1. Kajian Terhadap Dinamika Internal Partai Keadilan Sejahtera
dan Jamaah Tarbiyah
Ahmad-Norma Permata
1. Pendahuluan
Penelitian ini mengupas dinamika internal Partai Keadilan1 Sejahtera (PKS) dan akar massa organisasi serta pendukungnya, yaitu Jamaah Tarbiyah (JT).2 Sejak organisasi politik bukan lagi digambarkan sebagai aktor peran tunggal, di dalamnya selalu saja
ada pluralitas, perbedaan visi, friksi dan, bahkan konflik. Penelitian ini mencoba
mengungkap dinamika internal di dalam dua organisasi tersebut, mengupas berbagai
ketegangan dan mengklasifikasi permasalahan tersebut ke dua bagian serta mengulas
tokoh-tokoh kunci masing-masing kelompok. JT adalah organisasi yang khas dalam
kancah politik Indonesia kontemporer. Pada intinya, kelompok ini adalah cabang
Ikhwanul Muslimin Mesir di Indonesia, yang didirikan pada tahun 1983 oleh
sekelompok sarjana yang menuntut ilmu di Timur Tengah. Di kemudian hari,
sarjana-sarjan tersebut berfusi dengan jaringan-jaringan aktivis di berbagai organisasi. Mulai
dari organisasi politik dan sosial di dalam negeri, seperti DDII,3 Muhammadiyah,
1
Kata ini patut disoroti dikarenakan kata 'keadilan' telah digunakan dimana-mana dalam jaringan-jaringan Ikhwanul Muslimin di seluruh dunia (baik dalam partai politik atau gerakan sosial). Misalnya, 'Keadilan dan Pembangunan' digunakan pada saat yang sama di Turki, Libya, Maroko, Suriah dan Aljazair. Sedangkan kelompok Ikhwanul Mesir menamai 'Partai Keadilan dan Kemerdekaan. Jika kita mencermati lebih dekat tampak bahwa setidaknya untuk kata 'keadilan', PKS tidak mengacu pada gagasan 'perlakuan yang adil', melainkan untuk 'dendam politik'. Para kader PKS menganggap diri mereka sebagai korban penindasan dan penganiayaan, baik oleh penguasa Kolonial Barat atau Pemerintahan domestic yang sekuler. Sekaranglah waktu yang tepat bagi mereka untuk melawan dan melakukan apa yang pihak lain telah lakukan pada mereka, untuk menuntut keadilan.
2Ja aah Tar iyah se ara eti ologis adalah Ko u itas Pe didika . Suku kata dari kata itu adalah pe didika ya g erarti pe gajara da i doktri asi. Se agai isal, pendidikan Islam yang komperhensif (kaffah) sebagai jalan hidup.
3
Nahdlatul Ulama (NU), HMI4 hingga kelompok Salafi.5 Berbagai kelompok ini mengatur organisasinya secara independen dari rekanannya di Mesir. Pada tahun
1998, aktivis JT mendirikan sebuah partai politik yang dinamai Partai Keadilan (PK),
yang kemudian berganti nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Hubungan
antara JT dan PKS juga cukup unik karena JT merupakan organisasi informal, karena
sejauh ini tak terdaftar resmi di Kemendagri. Pun demikian, organisasi ini juga tidak
bisa dilarang menurut penalaran hukum Indonesia. JT bisa dideskripsikan sebagai
organisasi bayangan PKS yang tentu saja hubungan itu berbeda dengan hubungan NU
dan PKB6 atau Muhammadiyah dan PAN,7 yang mana keduanya merupakan organisasi formal meskipun bergerak di ranah berbeda (satu di ranah sosial dan yang
lainnya ranah politik).
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah salah satu ‘bintang terang’ dalam sejarah
demokratisasi Indonesia. Pertama, keberadaannya menandai era baru politik Islam.
Hal ini dikarenakan partai tersebut tidak lahir dari Ormas besar Islam di Indonesia.
Hal tersebut merupakan fenomena yang patut disoroti, karena pada masa Orde Baru,
penguasa telah memanipulasi dan berkompromi dengan semua ormas Islam dan
Organisasi tersebut menerima kucuran dana besar dari negara-negara Timur Tengah, terutama Arab Saudi.
4
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) didirikan pada tahun 1947, dan merupakan organisasi ekstra kampus terbesar di Indonesia dan memiliki jaringan politik sangat kuat. HMI juga menjadi pemasok elit dan kader partai politik, termasuk di antaranya Akbar Tanjung (Golkar), Ismail Hassan Metareum (PPP) dan Anas Urbaningrum (pada saat menulis buku ini sebagai Ketua Umum Partai Demokrat). Pada tahun 1986, menanggapi pemberlakuan UU yang mewajibkan semua organisasi massa untuk mengadopsi ideologi negara, Pancasila, HMI terpecah menjadi dua kubu: kelompok yang menerima ketentuan UU tersebut demi diakui sebagai organisasi hukum oleh pemerintah, dikenal sebagai faksi Dipo (singkatan dari jalan Diponegoro mana kantor terletak di Jakarta). Kelompok lain yang menolak ideologi Pancasila, mempertahankan ideologi Islam dan bergerak secara klandestain.
5
Dari istilah Arab Salafus al-Salihin, atau generasi murni, mengacu pada generasi pertama Muslim, termasuk para sahabat Nabi Muhammad. Mereka adalah kelompok konservatif yang mengadopsi ide-ide Islam Arab dalam gaya dan praktik kehidupan.
6
Partai Kebangkitan Bangsa didirikan oleh beberapa elit NU, tetapi tidak memiliki ikatan formal dengan NU.
7
tokoh-tokoh kuncinya ke dalam lingkaran rezim. Akibatnya, hampir tidak ada ormas
Islam waktu itu mampu lepas terhadap rekayasa poltik Orde Baru.
Meski didirikan pada masa rezim Suharto, namun PKS dipimpin oleh generasi
baru aktivis Muslim yang tidak tergabung ke dalam salah satu ormas Islam yang ada
saat itu. Para aktivis ini menganggap diri mereka sebagai bagian dan kelangsungan
politik Islam dalam sejarah Indonesia, mereka juga memisahkan dan membedakan
diri dari ormas Islam yang ada, dan berada di spektrum luar lingkaran para aktivis
ormas-ormas lain yang mereka anggap mau berkompromi dan terkontaminasi oleh
rezim Orde Baru.8
Kedua, partai memiliki banyak politisi Muslim yang genius dan bukan lulusan
dari lembaga pendidikan Islam seperti halnya para tokoh ormas-ormas Islam lainnya,
melainkan lulusan dari universitas-universitas sekuler terkemuka di seluruh penjuru
negeri. Tampuk kepemimpinan PKS sendiri juga berbeda dari yang lainnya,
pemimpin bukan dari kalangan ulama-ulama dengan latar belakang pendidikan
keagamaan sebagaimana ormas-ormas keagamaan lainnya. Para aktivisnya
merupakan lulusan dari berbagai disiplin ilmu sekuler mulai dari teknik, ekonomi,
kedokteran hingga fisika dan matematika. Universitas sendiri tetap sebagai gerbang
utama bagi generasi muda yang ingin duduk dalam birokrasi dan pekerjaan
profesional lainnya. Dengan cara seperti ini, partai cepat mengembangkan jaringan di
antara elit negara.9
Ketiga, banyak pihak menganggap ideologi politiknya mencurigakan berkaitan
dengan partisipasinya dalam politik demokratis. JT sendiri mengadopsi ideologi
Ikhwanul Muslimin Mesir dan bertahap melakukan proyek Islamisasi politik, yaitu:
(i) Islamisasi individu; (ii) Islamisasi keluarga; (iii) Islamisasi masyarakat; (iv)
Islamisasi sistem.10 Program-program mereka bertitik anjak dari dalam dan luar komunitas Muslim itu sendiri. Banyak ormas Islam lainnya melihat Partai tersebut
8
Yon Machmudi, Partai Keadilan Sejahtera: Wajah Baru Politik Islam Indonesia
(Jakarta: Harakatuna, 2005), 23–24.
9Elisa eth Colli s, Isla is the Solutio ,
Kultur 3, no. 2 (2003), 157–182. 10
mendemonstrasikan sepak terjang yang agresif, yang tidak hanya mengganggu
wilayah pengikut ormas lain, tetapi juga membahayakan spektrum politik Islam
moderat di Indonesia. Pihak lainnya bahkan menuduh Partai tersebut sedang
mengagendakan haluan politik radikal guna mengubah Indonesia ke bentuk sistem
politik Islam (khilafah).
