masjid kampus di berbagai kota seperti Jakarta,

Bogor, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Malang, Palembang, Lampung, Padang, dan

Makassar.30

Kembali pada era 1968, Jaringan aktivis ini ketika masih dikenal DDII

menyelenggarakan apa yang disebut Latihan Mujahid Dakwah di Jakarta untuk

aktivis muda Muslim. Tokoh populer yang terlibat dalam pelatihan ini termasuk di

antaranya mantan politisi Masyumi seperti Natsir, Roem, dan mantan Menteri Agama

Mukti Ali, sedangkan para pesertanya di antaranya Imaduddin Abdurrahim, Amien

Rais, Kutowijoyo, Abu Ridho dan Mashadi. Dua nama terakhir kemudian menjadi

aktivis senior JT.31

Sejak tahun 1974 dan berikutnya, alumni LMD mulai menyebar ke berbagai

kampus, ada dua kampus yang mana aktifitas mereka sangat menonjol, pertama di

masjid Salman32 di Institut Teknologi Bandung (ITB) di mana Imaduddin

Abdurrahim mengadakan serangkaian acara yang dikenal dengan Pelatihan Hidup

Islami (LHI) guna mempromosikan cara-cara hidup Islami di kalangan mahasiswa

dan masyarakat. Kedua, aktivitas mereka di masjid Salahuddin Universitas Gadjah

Mada Yogyakarata yang digawangi oleh Amien Rais. Di masjid ini mereka

mendirikan sebuah komunitas Salahuddin33 yang rutin menyelenggarakan ceramah dan diskusi tentang Islam. Berangkat dari dua lembaga ini, generasi muda aktivis

dakwah lahir yang kemudian menjadi para pemimpin JT, seperti Hidayat Nur Wahid,

30

A.M Luthfi, 'Gerakan Dakwah di Indonesia', dalam Jimly Ashidiqy dkk, Bang Imad:. Pemikiran Dan Gerakan Dakwahnya (Solo: Gema Insani Press, 2002), 158-166.

31

Ibid.

32

Yang dikehendaki dengan nama masjid tersebut adalah Salman Al-Farisi, sahabat Nabi Muhammad yang dianggap sebagai ahli strategi militer terbaiknya.

33

(21)

Mutamimul Ula, Untung Wahono, Tifatul Sembiring, Tjahjadi Takariawan, di antara

yang cukup menonjol di antara yang lain.34

3.3. Susunan institusi dalam menghadapi kompetisi politik

Faktor lain yang berkontribusi atas keunikan dari sejarah perkembangan JT adalah

institusi politiknya yang tunduk pada regulasi kompetisi politik di Indonesia dalam

lima tahun terakhir. Institusi kelembagaan mereka dicirikan dengan segitiga

antagonisme yang rumit dan aliansi di antara rezim Suharto, militer dan politik

berbasis Islam.

Pertama, para pemimpin lembaga-lembaga berbasis Islam menghadapi penolakan

secara institusional oleh rezim Orde Baru yang baru saja didirikan pada pertengahan

1960-an ketika bermaksud menghidupkan kembali partai Masyumi yang telah

dilarang berserta pencekalan para pemimpin eks Masyumi untuk terlibat aktivitas

politik. Dalam situasi seperti ini, rezim Soeharto yang ditopang militer dan gerakan

politik berbasis Islam lainnya merupakan pihak yang memerankan peran antagonis.

Penolakan oleh pemerintah tersebut memaksa gerakan politik berbasis Islam tadi

untuk memecah sumber daya mereka; satu sisi, mereka mengandalkan politisi muda

untuk terlibat dalam kompetisi politik melalui partai Parmusi yang baru dibentuk. Di

sisi lain, mantan politisi Masyumi menciptakan gerakan non-politik, yaitu Dewan

Dakwah Islam Indonesia (DDII). Langkah ini merupakan awal mula DDII

menggabungkan dakwah dan aktivitas politik secara kesinambungan dan sekaligus

mempromosikannya di kalangan mahasiswa sekuler.

