• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

33

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Permukiman

2.1.1 Pengertian Permukiman

Permukiman atau perumahan merupaka salah satu kawasan dalam suatu perkotaan, permukiman atau dapat disebut housing dalam bahasa inggris merujuk pada arti perumahan dan fasilitas penunjangnya. Perumahan merupakan sebuah kumpulan rumah dalam satu kawasan, sedangkan permukiman memberikan kesan tentang kumpulan pemukim dengan seluruh aktifitas di dalamnya (Kurniasih, 2007).

Menurut Parwata (2004) mengemukakan bahwa permukiman merupakan suatu tempat yang telah dipersiapkan dengan tujuan yang jelas. Sedangkan menurut UU No. 1 / 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, permukiman adalah kumpulan dari perumahan yang membentuk suatu kawasan permukiman yang dilengkapi dengan sarana serta prasarana penunjang kawasan permukiman, dan mempunyai fasilitas lain sebagai penunjang kegiatan fungsi lain dalam suatu kawasan perkotaan.

Sehingga permukiman dapat dikatakan sebagai kumpulan dari perumahan – perumahan dengan seluruh aspek di dalamnya lengkap dengan fasilitas umum, sarana dan prasarana.

2.1.2 Kriteria Permukiman Layak Huni dan Sehat

Menurut WHO, arti kata sehat adalah keadaan yang sempurna baik fisik, mental, maupun sosial budaya, bukan hanya keadaan yang bebas dari penyakit dan kelemahan. Sedangkan definisi dari rumah sehat adalah sebagai tempat untuk berlindung atau bernaung dan tempat untuk beristirahat, sehingga menumbuhkan keadaan yang sempurna baik fisik, mental, maupun sosial budaya (Azwar, 2009).

Kriteria permukiman layak huni dan sehat tergantung dari adanya ketersediaan berbagai macam kelengkapan dan pelayanan tertentu. Berikut ini kebutuhan perlengkapan yang minimal harus tersedia di permukiman adalah (Samuel, 2009):

(2)

34

1. Ketersediaan prasarana air bersih yang dapat digunakan untuk air minum, mandi, mencuci, memasak perlu ada di setiap rumah.

2. Pembuangan kotoran dan air hujan, seperti penyediaan septictank dan sistem pembuangan air hujan yang baik agar tidak menggenang.

3. Penempatan-penempatan utilitas yang mudah untuk dicapai sehingga memudahkan untuk pemeriksaan ataupun pergantian.

4. Pembuangan sampah, seperti penyediaan berupa tempat penampungan sampah yang dapat ditutup dan dibersihkan, serta harus tersedia di setiap pekarangan rumah.

5. Tersedianya sarana pelayanan dasar masyarakat seperti sarana pendidikan, kesehatan yang tidak terlalu jauh dari tempat tinggal.

Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa permukiman layak huni harus memiliki kelengkapan minimal berupa fasilitas sarana dan prasarana sehingga menumbuhkan keadaan yang baik secara fisik, mental, maupun sosial budaya.

Tabel 2.1 Kriteria Permukiman Layak Huni

Pendapat Ahli Permukiman Layak Huni Variabel Azwar (2009) Menumbuhkan keadaan yang

baik secara fisik, mental, maupun sosial budaya

1. Kondisi sosial masyarakat.

2. Lingkungan.

Samuel (2009) 1. Penyediaan sarana pelayanan umum.

2. Penyediaan prasarana utilitas.

1. Kondisi fisik sarana.

2. Kondisi fisik prasarana.

Sumber: Hasil Sintesa Teori, 2019

Permukiman Kumuh

2.2.1 Pengertian Permukiman Kumuh

Dalam UU No. 1 / 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, permukiman kumuh adalah permukiman yang ketidakteraturan bangunan serta memiliki kepadatan bangunan yang tinggi, maupun kondisi sarana dan prasarana yang tidak memnuhi syarat, sedangkan perumahan kumuh adalah rumah yang mengalami penurunan kualitas sebagai tempat hunian.

Permukiman kumuh sering dilihat sebagai suatu kawasan yang identik dengan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), kotor, padat, dan lain – lain sebagainya (Adisasmita, 2010). Permukiman kumuh yaitu bangunan padat dengan

(3)

35 kualitas konstruksi tidak permanen, serta sarana prasarana penunjang yang kurang memadai (Kuswartojo, 2005). Sedangkan menurut Suparlan (2004) permukiman kumuh didominasi oleh masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) serta padat penduduk. Permukiman kumuh memiliki kualitas lingkungan yang tidak layak, umumnya berlokasi pada lahan yang ilegal, kepadatan tinggi, kualitas dan ketersediaan pelayanan sarana prasarana dasar yang tidak memadai (Budiharjo, 1997).