Keempat, partai juga mampu mengesankan masyarakat Indonesia karena
kelihaian organisasi dalam melakukan konsolidasi. PKS adalah satu-satunya partai
politik besar di Indonesia yang tidak mengalami perpecahan di internal organisasi
secara cukup serius. PKS juga satu-satunya partai yang mampu mempertahankan
jumlah kuantitas pendukungnya. Karakteristik ini telah memberikan keuntungan bagi
partai, terutama dalam Pilkada, PKS mampu memenangkan Pilkada di beberapa
daerah yang mayoritas konstituennya merupakan masyarakat plural, meski ada
beberapa kandidat ikut serta dalam kontestasi Pilkada. Pilgub Jakarta pada 2007
adalah contoh nyata yang mana gubernur terpilih membutuhkan dukungan koalisi 16
partai (44 persen) yang duduk di DPRD Propinsi guna mengimbangi kursi PKS
sebesar 56 persen. Solidnya dukungan juga senjata ampuh untuk PKS dalam lobi
melakukan politik, atau untuk menaikan nilai tawar politik.11
1.1. Keretakan internal
Para peneliti tidak akan meleset memotret kondisi internal partai, kadang-kadang
perpecahan itu sangat serius, yaitu perpecahan dalam partai tersebut. Pertama,
ketegangan internal sudah mulai muncul ke permukaan semenjak berdirinya. Pada
tahun 1998, setelah perubahan rezim, aktivis senior JT membahas kemungkinan
membentuk partai politik untuk memajukan kepentingan dan agenda politik mereka,
namun tidak mencapai kesepakatan saat itu. Sebagian yang lain setuju bahwa saat
itulah waktu yang tepat untuk mendirikan partai politik dan ikut berkompetisi dalam
iklim demokrasi. Pihak yang berseberangan berpikir bahwa mereka belum siap dan
11
lebih memilih untuk tetap menjauhkan diri dari kompetisi memenangkan kekuasaan.
Sengketa tersebut diselesaikan dengan membagikan kuesioner kepada sekitar 6.000
aktivis Tarbiyah di seluruh dunia. Enam puluh delapan persen dari kuesioner yang
kembali setuju untuk membuat sebuah partai politik.12
Kedua, visi yang berbeda juga dapat dijumpai di antara elit partai terkait
bagaimana pengelolaan organisasi. Selama empat tahun pertama dalam sejarah
berdirinya dengan memakai nama Partai Keadilan, sistem keorganisasian adalah
bottom up dan lebih demokratis yang mana bentuk pengambilan keputusan tertinggi
ada pada kongres nasional partai. Hal ini berarti kedaulatan berada di tangan para
kader partai. Namun sejak 2003, ketika nama partai berubah menjadi Partai Keadilan
Sejahtera, AD/ART-nya juga diamandemen, keputusan tertinggi berada di tangan elit
yang diwakilkan kepada Majelis Syuro. Perubahan ini bukan hanya
merepresentasikan struktur keorganisasian yang berubah, tetapi juga menunjukan
persaingan politis di internal. Misalnya, kelompok demokratis versus kelompok
pragmatis tendensius.13
Ketiga, perbedaan pendapat juga muncul di dalam platform program
kebijakan partai, terdapat inkonsistensi dalam AD/ART organisasinya. Banyak yang
beranggapan bahwa hal ini sebagai bentuk kesengajaan dalam kebijakan ganda Partai.
Namun jika diamati lebih jauh, hal itu menunjukkan sebuah realita bahwa
inkonsistensi dalam AD/ART tersebut mencerminkan perbedaan pendapat di antara
penyusun AD/ART dan adanya perpecahan di internal partai itu sendiri. Misalnya,
adanya pasal dalam AD/ART-nya yang menetapkan bahwa PKS adalah partai terbuka
bagi seluruh masyarakat Indonesia yang berusia 17 tahun lebih, atau yang telah
memenuhi syarat untuk menjadi anggota. Namun, dalam pasal lainnya dalam
AD/ART yang sama menetapkan bahwa untuk menjadi anggota partai itu harus
mengucapkan sumpah yang di dalamnya mencakup pengucapan syahadat Islam
berupa ‘tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah Rasul-Nya’. Hal ini
12
Collins, ibid. 13
menjelaskan, setidaknya menunjukan, bahwa mereka Muslim. Dengan demikian,
hanya Muslim yang bisa menjadi anggota partai.14
Terakhir, perihal kebijakan politik partai tersebut juga menunjukan perbedaan di
dalam internal. Misalnya, partai melihat Pemilu Legislatif 1999 hanya sebagai
kegiatan dakwah (atau tabligh). Selama kampanye Pemilu, elit Partai
menginstruksikan para kader dan aktivisnya untuk mengintensifkan kegiatan
keagamaan mereka, untuk membujuk orang-orang agar menerima Islam, bukan
mempromosikan partai. Di samping itu, juga mengajak mereka berdoa (munajat)
kepada Tuhan agar menolong partai memenangkan Pemilu. Uniknya, lima tahun
kemudian pada Pemilu 2004, Ketua Umum Partai, yaitu figur yang sama,
mengeluarkan fatwa untuk para aktivis dan kadernya supaya memobilisasi
masyarakat untuk mencoblos PKS dalam Pemilu, terlepas apakah mereka setuju
dengan garis kebijakan politik Partai atau tidak.15
Kajian lebih dekat telah memperlihatkan adanya ketegangan dan friksi antara JT
dan PKS, serta ketegangan internal di dalam masing-masing organisasi tersebut
sebagai puncak dari perjalanan mereka dalam dinamika politik yang demokratis. Pada
dasarnya, anggota JT adalah anggota PKS juga. Namun, kegiatan politik yang intensif
dan sedemikian sistematis telah memisahkan aktivis PKS menjauh dari anggota JT
lainnya yang tidak terlibat dalam organisasi partai politik. Para aktivis PKS
cenderung semakin bersikap pragmatis dalam perilaku politik mereka, sementara
anggota JT lebih berpegang untuk tetap senormatif mungkin.
Di dalam PKS sendiri, ada perpecahan antara garis ideologi Partai dengan
kebijakan politiknya. Kelompok pertama memandang politik sebagai kompetisi untuk
memaksimalkan kekuatan, dan sumber daya yang harus diperoleh dengan cara dan
dengan aturan mereka sendiri. Sedangkan kelompok kedua memandang politik
sebagai kompetisi untuk mempengaruhi kebijakan publik, dan hal itu harus perlu
diperoleh sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Selanjutnya, di dalam kelompok yang
berorienetasi kekuasaan, ada orang-orang pragmatis yang memiliki hubungan dengan
14
Ibid., 176. 15
keluarga mantan Presiden Soeharto, militer dan pengusaha Tionghoa, dan mendorong
gagasan ke permukaan bahwa partai harus menjadi partai politik yang sekuler dan
terbuka. Ada juga kelompok reformis, yang secara politik lebih dekat dengan jaringan
aktivis gerakan demokrasi yang sebelumnya merobohkan rezim Suharto dan yang
menggerakan roda agenda politik PKS sejalan dengan agenda yang lebih luas di
Indonesia menuju demokratisasi. Pun sebaliknya, di antara kelompok penganut
orientasi kebijakan (policy oriented) ada beberapa orang ‘moderat’, yang
menganggap kebijakan politik hanya sebagai strategi jangka pendek yang dapat
ditolerir. Juga ada kelompok ‘radikal’ yang memandang politik murni sebagai perjuangan untuk mempengaruhi kebijakan; kelompok ini bersikeras bahwa aktivis
PKS pada prinsipnya adalah pendakwah bukan politisi.
Sementara itu, di dalam JT juga terdapat perbedaan pandangan antara kelompok
‘loyalis’ buta yang mendukung PKS, dan ada juga kelompok ‘kritikus’ yang mendukung PKS jikalau mengikuti prinsip-prinsip JT. Lebih lanjut, di dalam
kelompok ‘loyalis’ juga ada beberapa individu yang loyal kepada elit tertentu dikarenakan akses terhadap suatu hal atau karena resources yang di miliki para elit
tertentu itu atau karena alasan yang lebih pribadi lainnya, tetapi di lain kesempatan
mereka kritis terhadap pihak lain.
Ketegangan, friksi dan perpecahan ini sangat mengganggu dan meresahkan bagi
elit-elit JT dan PKS. Mereka sendiri bingung mencari solusi untuk mengatasinya.
Dua ide yang layak menjadi perhatian adalah; beberapa pihak menganggap masalah
tersebut merupakan akar perpecahan elit JT dan PKS. Kedua organisasi ini pada
dasarnya ibarat dua sisi mata uang yang sama dalam mengikuti semboyan Ikhwanul
Muslimin bahwa Partai adalah jamaah dan jamaah adalah partai (hizb hiya
al-jamaah, wa al jamaah hiya al-hizb). Akan tetapi, keduanya memiliki aturan dan
pola-pola perilaku yang saling bertentangan. JT mengikuti prinsip-prinsip Islam di bawah
bimbingan dari seorang pemimpin tertinggi (muraqib al-amm), di lain pihak PKS
harus mengikuti sistem politik Indonesia dalam ikut andil berkompetisi di bawah
komando Presiden Partai. Karena itu, JT dan PKS cenderung berpegang pada
adanya model kepemimpinan seharusnya disatukan, dan pemimpin tertinggi JT juga
harus mengasumsikan posisinya sebagai presiden partai PKS. Dengan cara seperti ini
maka akan ada satu baris komando di kedua lembaga tersebut sebagai satu kesatuan
jaringan organisasi, dan solusi ini akan meminimalisir perseteruan dan friksi.16
16
Kedua, muncul argumen lain berkaitan titik pengamatan yang sama. Dikatakan
bahwa akar dari ketegangan dan friksi antara JT dan PKS adalah ketidaksesuaian
antara dua organisasi satu sama lain: anggota JT yang informal mengikuti aturan
dasar internal mereka sendiri, sementara PKS adalah partai politik yang harus tunduk
pada aturan negara dan realitas politik. Berbeda dengan pandangan awal yang
mengusulkan bahwa kepemimpinan harus disatukan, pandangan kedua ini
menyarankan sebaiknya JT dan PKS harus dipisahkan secara struktur organisasi. JT
dipandang perlu untuk dilegal-formalkan sebagai organisasi sosial, terdaftar dan
terikat oleh peraturan negara. Dengan cara seperti ini, dua organisasi yang sebenarnya
terdiri dari kelompok yang sama dapat berjalan searah beriringan di ranah berbeda,
satu di ranah sosial dan yang lain politik, dan tidak perlu mengganggu atau saling
mengintervensi.17 Dengan kata lain, politisi PKS dapat melakukan pekerjaan politik pragmatisnya tanpa khawatir merasa diawasi JT.
