• Tidak ada hasil yang ditemukan

Partisipasi Masyarakat dalam Penanggulangan Kawasan Kumuh Partisipasi masyarakat disini dapat diartikan sebagai keterlibatan

Tebel 4.15. UJi Glesjer

4.1.6. Partisipasi Masyarakat dalam Penanggulangan Kawasan Kumuh Partisipasi masyarakat disini dapat diartikan sebagai keterlibatan

masyarakat secara sadar dan spontan disertai tanggung jawab dalam mencapai tujuan penanggulangan kawasan kumuh yaitu mempercepat penanggulangan atas kebutuhan masyarakat dan peningkatan kemampuan kelembagaan masyarakat dan aparat melalui usaha peningkatan partisipasi masyarakat dan aparat dalam pembangunan prasarana dan sarana yang mendukung kegiatan pemerintah. Dengan demikian masyarakat diharapkan untuk ikut serta dalam program pemerintah.

Tabel 4.17. Partisipasi Masyarakat dalam Indikator I – IV terhadap Program Penanggulangan Kawasan Kumuh

No. Kriteria Partisipasi Masyarakat

I II III IV F % F % F % F % 1. 2. 3. Selalu ikut Kadang-kadang ikut Tidak Ikut 13 21 66 13,00 21,00 66,00 12 28 60 12,00 28,00 60,00 14 27 59 14,00 27,00 59,00 11 28 61 11,00 28,00 61,00 Jumlah 100 100 100 100 100 100 100 100 Keterangan :

I = Partisipasi dalam pengambilan keputusan program penanganan kawasan kumuh

II = Partisipasi dalam pelaksanaan program penanganan kawasan kumuh III = Partisipasi dalam menerima hasil program penanganan kawasan kumuh IV = Partisipasi dalam menilai program penanganan kawasan kumuh

Hasil penelitian seperti terdapat pada Tabel 4.17 kecenderungan pola partisipasi masyarakat dalam penanggulangan kawasan kumuh sama. Dimana partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan program penanggulangan kawasan kumuh menunjukkan pada tingkat selalu ikut yaitu 13,00 persen,

masyarakat dalam pelaksanaan program penanggulangan kawasan kumuh menunjukkan pada tingkat selalu ikut yaitu 12,00 persen, kadang-kadang ikut 28 persen dan tidak ikut 60 persen. Partisipasi masyarakat dalam menerima hasil program penanggulangan kawasan kumuh menunjukkan pada tingkat selalu ikut yaitu 14,00 persen, kadang-kadang ikut 27 persen dan tidak ikut 59 persen. Partisipasi masyarakat dalam menilai program penanggulangan kawasan kumuh menunjukkan pada tingkat selalu ikut yaitu 11,00 persen, kadang-kadang ikut 28 persen dan tidak ikut 61 persen.

4.2. Pembahasan

4.2.1. Kondisi Permukiman Kawasan Kumuh

Kondisi perumahan dan permukiman kawasan kumuh Kota Tebing Tinggi sebagian besar merupakan bangunan permanen dengan tingkat kepadatan cukup tinggi. Selain itu terdapat pula permukiman non permanen atau rumah kurang layak huni dimana kualitas struktur bangunan tersebut belum memenuhi persyaratan, baik dari segi kebutuhan keamanan maupun keselamatan bagi penghuninya, antara lain dilihat dari pondasi, dinding, atap, maupun lantai dari suatu rumah tinggal yang sehat. Semakin banyak rumah dalam suatu lingkungan permukiman yang tidak memenuhi kebutuhan minimal keselamatan, kesehatan, dan keamanan mengindikasikan kondisi lingkungan permukiman menuju kepada perumahan/permukiman yang kurang layak huni.

Kondisi air bersih di Kawasan Kumuh Kota Tebing Tinggi menunjukkan kurangnya pelayanan air bersih dan banyak rumah yang belum memilki sambungan langsung untuk mendapatkan air bersih. Kondisi drainase