Pada awal terbentuk sebuah kota bermula dari keberadaan permukiman skala kecil yang semakin bertambah seiring berjalannya waktu serta bertambahnya jumlah penduduk, perubahan kondisi sosial ekonomi masyarakat, dan interaksinya dengan kawasan sekitar ataupun kota – kota lainnya, namun perkembangan tersebut tidak diimbangi dengan upaya pengendalian maupun penyediaan yang baik, kurangnya upaya pengendalian penduduk serta pengendalian lingkungan mengakibatkan degradasi lingkungan yang berpotensi menimbulkan kawasan permukiman kumuh (Sobirin, 2001).

Pengertian permukiman kumuh adalah sebuah kawasan permukiman padat penduduk yang didominasi oleh masyarakat berpenghasilan rendah serta kondisi sarpras yang kurang memadai.

2.2.2 Karakteristik Permukiman Kumuh

Karakteristik permukiman kumuh seringkali digambarkan sebagai kawasan yang tidak teratur, kurang memadai dari segi kualitas pelayanan dasar, serta erat kaitannya dengan masyarakat miskin. Menurut Soestrisno (1998) permukiman kumuh adalah lingkungan permukiman yang memiliki karakteristik sebagai berikut:

1. Kondisi fisik yang tidak memenuhi persyaratan teknis sebagai kawasan permukiman.

2. Kondisi bangunan yang buruk dengan kualitas konstruksi bangunan semi permanen bahkan non permanen.

3. Kepadatan penduduk dan bangunan yang tinggi.

4. Fungsi rumah yang bercampur tidak jelas.

(4)

36

Sedangkan menurut Suparlan (1984), Ciri-ciri pemukiman kumuh adalah:

1. Kondisi fasilitas umu yang tidak memadai.

2. Kondisi bangunan yang tidak layak.

3. Kepadatan bangunan dengan koefisien dasar bangunan yang tidak sesuai dengan peraturan terkait.

4. Pemukiman kumuh merupakan suatu satuan komuniti yang menempati kawasan ilegal dari segi kepemilikan dan peruntukan lahan.

5. Dihuni oleh masyarakat yang tidak homogen.

6. Penghuni permukiman kumuh bekerja pada sektor informal.

Menurut Sinulingga (2005) ciri kampung/pemukiman kumuh terdiri dari:

1. Kepadatan penduduk sangat tinggi, menurut para ahli perkotaan dalam MMUDP (1990) menyatakan bahwa tingginya kepadatan penduduk akan menimbulakn berbagai masalah lingkungan dan penyakit.

2. Kondisi sarana dan prasarana yang tidak memadai.

3. Ketidakteraturan bangunan yang tinggi serta didominasi oleh bangunan tidak permanen.

4. Status kepemilikan lahan dan bangunan yang tidak legal.

Menurut UNCHS dalam Socki (1993) ciri – ciri permukiman kumuh ini antara lain:

1. Sebagian besar terdiri atas rumah tua yang kondisi fisiknya mengalami penurunan kualitas.

2. Sebagian besar penghuninya merupakan penyewa, 3. Kepadatan bangunan yang tinggi,

4. Ada yang berasal dari proyek perumahan yang kurang terpelihara, dan 5. Dihuni oleh masyarakat berpenghasilan rendah.

Adapun karakteristik permukiman kumuh berdasarkan beberapa ahli di atas bahwa karakteristik permukiman kumuh adalah permukiman dengan kondisi fasilitas umum dan sarpras yang kurang memadai, tingkat kepadatan bangunan dan penduduk yang tinggi, dihuni oleh penduduk dengan tingkat pendapatan yang rendah serta pekerjaan pada sektor informal.

(5)

37 Tabel 2.2 Karakteristik Permukiman Kumuh

Pendapat Ahli Karakteristik Permukiman Kumuh Variabel Suparlan, 1984 1. Fasilitas umum yang kurang

memadai.

2. Kondisi bangunan yang tidak layak huni.

3. Kepadatan bangunan dan penduduk yang tinggi.

4. Masyarakat yang tidak homogen.

5. Masyarakat bekerja pada sektor informal.

1. Kondisi sosial masyarakat.

2. Ekonomi.

3. Kondisi fisik prasana.

Sinulingga, 2005 1. Padat penduduk.

2. Sarana prasarana yang tidak memadai.

3. Ketidakteraturan bangunan yang tinggi.

4. Status kepemilikan lahan yang illegal.

1. Kondisi sosial.

2. Kondisi fisik.

3. Kondisi non fisik

Soestrisno, 1998 1. Kondisi fisik lingkungannya tidak memenuhi persyaratan teknis dan kesehatan.