1.2. Kajian kepustakaan
Peneliti dan para pengamat politik memiliki sikap berbeda terkait dinamika
internal PKS dan Jamaah Tarbiyah. Sebagian beranggapan bahwa dinamika saat ini
justru menjadi bukti kekuatan dan keunggulan Partai tersebut. Secara umum,
pemikiran kebijakan Partai biasanya digariskan oleh fungsionaris Partai dan
kadernya. Zulkieflimansyah, anggota Parlemen dari PKS, beberapa kali telah menulis
artikel mengenai hal tersebut. Dia dengan mengesankan berpendapat tentang
bagaimana kebijakan partai seharusnya, yang mana Partai merupakan evolusi dari
gerakan dakwah yang berusaha untuk mencapai tujuan yang lebih progresif dalam
kancah demokrasi di Indonesia tanpa kehilangan komitmen cita-cita moralnya. Yon
Machmudi, seorang akademikus dan pendiri PKS menjelaskan bahwa Jamaah
Tarbiyah dan PKS itu mewakili generasi baru politisi Muslim dan aktivis gerakan
sosial. Lanjutnya, hal tersebut tidak harus dibatasi oleh dikotomi gerakan moderat
dan radikal dalam gerakan politik Islam sebagaimana pendikotomian yang khas
selama era Orde Baru, rezim Orba sangatlah represif. JT dan PKS sendiri lebih
17
menitikberatkan pemurnian akidah (purification). JT memilih solusi dilematis misi
pemurnian akidah akan nilai-nilai Islam terhadap masyarakat dengan cara
mengakomodasi Islamisasi berkelanjutan dan sikap non-konfrontatif. Strategi ini
terbukti berhasil menarik pengikut dan simpatisan dari kalangan Muslim modernis
dan tradisional di Indonesia. Suatu pendekatan sebagaimana Machmudi katakan
belum pernah terjadi sebelumnya.18
Sebuah artikel yang beredar luas yang menggambarkan hipokrisi tersebut adalah
artikel Sadanand Dhume. Di dalam artikelnya, ia menggambarkan PKS sebagai partai
radikal yang aktif mempromosikan nilai-nilai Islamisasi politik di Indonesia.
Meskipun Dhume juga menilai PKS sebagai organisasi politik yang damai yang
bersedia untuk berpartisipasi dalam proses politik yang demokratis, tetapi ia meyakini
bahwa itu hanyalah topeng untuk menyembunyikan agenda politik sebenarnya. Dia
menulis sangat provokatif sebagai berikut:
meskipun gerakan sosialisasi Partai Keadilan, sedikit melenceng pemikirannya dari Jamaah Islamiyah, akan tetapi seperti halnya pemikiran Jamaah Islamiyah. Dalam manifesto pendiriannya, Partai Keadilan menyerukan berdirinya negara Islam. Seperti halnya Jamaah Islamiyah, ada rahasia disembunyikan yang difasilitasi oleh kedua kelompok yang secara struktural organisasi meniru dari gerakan Ikhwanul (Muslimin Mesir) yang mana sebagai induk organisasinya. Kedua kelompok organisasi tersebut menawarkan visi modern selektif, satu sisi ilmu pengetahuan dan teknologi global dipersilahkan, tetapi juga (penonjolan) nilai-nilai Islam dihindari. Kedua kelompok tersebut sangat berbeda, terutama dalam metode mereka: Jamaah Islamiyah revolusioner, sedangkan Partai Keadilan bertipikal evolusioner.19
Di kesempatan lain, ada pengamat yang mencoba untuk menangkap
kompleksitas dan paradoks secara lebih komprehensif. Martin van Bruinessen
18Lihat Zulkiflie a syah, O er o i g the Fear: pks a d the De o ratizatio , Jakarta Post De e er . Prospe t for the Justi e a d Prosperous Party (PKS) and Political Isla , usi do Ope Foru , Washi gto d. . Ju e . U dersta di g pks as Li i g E tity ithi I do esia s De o rati Spa e , Jakarta Post August . Yo Machmudi, Partai Keadilan Sejahtera: Wajah Baru Islam Politik Indonesia (Jakarta: Harakatuna, 2005).
19
menulis bahwa politisi PKS itu ‘kaum demokrat yang setengah-setengah dan mungkin menjadi kelompok berpengaruh di Indonesia untuk gerakan demokratisasi’
didasarkan pada kenyataan bahwa banyak dari juru bicara Partai yang percaya akan
konspirasi anti-Islam, anti-Zionis, anti-Barat, dan dikenal dalam memusuhi kaum
liberal dan Muslim sekuler. Pada saat yang sama, PKS;
adalah sebagian kecil kekuatan di arena politik yang begitu memiliki keseriusan supaya bisa berkontribusi pada demokratisasi bertahap Bangsa [Indonesia; penerjemah], karena keyakinannya terhadap partisipasi dalam sistem politik yang ada, dan dalam mengubah masyarakat melalui pendekatan individual yang persuasif daripada melalui pendekatan grabbing power [revolusi].20
Sebagaimana halnya yang ditulis Bubbalo dan Fealy bahwa PKS memiliki
beberapa sikap ambivalen terhadap Barat, ikut aktif dalam berbagai protes terhadap
Amerika yang selalu mendukung Israel dan invasinya ke Irak, dan juga cenderung
curiga terhadap agenda politik dari EU dan US, terutama terkait ‘perang melawan
teror’. Uniknya, banyak tokoh seniornya memperoleh pendidikan tinggi dari Barat dan sering pula mengunjungi Barat, dan kesadaran mereka tentang perkembangan
internasional mungkin lebih baik daripada elit-elit partai Islam Indonesia lainnya.21 Selanjutnya, Kees van Dijk juga memaparkan bahwa ambiguitas yang terlihat
dalam sikap politik PKS merupakan konsekuensi logis dari kompleksitas lingkungan
politik yang berubah-ubah di Indonesia. Kompleksitas ini telah menciptakan aliansi
asimetris antara aktor yang berbeda pandangan kancah politik, kemudian perilaku
ambigu dan dinamika internal di antara aktor-aktor politik mencari titik kompromi
tujuan ideologis mereka atas realitas politik yang ada. PKS merupakan partai khas
Indonesia dalam pola struktur dan perilaku.22
20
Martin van Bruinessen, Ge ealogies of Isla ic Radicalis i post-Soeharto
I do esia, Southeast Asian Research 10, no. 2 (2007), 117–154.
21A tho y Bu alo da Greg Fealy, Joi i g the Cara a ? The Middle East, Isla is a d I do esia , The Lowy Institute for International Policy paper 05 (Alexandria: Longueville, 2005).
22C. a Dijk, Differe t Setti gs, Differe t Defi
1.3. Catatan teoretis: Sebuah kegagalan atau Post-Islamisme?
Setiap upaya untuk memaparkan perkembangan dari suatu organisasi politik pasti
akan menghadapi setidaknya dua permasalahan dilematis. Pertama, dilema berkaitan
antara pendekatan dari sudut pandang rasional dan alamiah suatu organisasi. Sudut
pandang rasional mencoba memahami sebuah organisasi, utamanya, sebagai alat bagi
sekelompok orang untuk mencapai tujuan –satu set tujuan– tertentu yang telah
ditetapkan sebelumnya. Tentu saja deskripsi ini adalah definisi yang paling lumrah
dipakai untuk mendeskripsikan sebuah organisasi. Dalam arti, setiap perkembangan
dan dinamika dalam organisasi hanya dapat dijelaskan secara komperhensif berdasar
tujuan organisasi tersebut, karena setiap anggota organisasi harus bekerja sesuai
dengan spesifikasi tugas dan menurut pembagian beban kerja dari organisasi. Ini
berarti parameter untuk mengukur dan menilai perilaku setiap anggota dalam
dinamika suatu organisasi adalah tujuan organisasi itu sendiri, yang ditetapkan secara
a priori.