Kedua, pengaturan institusi ketatanegaraan sebagaimana menurut UU No. 3/1975

telah memaksa semua gerakan politik berbasis Islam dan pelaku politik berbasis

Islam harus berfusi menjadi satu partai bernama Partai Persatuan Pembangunan

(PPP). Sedangkan kelompok lainnya disatukan ke dalam Partai Demokrasi Indonesia

(PDI). Dalam kondisi seperti ini, karakter antagonis layak disematkan kepada rezim

Soeharto dan gerakan politik berbasis Islam dan partai politik lainnya. Di dalam

tubuh militer pun mengalami keretakan internal antara yang pro Soeharto dan yang

34

(22)

kontra, menjadi kelompok terpinggirkan. Sementara itu, keruwetan semakin

meningkat di dalam internal gerakan politik berbasis Islam karena adanya fusi dua

kutub kelompok Islam dalam satu partai, kaum tradisionalis dan kelompok modernis.

Ujian politik berbasis Islam sendiri meledak di pertengahan 1970-an yang

menjadikan mahasiswa menjadi pusat perhatian karena terlibat dalam kerusuhan di

Jakarta pada bulan Januari 1974. Peristiwa tersebut mendesak rezim Orde Baru

bereaksi dengan mengeluarkan SK No.0156/U/1978 yang melarang mahasiswa

terlibat dalam kegiatan politik. Kebijakan tersebut jamak dikenal sebagai

“Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Keahasiswaan (NKK/BKK), diterbitkan pada Mei 1978. Kebijakan tersebut berhasil menekan gerakan politik

mahasiswa. Pun begitu, alih-alih mematahkan semangat mahasiswa, justru kebijakan

ini lebih mengintensifkan radikalisme gerakan politik mahasiswa. Pada

kenyataannya, kebijakan tersebut telah mematangkan gairah politik anggota-anggota

senior JT dan PKS selama akhir 1970-an dan awal 1980-an.35

Ketiga, pengaturan kelembagaan sebagaimana perampingan sistem multi partai

adalah langkah politis rezim Orba untuk membatasi ruang gerak para mantan

pemberontak Darul Islam dengan dalih tangkal kembalinya komunis.36 Jaringan Dakwah Islam (DI) dihidupkan kembali oleh rezim yang kemudian menciptakan

hubungan ambigu terhadap rezim. Keberadaan DI menjadi ‘kembaran jahat’ bagi

gerakan politik berbasis Islam. Hilmy Aminuddin adalah salah satu anak elit

pemimpin tingginya, Danu Mohammad Hassan, yang juga termasuk di antara yang

ada di tahanan. Dia meringkuk selama tiga tahun dalam tahanan militer dan kemudian

dibebaskan tanpa jaminan. Periode ini merupakan periode gelap bagi JT-PKS dalam

35

Adam Johnson and Jonathan Paris, editor, The Politics of Post Suharto Indonesia,

Council of Foreign Relations, New York, 1999, hlm. 33–35. Lihat juga Damien Kingsbury,

The Politics of Indonesia, Oxford University Press, Oxford, 2002, hlm. 84–86. 36

(23)

lembaran sejarahnya karena begitu banyak aktivis berbasis Islam (termasuk Hilmy)

dituduh dan dikooptasi oleh militer atau Badan Intelijen Negara. JT-PKS menolak

tuduhan itu dengan menunjuk pada fakta dengan bukti dilepaskannya Hilmy tanpa

jaminan.37

Keempat, susunan kelembagaan berkaitan politik yang jamak dikenal sebagai

lima paket Undang-Undang, salah satunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985

menetetapkan kewajiban mengadopsi ideologi negara, Pancasila sebagai satu-satunya

dasar untuk semua organisasi. Peraturan tersebut membuat konstelasi politik semakin

kompleks. Di satu sisi, ada pertentangan antara rezim Pemerintah dengan gerakan

politik berbasis Islam. Dan di sisi yang lain, rezim Pemerintah juga berseberangan

pandangan dengan sekelompok pensiunan Jenderal, mantan politisi Masyumi, dan

juga para aktivis sosial, sebagaimana yang dikenal dengan istilah ‘Petisi 50’. Pada

