• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Penanganan Kawasan Kumuh Kota Tebing Tinggi Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Penanganan Kawasan Kumuh Kota Tebing Tinggi Chapter III V"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kota Tebing Tinggi, Sumatera Utara. Berdasarkan Surat Keputusan Walikota No. 050/2128 Tahun 2014 tentang penetapan lokasi perumahan kumuh dan permukiman kumuh di Kota Tebing Tinggi, terdapat 5 (lima) kelurahan kumuh dengan luasan total 10,05 Ha, tersebar di 3 kecamatan yaitu :

1. Kecamatan Padang Hulu di Lingkungan VI Kelurahan Tualang dengan luas 1,22 Ha;

2. Kecamatan Tebing Tinggi Kota di Lingkungan 1 Kelurahan Bandar Utama dengan luas 1,98 Ha;

3. Kecamatan Bajenis di Lingkungan II Kelurahan Pinang dengan luas 2,19 Ha; 4. Kecamatan Bajenis di Lingkungan VI Kelurahan Durian dengan luas 3,16 Ha;

dan

(2)
(3)

Tabel. 3.1: Lokasi Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh

No Nama

Lokasi/Lingkungan Kelurahan Kecamatan

Luas

Sumber: SK Walikota Tebing Tinggi No. 050/2128 Tahun 2014 tentang

Penetapan Lokasi Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh di Kota Tebing Tinggi.

3.2. Populasi dan Sampel 3.2.1. Populasi

Menurut Sugiarto (2003) populasi merupakan keseluruhan unit atau individu dalam ruang lingkup yang akan diteliti. Populasi sampel adalah keseluruhan individu atau unit yang akan menjadi satuan analisis dalam populasi yang layak dan sesuai untuk dijadikan atau ditarik sebagai sampel penelitian. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka yang menjadi populasi sampel penelitian ini adalah semua rumah tangga yang tinggal di lingkungan permukiman kumuh, yaitu pada 5 (lima) lingkungan pada 5 (lima) kelurahan dan 3 (tiga) kecamatan di Kota Tebing Tinggi sebanyak 1.775 KK sesuai dengan SK Walikota Tebing Tinggi Nomor 050/2128 Tahun 2014 tentang Penetapan Lokasi Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh di Kota Tebing Tinggi.

3.2.2. Sampel

(4)

dapat mempresentasikan kondisi populasi. Jumlah sampel ditentukan berdasarkan rumus Slovin (Husein Umar, 2003) sebagai berikut:

N 1775

Untuk mengurangi adanya deviasi (penyimpangan) dalam pengambilan sampel maka jumlah sampel total yang diambil seluruhnya adalah 100 responden (KK). Kemudian, secara proporsional dibagi masing-masing buah kuesioner untuk disebarkan di 5 (lima) lingkungan pada kelurahan kumuh dimaksud. Sebaran responden pada lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.2 berikut ini.

Tabel. 3.2: Sebaran Responden pada Lokasi Penelitian

No Nama Lokasi/

Lingkungan Kelurahan Kecamatan

(5)

3.3. Teknik Pengumpu1an

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan dengan teknik survei, yaitu dengan penyebaran kuesioner dan observasi lapangan. Data tersebut nantinya berguna untuk melakukan pengujian terhadap hipotesa penelitian. Adapun informasi yang akan dikumpulkan pada data primer kuesioner (daftar pertanyaan) ini adalah:

1. Karakteristik responden yang meliputi; umur dan jenis kelamin, lama tinggal, jenis pekerjaan, tingkat pendidikan, dan tingkat pendapatan.

2. Kondisi ketersediaan infrastruktur dasar perkotaan; jalan lingkungan, drainase lingkungan, air minum, air limbah, dan persampahan.

3. Kondisi bangunan rumah; tata letak bangunan, jarak antar bangunan; kualitas fisik bangunan; dan kepadatan bangunan.

4. Partisipasi terhadap kegiatan di lingkungan/kelurahan terkait dengan penanganan kumuh baik mulai perencanaan dan pelaksanaannya; Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) tingkat kelurahan, kecamatan, dan kota, gotong royong, dan program PNPM-Mandiri Perkotaan.

(6)

Keputusan Walikota No. 050/2128 Tahun 2014 tentang Penetapan Lokasi Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh di Kota Tebing Tinggi; 3) Dokumen–dokumen perencanaan pembangunan terkait dengan penanganan kumuh di Kota Tebing Tinggi seperti SPPIP (Strategi Pembangunan Permukiman dan Infrastruktur Perkotaan), RPKPP (Rencana Pembangunan Kawasan Permukiman Prioritas), RPIJM (Rencana Pembangunan Investasi Jangka Menengah), RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah), dan dokumen sektoral lainnya; dan 4) Tebing Tinggi Dalam Angka 2014.

3.4. Analisis Data

Untuk menjawab perumusan masalah pertama, yaitu kondisi kawasan kumuh di Kota Tebing Tinggi menggunakan analisis deskriptif dengan mendeskripsifkan permasalahan permukiman dalam pemanfaatan lahan di Kota Tebing Tinggi, seperti : air bersih, saluran drainase, sanitasi (saluran pembuangan limbah), persampahan, dan jalan.

Untuk menjawab perumusan masalah kedua, yaitu sosial ekonomi masyarakat di Kota Tebing Tinggi menggunakan analisis deskriptif dengan menndeskripsifkan sosial ekonomi masyarakat kawasan kumuh Kota Tebing Tinggi.

Untuk menjawab perumusan masalah ketiga dan hipotesis penelitian menggunakan analisis regresi berganda, yaitu :

Y = β0 + β1X1+ β2X2 + β3X3+ β4X4 + µ

Dimana :

(7)

X2 = jarak ke tempat kerja

X3 = tingkat pendapatan

X4 = tingkat pendidikan

β0 = Konstanta

µ = Error term

β1… β4 = Koefisien regresi

Untuk menjawab perumusan masalah keempat, yaitu tingkat partisipasi masyarakat dalam penanggulangan kawasan kumuh Kota Tebing Tinggi menggunakan analisis deskriptif dengan mentabulasi jawaban responden berdasarkan persentase dan pemberian skor terhadap setiap jenis kegiatan yang diamati yaitu :

a. Partisipasi dalam pengambilan keputusan program penanggulangan kawasan kumuh

- selalu ikut (61%-100%) diberi skor 3

- kadang-kadang ikut (31%-60%) diberi skor 2 - tidak ikut (1%-30%) diberi skor 1

b. Partisipasi dalam pelaksanaan program penanggulangan kawasan kumuh - selalu ikut (61%-100%) diberi skor 3

- kadang-kadang ikut (31%-60%) diberi skor 2 - tidak ikut (1%-30%) diberi skor 1

c. Partisipasi dalam menerima hasil program penanggulangan kawasan kumuh - selalu ikut (61%-100%) diberi skor 3

- kadang-kadang ikut (31%-60%) diberi skor 2 - tidak ikut (1%-30%) diberi skor 1

(8)

- selalu ikut (61%-100%) diberi skor 3

- kadang-kadang ikut (31%-60%) diberi skor 2 - tidak ikut (1%-30%) diberi skor 1

Tabel 3.3. Interpretasi Jenjang Skor Tingkat Partisipasi Masyarakat

No. Skor Partisipasi Masyarakat Tafsiran

1.

3.5. Definisi Variabel Operasional Penelitian

Agar setiap variabel dapat diaplikasikan secara empirik, maka berikut ini dijabarkan defenisi masing-masing variabel, yakni sebagai berikut :

1. Kondisi permukiman adalah permasalahan permukiman dalam pemanfaatan lahan (deskriptif).

2. Sosial ekonomi masyarakat adalah latar belakang pendidikan, pendapatan dan mata pencaharian masyarakat responden (deskriptif)

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat tinggal di kawasan kumuh adalah penyebab masyarakat tinggal di kawasan kumuh (skala).