Sedangkan dilema kedua adalah sudut pandang alamiah dari keberadaan suatu
organisasi menyatakan bahwa dalam setiap organisasi, asalkan di situ ada beberapa
orang pasti ada tujuan-tujuan yang ingin dicapai. Akibatnya, tujuan sebenarnya dari
suatu organisasi tidak pernah ditetapkan secara a priori, melainkan secara a
posteriori berikut masalah-masalah insidental yang dihadapi oleh organisasi. Tentu
saja, tujuan jangka panjang telah ditetapkan sebelumnya, tetapi tujuan jangka panjang
itu sering kali disubordinasi atau dikompromikan dengan tujuan jangka pendek yang
lebih cepat digapai dan lebih mendesak. Di samping itu, adanya sejumlah tujuan yang
dikejar secara bersamaan oleh masing-masing anggota, menyiratkan tujuan
sebenarnya dari suatu organisasi tidak lain adalah lowest common denominator.
Tujuan utama yang semua anggota sepakati adalah kelangsungan hidup mati
organisasi. Oleh karena itu, pendekatan sisi alamiah berbeda dengan pendekatan
rasional yang bertitik tolak dari penetapan sebuah tujuan secara a priori sebagai tolak
ukur memotret perilaku setiap anggota dan dinamika organisasi. Sudut pandang
alamiah menempatkan setiap pola perilaku dan dinamika yang mampu menjamin
Dilematisme pendekatan yang kedua terkait antara sistem kolektif the (collective
system) dan sistem insentif selektif (selective system of incentives). Perihal pertama
menyatakan bahwa suatu sistem insentif kolektif organisasi politik itu memberi dan
mendistribusikan segala sesuatu kepada setiap anggotanya dengan proporsi sama,
karena hal paling mendasar ini merupakan suatu identitas dan bentuk solidaritas.
Sementara itu, perihal yang terakhir memberi penjelasan dalam memahami organisasi
sebagai arena setiap individu untuk mengejar kepentingan pribadi masing-masing.
Oleh karena itu, masing-masing anggota akan menerima reward yang berbeda sesuai
dengan sumbangsih masing-masing, usaha dan capaiannya. Sebagaimana halnya
keberadaan politik merupakan wadah kolektif dan tidak dimiliki oleh kelompok
tertentu akan tetapi terbuka untuk semua orang. Maka, organisasi politik juga
memberi insentif kolektif untuk masing-masing anggotanya. Hal ini bisa menjelaskan
terkait mengapa orang ikut bergabung dan berpartisipasi dalam organisasi politik
tanpa dibayar atau menerima imbalan materi lainnya. Perspektif ini menjelaskan
mengapa dalam organisasi politik sebagaimana organisasi-organisasi bersifat sukarela
pada umumnya, yaitu suatu organisasi yang mana orang-orang yang berpartisipasi di
dalamnya bukan karena dibayar atau dipaksa. Lebih lanjut, setiap anggota akan selalu
bersaing untuk meguasai kontrol organisasi, kekuatan, dan sumber daya dikarenakan
setiap kedudukan yang berbeda dalam organisasi akan memberikan wewenang yang
berbeda pula, yang mana hal tersebut mengharuskan setiap orang atas segenap
sumbangsihnya.23
Beranjak dari perspektif ini, ketegangan dan friksi di dalam dan di antara orang
JT dan PKS adalah bagian dari proses wajar suatu perjalanan organisasi yang ingin
bertahan di lingkungan politik yang berubah-ubah dengan cepat. Pun begitu,
perkembangan tersebut menarik dicermati, mengingat munculnya perdebatan saat ini
tentang politik berbasis Islam. Dua teori yang relevan pada saat ini adalah teori yang
dikemukakan oleh tesis Oliver Roy berkaitan kegagalan gerakan Islam politik, dan
gagasan Asef Bayat tentang post-Islamisme. Roy mengembangkan penelitiannnya
23
tentang politik berbasis Islam berangkat dari apa yang terjadi di Afghanistan. Dia
berpendapat bahwa politik berbasis Islam telah gagal mencapai tujuannya guna
membangun sistem kehidupan bercorak Islami yang komprehensif, termasuk
masyarakat Islami dan negara Islam tentu saja. Menurutnya, kegagalan mencapai misi
untuk membangun sistem kehidupan Islami secara menyeluruh, yang di dalamnya
terkandung juga masyarakat Islam dan juga negara Islam, baginya, kegagalan itu
disebabkan tidak adanya kejelasan konsep ideologi dan politiknya, para pendukung
Islam politik meyakini bahwa masyarakat Islam yang benar hanya dapat dibangun di
dalam negara Islam, yang akan menjamin berlaku dan tegaknnya nilai-nilai Islam.
Kenyataan di sisi lain, sebuah negara Islam sejati hanya dapat didirikan jika para
politisi menegakkan dan memberlakukan prinsip-prinsip Islami bagi masyarakatnya,
maksudnya bagi seluruh masyarakatnya. Ketidakmampuan memecahkan lingkaran
permasalahan tersebut membuat mereka meninggalkan ide menciptakan negara Islam
dan terpaksa beralih mempromosikan Islam yang hanya berkaitan norma-norma
Islami yang berhubungan tindak laku individu.24
Sementara itu, Asef Bayat dengan mendasarkan pengamatannya atas Revolusi
Iran mendapati sebuah masa depan yang berbeda dari gerakan Islam politik yang dia
sebut ‘post-Islamisme’. Dia menjelaskan, setelah melewati masa percobaan politik dalam mendirikan suatu sistem kehidupan Islami yang komprehensif, politik Islam
seperti kelelahan oleh kontradiksi-kontradiksi internal dan tekanan eksternal. Namun,
dalam pengamatan Bayat tersebut, gerakan Islam politik itu bukannya runtuh atau
menyerah untuk menggapai tujuannya, melainkan gerakan itu tumbuh kembang
menjadi terbarukan dan lebih terbuka dengan beradaptasi dengan lingkungannya,
menerima kritik dan pertanyaan yang diarahkan kepadanya seperti halnya tumbuh
kembang demokrasi, hak asasi manusia, kesetaraan gender, pluralisme agama dan
sebagainya, sebagai bagian dari tujuan yang terbarukan.25
24
Oliver Roy, The Failure of Political Islam (Harvard: Harvard University Press, 1994), 60–68.
25Asef Bayat, What Is Post
Penelitian di sini juga mendapati sesuatu sebagaimana fakta yang didapati dalam
tesis Roy. JT dan PKS terjebak oleh agenda yang menyelimuti mereka, yaitu
islamisasi masyarakat dan negara Indonesia. Meskipun di atas kertas, agenda
islamisasi bertahap Ikhwanul Muslimin yang diadopsi oleh JT dan PKS tampaknya
memberi jalan untuk keluar dari lingkaran setan. Akan tetapi, pada kenyataannya
lingkaran tersebut masih membelenggu karena cacatnya konsep masih saja ada.
Sebagai misal bahwa hal tersebut memang terjadi, yaitu ketika anggota JT dan PKS
memutuskan sejauh mana fase islamisasi mereka dikatakan berjalan sukses. Banyak
dari mereka percaya bahwa mereka telah menyelesaikan islamisasi masyarakat dan
sekarang beranjak ke islamisasi sistem politik. Akan tetapi, ada beberapa orang
meyakini bahwa gerakan mereka masih sejauh tahap islamisasi masyarakat, dan
belum siap untuk melakukan islamisasi negara. Karena mereka semua percaya bahwa
untuk setiap fase dari islamisasi ada prioritas yang berbeda dan strategi yang berbeda
serta komposisi kepemimpinan yang berbeda pula. Juga adanya ketegangan dan friksi
yang muncul dalam dan antara JT dan PKS ketika mereka berseberangan tentang
mana prioritas yang seharusnya didahulukan, strategi yang harus dilakukan, dan siapa
yang harus menanggung biayanya. Dan ketika uang dan kekuasaan ikut terlibat,
konflik dan konfrontasi antar sesamanya tak terelakkan. Namun, sebagaimana yang
Bayat telah amati, JT dan PKS telah melakukan evolusi sedemikian rupa dalam hal
peningkatan kualitatifnya, yaitu dengan beradaptasi ke dalam sistem politik
demokrasi, dan mengadopsi ide-ide baru dan program-progran yang sebelumnya
asing bagi mereka ke dalam gerakan mereka.
2. Sejarah perkembangan dan pengaturan kelembagaan
Bagian ini berkaitan dengan sejarah perkembangan JT dan PKS,sejak mulai
berdirinya hingga ke fase kontemporer sekarang ini. Fokusnya menitikberatkan pada
interaksi antara tiga faktor: (i) ide dan cita-citanya yang diadopsi dari Ikhwanul
Muslimin Mesir, (ii) sejarah dan jejak dari aktivitas politik berbasis Islamnya di
kompetisi politik. Ketiga faktor ini akan menunjukkan bagaimana JT begitu khas
Indonesia dalam karakter, dan perlunya melihat dalam konteks JT sendiri.
Di antara keunikan karakteristiknya, JT tidak pernah secara terbuka menyatakan
dirinya menjadi bagian dari cabang Ikhwanul Muslimin Mesir dan tidak pernah
mengungkapkan mekanisme hubungan dengan institusi pusatnya di Mesir. Hal
tersebut berakibat munculnya beberapa interpretasi yang berbeda di antara para
pengamat, juga di antara para anggotanya sendiri. JT tidak seperti organisasi
transnasional berbasis Islam lainnya seperti Hizbut Tahrir, Ahmadiyah, atau Jamaah
Tabligh yang secara terbuka menyatakan status diri mereka. Akibatnya, orang-orang
yang bergabung dengan organisasi-organisasi itu tahu bahwa mereka adalah bagian
dari jaringan internasional dan di bawah naungan komando mereka di luar negeri.