sudut yang lain pula, militer mengalami perpecahan lebih lanjut antara loyalis

Soeharto di bawah Wakil Presiden Letnan Jenderal Sudharmono dan tentara

profesional di bawah Panglima Jenderal Benny Moerdani yang tidak menyukai sepak

terjang bisnis keluarga Soeharto.38 Kewajiban mengadopsi Pancasila sebagai

satu-satunya ideologi telah mengintensifkan tensi gerakan radikal di kalangan organisasi

berbasis Islam. Memang, banyak dari mereka memilih bergerak underground,

mengabaikan Undang-Undang tersebut dan lebih memilih status illegal, termasuk di

antaranya Mahasiswa Islam Indonesia (PII)39 dan salah satu faksi dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang populer disebut ‘Faksi MPO’. Banyak aktivis

organisasi klandestin berbasis Islam di kemudian hari bergabung dengan JT, dan

37

Yon Machmudi, Islamising Indonesia: The Rise of Jemaah Tarbiyah and The Prosperous Justice Party (Canberra: anu e Press, 2008), 93–94.

38

Jun Honna, Militar Ideolog i Respo se to De ocratic Pressure duri g the Late

Suharto Era: Political and Institutional Contexts, I do esia , –126. 39

(24)

kemudian hari dengan PKS. Di antaranya adalah Mutamimul Ula (mantan Ketua

Umum PII), Tamsil Linrung dan Nur Sanita Nasution (HMI-MPO).

Kelima, susunan kelembagaan telah menciptakan sour relations antara Suharto

dengan militer. Hubungan tidak harmonis tersebut mendorong sang mantan Presiden

untuk membangun aliansi dengan gerakan politik berbasis Islam. Skema tersebut

telah menciptakan sebuah platform perpolitikan baru dan rumit atas konstelasi politik,

di mana setiap kubu mengalami kedisharmonisan di dalam internal masing-masing.

Gerakan politik berbasis Islam pun terbelah ke dua arah, yaitu antara pro dan

anti-Soeharto, dan antara pro dan anti demokrasi. Dalam tubuh militer pun juga terbelah

ke dua arah, pertama adalah kubu militer berhaluan Islam (tentara hijau) dan para

angkatan tentara yang berhaluan sekuler (tentara merah) dan faksi Kristen. Di antara

mereka juga ada yang anti dan pro demokrasi pula, kondisi yang kompleks. Situasi

seperti itu telah memberikan para politisi PKS pengalaman dasar bahwa politik tidak

pernah simpel dan hitam-putih sebagaimana yang dipahami oleh anggota JT. Pada

kenyataannya, sejak saat itulah para politisi PKS dan gerakan politik berbasis Islam

lainnya belajar akan strategi aliansi berdasarkan kepentingan politik yang sama,

mengesampingkan ideologi politik, kemudian membentuk faksi-faksi politik yang

cenderung pragmatis.40

3. Ideologi, organisasi, faksionalisme

Bagian ini akan membahas struktural internal JT dan PKS, serta hubungan antara

keduanya, baik dari segi organisasi ataupun kepemimpinan. Pada prinsipnya, dua

organisasi ini ibarat dua sisi mata uang, mengikuti prinsip Ikhwanul Muslimin,

‘masyarakat adalah partai, dan partai adalah masyarakat’. Bagaimanapun, semenjak dua organisasi ini bergerak di ranah yang berbeda; satu organisasi di ranah sosial dan

yang lain di ranah politik serta tunduk pada aturan hukum yang berbeda, keduanya

telah berkembang menuju kutub yang berjauhan pula karena adanya peraturan dan

prosedur, yang kadang-kadang saling bertabrakan satu sama lain: JT adalah

40 R. Willia Liddle, The Isla ic Tur i I do esia: A Political E pla atio

(25)

organisasi sosial keagamaan yang tunduk pada prinsip-prinsip etika dan spiritualisme,

sementara PKS terlibat dalam kompetisi perebutan kekuasaan politik dan sebagian

besar bergerak di program yang berkaitan pencapaian dan akuntabilitas program.

Konsekuensinya adalah terjadinya clash di antara keduanya.