Untuk memudahkan menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat tinggal di kawasan kumuh, setiap variabel dikelompokkan dan diinterpretasikan jenjangnya masing-masing sebagai berikut :

Variabel Terikat

(9)

masyarakat yang berpenghasilan rendah; 4) sebagian besar bangunannnya berbentuk semi permanen serta tidak memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan; dan 5) status tanah dan hak kepemilikan tanah yang tidak jelas. Jenjang skor dalam kawasan kumuh adalah sebagai berikut :

Skor 1 = jika memiliki salah satu dari lima kriteria yang ada Skor 2 = jika memiliki dua dari lima kriteria yang ada Skor 3 = jika memiliki tiga dari lima kriteria yang ada Skor 4 = jika memiliki empat dari lima kriteria yang ada Skor 5 = jika memiliki semua dari lima kriteria yang ada Variabel Bebas

Harga lahan (X1)

Peubah yang diamati adalah harga beli lahan atau harga sewa lahan (Rp) dan diberi skor :

Skor 1 = Sangat murah (Rp 1 – 100.000) Skor 2 = Murah (Rp 101.000 – 200.000) Skor 3 = Sedang (Rp. 201.000 – 300.000) Skor 4 = Mahal (Rp. 301.000 – 400.000) Skor 5 = Mahal (Rp > 400.000)

Jarak ke tempat kerja (X2)

Peubah yang diamati adalah jarak rumah responden ke tempat kerja (km) dan iberi skor :

(10)

Skor 4 = Jauh (1,51 – 2 km) Skor 5 = Sangat Jauh (> 2 km) Tingkat Pendapatan (X3)

Peubah yang diamati adalah pendapatan responden per bulan (Rp/bulan) dan diberi skor :

Skor 1 = Sangat rendah (Rp. 1 – 500.000) Skor 2 = Dekat (Rp. 501.000 – 1.000.000) Skor 3 = Sedang (1.001.000 – 1.500.000) Skor 4 = Tinggi (Rp. 1.501.000 – 2.000.000) Skor 5 = Sangat Tinggi (> Rp. 2.000.000) Tingkat Pendidikan (X4)

Pengukuran tingkat pendidikan responden adalah sebagai berikut : Skor 1 = Tamat SD

Skor 2 = Tamat SMP Skor 3 = Tamat SMA Skor 4 = Tamat D1/D3 Skor 5 = Tamat S1

4. Tingkat partisipasi masyarakat adalah keterlibatan masyarakat dalam menangani kawasan kumuh

(11)

Tabel 3.4. Definisi Variabel Operasional Penelitian

No Variabel Definisi Indikator Pengukuran

1 Kondisi

2 Sosial Masyarakat Latar belakang pendidikan, pendapatan dan mata 7.Mata pencaharian

Deskriptif

3 Faktor-faktor masyarakat tinggal di kawasan kumuh

Penyebab masyarakat ingin tinggal di kawasan kumuh

1.Harga lahan 4 Tingkat partisipasi

(12)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

4.1.1. Gambaran Umum Kota Tebing Tinggi

Kota Tebing Tinggi adalah adalah satu dari tujuh kota yang ada di Provinsi Sumatera Utara, yang berjarak sekitar 78 kilometer dari Kota Medan. Kota Tebing Tinggi terletak pada 30 19’00” - 30 21’00” Lintang Utara dan 980 11’ - 980 21’ Bujur Timur. Kota Tebing Tinggi berada dibagian tengah Kecamatan Tebing Tinggi Kota Serdang Bedagai yang berbasatan :

Sebelah Utara dengan : PTPN III Rambutan Sebelah Selatan dengan : PTPN III Kebun Pabatu

Sebelah Timur dengan : PT. Socfindo Kebun Tanah Besih

Sebelah Barat dengan : PTPN III Kebun Gunung Pamela Bandar Bejambu Hingga Desember 2013, Kota Tebing Tinggi terdiri dari 5 kecamatan dan 35 kelurahan dengan luas wilayah 38,438 km2. Kecamatan Padang Hilir merupakan kecamatan yang terluas dengan luas 11,441 km2 atau 29,76 persen dari luas Kota Tebing Tinggi. Sebagian besar (50,86 persen) lahan di Kota Tebing Tinggi digunakan sebagai lahan pertanian.

(13)

lintas Lintas Diagonal pada ruas jalan Tebing Tinggi - Pematang Siantar – Parapat – Balige – Siborongborong).

Gambar 4.1. Peta Administrasi Kota Tebing Tinggi

(14)

berada di Lintas Timur (seperti Kisaran, Rantau Prapat, Tanjung Balai, dan lain-lain) maupun Lintas Tengah (Pematang Siantar, Parapat, Balige, Tarutung, Sibolga, dan lain-lain) akan melalui kota ini. Oleh karena itu, pembangunan perlu dipacu untuk menunjang peran dan fungsi kota tersebut. Hal-hal yang dapat dilakukan antara lain menumbuh-kembangkan pusat pelayanan jasa, perdagangan, sosial budaya, pendidikan maupun kegiatan lainnya yang didukung pengaturan/perencanaan tata ruang kota secara konsisten dan bertanggung-jawab.

Konsep pengembangan Kota Tebing Tinggi dalam rencana tata ruang periode 2011-2031 didasari pada kecenderungan perkembangan, rencana serta arahan di dalam periode tersebut. Dalam rencana tersebut dijelaskan bahwa kawasan pusat kota terletak di bagian sentris dilingkupi oleh kawasan bangunan umum. Kawasan tersebut dilingkupi lebih luar oleh permukiman. Industri diarahkan ke bagian timur, sedangkan bagian utara secara konseptual diperuntukkan bagi perkantoran pemerintahan daerah dan perumahan pegawai, serta terminal penumpang, terminal barang, terminal peti kemas, dan kawasan pergudangan. Wilayah pinggiran kota lainnya, yaitu di bagian timur, selatan dan barat ditetapkan sebagai kawasan cadangan kota dengan pemanfaatan sementara untuk kegiatan pertanian dan perkebunan. Selain kawasan cadangan juga wilayah selatan dan barat diarahkan sebagai wilayah resapan air melalui kebijaksanaan pengaturan kepadatan bangunan.

(15)

dibatasi, demikian juga barat daya karena kedua kawasan ini diperuntukkan sebagai fungsi resapan air.

Konsep sistem lingkungan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Tebing Tinggi periode 2011-2031 menjadi 3 (tiga) tingkatan atau hirarki, yaitu: kota, BWK, dan Unit BWK.

Pusat Kota, merupakan satu kesatuan wilayah perencanaan dalam hal ini wilayah pelayanannya meliputi batasan administrasi Kota Tebing Tinggi seluas 3.843,8 Ha. Pusat kota merupakan titik pengikat pelayanan wilayah yang dilengkapi berbagai fasilitas seperti rumah sakit umum, mesjid kota, pusat perdagangan atau pusat perbelanjaan, perkantoran pemerintah, kantor pos, taman kota, kantor polisi, dan sebagainya, dengan skala dan jangkauan pelayanan kota. Skala pelayanan Kota Tebing Tinggi tidak hanya terbatas pada pelayanan kota melainkan juga regional (kecamatan di Kota Deli Serdang yang melingkupinya), maka jenis fasilitas yang ada tidak perlu ditambah namun kapasitas setiap fasilitas ditingkatkan.

(16)

Satu unit BWK dibagi menjadi beberapa unit lingkungan yang merupakan suatu wilayah pelayanan permukiman setara dengan kelurahan. Unit lingkungan diikat oleh pusat unit lingkungan yang berlokasi di sentra wilayahnya. Oleh karena itu fasilitas yang disediakan adalah fasilitas dengan skala kelurahan/desa.

Rencana pengaturan penduduk Kota Tebing Tinggi periode 2011-2031 ditetapkan atas dasar beberapa faktor, yaitu:

a. Penyebaran penduduk sangat dipengaruhi oleh jarak fisik dari pusat-pusat kegiatan kota;

b. Kepadatan penduduk ditetapkan sesuai dengan intensitas kegiatan kota dan daya tampung ruang;

c. Penetapan distribusi dan kepadatan penduduk mempertimbangkan keadaan kepadatan penduduk eksisting, fenomena perkembangan penduduk tentang migrasi lokal, dan rencana pemerataan pada setiap BWK dan unit lingkungan sesuai luasannya.