Meskipun di antara pemimpin tertinggi JT ini jelas menunjukan gelagat bahwa
organisasi mereka adalah cabang dari Ikhwanul Muslimin Mesir dan memiliki ikatan
dengan AD/ART organisasi induknya, tapi kondisi ini tidak begitu disadari oleh
aktivis JT dan anggota yang lebih rendah secara hirarkis. Banyak dari mereka
menganggap JT merupakan organisasi Islam dalam negeri, atau hanya sebuah
organisasi yang terinspirasi oleh Ikhwanul Muslimin Mesir.
2.1. Sejarah pendirian
Sejarah JT dimulai ketika empat sarjana, yaitu Hilmy Aminuddin, Salim Segaf
al-Jufri, Abdullah Baharmus, Encep Abdusyukur, pulang ke tanah air dari menimba
ilmu di Timur Tengah dan mendirikan sebuah organisasi yang didedikasikan untuk
propagasi Islam (dakwah) dengan mengadopsi model organisasi PIkhwanul Muslimin
Mesir, termasuk struktur organisasi, metode pengkaderan dan pelatihannya. Mereka
menggunakan metode kelompok-kelompok kecil terpisah, setiap mentor merekrut,
melatih, dan mengawasi 5 hingga10 kader, dan masing-masing kader hanya tahu satu
sama lain dalam kelompoknya saja, mereka tidak mengenal kader dari kelompok
lain.26
26
Semula, di bawah kepemimpinan Salim Segaf Al-Jufri, JT merekrut anggota
hanya dari kalangan tertentu. Mereka menargetkan kader yang fasih berbahasa Arab
dan berpengetahuan luas dalam bidang ilmu agama. Oleh karena itu, jumlah anggota
mereka tetap terbatas dan hanya kelompok kecil. Lalu, ketika Salim Segaf pergi
untuk melanjutkan studi di Arab Saudi, pimpinan organisasi diserahkan kepada
Hilmy Aminuddin. Bertolak belakang dengan Salim Segaf, Hilmy Aminuddin
memutuskan untuk melonggarkan persyaratan rekrutmen dan menargetkan para
mahasiswa dari universitas-universitas sekuler. Dengan metode seperti ini, JT
berhasil merekrut anggota baru dan memperluas cabang ke berbagai kota besar di
seluruh negeri.27
Pada dekade 1980-an, JT telah mendirikan lembaga-lembaga di kota-kota besar.
Mereka membentuk jaringan kelembagaan bernama Nurul Fikri, yaitu pendampingan
kelompok belajar untuk siswa SMA dalam pembelajaran, akan tetapi pendampingan
juga dimanfaatkan oleh para aktivis JT untuk merekrut kader Sabili. Mereka juga
menerbitkan sebuah majalah Khairul Ummah, yang mempromosikan ajaran-ajaran
Islam kepada masyarakat, terutama untuk kaum muda yang dipimpin oleh Rahmat
Abdullah. Mereka juga mendirikan sebuah pesantren yang dipimpin oleh Abdul
Hasib Hasan, dan juga menciptakan ‘kajian dan informasi terkait dunia Islam
kontemporer’, sebuah kelompok studi untuk berbagi informasi tentang politik internasional dan konflik, terutama di Palestina dan Afghanistan, yang dipimpin oleh
Abu Ridho dan Almuzammil Yusuf.28
Selama dekade 1990-an, JT telah memiliki jaringan yang mapan di banyak
universitas kota-kota besar di seluruh Indonesia dan mulai mengambil alih organisasi
Nada Sa i , Ca A y Good Co e of Radi al Isla ? , Opi i Majalah, Septe er . Peneliti lainnya mengatakan bahwa metode mengacu pada tradisi Sufi yang mana Hasan al-Banna merupakan salah satu anggotanya. Lihat Ibrahim M. Abu Rabi, Intellectual Origins of Islamic Resurgence in the Modern Arab (Albany: State University of New York Press, 1996), 67.
27
Arief Munandar, Antara Jemaah Dan Partai Politik: Dinamika Habitus Kader Partai Keadilan Sejahtera (pks) Dalam Arena Politik Indonesia Pasca Pemilu 2004, Disertasi untuk memperoleh PhD, The University of Indonesia, 246.
28
intra kampus dan ekstra kampus mahasiswa. Mulai dari Universitas Sumatera Utara
di Medan, Sumatera Utara, Universitas Indonesia di Jakarta, Institut Pertanian Bogor
di Bogor, Institut Teknologi Bandung di Bandung, Universitas Gadjah Mada di
Yogyakarta, Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya dan Universitas
Brawijaya di Malang, hingga sampai ke Universitas Hassanuddin di Makassar
Sulawesi Selatan, puncak pimpinan dan aktivis di setiap kegiatan kampus itu adalah
kader-kader JT.
Saat terjadi krisis menjelang perubahan rezim di pertengahan 1990-an, ketika
aktivitas gerakan politik berbasis Islam di bawah payung ICMI (Ikatan Cendekiawan
Muslim Indonesia)29 aktif dalam memobilisasi isu dan dukungan, mahasiswa jaringan JT mendirikan KAMMI yang difasilitasi oleh ICMI, dan dipimpin oleh Fahri
Hamzah. Selanjutnya, organisasi inilah yang menyuplai banyak elit dalam organisasi
JT dan PKS. Ketika Soeharto akhirnya mundur dan pemerintahan demokratis yang
baru dibentuk lalu diikuti dengan keterbukaan sistem politik, para aktivis JT
mendiskusikan apakah mereka harus mengambil kesempatan untuk berpartisipasi
dalam kompetisi untuk meraih kekuasaan. Opini mereka pun terpecah di antara para
elit JT sehingga mereka memutuskan untuk mengadakan voting. Lebih dari 6.000
kuesioner yang dibagikan kepada kader mereka dengan tiga pilihan, yaitu: (i)
bergabung dalam kompetisi politik dengan cara mendirikan partai politik, (ii)
bergabung dengan kelompok lain yang mendirikan partai politik, atau bergerak di
wilayah publik tetapi di wilayah non-politik. Lima puluh enam persen dari kuisioner
yang kembali dari responden memilih opsi pertama.
Lantas, sebuah partai politik yang dinamai Partai Keadilan didirikan pada tahun
1998. Partai Keadilan pada pemilu 1999 hanya mampu mendulang 1,7 persen suara
secara nasional dan gagal memenuhi electoral threshold disyaratkan oleh
Undang-Undang guna memungkinkan mereka untuk berpartisipasi kembali dalam pemilu
berikutnya. Hanya dengan tujuh kursi di Parlemen, PKS memutuskan untuk
29
berkoalisi dengan PAN di bawah pimpinan Amien Rais untuk menggolkan
amandemen baru Konstitusi guna mencegah Militer kembali berkuasa
Selama rezim Presiden Abdurrahman Wahid yang singkat, PK menerima satu
pos Kementerian (kehutanan), tapi hal ini tidak berlangsung lama karena Menteri dari
PK dicopot oleh Gus Dur yang berkeinginan menangkap dan menyeret ke meja hijau
para pengusaha kuat yang tersangkut pembalakan liar, pencopotan ini dilakukan
karena takut pembalasan politik oleh jaringan bisnis para cukong pembalakan. Di
bawah rezim Megawati, Presiden menawarkan pos kementerian lain kepada PK, akan
tetapi partai tersebut menolak dengan alasan Partai menolak keberadaan presiden
perempuan, dan Megawati dianggap sebagai Presiden yang didukung oleh politisi
sekuler dan Kristen.
Untuk dapat melanjutkan partisipasinya dalam kancah politik, JT membutuhkan
pendirian partai politik baru. Hal itu dilakukan pada tahun 2003 dan mendirikan
Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang sebenarnya juga menggunakan jaringan
organisasi PK dan kepemimpinan sebelumnya. Pada Pemilu 2004, PKS mengejutkan
sekali dengan raihan suara tiga kali lipat dari Pemilu sebelumya, sebesar 7,3 persen,
dan mendapatkan 45 kursi di Parlemen. Sebagai imbalan atas dukungan PKS dalam
pencalonan Presiden, Susilo Bambang Yudhoyono memberikan tiga pos kementerian,
yaitu Kementrian Perumahan, Pertanian, dan Pemuda dan Olahraga. Pada Pemilu
2009, PKS mendulang 7,8 persen suara nasional dan berhak atas 57 kursi di
Parlemen, dan menjadi partai politik berbasis Islam paling dominan. Pencapaian
tersebut juga menerima empat pos Kementerian di Kabinet, yaitu Kementrian Riset
dan Teknologi, Pertanian, Informasi dan Komunikasi, dan Sosial. Menariknya,
meskipun persentase meningkat, suara yang didulang partai menurun, dari 8.325.020
suara pada tahun 2004 menjadi 8.206.955 pada tahun 2009.