3.1. Islamisasi politik secara bertahap

Sebagai anak cabang dari Ikhwanul Muslimin Mesir, JT juga mengadopsi ideologi,

program politik dan bentuk struktur organisasi. Secara ideologis, JT meniru

pendekatan ‘Islamisasi bertahap’ mereka juga, bergerak secara bertahap dari islamisasi individu, keluarga, masyarakat kemudian islamisasi negara.41 Bagi aktivis JT, program evolusiner ini bukan saja dianggap ideal, tetapi juga masuk akal jika

mengikuti logika pembangunan sosial, islamisasi individu akan lebih mudah untuk

bergerak ke arah menanamkan nilai-nilai Islam ke dalam keluarga sebagai unit

terkecil masyarakat. Sekali saja keluarga hidup sesuai ajaran Islam, maka masyarakat

akan bergerak dengan sendirinya untuk menegakkan nilai-nilai dan budaya Islam.

Akhirnya, jika norma-norma Islam menjadi norma masyarakat, maka kemunculan

sistem politik Islam hanya masalah waktu.42

Metode Islamisasi bertahap ini merepresentasikan gerakan moderat Ikhwanul

Muslimin yang merupakan gerakan damai berbasis Islam, tentu tidak dapat dikaitkan

dengan gerakan radikal dan organisasi berbasis Islam lainnya. Para aktivis JT selalu

mengajukan argumentasi ini. Sebagaimana diketahui bahwa Ikhwanul Muslimin terus

dicap dan dianggap oleh media-media Asing dan media-media dalam negeri sebagai

gerakan radikal dan revolusioner. Implikasi secara implisit jika JT dan PKS sebagai

41

Konsep awal dari reformasi bertahap (islah) merupakan dari pendiri Ikhwanul Muslimin Hassan Banna dengan urutan sebagai berikut: reformasi individu (islah al-nafs), reformasi keluarga Muslim (islah al-bait al-Muslim), reformasi masyarakat (islah al-mujtama' ), kemerdekaan nasional (tahrir al-wathan), reformasi pemerintah (islah al-hukumah).Lantasmendapatkan perhatian internasional kemudian melakukan ekspansi internasional. Lihat Fathi Yakan, Revolusi Hassan Al-Banna: Dari Sayyid Qutub hingga Rasyid Al-Ganusyi, penerjemah Fauzun Jamal dan Alimin (Bandung: Harakah, 2002), 12– 13.

42

(26)

anak cabangnya adalah kecenderungan mengikuti metode yang sama pula.

Selanjutnya, dalam konteks gerakan berbasis Islam Indonesia, program Islamisasi

bertahap Ikhwanul Muslimin mencontohkan terobosan yang mentransendensikan

wajah antagonisme serta kegagalan gerakan radikal sebagaimana yang dilakukan

laskar jihad atau FPI, ataupun gerakan secara akomodatif seperti Muhammadiyah dan

NU. Ini adalah tren baru kalangan umat Islam Indonesia yang telah melahirkan wajah

baru santri.43 Abdi Sumaithi alias Abu Ridho menjelaskan bahwa langkah bertahap seperti ini adalah metode dakwah Islam yang dilakukan oleh Nabi Muhammad. Dia

mulai dengan mengajak individu untuk mengikuti Islam, kemudian menanamkan

nilai-nilai dan perilaku Islam melalui keluarga, yang kemudian akan menjalar pada

islamisasi struktur sosial dan adat istiadat. Setelah Islam menjadi kerangka

masyarakat, Nabi akan membangun sistem politik dan negara, yang akan diikuti oleh

ekspansi internasionalisasi Islam ke negara-negara lain.44

Ciri khas ideologi lain Ikhwanul Muslimin yang juga diadopsi oleh JT adalah

rasa simpati dan antusiasme terhadap konflik-konflik internasional yang melibatkan

umat Islam, khususnya konflik Palestina. Kejadian-kejadian tersebut ikut memberi

andil atas sikap para kader JT. Pertama, hal tersebut memberi landasan ideologis

untuk JT, sebagai bagian dari jaringan Ikhwanul Muslimin yang berjuang untuk Islam

dan umat Islam, dan untuk memerangi musuh-musuh Islam terutama orang-orang

Yahudi. Dalam keyakinan mereka, orang-orang Yahudi selalu menimbulkan masalah

bagi umat Islam dan mereka takut dan benci terhadap keunggulan umat Islam. Pun,

juga sebagai pihak yang terlibat dalam pelengseran semua dinasti-dinasti besar Islam

besar. Dari peristiwa penaklukan Dinasti Umayyah oleh Mongol serta dinasti

Ottoman oleh Atatürk.45 Kedua, isu-isu internasional tersebut sangat menjual dalam menarik anggota baru, khususnya kalangan mahasiswa. Ketiga, hal itu merupakan isu

yang begitu menarik perhatian dan simpati publik.