(17)

Rencana Pemanfaatan Ruang Kota Tebing Tinggi 2011-2031 didasari dengan pertimbangan sebagai berikut :

1. Rencana pemanfaatan ruang ini merupakan penjabaran dari RTRW Provinsi Sumatera Utara.

2. Fungsi dan peranan Kota Tebing Tinggi, baik dalam skala regional maupun skala internal kota yang menginsyaratkan perlunya penataan kawasan permukiman, perdagangan, perkantoran, industri, pengembangan pusat-pusat pelayanan, serta sistem transportasi yang dapat menjamin kelancaran sirkulasi di antara bagian wilayah atau antar kawasan tersebut.

3. Penduduk yang direncanakan sejumlah 187.976 jiwa, menuntut penyediaan areal permukiman yang memadai ditambah dengan berbagai prasarana dan sarana penunjang.

4. Pola penggunaan lahan eksisting yang membentuk pola campuran antara bentuk grid awal dan menjari di sekitar jaringan jalan primer mengakibatkan pola penggunaan ruang yang kurang efisien.

5. Keterkaitan fungsional antar komponen-komponen pembentuk ruang merupakan faktor utama yang menentukan pertumbuhan dan perkembangan kota. Oleh karena itu, bentuk aglomerasi kegiatan cocok untuk diterapkan pada kawasan dengan intensitas tinggi, karena merupakan konsep efisiensi ruang yang memperhatikan efektivitas.

(18)

Rencana pemanfaatan ruang Kota Tebing Tinggi didasarkan pengelompokkan intesitas kegiatan dan untuk itu diatur dan ditetapkan pengelompokkannya, yakni :

1. Intensitas kegiatan yang mempunyai nilai tinggi, seperti perdagangan, jasa/campuran, industri dan perkantoran.

2. Intensitas yang memiliki nilai sedang seperti kawasan perumahan.

3. Intensitas yang memiliki nilai rendah, seperti rekreasi, olah raga, taman, dan ruang terbuka lainnya.

Berdasarkan strategi dan konsep dasar dari perencanaan tata ruang, maka rencana pemanfaatan ruang Kota Tebing Tinggi dibedakan menjadi dua kelompok besar yaitu kawasan lindung dan kawasan budidaya.

Rencana struktur pelayanan kegiatan di Kota Tebing Tinggi dititikberatkan pada rencana pusat kota dan pusat bagian wilayah kota. Pembagian struktur pelayanan adalah untuk menyeimbangkan kegiatan perkotaan di seluruh wilayah sehingga dapat meningkatkan pembangunan dan pengembangan fungsi kota.

Rencana pusat kota merupakan rencana tata ruang kota yang memuat ketentuan-ketentuan mengenai penetapan fungsi yang pada hakekatnya merupakan pengarahan lokasi dari berbagai kegiatan yang mempunyai kesamaan fungsi dengan karateristik tertentu. Selanjutnya juga menetapkan intensitas penggunaan ruang sesuai dengan fungsinya dalam struktur pelayanan kegiatan kota secara keseluruhan.

a. Pusat Kota

(19)

jaringan jalan yang direncanakan. Oleh sebab itu pusat kota yang ada saat ini perlu dibantu oleh sejumlah pusat BWK. Pusat-pusat tersebut selain berfungsi untuk mengefektifkan sistem pelayanan fasilitas kota, juga dimaksudkan untuk mengurangi beban dari pusat kota yang melayani berbagai kebutuhan penduduk kota. Sesuai dengan pembagian BWK, maka pusat utama terletak di BWK Pusat Kota, dengan kegiatan-kegiatan yaitu : kegiatan dengan intensitas tinggi (pusat pertokoan, perdagangan skala kota, pasar utama, perkantoran swasta/jasa ekonomi), kegiatan dengan intensitas rendah (perkantoran pemerintah, pelayanan kesehatan, dan pendidikan).

b. Pusat Bagian Wilayah Kota

Empat BWK Kota Tebing Tinggi yang sudah direncanakan berperan untuk membantu dan mendukung peranan pusat kota tersebut. Oleh karena itu diperlukan sarana dan prasarana yang memadai serta disesuaikan dengan arah kebijaksanaan pemanfaatan ruang serta daya dukung penduduk. Pelayanan yang dialokasikan pada pusat BWK adalah :

• Akses jaringan jalan arteri sekunder; • Perdagangan dan jasa tingkat kecamatan;

• Sarana pendidikan menengah seperti SMP dan SMU;

• Sarana peribadatan, perkantoran, rekreasi dan olahraga, serta ruang terbuka hijau.

(20)

jangkauan pelayanan fasilitas tersebut, sekaligus meningkatkan kemudahan bagi

pemenuhan kebutuhan penduduk akan prasarana dan sarana perkotaan. Rencana sistem pelayanan diperlukan untuk memberikan kemudahan bagi

penduduk untuk memperoleh fasilitas pelayanan yang lengkap bagi penduduk kota maupun penduduk wilayah sekitarnya (hinterland).

a. Pendidikan

Kegiatan pendidikan di Kota Tebing Tinggi pada umumnya tersebar ke seluruh kawasan kota terutama untuk pendidikan dasar dan menengah. Adapun penempatannya disesuaikan dengan perencanaan lingkungan dan permukiman dan didasarkan pada pertimbangan intensitas tertinggi dalam penggunaan lahan untuk fasilitas pendidikan dan ketersediaan tanah relatif luas serta keadaan lingkungan sekitar yang masih dapat dipertahankan untuk mendukung kegiatan pendidikan. b. Peribadatan

Rencana kebutuhan fasilitas peribadatan tergantung kebutuhan masing-masing lingkungan. Pemeluk agama Kota Tebing Tinggi terdiri dari agama Islam, Kristen, Budha dan Hindu serta fasilitas peribadatannya tersebar di hampir seluruh kota.

c. Kesehatan

Pusat kesehatan dipusatkan di pusat kota yang mempunyai skala pelayanan tingkat regional dan kota. Sedangkan fasilitas pelayanan untuk skala pelayanan lebih kecil ditempatkan pada pusat-pusat BWK yang telah direncanakan.

(21)

Kawasan pertokoan telah berkembang di pusat kota dan sampai akhir tahun perencanaan kondisi ini masih tetap dipertahankan, selain mengembangkan pusat perbelanjaan yang memiliki skala pelayanan yang lebih kecil, seperti kecamatan atau BWK. Pasar induk yang saat ini berada di pusat kota (Kelurahan Pasar Baru), direncanakan untuk dipindah ke BWK Utara. Perpindahan ini disebabkan karena kemungkinan padatnya kawasan ini sehingga beban arus lalu lintas. Pasar Induk yang dipindahkan ke BWK Utara juga akan didukung dengan adanya sistem jaringan jalan lingkar luar (arteri primer).

e. Pemerintahan dan Bangunan-bangunan Umum

Rencana pengembangan fasilitas perkantoran dan bangunan umum ditentukan sebagai berikut:

• Kawasan pemerintahan ditentukan pada lokasi yang mempunyai intensitas relatif tinggi di BWK Utara yaitu di kelurahan Tg. Merulak

• Bangunan fisik yang dimaksud disini adalah kantor polisi, kantor pos, kantor camat dan kelurahan, pos pemadam kebakaran, dan gedung pertemuan. Oleh karenanya di dalam pengembangan fasilitas perkantoran dan bangunan umum ini selain di pusat kota juga di pusat BWK.

• Perkantoran yang telah disebutkan di atas adalah termasuk perkantoran swasta, sedangkan bangunan umum adalah balai pertemuan untuk tingkat kota dan juga setiap pusat bagian wilayah kotanya.

f. Rekreasi dan Olah Raga

(22)

areal tidak terbangun, dapat berupa suatu areal atau suatu lapangan untuk kegiatan olah raga, taman, alun-alun, jalur hijau, kuburan.