menunjukkan kurangnya prasarana dan sarana drainase, sering terjadi banjir, kurangnya kesadaran masyarakat dalam memelihara saluran drainase (mengakibatkan saluran kurang berfungsi). Kondisi sanitasi/limbah menunjukkan kurangnya prasarana dan sarana pembuangan limbah rumah tangga, kurangnya lahan untuk pengembangan limbah rumah tangga (padatnya bangunan) dan kurangnya kesadaran masyarakat dalam membuang limbah rumah tangga. Kondisi persampahan menunjukkan kurangnya prasarana dan sarana persampahan dan kurangnya kesadaran masyarakat dalam membuang sampah. Kondisi jalan menunjukkan kurangnya kualitas jalan lingkungan (banyak jalan dalam kondisi tidak ada perkerasan permukaan jalan/jalan tanah), jalan inspeksi di sungai belum dimanfaatkan dan kesadaran masyarakat dalam memelihara jalan kurang (jalan rusak karena saluran drainase kanan kiri jalan rusak sehingga tidak berfungsi). Hasil penelitian ini sejalan dengan Cahya dan Juanda (2012) yang menyimpulkan bahwa minimnya aksesibilitas menuju atau keluar wilayah, kekumuhan yang terjadi juga dikarenakan kondisi fasilitas dan utulitas yang di lokasi studi saat ini belum memenuhi standar yang layak dan belum mengakomodasikan kebutuhan fasilitas pendukung untuk kenyamana dan keamana masyarakat, ditambah rendahnya penghasilan masyarakat Pulo Geulis yang mengakibatkan ketidak mampuan dalam memperbaiki fisik lingkungan wilayah sendiri.

Menurut Hariyanto (2007) pembangunan perumahan dan permukiman yang kurang terpadu, terarah, terencana, dan kurang memperhatikan kelengkapan prasarana dan sarana dasar seperti air bersih, sanitasi (jamban), sistem pengelolaan sampah, dan saluran pembuangan air hujan, akan cenderung mengalami degradasi kualitas lingkungan atau yang kemudian diterminologikan

sebagai “Kawasan Kumuh”. Hasil ini menunjukkan perlu adanya upaya Pemerintah Kota Tebing Tinggi untuk membangun rumah susun, memberikan penyuluhan tentang dampak tinggal di permukiman kumuh dan memperbaiki sarana dan prasarana permukiman kumuh.

4.2.2. Sosial Ekonomi Masyarakat

Sosial ekonomi masyarakat responden yang tinggal di permukiman menunjukkan bahwa umur responden termasuk dalam usia produktif yaitu 25-60 tahun dan berkemampuan untuk memperoleh pekerjaan dan mengembangkan usaha dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga. Lama menetap responden 11- 35 tahun menunjukkan bahwa masyarakat di permukiman kumuh termasuk penduduk asli daerah tersebut dan merasa sesuai dengan lingkungan yang sudah ada sehingga kurang berminat untuk pindah ke daerah lain. Jumlah tanggungan keluarga yang cukup banyak juga mempengaruhi masyarakat untuk tetap tinggal di permukiman kumuh, hal ini disebabkan jika pindah ke daerah lain akan mempengaruhi pengeluaran masyarakat seperti sewa rumah. Tingkat pendidikan yang rendah juga mempengaruhi masyarakat untuk tetap tinggal di permukiman kumuh, hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan masyarakat tentang dampak permukiman kumuh. Tingkat pendapatan dan mata pencaharian masyarakat responden yang kurang mumpini juga mempengaruhi masyarakat untuk tetap tinggal di permukiman kumuh, hal ini disebabkan rata-rata masyarakat di permukiman kumuh memiliki pedagang warung rumahan, tukang becak, penjahit rumahan, tukang parkir, dan wiraswasta yang bergerak dalam bidang jasa yang kurang memiliki pendapatan yang layak untuk menghidupi kebutuhan keluarganya. Hasil penelitian ini sejalan dengan Mulia (2008) yang

menyimpulkan bahwa pemukiman Kampung Kubur mengalami tekanan lingkungan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor dari aspek ekonomi, sosial dan budaya, fisik lingkungan. Faktor-faktor yang dominan mempengaruhi tekanan lingkungan pada pemukiman Kampung Kubur terdiri dari: Faktor aspek ekonomi yang terdiri dari: pendapatan keluarga, pengeluaran keluarga, kemampuan menabung keluarga. Faktor aspek fisik hunian yang terdiri dari tidak terpenuhinya standard luasan lantai rumah, tidak terpenuhinya standard kenyamanan rumah sehat, tidak terpenuhinya persyaratan teknis rumah yang sehat. Faktor aspek sosial dan budaya terdiri dari wawasan yang kurang mengenai lingkungan yang sehat. Hasil penelitian Surtiani (2006) menyimpulkan bahwa faktor yang menyebabkan kawasan Pancuran menjadi kumuh adalah faktor tingkat penghasilan, status kepemilikan hunian, dan lama tinggal. Zulkarnaen (2004) menyimpulkan bahwa karakteristik responden yang tinggal di lingkungan kumuh di Kelurahan Kampung Baru adalah warga kota yang hidup dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan relatif rendah. Mayoritas pekerjaan mereka adalah sebagai pekerja sektor informal dan mempunyai pendapatan secara umum belum memadai atau kurang bila melihat tingkat kebutuhan hidup di kota Medan yang relatif tinggi, sehingga mereka tetap tinggal di lingkungan kumuh ini.

Dokumen terkait