43

Wawancara dengan Yon Machmudi, a pks founder and lecturer at the University of Indonesia.

44

Wawancara dengan Abu Ridho, Jakarta. 45

(27)

Selain program dakwah bertahap tersebut, JT juga mengadopsi strategi politik

secara evolusioner, yang dikenal sebagai ‘tahapan dakwah’: tahap pertama adalah

‘dasar’ (tanzim), yang mana aktivis JT mulai mengekplorasi program-program Islam politik dan melakukan penelitian sosial-politik di lingkungan masing-masing. Kedua,

sosialisasi (sha'bi) di mana para kader mulai bersosialisasi tentang program-program

politik, serta merekrut dan melatih anggota lainnya. Ketiga adalah menempatkan

semua sumber daya manusia mereka (mu'assasi) dengan cara mendorong para

anggota JT untuk mengejar karir mereka di berbagai pekerjaan professional (publik,

swasta dan sukarela), memanfaatkan jaringan alumni dari universitas-universitas

ternama dalam mencapai posisi-posisi sesuai bidang masing-masing guna merebut

mengambil sumber daya itu untuk mendukung program-program JT.46

Para aktivis JT percaya bahwa tahap pertama dan kedua sudah dilewati selama

dekade 1980 ketika organisasi masih melakukan aktifitasnya secara underground

dalam menyusun strategi, perekrutan serta pelatihan anggota dan aktivis. Tahap

ketiga dilalui selama dekade 1990-an. Lantas, ketika suasana politik telah

mendukung, mereka mulai go public, memasuki berbagai lembaga. Di kesempatan

yang sama pula, karir para anggota mereka juga melesat di berbagai bidang pekerjaan

profesional. Akhirnya, fase keempat dicapai pada tahun 1998 ketika mereka

mendirikan partai politik dan ikut serta dalam pemilu, menguasai birokrasi

pemerintahan dan membuat kebijakan publik .47

3.2. Isu kunci arah perjuangan

3.2.1 Negara Islam

PKS mengikuti cara Ikhwanul Muslimin Mesir, tidak memiliki blue prints spesifik

terkait bentuk negara atau sistem politik yang seharusnya. Hal ini berbeda dengan

Hizbut Tahrir yang berusaha untuk menghidupkan kembali konsep kekhalifahan

46Yo Ma h udi, Isla izi g I do esia

, (Canberra: anu e Press, 2008), 177–186. Anis Matta, Menikmati Demokrasi: Strategi Dakwah Menikmati Kemenangan (Jakarta: Pustaka Saksi, 2002), 9–11.

47

(28)

Islam yang universal, atau Jamaah Islamiyah di bawah komando Abu Bakar Ba'asyir

yang bertujuan mendirikan aliansi pemerintahan Islam se-Asia Tenggara.48 Lebih lanjut, PKS memiliki kecenderungan mirip gerakan-gerakan radikal lainnya, PKS

meyakini bahwa Islam adalah sistem tata kehidupan yang komprehensif yang

seharusnya diberlakukan kepada setiap individu, sosial dan juga bidang politik.

Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, apa yang PKS yakini tentang Islam kaffah

(menyeluruh) tidak terpola, melainkan kecenderungan penekanan pada perilaku

individu dalam diri setiap orang. Masyarakat Islam menurut mereka adalah

masyarakat yang mana setiap orang berperilaku sesuai dengan ajaran Islam,

sementara struktur masyarakat itu sendiri dibiarkan dalam bentuk modern, tradisional

atau kesukuan. Suatu bentuk entitas masyarakat Islam yang mana setiap umat Islam

menjalankan ritual keislaman secara teratur serta adanya penegakan nilai-nilai Islam.