Untuk lapangan olah raga pengembangannnya disebar merata ke seluruh lokasi-lokasi rencana permukiman, biasanya bersatu dengan pengembangan pusat-pusat pendidikan. Sedangkan untuk stadion/kompleks olah raga pengembangannya ditetapkan di BWK Utara yang bersebelahan dengan rencana kawasan perkantoran.

Tanah konservasi (jalur hijau) direncanakan sebagai daerah penyangga untuk kawasan DAS (daerah aliran sungai) dan daerah penyangga antara kegiatan pengembangan kawasan industri dan kegiatan-kegiatan lainnya. Sedangkan untuk taman lingkungan, rencana pengembangannya disesuaikan dengan kebutuhan lingkungan perumahan. Pola penyebaran fasilitas-fasilitas tersebut di atas perlu diselaraskan dengan pengembangan sistem pembentukan unit-unit lingkungan, sehingga dengan demikian penetapan setiap jenis fasilitas ini dapat melayani lingkungannya.

Kondisi kesejahteraan masyarakat di Kota Tebing Tinggi pada tahun 2011 terdapat 36.171 keluarga yang terdiri dari 313 Keluarga Pra Sejahtera dan 35.858 Keluarga Sejahtera. Keluarga Sejahtera terdiri dari 7.301 Keluarga Sejahtera I, 11.993 Keluarga Sejatera II, dan 14.192 Keluarga Sejahtera III, dan 2.372 Keluarga Sejahtera III+. Hal ini mengindikasikan bahwa ada 0,86% keluarga di Kota Tebing Tinggi yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasar secara minimal seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pengajaran dan agama sedangkan untuk kelurga yang sudah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimal ada 99,13%. Tabel 4.1. Banyaknya Keluarga Menurut Kecamatan dan Klasifikasi

(23)

Kecamatan Prasejahtera Keluarga

Sumber : BPS Kota Tebing Tinggi, 2012

Garis kemiskinan Kota Tebing Tinggi terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Tahun 2008 Rp 237.294,00, tahun 2009 Rp 254.387,00, dan tahun 2010 Rp 282.366,00. Sementara itu, jumlah penduduk miskin di Kota Tebing Tinggi dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Di tahun 2008 terdapat 23.070 penduduk miskin, di tahun 2009 terdapat 25.030 penduduk miskin, dan tahun 2010 18.900 jiwa.

Tabel 4.2. Garis Kemiskinan dan Penduduk Miskin di Kota Tebing Tinggi Tahun Garis Kemiskinan Jumlah Penduduk Miskin

2005 162.969 14.900

Sumber : BPS Kota Tebing Tinggi, 2012

4.1.2. Kondisi Perumahan di Kota Tebing Tinggi menurut Inkesra Kota Tebing Tinggi tahun 2012

4.1.2.1. Luas lantai

(24)

20-49 m2 pada tahun 2007 sebesar 26,15 % sedangkan tahun 2009 turun menjadi 23,20 % dan pada tahun 2011 menaik kembali menjadi 23,93%.

Tabel 4.3. Persentase Rumah Tangga di Kota Tebing Tinggi Menurut Luas Lantai Tahun 2007, 2009 dan 2011

Sumber : Inkesra Kota Tebing Tinggi, 2012

Jika dilihat dari jenis lantai, bisa dikatakan rumah dengan lantai tanah lebih tidak sehat karena ditanah terdapat banyak kuman penyakit, lain dengan rumah dengan lantai bukan tanah tentunya akan lebih sehat selain itu juga cara membersihkannya dari kotoran lebih mudah.

Tabel 4.4. Persentase Rumah Tangga di Kota Tebing Tinggi Menurut Jenis Lantai Tahun 2007, 2009 dan 2011

Jenis Lantai 2007 2009 2011

Bukan tanah 97,04 98,52 99,54

Tanah 2,96 1,48 0,46

Sumber : Inkesra Kota Tebing Tinggi, 2012

Menurut data Susenas 2011 bahwa di Kota Tebing Tinggi rumah dengan lantai bukan terbuat dari tanah sebesar 99,54%, kemudian lantai rumah yang terbuat dari tanah 0,46%. Lantai bukan tanah tersebut adalah jenis keramik, ubin/tegel, semen, kayu dan lainnya. Sedangkan lantai tanah adalah lantai rumah yang terbuat di luar dari yang disebutkan di atas.

4.1.2.2. Jenis Dinding dan Atap Rumah

(25)

2006 ada sebanyak 60,36 % rumah tangga sudah mendiami rumah dengan dinding tembok, pada tahun 2008 menjadi 70,21 % dan tahun 2010 menjadi 73,94 %.

Tabel 4.5. Persentase Rumah Tangga di Kota Tebing Tinggi Menurut Dinding Rumah Tahun 2007, 2009 dan 2011

Jenis Dinding 2007 2009 2011

Tembok 63,16 68,74 75,84

Bukan Tembok 36,84 31,26 24,16

Sumber : Inkesra Kota Tebing Tinggi, 2012

Untuk penggunaan atap rumah tentunya menyesuaikan dengan jenis dindingnya, apabila dinding rumah sudah tergolong baik sudah barang tentu penggunaan jenis atapnya yang baik juga.

Tabel 4.6. Persentase Rumah Tangga di Kota Tebing Tinggi Menurut Jenis Atap Tahun 2007, 2009 dan 2011

Sumber : Inkesra Kota Tebing Tinggi, 2012

Data Susenas menunjukkan bahwa jenis atap sebagian besar rumah di Kota Tebing Tinggi adalah seng yaitu sekitar 87,34% rumah tangga pada tahun 2007, naik menjadi 92,10% pada tahun 2009 serta pada tahun 2011 menjadi 88,42%.

4.1.3. Kondisi Permukiman Kawasan Kumuh

(26)

layak huni dimana kualitas struktur bangunan tersebut belum memenuhi persyaratan, baik dari segi kebutuhan keamanan maupun keselamatan bagi penghuninya, antara lain dilihat dari pondasi, dinding, atap, maupun lantai dari suatu rumah tinggal yang sehat. Semakin banyak rumah dalam suatu lingkungan permukiman yang tidak memenuhi kebutuhan minimal keselamatan, kesehatan, dan keamanan mengindikasikan kondisi lingkungan permukiman menuju kepada perumahan/ permukiman yang kurang layak huni.

Dari kondisi di atas dapat disimpulkan bahwa permasalahan perumahan di Kawasan Kumuh Kota Tebing Tinggi meliputi :

1) Banyaknya masyarakat yang belum memiliki rumah sendiri (menyewa pada orang lain atau tinggal bersama orang tua/saudara)

2) Banyak masyarakat yang menghuni rumah kurang layak huni, rusak maupun struktur bangunan kurang layak

3) Kepadatan rumah tinggi dan konstruksi bangunan dari kayu sehingga rawan terhadap bahaya kebakaran

4) Banyak masyarakat yang tinggal di rumah yang berada di bantaran sungai.

4.1.3.1. Air Bersih

(27)

lainnya, masyarakat menggunakan air PDAM dan air sumur. Kondisi air yang kurang memenuhi persyaratan untuk kebutuhan mandi ataupun mencuci pakaian maupun mencuci peralatan dapur mereka gunakan karena sudah menjadi kebiasaan mereka.

Dari kondisi di atas dapat disimpulkan bahwa permasalahan air bersih di Kawasan Kumuh Kota Tebing Tinggi meliputi :

Gambar 4.2. Kondisi Air Bersih Kawasan Kumuh

1) Kurangnya pelayanan air bersih

(28)

4.1.3.2. Saluran Drainase

Derajat kelancaran air pada saluran drainase dikategorikan ke dalam kondisi lancar, tidak lancar, tergenang, dan tidak ada saluran. Semakin banyak saluran yang tidak lancar, tergenang, maupun tidak ada saluran drainase mencerminkan suatu lingkungan fisik permukiman yang buruk. Secara umum sistem aliran drainase kawasan kumuh Kota Tebing Tinggi mengalir secara gravitasi dan bermuara di saluran primer yaitu Sungai yang merupakan pembuangan akhir dari sistem drainase kota.

(29)

drainase. Kerusakan saluran drainase terdapat di kawasan kumuh Kota Tebing Tinggi.