2.2. Sejarah panjang gerakan politik berbasis Islam di Indonesia
Bagaimanapun observasi lebih dekat mengungkapkan bahwa sejarah JT tidak dimulai
dari sejak berdirinya, dan sejarahnya tidak muncul dengan hitam di atas putih. Ketika
dan organisasi yang mencakup seluruh kota-kota besar di negeri ini, dan terutama di
kalangan akademisi muda. Jaringan tersebut menyelenggarakan perekrutan dan
pelatihan secara reguler bagi para aktivisnya, dan juga membuat pusat-pusat kajian
yang didirikan di (atau di seputaran) masjid kampus di berbagai kota seperti Jakarta,
Bogor, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Malang, Palembang, Lampung, Padang, dan
Makassar.30
Kembali pada era 1968, Jaringan aktivis ini ketika masih dikenal DDII
menyelenggarakan apa yang disebut Latihan Mujahid Dakwah di Jakarta untuk
aktivis muda Muslim. Tokoh populer yang terlibat dalam pelatihan ini termasuk di
antaranya mantan politisi Masyumi seperti Natsir, Roem, dan mantan Menteri Agama
Mukti Ali, sedangkan para pesertanya di antaranya Imaduddin Abdurrahim, Amien
Rais, Kutowijoyo, Abu Ridho dan Mashadi. Dua nama terakhir kemudian menjadi
aktivis senior JT.31
Sejak tahun 1974 dan berikutnya, alumni LMD mulai menyebar ke berbagai
kampus, ada dua kampus yang mana aktifitas mereka sangat menonjol, pertama di
masjid Salman32 di Institut Teknologi Bandung (ITB) di mana Imaduddin
Abdurrahim mengadakan serangkaian acara yang dikenal dengan Pelatihan Hidup
Islami (LHI) guna mempromosikan cara-cara hidup Islami di kalangan mahasiswa
dan masyarakat. Kedua, aktivitas mereka di masjid Salahuddin Universitas Gadjah
Mada Yogyakarata yang digawangi oleh Amien Rais. Di masjid ini mereka
mendirikan sebuah komunitas Salahuddin33 yang rutin menyelenggarakan ceramah dan diskusi tentang Islam. Berangkat dari dua lembaga ini, generasi muda aktivis
dakwah lahir yang kemudian menjadi para pemimpin JT, seperti Hidayat Nur Wahid,
30
A.M Luthfi, 'Gerakan Dakwah di Indonesia', dalam Jimly Ashidiqy dkk, Bang Imad:. Pemikiran Dan Gerakan Dakwahnya (Solo: Gema Insani Press, 2002), 158-166.
31
Ibid.
32
Yang dikehendaki dengan nama masjid tersebut adalah Salman Al-Farisi, sahabat Nabi Muhammad yang dianggap sebagai ahli strategi militer terbaiknya.
33
Mutamimul Ula, Untung Wahono, Tifatul Sembiring, Tjahjadi Takariawan, di antara
yang cukup menonjol di antara yang lain.34
3.3. Susunan institusi dalam menghadapi kompetisi politik
Faktor lain yang berkontribusi atas keunikan dari sejarah perkembangan JT adalah
institusi politiknya yang tunduk pada regulasi kompetisi politik di Indonesia dalam
lima tahun terakhir. Institusi kelembagaan mereka dicirikan dengan segitiga
antagonisme yang rumit dan aliansi di antara rezim Suharto, militer dan politik
berbasis Islam.
Pertama, para pemimpin lembaga-lembaga berbasis Islam menghadapi penolakan
secara institusional oleh rezim Orde Baru yang baru saja didirikan pada pertengahan
1960-an ketika bermaksud menghidupkan kembali partai Masyumi yang telah
dilarang berserta pencekalan para pemimpin eks Masyumi untuk terlibat aktivitas
politik. Dalam situasi seperti ini, rezim Soeharto yang ditopang militer dan gerakan
politik berbasis Islam lainnya merupakan pihak yang memerankan peran antagonis.
Penolakan oleh pemerintah tersebut memaksa gerakan politik berbasis Islam tadi
untuk memecah sumber daya mereka; satu sisi, mereka mengandalkan politisi muda
untuk terlibat dalam kompetisi politik melalui partai Parmusi yang baru dibentuk. Di
sisi lain, mantan politisi Masyumi menciptakan gerakan non-politik, yaitu Dewan
Dakwah Islam Indonesia (DDII). Langkah ini merupakan awal mula DDII
menggabungkan dakwah dan aktivitas politik secara kesinambungan dan sekaligus
mempromosikannya di kalangan mahasiswa sekuler.
Kedua, pengaturan institusi ketatanegaraan sebagaimana menurut UU No. 3/1975
telah memaksa semua gerakan politik berbasis Islam dan pelaku politik berbasis
Islam harus berfusi menjadi satu partai bernama Partai Persatuan Pembangunan
(PPP). Sedangkan kelompok lainnya disatukan ke dalam Partai Demokrasi Indonesia
(PDI). Dalam kondisi seperti ini, karakter antagonis layak disematkan kepada rezim
Soeharto dan gerakan politik berbasis Islam dan partai politik lainnya. Di dalam
tubuh militer pun mengalami keretakan internal antara yang pro Soeharto dan yang
34
kontra, menjadi kelompok terpinggirkan. Sementara itu, keruwetan semakin
meningkat di dalam internal gerakan politik berbasis Islam karena adanya fusi dua
kutub kelompok Islam dalam satu partai, kaum tradisionalis dan kelompok modernis.
Ujian politik berbasis Islam sendiri meledak di pertengahan 1970-an yang
menjadikan mahasiswa menjadi pusat perhatian karena terlibat dalam kerusuhan di
Jakarta pada bulan Januari 1974. Peristiwa tersebut mendesak rezim Orde Baru
bereaksi dengan mengeluarkan SK No.0156/U/1978 yang melarang mahasiswa
terlibat dalam kegiatan politik. Kebijakan tersebut jamak dikenal sebagai
“Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Keahasiswaan (NKK/BKK), diterbitkan pada Mei 1978. Kebijakan tersebut berhasil menekan gerakan politik
mahasiswa. Pun begitu, alih-alih mematahkan semangat mahasiswa, justru kebijakan
ini lebih mengintensifkan radikalisme gerakan politik mahasiswa. Pada
kenyataannya, kebijakan tersebut telah mematangkan gairah politik anggota-anggota
senior JT dan PKS selama akhir 1970-an dan awal 1980-an.35
Ketiga, pengaturan kelembagaan sebagaimana perampingan sistem multi partai
adalah langkah politis rezim Orba untuk membatasi ruang gerak para mantan
pemberontak Darul Islam dengan dalih tangkal kembalinya komunis.36 Jaringan Dakwah Islam (DI) dihidupkan kembali oleh rezim yang kemudian menciptakan
hubungan ambigu terhadap rezim. Keberadaan DI menjadi ‘kembaran jahat’ bagi
gerakan politik berbasis Islam. Hilmy Aminuddin adalah salah satu anak elit
pemimpin tingginya, Danu Mohammad Hassan, yang juga termasuk di antara yang
ada di tahanan. Dia meringkuk selama tiga tahun dalam tahanan militer dan kemudian
dibebaskan tanpa jaminan. Periode ini merupakan periode gelap bagi JT-PKS dalam
35
Adam Johnson and Jonathan Paris, editor, The Politics of Post Suharto Indonesia,
Council of Foreign Relations, New York, 1999, hlm. 33–35. Lihat juga Damien Kingsbury,
The Politics of Indonesia, Oxford University Press, Oxford, 2002, hlm. 84–86. 36
lembaran sejarahnya karena begitu banyak aktivis berbasis Islam (termasuk Hilmy)
dituduh dan dikooptasi oleh militer atau Badan Intelijen Negara. JT-PKS menolak
tuduhan itu dengan menunjuk pada fakta dengan bukti dilepaskannya Hilmy tanpa
jaminan.37
Keempat, susunan kelembagaan berkaitan politik yang jamak dikenal sebagai
lima paket Undang-Undang, salah satunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985
menetetapkan kewajiban mengadopsi ideologi negara, Pancasila sebagai satu-satunya
dasar untuk semua organisasi. Peraturan tersebut membuat konstelasi politik semakin
kompleks. Di satu sisi, ada pertentangan antara rezim Pemerintah dengan gerakan
politik berbasis Islam. Dan di sisi yang lain, rezim Pemerintah juga berseberangan
pandangan dengan sekelompok pensiunan Jenderal, mantan politisi Masyumi, dan
juga para aktivis sosial, sebagaimana yang dikenal dengan istilah ‘Petisi 50’. Pada
sudut yang lain pula, militer mengalami perpecahan lebih lanjut antara loyalis
Soeharto di bawah Wakil Presiden Letnan Jenderal Sudharmono dan tentara
profesional di bawah Panglima Jenderal Benny Moerdani yang tidak menyukai sepak
terjang bisnis keluarga Soeharto.38 Kewajiban mengadopsi Pancasila sebagai
satu-satunya ideologi telah mengintensifkan tensi gerakan radikal di kalangan organisasi
berbasis Islam. Memang, banyak dari mereka memilih bergerak underground,
mengabaikan Undang-Undang tersebut dan lebih memilih status illegal, termasuk di
antaranya Mahasiswa Islam Indonesia (PII)39 dan salah satu faksi dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang populer disebut ‘Faksi MPO’. Banyak aktivis
organisasi klandestin berbasis Islam di kemudian hari bergabung dengan JT, dan
37
Yon Machmudi, Islamising Indonesia: The Rise of Jemaah Tarbiyah and The Prosperous Justice Party (Canberra: anu e Press, 2008), 93–94.