Misalnya standar berpakaian dan barang yang diperkenankan dikonsumsi menjadi

norma dalam kehidupan publik, kejahatan dan perilaku amoral diminimalisir, atau

kalau perlu dihilangkan sama sekali.

Terkait bentuk sistem politik yang Islami menurut mereka tidak hanya terbatas

pada konsep kekhalifahan universal, tetapi dapat juga berbentuk kerajaan atau

republik sejauh mengadopsi prinsip-prinsip Islam. Menurut persepsi PKS, manusia

yang hidup dalam bermasyarakat dan bernegara adalah media untuk meningkatkan

kualitas hidup masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, negara berfungsi sebagai

faktor pendukung untuk menciptakan masyarakat Islami, sebuah konsep ummah.

Konsep seperti ini merupakan struktur yang menyediakan peraturan dan regulasi

hukum di mana setiap orang seharusnya menjalani kehidupan, dan memiliki

kewenangan untuk menegakkan prinsip-prinsip tersebut, dan juga wewenang untuk

menghukum para pelanggarnya.

Negara Islam merupakan suatu sistem politik yang mana mampu memberlakukan

prinsip-prinsip Islam di dalam masyarakatnya.49 PKS juga percaya bahwa Indonesia

48 Sid ey Jo es,

Al-Qaeda i Southeast Asia: The case of the Ngruki Network i

I do esia , icg I do esia Briefi g, 8 Agustus 2002, no. 14, 693–617.

49

(29)

pada dasarnya adalah negara Islam karena mengakomodasi agama sebagai bagian

dari negara dan pemerintahan. Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia

dirumuskan oleh para politisi Muslim, dan sila-sila itu mencerminkan semangat

ajaran Islam dalam kehidupan berpolitik. Yang menjadi titik perhatian PKS itu adalah

kinerja para pemegang kekuasaan di Indonesia yang tidak mengimplementasikan

Pancasila secara komperhensif dengan alasan bahwa pemerintah tidak memiliki

komitmen terhadap prinsip-prinsip Islam. Prinsip-prinsip Islami itu bisa berjalan jika

para pemimpin politik dan pejabat pemerintah, yang sebagian besar Muslim memiliki

komitmen secara pribadi untuk menegakan nilai-nilai Islam, maka Pancasila dapat

diterapkan secara komprehensif.

PKS menerima sistem demokrasi berdasar dua alasan. Pertama, demokrasi adalah

sistem yang fleksibel yang bisa mengarah ke bentuk sistem sosialis atau kapitalis, dan

sekuler ataupun religius. Musyawarah sebagai prinsip dasar demokrasi benar-benar

sejalan dengan ajaran Islam. Kedua, demokrasi adalah realitas politik di Indonesia

dan internasional, oleh karena itu harus diambil sebagai titik anjak untuk

membangun sistem politik Islam. Politik merupakan sarana untuk menyebarkan

agama (dakwah), dan bertujuan untuk mengubah orang perorang dan memperbaiki

kondisi sosialnya. Itulah amanat yang diemban oleh Tarbiyah. Dengan demikian,

kegiatan dakwah, termasuk dakwah dalam ranah politik, harus dimulai dari

pemahaman dan penerimaan akan realitas, bukan justru mengabaikan realitas

tersebut.50

3.2.2. Pluralisme keagamaan

Menurut JT-PKS, Islam adalah kebenaran hakiki dan universal yang harus disebarkan

ke seluruh umat manusia di mana pun dan siapa pun mereka. Ini adalah kewajiban

bagi semua umat Islam untuk mendakwahkan agama mereka sesuai dengan kapasitas

dan kesempatan mereka. Namun, dakwah harus memfokuskan diri pada tujuan

mencapai kemanfaatannya dan menghindari kerusakan dan meminimalisir resiko.

Dalam konteks sosial dan politik berarti kegiatan dakwah harus dilakukan dengan

50

(30)

cara-cara menghindari konflik dan ketidakstabilan (chaos) yang tidak hanya akan

merugikan masyarakat, tetapi juga dampak berupa citra negatif tentang Islam dan

Muslim itu sendiri. Indonesia merupakan negara demokrasi dan bangsa religius. Ini

berarti bahwa orang Indonesia bebas untuk hidup sesuai dengan keyakinan mereka.