Dari kondisi di atas dapat disimpulkan bahwa permasalahan drainase di kawasan kumuh Kota Tebing Tinggi meliputi :

a. Kurangnya prasarana dan sarana drainase b. Sering terjadi banjir

c. Kurangnya kesadaran masyarakat dalam memelihara saluran drainase (mengakibatkan saluran kurang berfungsi).

Gambar 4.3. Kondisi Drainase Kawasan Kumuh

4.1.3.3. Sanitasi (Saluran Pembuangan Limbah)

(30)

penggunaan septic tank pada suatu lingkungan permukiman mengindikasikan buruknya kondisi sanitasi pada lingkungan tersebut.

Limbah pada lingkungan kawasan kumuh Kota Tebing Tinggi berupa limbah rumah tangga atau limbah domestik yang meliputi limbah padat atau sampah dan limbah cair (grey water). Limbah rumah tangga khususnya limbah cair sebagian dikelola dengan sistem pembuangan setempat berupa jamban dengan septic tank dan sebagian lainnya dibuang di sungai.

Penanganan limbah di lingkungan permukiman kawasan kumuh Kota Tebing menggunakan sistem pembuangan setempat (on site system) dan dikelola oleh masyarakat atau rumah tangga itu sendiri. Masyarakat juga membangun sarana sanitasi berupa jamban keluarga dengan kondisi yang kurang memadai, sedangkan MCK di lingkungan kawasan kumuh Kota Tebing Tinggi yang terletak di tepi sungai dengan kondisi yang memadai. Sistem ini terbatas pada pelayanan pembuangan kotoran yang berasal dari jamban rumah tangga yang disalurkan ke saluran drainase jalan dan sungai. Selain itu pembuangan limbah juga melalui drainase lingkungan.

(31)

Gambar 4.4. Kondisi Sanitasi Kawasan Kumuh

Dari kondisi di atas dapat disimpulkan bahwa permasalahan sanitasi/limbah di kawasan kumuh Kota Tebing Tinggi meliputi :

a. Kurangnya prasarana dan sarana pembuangan limbah rumah tangga

b. Kurangnya lahan untuk pengembangan limbah rumah tangga (padatnya bangunan)

c. Kurangnya kesadaran masyarakat dalam membuang limbah rumah tangga.

4.1.3.4. Persampahan

(32)

permukiman dan lahan terbuka banyak yang dimanfaatkan sebagai tempat penumpukan sampah. Sistem pengelolaan persampahan oleh masyarakat di kawasan kumuh Kota Tebing Tinggi antara lain dapat dilihat pada Gambar 4.5.

Kondisi pada Gambar 4.5 dapat disimpulkan bahwa permasalahan persampahan di kawasan kumuh Kota Tebing Tinggi meliputi :

a. Kurangnya prasarana dan sarana persampahan

b. Kurangnya kesadaran masyarakat dalam membuang sampah.

Gambar 4.5: Pengelolaan Persampahan oleh Masyarakat

4.1.3.5. Jalan

(33)

wilayah tercermin dari segi kualitas permukaannya yang dikategorikan ke dalam kondisi baik, sedang, rusak ringan, dan rusak berat.

Jaringan jalan yang terdapat di kawasan kumuh Kota Tebing Tinggi yaitu jalan utama yang melintas di kawasan tersebut dan mengintegrasikan kawasan dengan sistem kota. Konstruksi jalan berupa aspal (hotmix) dengan lebar 5 hingga 6 m yang menghubungkan dengan wilayah sekitarnya. Kondisi ruas jalan tersebut dalam kondisi baik. Kawasan kumuh Kota Tebing Tinggi merupakan lingkungan padat dimana jalan yang terdapat di lingkungan permukiman adalah jalan dengan konstruksi rabat beton dan masih terdapat jalan lingkungan dengan konstruksi berupa tanah dengan kondisi rusak dan sering tergenang air. Akses di kawasan kumuh Kota Tebing Tinggi tergolong lancar terhadap sistem kota dan sistem kawasan. Untuk jalan lingkungan yang ada di kawasan kumuh secara umum dalam kondisi rusak.

Gambar 4.6. Kondisi Jalan di Kawasan Kumuh

(34)

a. Kurangnya kualitas jalan lingkungan (banyak jalan dalam kondisi tidak ada perkerasan permukaan jalan/jalan tanah)

b. Jalan inspeksi di sungai belum dimanfaatkan

c. Kesadaran masyarakat dalam memelihara jalan kurang (jalan rusak karena saluran drainase kanan kiri jalan rusak sehingga tidak berfungsi).

4.1.4. Sosial Ekonomi Masyarakat

Sosial ekonomi masyarakat responden yang dideskripsikan dalam penelitian ini adalah umur, jenis kelamin, lama menetap, jumlah tanggungan keluarga, pendidikan, pendapatan, mata pencaharian masyarakat responden kawasan kumuh Kota Tebing Tinggi.

4.1.4.1. Umur

Responden penelitian umurnya sekitar 25 tahun sampai dengan lebih dari 50 tahun seperti tertera pada Tabel 4.7.

Tabel 4.7. Distribusi Umur Responden

No Umur (Tahun) Jumlah (Orang) Persentase (%)

1. 25-35 8 8,00

2. 36-45 31 31,00

3. 46-55 38 38,00

4. > 55 23 23,00

Jumlah 100 100,00

Sumber : Data Primer diolah, 2015

(35)

tingkatan umur, dan dapat disimpulkan bahwa golongan umur responden di daerah penelitian masih termasuk usia produktif dan berkemampuan mengembangkan usaha dan penerimaan pendapatan keluarga.

4.1.4.2.Pendidikan

Pendidikan merupakan program pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan masyarakat dan pemerintah telah mencanangkan wajib belajar selama 9 tahun. Namun tingkat pendidikan responden masyarakat kawasan kumuh Kota Tebing Tinggi masih ada yang belum memenuhi wajib belajar yaitu 4 orang responden, seperti tertera pada Tabel 4.8.

Tabel 4.8. Jumlah Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir Pendidikan Terakhir Jumlah Responden

(Orang)

Persentase (%)

Tamat SD 4 4,00

SMP 36 36,00

SMA 48 48,00

D1/D3 12 12,00

S1 0 0,00

Jumlah 100 100,00

Sumber : Data Primer diolah, 2015

(36)

4.1.4.3. Jenis Kelamin

Jenis kelamin responden penelitian umunya adalah laki-laki dan ada juga perempuan seperti tertera pada Tabel 4.9.

Tabel 4.9. Distribusi Jenis Kelamin Responden

No Jenis Kelamin Jumlah (orang) Persentase (%)

1. Laki-laki 79 79,00

2. Perempuan 21 21,00

Jumlah 100 100,00

Sumber : Data Primer diolah, 2015

Distribusi responden masyarakat berdasarkan kategori jenis kelamin yang paling dominan adalah laki-laki sebanyak 79 responden (79,00%) sedangkan perempuan sebanyak 21 responden (21,00%). Adanya responden perempuan menunjukkan bahwa yang menjadi responden penelitian ini telah melibatkan masyarakat dari gender laki-laki dan perempuan.

4.1.4.4. Jumlah Tanggungan Keluarga

Jumlah tanggungan keluarga responden penelitian umunya adalah 2 sampai dengan 5 orang seperti tertera pada Tabel 4.10.

Tabel 4.10. Distribusi Jumlah Tanggungan Keluarga Responden

No Jumlah Tanggungan (orang) Jumlah (orang) Persentase (%)

1. 2 13 17.39

2. 3 44 41.30

3. 4 28 26.09

4. 5 15 15.22

Jumlah 100 100,00

Sumber : Data Primer diolah, 2015

(37)

masyarakat yang berada di kawasan kumuh menunjukkan bahwa yang menjadi responden penelitian ini telah melibatkan masyarakat dengan jumlah tanggungan keluarga yang beragam yaitu memiliki jumlah tanggungan keluarga 2 sampai dengan 5 orang.

4.1.4.5. Lama Menetap di Daerah Penelitian

Sebagian kecil masyarakat di daerah penelitian adalah masyarakat pendatang yang berdekatan dengan lokasi penelitian. Lamanya responden menetap di daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.11.