38
Jun Honna, Militar Ideolog i Respo se to De ocratic Pressure duri g the Late
Suharto Era: Political and Institutional Contexts, I do esia , –126. 39
kemudian hari dengan PKS. Di antaranya adalah Mutamimul Ula (mantan Ketua
Umum PII), Tamsil Linrung dan Nur Sanita Nasution (HMI-MPO).
Kelima, susunan kelembagaan telah menciptakan sour relations antara Suharto
dengan militer. Hubungan tidak harmonis tersebut mendorong sang mantan Presiden
untuk membangun aliansi dengan gerakan politik berbasis Islam. Skema tersebut
telah menciptakan sebuah platform perpolitikan baru dan rumit atas konstelasi politik,
di mana setiap kubu mengalami kedisharmonisan di dalam internal masing-masing.
Gerakan politik berbasis Islam pun terbelah ke dua arah, yaitu antara pro dan
anti-Soeharto, dan antara pro dan anti demokrasi. Dalam tubuh militer pun juga terbelah
ke dua arah, pertama adalah kubu militer berhaluan Islam (tentara hijau) dan para
angkatan tentara yang berhaluan sekuler (tentara merah) dan faksi Kristen. Di antara
mereka juga ada yang anti dan pro demokrasi pula, kondisi yang kompleks. Situasi
seperti itu telah memberikan para politisi PKS pengalaman dasar bahwa politik tidak
pernah simpel dan hitam-putih sebagaimana yang dipahami oleh anggota JT. Pada
kenyataannya, sejak saat itulah para politisi PKS dan gerakan politik berbasis Islam
lainnya belajar akan strategi aliansi berdasarkan kepentingan politik yang sama,
mengesampingkan ideologi politik, kemudian membentuk faksi-faksi politik yang
cenderung pragmatis.40
3. Ideologi, organisasi, faksionalisme
Bagian ini akan membahas struktural internal JT dan PKS, serta hubungan antara
keduanya, baik dari segi organisasi ataupun kepemimpinan. Pada prinsipnya, dua
organisasi ini ibarat dua sisi mata uang, mengikuti prinsip Ikhwanul Muslimin,
‘masyarakat adalah partai, dan partai adalah masyarakat’. Bagaimanapun, semenjak dua organisasi ini bergerak di ranah yang berbeda; satu organisasi di ranah sosial dan
yang lain di ranah politik serta tunduk pada aturan hukum yang berbeda, keduanya
telah berkembang menuju kutub yang berjauhan pula karena adanya peraturan dan
prosedur, yang kadang-kadang saling bertabrakan satu sama lain: JT adalah
40 R. Willia Liddle, The Isla ic Tur i I do esia: A Political E pla atio
organisasi sosial keagamaan yang tunduk pada prinsip-prinsip etika dan spiritualisme,
sementara PKS terlibat dalam kompetisi perebutan kekuasaan politik dan sebagian
besar bergerak di program yang berkaitan pencapaian dan akuntabilitas program.
Konsekuensinya adalah terjadinya clash di antara keduanya.
3.1. Islamisasi politik secara bertahap
Sebagai anak cabang dari Ikhwanul Muslimin Mesir, JT juga mengadopsi ideologi,
program politik dan bentuk struktur organisasi. Secara ideologis, JT meniru
pendekatan ‘Islamisasi bertahap’ mereka juga, bergerak secara bertahap dari islamisasi individu, keluarga, masyarakat kemudian islamisasi negara.41 Bagi aktivis JT, program evolusiner ini bukan saja dianggap ideal, tetapi juga masuk akal jika
mengikuti logika pembangunan sosial, islamisasi individu akan lebih mudah untuk
bergerak ke arah menanamkan nilai-nilai Islam ke dalam keluarga sebagai unit
terkecil masyarakat. Sekali saja keluarga hidup sesuai ajaran Islam, maka masyarakat
akan bergerak dengan sendirinya untuk menegakkan nilai-nilai dan budaya Islam.
Akhirnya, jika norma-norma Islam menjadi norma masyarakat, maka kemunculan
sistem politik Islam hanya masalah waktu.42
Metode Islamisasi bertahap ini merepresentasikan gerakan moderat Ikhwanul
Muslimin yang merupakan gerakan damai berbasis Islam, tentu tidak dapat dikaitkan
dengan gerakan radikal dan organisasi berbasis Islam lainnya. Para aktivis JT selalu
mengajukan argumentasi ini. Sebagaimana diketahui bahwa Ikhwanul Muslimin terus
dicap dan dianggap oleh media-media Asing dan media-media dalam negeri sebagai
gerakan radikal dan revolusioner. Implikasi secara implisit jika JT dan PKS sebagai
41
Konsep awal dari reformasi bertahap (islah) merupakan dari pendiri Ikhwanul Muslimin Hassan Banna dengan urutan sebagai berikut: reformasi individu (islah al-nafs), reformasi keluarga Muslim (islah al-bait al-Muslim), reformasi masyarakat (islah al-mujtama' ), kemerdekaan nasional (tahrir al-wathan), reformasi pemerintah (islah al-hukumah).Lantasmendapatkan perhatian internasional kemudian melakukan ekspansi internasional. Lihat Fathi Yakan, Revolusi Hassan Al-Banna: Dari Sayyid Qutub hingga Rasyid Al-Ganusyi, penerjemah Fauzun Jamal dan Alimin (Bandung: Harakah, 2002), 12– 13.
42
anak cabangnya adalah kecenderungan mengikuti metode yang sama pula.
Selanjutnya, dalam konteks gerakan berbasis Islam Indonesia, program Islamisasi
bertahap Ikhwanul Muslimin mencontohkan terobosan yang mentransendensikan
wajah antagonisme serta kegagalan gerakan radikal sebagaimana yang dilakukan
laskar jihad atau FPI, ataupun gerakan secara akomodatif seperti Muhammadiyah dan
NU. Ini adalah tren baru kalangan umat Islam Indonesia yang telah melahirkan wajah
baru santri.43 Abdi Sumaithi alias Abu Ridho menjelaskan bahwa langkah bertahap seperti ini adalah metode dakwah Islam yang dilakukan oleh Nabi Muhammad. Dia
mulai dengan mengajak individu untuk mengikuti Islam, kemudian menanamkan
nilai-nilai dan perilaku Islam melalui keluarga, yang kemudian akan menjalar pada
islamisasi struktur sosial dan adat istiadat. Setelah Islam menjadi kerangka
masyarakat, Nabi akan membangun sistem politik dan negara, yang akan diikuti oleh
ekspansi internasionalisasi Islam ke negara-negara lain.44
Ciri khas ideologi lain Ikhwanul Muslimin yang juga diadopsi oleh JT adalah
rasa simpati dan antusiasme terhadap konflik-konflik internasional yang melibatkan
umat Islam, khususnya konflik Palestina. Kejadian-kejadian tersebut ikut memberi
andil atas sikap para kader JT. Pertama, hal tersebut memberi landasan ideologis
untuk JT, sebagai bagian dari jaringan Ikhwanul Muslimin yang berjuang untuk Islam
dan umat Islam, dan untuk memerangi musuh-musuh Islam terutama orang-orang
Yahudi. Dalam keyakinan mereka, orang-orang Yahudi selalu menimbulkan masalah
bagi umat Islam dan mereka takut dan benci terhadap keunggulan umat Islam. Pun,
juga sebagai pihak yang terlibat dalam pelengseran semua dinasti-dinasti besar Islam
besar. Dari peristiwa penaklukan Dinasti Umayyah oleh Mongol serta dinasti
Ottoman oleh Atatürk.45 Kedua, isu-isu internasional tersebut sangat menjual dalam menarik anggota baru, khususnya kalangan mahasiswa. Ketiga, hal itu merupakan isu
yang begitu menarik perhatian dan simpati publik.
43
Wawancara dengan Yon Machmudi, a pks founder and lecturer at the University of Indonesia.