Pluralisme agama tidak berarti pengakuan bahwa semua agama itu sama, tetapi

mengacu pada suatu kondisi di mana orang boleh memproklamirkan diri dan

mengekspresikan keyakinan agama mereka. Oleh karena itu, dalam pandangan PKS

tidak ada pluralisme agama, melainkan pluralitas agama. Artinya, setiap orang yang

tinggal Indonesia, negara mengakui agama-agama yang berbeda tersebut. Pun begitu,

pluralitas tersebut tidak menggugurkan kewajiban bagi Muslim untuk menyebarkan

Islam. Islam harus disebarkan, tapi dengan cara damai.

Pada kenyataannya, ada dua sisi dalam istilah pluralisme, eksternal dan internal.

Pluralisme eksternal berarti koeksistensi dan toleransi terhadap pemeluk agama lain.

Sedangkan pluralisme internal adalah pemahaman dan kerjasama dengan umat Islam

lainnya dalam tradisi-tradisi yang berbeda. Berkenaan dengan pluralisme eksternal,

PKS menunjukkan sikap toleran terhadap agama lain, sementara dalam kaitannya

dengan pluralisme internal yang juga menunjukkan toleransi terhadap kelompok

Muslim lainnya adalah sejauh tidak ada tanda-tanda bid'ah secara doktrinal atau

kepentingan politik. Ada dua kasus perlu mendapat perhatian khusus terkait hal ini.

Pertama, kontroversi pengikut Ahmadiyah yang memicu kekerasan berdarah terhadap

kelompok minoritas. Berkaitan hal ini, politisi PKS mendesak otoritas pemerintahan

untuk bertindak tegas guna mencegah tindak kekerasan. Namun pada saat yang sama,

mereka juga mendesak pemerintah untuk melarang penganut Ahmadiyah mengaku

sebagai bagian komunitas Islam. Penelitian Bastiaan Scherpen dalam buku ini

memetakan sikap politik organisasi sosial dan politik Islam di Indonesia terkait isu

Ahmadiyah tersebut. Dalam kasus ini, PKS sendiri menunjukkan sikap yang keras

dan konservatif. PKS sendiri juga dikabarkan memecat anggotanya yang masuk

Syiah dan merawat istrinya yang memutuskan untuk meminta cerai sesuai saran PKS.

Kedua, Lebih lanjut, JT-PKS juga menunjukkan perubahan sikap terhadap

Gambar

Tabel 1: pencapaian OKS dalam mengimplementasikan Perda syariah di tingkat Daerah

Referensi

Dokumen terkait

Dengan adanya penerapan sistem informasi penggunaan dana kas kecil yang sudah terkomputerisasi, diharapkan pembuatan laporan kas kecil menjadi akurat, tepat dan cepat

gunakan kipas atau bisa juga bila tidak ada kipas dengan kertas atau lap yang dapat digunakan sebagai pengganti kipas... KEHADIRAN SEORANG

Informan masih kanak - kanak ketika ayah intorman melakukan poligami dan kemudian ayah jarang pulang ke rumah, sedangkan pada usia informan sangat dibutuhkan

1) Perhitungan pengendalian persediaan berdasarkan metode Economic Order Quantity (EOQ) terhadap efisiensi biaya persediaan lebih optimal dibandingkan kebijakan perusahaan.

Berdasarkan penelitian di wilayah kerja puskesmas Deket Kabupaten Lamongan sebagian besar ibu primigravida berpendidikan SMP (42,9%) dan tidak dapat dipungkiri

Sistem yang akan di terapkan di Dinas Kesehatan Kabupaten Ogan Komering Ilir .... Penyelidikan

Prosedur penelitian ini menggunakan model Akker [15] yang menerapkan 4 tahapan utama yaitu: (1) pemeriksaan pendahuluan ( preliminary investigation ) yang dimaksudkan untuk

Tujuan penelitian ini adalah (1) Mengetahui pengaruh pengalaman praktik kerja industri dan Kompetensi Keahlian Teknik Multimedia terhadap kesiapan kerja peserta didik kelas XII