Tabel 4.11. Distribusi Responden Berdasarkan Lama Menetap

No Lama Menetap (Tahun) Jumlah (Orang) Persentase (%) 1.

Sumber : Data Primer diolah, 2015

(38)

4.1.4.6.Pendapatan

Tingkat pendapatan masyarakat responden kawasan kumuh Kota Tebing Tinggi umumnya sekitar Rp. 500.000 sampai dengan di atas Rp. 2.000.000, namun ada juga yang memiliki pendapatan di bawah Rp. 500.000. Pendapatan sebagian masyarakat responden ini masih menunjukkan di bawah pendapatan rata-rata perkapita Rp. 1.674.1888 per bulan seperti tertera pada Tabel 4.12.

Tabel 4.12. Jumlah Responden Berdasarkan Pendapatan Pendapatan

Sumber : Data Primer diolah, 2015

Tabel 4.12. terlihat bahwa mayoritas masyarakat responden kawasan kumuh Kota Tebing Tinggi memiliki pendapatan Rp. 501.000 – 1.000.000 yaitu sebanyak 54 responden (54%), disusul kemudian memiliki pendapatan Rp. 1.001.000 – Rp. 1.500.000 sebanyak 32 responden (32,00%), memiliki pendapatan Rp. 1.501.000 – 2.000.000 dan memiliki pendapatan di bawah Rp. 500.000 masing-masing sebanyak 7 responden (7,00%).

4.1.4.7Mata Pencaharian

(39)

Tabel 4.13. Jumlah Responden Berdasarkan Mata Pencaharian

Sumber : Data Primer diolah, 2015

Tabel 4.13. terlihat bahwa mayoritas masyarakat responden kawasan kumuh Kota Tebing Tinggi memiliki mata pencaharian sebagai pedagang yaitu sebanyak 43 responden (43%), disusul kemudian wiraswasta sebanyak 25 responden (25,00%), mata pencaharian tukang becak sebanyak 12 responden (12%), mata pencaharian penjahit sebanyak 8 responden (8%), mata pencahrian tukang parkir sebanyak 5 responden (5%) dan mata pencaharian pensiunan sebanyak 7 responden (7%). Hasil ini menunjukkan bahwa masyarakat responden memiliki mata pencaharian pedagang yang mumpuni untuk dapat mencukupi keluarganya.

4.1.5. Faktor-faktor Tinggal di Kawasan Kumuh 4.1.5.1. Uji Asumsi Klasik

4.1.5.1.1. Normalitas

Normalitas data dalam penelitian dilihat dengan cara memperhatikan penyebaran data (titik) pada Normal PPlot of Regression Standardized Residual

(40)

atau tidak mengikuti garis diagonal, maka model regresi tidak memenuhi asumsi normalitas.

Gambar 4.7. Hasil Uji Normalitas Faktor-faktor Tinggal di Kawasan Kumuh Pada Gambar 4.7. dapat dilihat hasil bahwa semua data berdistribusi secara normal dan tidak terjadi penyimpangan, sehingga data yang dikumpulkan dapat diproses dengan metode-metode selanjutnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan memperhatikan sebaran data yang menyebar disekitar garis diagonal pada

“Normal P-Plot of Regresion Standardized Residual” sesuai gambar di atas,

sehingga dapat dikatakan bahwa model regresi dalam penelitian ini berdistribusi normal.

4.1.5.1.2. Multikolinieritas

Pengujian ada tidaknya gejala multikolinearitas dilakukan dengan memperhatikan nilai matriks korelasi yang dihasilkan pada saat pengolahan data serta nilai VIF (Variance Inflation Factor) dan Tolerance-nya. Nilai dari VIF yang kurang dari 10 dan tolerance yang lebih dari 0,10 maka menandakan bahwa tidak terjadi adanya gejala multikolinearitas. Sehingga dapat disimpulkan bahwa model regresi tersebut tidak terdapat problem multikolinieritas.

0.00.2Observed Cum Prob0.40.60.81.0 0.00.20.40.60.81.0

Expected Cum Prob

(41)

Tabel 4.14. Hasil Analisis Uji Asumsi Multikolinearitas Mode

l t Sig. Collinearity Statistics

Tolerance VIF

1 (Constant) 27.893 .000

Harga Lahan -3.882 .000 .507 1.972

Jarak ke tempat Kerja -2.984 .004 .378 2.644

Pendapatan -2.780 .007 .452 2.212

Pendidikan -3.068 .003 .947 1.056

a Dependent Variable: Kawasan Kumuh

Hasil analisis diperoleh bahwa nilai VIF dan tolerance sebagai berikut : Variabel harga lahan (X1) mempunyai nilai VIF sebesar 1,972 dan tolerance

sebesar 0,507. Variabel jarak ke tempat kerja (X2) mempunyai nilai VIF sebesar 2,644 dan tolerance sebesar 0,378. Variabel pendapatan (X3) mempunyai nilai VIF sebesar 2,212 dan tolerance sebesar 0,452. Variabel pendidikan (X4) mempunyai nilai VIF sebesar 1,056 dan tolerance sebesar 0,947.

Berdasarkan ketentuan yang ada bahwa jika nilai VIF < 10 dan tolerance

> 0,10 maka tidak terjadi gejala multikolinearitas dan nilai-nilai yang didapat dari perhitungan adalah sesuai dengan ketetapan nilai VIF dan tolerance sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel independennya tidak terjadi multikolinieritas sehingga model tersebut telah memenuhi syarat asumsi klasik dalam analisis regresi.

4.1.5.1.3. Uji Heterokedastisitas

(42)

Gambar 4.8. Uji Heterokedekasitas Faktor-faktor Tinggal di Kawasan Kumuh

Hasil analisis di atas dapat diketahui bahwa titik-titik yang menyebar secara acak baik di atas maupun di bawah angka nol, pada sumbu Y serta tidak membentuk pola atau kecenderungan tertentu pada diagram plot, sehingga dapat mengidentifikasikan tidak terjadi adanya heterokedastisitas dan model regresi tersebut layak digunakan untuk memprediksi faktor-faktor di kawasan kumuh. Sehingga dapat disimpulkan secara keseluruhan bahwa model regresi yang memenuhi syarat uji asumsi klasik.

Uji Glesjer

(43)

Tebel 4.15. UJi Glesjer

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig. B Std. Error Beta

1 (Constant) .273 .146 1.870 .065

Harga Lahan .061 .056 .156 1.093 .277

Jarak ke tempat kerja -.018 .058 -.051 -.308 .758 Pendapatan -.035 .051 -.105 -.692 .491 Pendidikan -.002 .031 -.008 -.080 .937 a. Dependent Variable: abs_res

Hasil yang terlihat menunjukkan koefisien parameter untuk variabel independen tidak ada yang signifikan yaitu harga lahan = 0,277 > α = 0,05 ; jarak

ke tempat kerja = 0,758 > 0,05; pendapatan = 0,491 > 0,05 dan pendidikan = 0,937 > α = 0,05. Maka dapat disimpulkan model regresi tidak terdapat

heteroskedastisitas.

4.1.5.2. Uji Hipotesis

Dengan menggunakan persamaan regresi berganda, dibentuk fungsi persamaan faktor-faktor tinggal di kawasan kumuh. Variabel-variabel faktor tinggal di kawasan kumuh yang dianggap memberikan pengaruh terhadap masyarakat tinggal di kawasan kumuh ini adalah : harga lahan (X1), Jarak ke tempat kerja (X2), pendapatan (X3) dan pendidikan (X4). Seluruh variabel tersebut secara serentak dimasukkan kedalam persamaan regresi berganda, diperoleh hasil sebagai berikut :

(44)

Tabel 4.16. Hasil Analisis Regresi Linier Berganda

Variabel Koefisien t-hitung Signifikan

Konstanta

Harga lahan (X1)

Jarak ke tempat kerja (X2) Pendapatan (X3) Sumber : Data Primer diolah, 2015

Dari persamaan di atas dapat penulis interpretasikan sebagai berikut :

1. Konstanta regresi (a)_ = 6,299, yang berarti jika tidak ada nilai independent variabel, dalam hal ini harga lahan, jarak ke tempat kerja, pendapatan dan pendidikan sama dengan 0 (nol) maka nilai kawasan kumuh akan sebesar 6,299 satu satuan skor.