44
Wawancara dengan Abu Ridho, Jakarta. 45
Selain program dakwah bertahap tersebut, JT juga mengadopsi strategi politik
secara evolusioner, yang dikenal sebagai ‘tahapan dakwah’: tahap pertama adalah
‘dasar’ (tanzim), yang mana aktivis JT mulai mengekplorasi program-program Islam politik dan melakukan penelitian sosial-politik di lingkungan masing-masing. Kedua,
sosialisasi (sha'bi) di mana para kader mulai bersosialisasi tentang program-program
politik, serta merekrut dan melatih anggota lainnya. Ketiga adalah menempatkan
semua sumber daya manusia mereka (mu'assasi) dengan cara mendorong para
anggota JT untuk mengejar karir mereka di berbagai pekerjaan professional (publik,
swasta dan sukarela), memanfaatkan jaringan alumni dari universitas-universitas
ternama dalam mencapai posisi-posisi sesuai bidang masing-masing guna merebut
mengambil sumber daya itu untuk mendukung program-program JT.46
Para aktivis JT percaya bahwa tahap pertama dan kedua sudah dilewati selama
dekade 1980 ketika organisasi masih melakukan aktifitasnya secara underground
dalam menyusun strategi, perekrutan serta pelatihan anggota dan aktivis. Tahap
ketiga dilalui selama dekade 1990-an. Lantas, ketika suasana politik telah
mendukung, mereka mulai go public, memasuki berbagai lembaga. Di kesempatan
yang sama pula, karir para anggota mereka juga melesat di berbagai bidang pekerjaan
profesional. Akhirnya, fase keempat dicapai pada tahun 1998 ketika mereka
mendirikan partai politik dan ikut serta dalam pemilu, menguasai birokrasi
pemerintahan dan membuat kebijakan publik .47
3.2. Isu kunci arah perjuangan
3.2.1 Negara Islam
PKS mengikuti cara Ikhwanul Muslimin Mesir, tidak memiliki blue prints spesifik
terkait bentuk negara atau sistem politik yang seharusnya. Hal ini berbeda dengan
Hizbut Tahrir yang berusaha untuk menghidupkan kembali konsep kekhalifahan
46Yo Ma h udi, Isla izi g I do esia
, (Canberra: anu e Press, 2008), 177–186. Anis Matta, Menikmati Demokrasi: Strategi Dakwah Menikmati Kemenangan (Jakarta: Pustaka Saksi, 2002), 9–11.
47
Islam yang universal, atau Jamaah Islamiyah di bawah komando Abu Bakar Ba'asyir
yang bertujuan mendirikan aliansi pemerintahan Islam se-Asia Tenggara.48 Lebih lanjut, PKS memiliki kecenderungan mirip gerakan-gerakan radikal lainnya, PKS
meyakini bahwa Islam adalah sistem tata kehidupan yang komprehensif yang
seharusnya diberlakukan kepada setiap individu, sosial dan juga bidang politik.
Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, apa yang PKS yakini tentang Islam kaffah
(menyeluruh) tidak terpola, melainkan kecenderungan penekanan pada perilaku
individu dalam diri setiap orang. Masyarakat Islam menurut mereka adalah
masyarakat yang mana setiap orang berperilaku sesuai dengan ajaran Islam,
sementara struktur masyarakat itu sendiri dibiarkan dalam bentuk modern, tradisional
atau kesukuan. Suatu bentuk entitas masyarakat Islam yang mana setiap umat Islam
menjalankan ritual keislaman secara teratur serta adanya penegakan nilai-nilai Islam.
Misalnya standar berpakaian dan barang yang diperkenankan dikonsumsi menjadi
norma dalam kehidupan publik, kejahatan dan perilaku amoral diminimalisir, atau
kalau perlu dihilangkan sama sekali.
Terkait bentuk sistem politik yang Islami menurut mereka tidak hanya terbatas
pada konsep kekhalifahan universal, tetapi dapat juga berbentuk kerajaan atau
republik sejauh mengadopsi prinsip-prinsip Islam. Menurut persepsi PKS, manusia
yang hidup dalam bermasyarakat dan bernegara adalah media untuk meningkatkan
kualitas hidup masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, negara berfungsi sebagai
faktor pendukung untuk menciptakan masyarakat Islami, sebuah konsep ummah.
Konsep seperti ini merupakan struktur yang menyediakan peraturan dan regulasi
hukum di mana setiap orang seharusnya menjalani kehidupan, dan memiliki
kewenangan untuk menegakkan prinsip-prinsip tersebut, dan juga wewenang untuk
menghukum para pelanggarnya.
Negara Islam merupakan suatu sistem politik yang mana mampu memberlakukan
prinsip-prinsip Islam di dalam masyarakatnya.49 PKS juga percaya bahwa Indonesia
48 Sid ey Jo es,
Al-Qaeda i Southeast Asia: The case of the Ngruki Network i
I do esia , icg I do esia Briefi g, 8 Agustus 2002, no. 14, 693–617.
49
pada dasarnya adalah negara Islam karena mengakomodasi agama sebagai bagian
dari negara dan pemerintahan. Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia
dirumuskan oleh para politisi Muslim, dan sila-sila itu mencerminkan semangat
ajaran Islam dalam kehidupan berpolitik. Yang menjadi titik perhatian PKS itu adalah
kinerja para pemegang kekuasaan di Indonesia yang tidak mengimplementasikan
Pancasila secara komperhensif dengan alasan bahwa pemerintah tidak memiliki
komitmen terhadap prinsip-prinsip Islam. Prinsip-prinsip Islami itu bisa berjalan jika
para pemimpin politik dan pejabat pemerintah, yang sebagian besar Muslim memiliki
komitmen secara pribadi untuk menegakan nilai-nilai Islam, maka Pancasila dapat
diterapkan secara komprehensif.
PKS menerima sistem demokrasi berdasar dua alasan. Pertama, demokrasi adalah
sistem yang fleksibel yang bisa mengarah ke bentuk sistem sosialis atau kapitalis, dan
sekuler ataupun religius. Musyawarah sebagai prinsip dasar demokrasi benar-benar
sejalan dengan ajaran Islam. Kedua, demokrasi adalah realitas politik di Indonesia
dan internasional, oleh karena itu harus diambil sebagai titik anjak untuk
membangun sistem politik Islam. Politik merupakan sarana untuk menyebarkan
agama (dakwah), dan bertujuan untuk mengubah orang perorang dan memperbaiki
kondisi sosialnya. Itulah amanat yang diemban oleh Tarbiyah. Dengan demikian,
kegiatan dakwah, termasuk dakwah dalam ranah politik, harus dimulai dari
pemahaman dan penerimaan akan realitas, bukan justru mengabaikan realitas
tersebut.50
3.2.2. Pluralisme keagamaan
Menurut JT-PKS, Islam adalah kebenaran hakiki dan universal yang harus disebarkan
ke seluruh umat manusia di mana pun dan siapa pun mereka. Ini adalah kewajiban
bagi semua umat Islam untuk mendakwahkan agama mereka sesuai dengan kapasitas
dan kesempatan mereka. Namun, dakwah harus memfokuskan diri pada tujuan
mencapai kemanfaatannya dan menghindari kerusakan dan meminimalisir resiko.
Dalam konteks sosial dan politik berarti kegiatan dakwah harus dilakukan dengan
50
cara-cara menghindari konflik dan ketidakstabilan (chaos) yang tidak hanya akan
merugikan masyarakat, tetapi juga dampak berupa citra negatif tentang Islam dan
Muslim itu sendiri. Indonesia merupakan negara demokrasi dan bangsa religius. Ini
berarti bahwa orang Indonesia bebas untuk hidup sesuai dengan keyakinan mereka.
Pluralisme agama tidak berarti pengakuan bahwa semua agama itu sama, tetapi
mengacu pada suatu kondisi di mana orang boleh memproklamirkan diri dan
mengekspresikan keyakinan agama mereka. Oleh karena itu, dalam pandangan PKS
tidak ada pluralisme agama, melainkan pluralitas agama. Artinya, setiap orang yang
tinggal Indonesia, negara mengakui agama-agama yang berbeda tersebut. Pun begitu,
pluralitas tersebut tidak menggugurkan kewajiban bagi Muslim untuk menyebarkan
Islam. Islam harus disebarkan, tapi dengan cara damai.
Pada kenyataannya, ada dua sisi dalam istilah pluralisme, eksternal dan internal.
Pluralisme eksternal berarti koeksistensi dan toleransi terhadap pemeluk agama lain.
Sedangkan pluralisme internal adalah pemahaman dan kerjasama dengan umat Islam
lainnya dalam tradisi-tradisi yang berbeda. Berkenaan dengan pluralisme eksternal,
PKS menunjukkan sikap toleran terhadap agama lain, sementara dalam kaitannya
dengan pluralisme internal yang juga menunjukkan toleransi terhadap kelompok
Muslim lainnya adalah sejauh tidak ada tanda-tanda bid'ah secara doktrinal atau
kepentingan politik. Ada dua kasus perlu mendapat perhatian khusus terkait hal ini.
Pertama, kontroversi pengikut Ahmadiyah yang memicu kekerasan berdarah terhadap
kelompok minoritas. Berkaitan hal ini, politisi PKS mendesak otoritas pemerintahan
untuk bertindak tegas guna mencegah tindak kekerasan. Namun pada saat yang sama,
mereka juga mendesak pemerintah untuk melarang penganut Ahmadiyah mengaku
sebagai bagian komunitas Islam. Penelitian Bastiaan Scherpen dalam buku ini
memetakan sikap politik organisasi sosial dan politik Islam di Indonesia terkait isu
Ahmadiyah tersebut. Dalam kasus ini, PKS sendiri menunjukkan sikap yang keras
dan konservatif. PKS sendiri juga dikabarkan memecat anggotanya yang masuk
Syiah dan merawat istrinya yang memutuskan untuk meminta cerai sesuai saran PKS.
Kedua, Lebih lanjut, JT-PKS juga menunjukkan perubahan sikap terhadap