2. Harga lahan (X1) = -0,333. Variabel harga lahan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kawasan kumuh. Semakin tinggi nilai satu satuan skor harga lahan semakin menurunkan nilai satu satuan skor kawasan kumuh. Hal ini disebabkan harga lahan merupakan faktor masyarakat untuk mengetahui keterbatasan kemampuannya untuk dapat tinggal di suatu tempat, sehingga semakin mahal harga lahan maka masyarakat akan cenderung tidak tinggal di kawasan tersebut.

(45)

berusaha maka akan mencari tempat tinggal yang tidak jauh dari dia bekerja atau berusaha, sehingga semakin dekat jarak ke tempat kerja maka masyarakat akan cenderung tinggal di kawasan tersebut.

4. Pendapatan (X3) = -0,218. Variabel pendapatan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kawasan kumuh. Semakin tinggi nilai satu satuan skor pendapatan maka semakin menurunkan nilai satu satuan skor kawasan kumuh. Hal ini disebabkan pendapatan merupakan faktor masyarakat untuk mengetahui kemampuan keuangannya untuk dapat tinggal di suatu tempat, sehingga semakin kecil penghasilan maka masyarakat akan cenderung tinggal di kawasan tersebut.

5. Pendidikan (X4) = -0,146. Variabel pendidikan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kawasan kumuh. Semakin tinggi nilai satu satuan skor pendidikan semakin menurunkan nilai satu satuan skor kawasan kumuh, hal ini disebabkan pengetahuan masyarakat responden mengenai kawasan kumuh cenderung tidak sama, yaitu menempati suatu kawasan tempat tinggal adalah kebutuhan keluarga sehingga masyarakat responden mempermasalahkan tinggal di kawasan kumuh.

Secara simultan variabel harga lahan, jarak ke tempat kerja, pendapatan dan pendidikan berpengaruh signifikan terhadap kawasan kumuh. Hal ini menunjukkan bahwa secara bersama harga lahan, jarak ke tempat kerja, pendapatan dan pendidikan mempengaruhi nilai kawasan kumuh.

(46)

sebesar 61,9 % sedangkan sisanya sebesar 26,6% dijelaskan variabel lain tetapi tidak disertakan dalam model persamaan estimasi.

4.1.6. Partisipasi Masyarakat dalam Penanggulangan Kawasan Kumuh Partisipasi masyarakat disini dapat diartikan sebagai keterlibatan masyarakat secara sadar dan spontan disertai tanggung jawab dalam mencapai tujuan penanggulangan kawasan kumuh yaitu mempercepat penanggulangan atas kebutuhan masyarakat dan peningkatan kemampuan kelembagaan masyarakat dan aparat melalui usaha peningkatan partisipasi masyarakat dan aparat dalam pembangunan prasarana dan sarana yang mendukung kegiatan pemerintah. Dengan demikian masyarakat diharapkan untuk ikut serta dalam program pemerintah.

Tabel 4.17. Partisipasi Masyarakat dalam Indikator I – IV terhadap Program Penanggulangan Kawasan Kumuh

No. Kriteria Partisipasi Masyarakat

I II III IV

I = Partisipasi dalam pengambilan keputusan program penanganan kawasan kumuh

II = Partisipasi dalam pelaksanaan program penanganan kawasan kumuh III = Partisipasi dalam menerima hasil program penanganan kawasan kumuh IV = Partisipasi dalam menilai program penanganan kawasan kumuh

(47)

masyarakat dalam pelaksanaan program penanggulangan kawasan kumuh menunjukkan pada tingkat selalu ikut yaitu 12,00 persen, kadang-kadang ikut 28 persen dan tidak ikut 60 persen. Partisipasi masyarakat dalam menerima hasil program penanggulangan kawasan kumuh menunjukkan pada tingkat selalu ikut yaitu 14,00 persen, kadang-kadang ikut 27 persen dan tidak ikut 59 persen. Partisipasi masyarakat dalam menilai program penanggulangan kawasan kumuh menunjukkan pada tingkat selalu ikut yaitu 11,00 persen, kadang-kadang ikut 28 persen dan tidak ikut 61 persen.

4.2. Pembahasan

4.2.1. Kondisi Permukiman Kawasan Kumuh

Kondisi perumahan dan permukiman kawasan kumuh Kota Tebing Tinggi sebagian besar merupakan bangunan permanen dengan tingkat kepadatan cukup tinggi. Selain itu terdapat pula permukiman non permanen atau rumah kurang layak huni dimana kualitas struktur bangunan tersebut belum memenuhi persyaratan, baik dari segi kebutuhan keamanan maupun keselamatan bagi penghuninya, antara lain dilihat dari pondasi, dinding, atap, maupun lantai dari suatu rumah tinggal yang sehat. Semakin banyak rumah dalam suatu lingkungan permukiman yang tidak memenuhi kebutuhan minimal keselamatan, kesehatan, dan keamanan mengindikasikan kondisi lingkungan permukiman menuju kepada perumahan/permukiman yang kurang layak huni.

(48)

menunjukkan kurangnya prasarana dan sarana drainase, sering terjadi banjir, kurangnya kesadaran masyarakat dalam memelihara saluran drainase (mengakibatkan saluran kurang berfungsi). Kondisi sanitasi/limbah menunjukkan kurangnya prasarana dan sarana pembuangan limbah rumah tangga, kurangnya lahan untuk pengembangan limbah rumah tangga (padatnya bangunan) dan kurangnya kesadaran masyarakat dalam membuang limbah rumah tangga. Kondisi persampahan menunjukkan kurangnya prasarana dan sarana persampahan dan kurangnya kesadaran masyarakat dalam membuang sampah. Kondisi jalan menunjukkan kurangnya kualitas jalan lingkungan (banyak jalan dalam kondisi tidak ada perkerasan permukaan jalan/jalan tanah), jalan inspeksi di sungai belum dimanfaatkan dan kesadaran masyarakat dalam memelihara jalan kurang (jalan rusak karena saluran drainase kanan kiri jalan rusak sehingga tidak berfungsi). Hasil penelitian ini sejalan dengan Cahya dan Juanda (2012) yang menyimpulkan bahwa minimnya aksesibilitas menuju atau keluar wilayah, kekumuhan yang terjadi juga dikarenakan kondisi fasilitas dan utulitas yang di lokasi studi saat ini belum memenuhi standar yang layak dan belum mengakomodasikan kebutuhan fasilitas pendukung untuk kenyamana dan keamana masyarakat, ditambah rendahnya penghasilan masyarakat Pulo Geulis yang mengakibatkan ketidak mampuan dalam memperbaiki fisik lingkungan wilayah sendiri.

(49)

sebagai “Kawasan Kumuh”. Hasil ini menunjukkan perlu adanya upaya Pemerintah Kota Tebing Tinggi untuk membangun rumah susun, memberikan penyuluhan tentang dampak tinggal di permukiman kumuh dan memperbaiki sarana dan prasarana permukiman kumuh.

4.2.2. Sosial Ekonomi Masyarakat

(50)

menyimpulkan bahwa pemukiman Kampung Kubur mengalami tekanan lingkungan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor dari aspek ekonomi, sosial dan budaya, fisik lingkungan. Faktor-faktor yang dominan mempengaruhi tekanan lingkungan pada pemukiman Kampung Kubur terdiri dari: Faktor aspek ekonomi yang terdiri dari: pendapatan keluarga, pengeluaran keluarga, kemampuan menabung keluarga. Faktor aspek fisik hunian yang terdiri dari tidak terpenuhinya standard luasan lantai rumah, tidak terpenuhinya standard kenyamanan rumah sehat, tidak terpenuhinya persyaratan teknis rumah yang sehat. Faktor aspek sosial dan budaya terdiri dari wawasan yang kurang mengenai lingkungan yang sehat. Hasil penelitian Surtiani (2006) menyimpulkan bahwa faktor yang menyebabkan kawasan Pancuran menjadi kumuh adalah faktor tingkat penghasilan, status kepemilikan hunian, dan lama tinggal. Zulkarnaen (2004) menyimpulkan bahwa karakteristik responden yang tinggal di lingkungan kumuh di Kelurahan Kampung Baru adalah warga kota yang hidup dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan relatif rendah. Mayoritas pekerjaan mereka adalah sebagai pekerja sektor informal dan mempunyai pendapatan secara umum belum memadai atau kurang bila melihat tingkat kebutuhan hidup di kota Medan yang relatif tinggi, sehingga mereka tetap tinggal di lingkungan kumuh ini.

4.2.3. Faktor-faktor Tinggal di Kawasan Kumuh

(51)

tinggal di kawasan kumuh. Hariyanto (2007) mengemukakan bahwa faktor ekonomi yang berkaitan dengan kekumuhan yaitu taraf ekonomi masyarakat (pendapatan masyarakat), pekerjaan masyarakat. Penghasilan yang rendah menyebabkan masyarakat tidak memiliki dana untuk membuat kondisi rumah yang sehat, pengadaan MCK, tempat sampah dan lain-lain yang terkait dengan sarana lingkungan rumah yang sehat. Pengahasilan yang rendah juga mengakibatkan sebagian masyarakat membangun rumah tidak permanen di bantaran sungai, Rel KA, dll. Dengan demikian taraf ekonomi secara tidak langsung berpengaruh terhadap terjadinya kekumuhan. Demikian juga halnya dengan pekerjaan masyarakat. Pekerjaan masyarakat yang kurang layak menyebabkan tingkat pendapatan yang rendah, sehingga kemampuan untuk membuat rumah yang layak huni dan sehatpun menjadi rendah. Hasil penelitian ini sejalan dengan Malau (2006) yang menyimpulkan bahwa faktor sosial ekonomi (pendapatan, pekerjaan dan pendidikan) berpengaruh signifikan terhadap kepadatan hunian dan kualitas bangunan di kawasan Teluk Nibung, sedangkan terhadap prasarana lingkungan dasar, variabel yang berpengaruh signifikan adalah pendapatan dan pendidikan.

(52)

permukiman dengan tingkat kekumuhan tinggi berada pada tangga partisipasi ketiga yaitu Pemberian Informasi. Berbeda dengan tingkat partisipasi masyarakat pada kekumuhan sedang yang tangga partisipasinya lebih bervariasi. Tingkat partisipasi berbeda berdasarkan kekumuhannya dan faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi adalah frekuensi dilibatkan, keinginan untuk terlibat, frekuensi kehadiran dan jumlah jenis sumbangan yang diberikan masyarakat. Menurut Hariyanto (2007) kondisi kawasan kumuh dapat disebabkan kurangnya perhatian/ partisipasi masyarakat akan pendayagunaan prasarana dan sarana lingkungan permukiman guna kenyamanan dan kemudahan dukungan kegiatan usaha ekonomi.

(53)

Hariyanto (2007) strategi dalam menangani kawasan kumuh dapat dilakukan dengan cara : 1) Penyuluhan kesehatan lingkungan; 2) Pembinaan masyarakat sadar lingkungan; 3) Pembangunan infrastruktur publik; 4) Pemberdayaan ekonomi masyarakat; 5) Peningkatan kualitas pendidikan masyarakat; 6) Pengelolaan kawasan bantaran/sempadan (sungai, pantai, danau, kereta api dan sutet); dan 7) Peningkatan kesehatan masyarakat. Selanjutnya program yang spesifik dapat dilakukan dengan cara : 1) Pembangunan rumah susun; 2) Pembangunan rumah susun sewa; 3) Pembangunan rumah sederhana sehat; 4) Program perbaikan kampung; 5) Pembongkaran atau penggusuran rumah-rumah liar di bantaran/sempadan; dan 6) Program Land Consilidation; dan 7)

(54)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

1. Kondisi permukiman di Kota Tebing Tinggi menunjukkan banyak masyarakat yang menghuni rumah kurang layak huni, rusak maupun struktur bangunan kurang layak, kepadatan rumah tinggi dan konstruksi bangunan dari kayu sehingga rawan terhadap bahaya kebakaran. Selain itu kurangnya pelayanan air bersih, sarana dan prasarana drainase, pembuangan limbah rumah tangga, persampahan, dan kurangnya kualitas jalan lingkungan (banyak jalan dalam kondisi tidak ada perkerasan permukaan jalan/jalan tanah) serta kurangnya kesadaran masyarakat.

2. Tingkat sosial ekonomi masyarakat di permukiman kumuh Kota Tebing Tinggi masih rendah, hal ini ditunjukkan dengan masih rendahnya tingkat pendidikan dan pendapatan masyarakat.

3. Secara simultan faktor-faktor harga lahan, jarak ke tempat kerja, pendapatan dan pendidikan berpengaruh nyata terhadap keputusan masyarakat untuk tinggal di kawasan kumuh. Secara parsial faktor harga lahan, jarak ke tempat kerja, pendidikan dan pendapatan berpengaruh negatif terhadap kawasan kumuh.

(55)

5.2. Saran

1. Pemerintah Kota Tebing Tinggi harus dapat melakukan pendataan status dan kepemilikan tanah dan melakukan penataan prasarana permukiman Kota Tebing Tinggi dengan cara merehabilitasi air bersih, drainse, sanitasi, persampahan dan jalann

2. Pemerintah Kota Tebing Tinggi perlu meningkatkan pendapatan masyarakat melalui program pendanaan kepada masyarakat sehingga masyarakat memiliki kemampuan untuk membuka usaha dan memiliki pendapatan di atas pendapatan perkapita yang konsekuensinya dapat tinggal di lokasi permukiman yang layak lokasi dan layak huni

3. Pemerintah Kota Tebing Tinggi perlu mengevaluasi kebijakan pembangunan permukiman dan perumahan, hal ini disebabkan harga lahan yang semakin murah, jarak ke tempat kerja yang semakin dekat dan pendapatan yang semakin rendah cenderung membuat pola pikir masyarakat untuk terakumulasi tinggal pada suatu tempat tetentu.

4. Pemerintah Kota Tebing Tinggi perlu melakukan penanggulangan kawasan kumuh sesuai dengan kondisi APBD dan rencana tata ruang Kota Tebing Tinggi.

Gambar

Gambar 3.1 Peta Adminstrasi Kota Tebing Tinggi
Tabel. 3.1:
Tabel. 3.2: Sebaran Responden pada Lokasi Penelitian
Tabel 3.3. Interpretasi Jenjang Skor Tingkat Partisipasi Masyarakat
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukan bahwa (1) kawasan Sindulang Satu merupakan salah satu kawasan permukiman kumuh di Kota Manado dengan tipologi/karakteristik permukiman di

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa strategi yang diterapkan oleh Dinas Perumahan Kawasan Permukiman dan Kebersihan Kota Tebing Tinggi sudah berjalan dengan baik,

Berdasarkan hasil analisa AHP (Analytic Hierarchy Process) diatas, diketahui bahwa indikator penyebab kumuh pada kawasan permukiman kumuh yang memiliki prioritas

1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, permukiman kumuh memiliki ciri (1) ketidakteraturan dan kepadatan bangunan yang tinggi, (2) ketidaklengkapan

1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, permukiman kumuh memiliki ciri (1) ketidakteraturan dan kepadatan bangunan yang tinggi, (2) ketidaklengkapan

Dalam upaya peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh Dalam upaya peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh, Pemerintah dan/atau

Tujuan Penelitian Karakteristik Kekumuhan dan Rencana Penanganan Perumahan dan Permukiman Kumuh Di Kota Gorontalo (Studi Kasus Kawasan Kumuh Kelurahan Limba B) ini

1 / 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, permukiman kumuh adalah permukiman yang ketidakteraturan bangunan serta memiliki kepadatan bangunan yang tinggi, maupun kondisi sarana