2. Kondisi bangunan yang tidak memadai serta dibangun secara tidak permanen.

3. Kepadatan bangunan yang tinggi

4. Fungsi – fungsi rumah yang bercampur.

1. Kondisi fisik.

Socki, 1993 1. Kondisi bangunan rusak.

2. Kepadatan penduduk tinggi.

3. Dihuni oleh penyewa.

1. Kondisi fisik.

2. Kondisi sosial.

Sumber: Hasil Sintesa Teori, 2019

2.2.3 Kriteria / Indikator Permukiman Kumuh

Adapun kriteria / indikator permukiman kumuh berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 02 tahun 2016 tentang Peningkatan Kualitas Terhadap Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh adalah sebagai berikut:

a. Aspek Fisik

1. Bangunan Gedung; dimana meliputi ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan dan kualitas bangunan itu sendiri.

2. Jalan Lingkungan; dimana meliputi tingkat aksesibilitas kawasan dan kualitas permukaan jalan itu sendiri.

(6)

38

3. Penyediaan Air Minum / Baku; ketidaktersediaan akses aman air minum / baku, serta tidak terpenuhinya kebutuhan air minum setiap individu sesuai standar yang berlaku (60L/orang/hari).

4. Drainase Lingkungan; yang dimaksud adalah ketidaktersediaan jaringan drainase, ketidakmampuan mengalirkan limpasan air hujan, tidak terhubung dengan sistem drainase perkotaan, tidak tepelihara dengan baik dan kualitas konstruksi drainase lingkungan yang buruk.

5. Pengelolaan Air Limbah; mencakup sistem pengelolaan air limbah tidak sesuai dengan standar teknis yang berlaku dan / atau prasarana dan sarana pengelolaan air limbah tidak memenuhi persyaratan teknis.

6. Pengelolaan Persampahan; sarpras dan sistem pengelolaan persampahan yang tidak sesuai dengan teknis serta tidak tepeliharanya sarpras tersebut.

7. Proteksi Kebakaran; mencakup ketersediaan sarpras proteksi kebakaran.

Masing-masing kriteria tersebut kemudian dapat diuraikan lebih lanjut dalam rangka untuk mempermudah identifikasi kondisi kekumuhan suatu wilayah, yakni:

1. Kriteria bangunan gedung, penentuan tingkat kekumuhan ditinjau berdasarkan:

a) Ketidakteraturan bangunan yaitu bangunan yang tidak memenuhi ketentuan tata bangunan dalam RDTR dan RTBL, seperti pengaturan blok lingkungan, kapling, bangunan, ketinggian dan elevasi lantai, konsep identitas lingkungan, konsep orientasi lingkungan, dan wajah jalan. Sederhananya dapat dilihat dari muka bangunan menghadap jalan utama.

b) Tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, mengacu pada ketentuan penataan ruang terkait koefisien lantai bangunan (KLB) dan koefisien dasar bangunan (KDB) melebihi ketentuan yang berlaku.

(7)

39 c) Kualitas bangunan yang tidak memenuhi persyaratan teknis.

2. Kriteria jalan lingkungan, penentuan tingkat kekumuhan ditinjau berdasar:

a) Sebagian atau seluruh lingkungan permukiman tidak terlayani oleh jaringan jalan lingkungan; dan/atau

b) Sebagian atau seluruh permukaan jalanan lingkungan tidak mengalami perkerasan atau terjadi kerusakan.

3. Kriteria penyediaan air minum, penentuan tingkat kekumuhan ditinjau berdasar:

a) Ketidaktersediaan akses aman air minum; dan/atau

b) Tidak terpenuhinya kebutuhan air minum sesuai standar yang berlaku sebanyak 60 liter/orang/hari.

4. Kriteria drainase lingkungan, penentuan tingkat kekumuhan ditinjau berdasar:

a) Jaringan drainase tidak dapat mengalirkan limpasan air hujan;

b) Sebagian atau seluruh kawasan permukiman tidak terlayani oleh jaringan drainase;

c) Sebagian atau seluruh jaringan drainase tidak terhubung dengan sistem drainase perkotaan;

d) Kondisi jaringan dan kualitas konstruksi jaringan drainase yang buruk.

5. Kriteria pengelolaan air limbah, penentuan tingkat kekumuhan ditinjau berdasarkan kesesuaian dengan standar dan persyaratan teknis yang berlaku.

6. Kriteria pengelolaan persampahan, penentuan tingkat kekumuhan ditinjau berdasar:

a) Sarana dan prasarana persampahan tidak sesuai dengan persyaratan teknis.

b) Sistem pengelolaan persampahan tidak memenuhi persyaratan teknis.

(8)

40

c) Tidak terpeliharanya sarana dan prasarana pengelolaan persampahan sehingga terjadi pencemaran lingkungan sekitar oleh sampah, baik sumber air bersih, tanah maupun jaringan drainase.

7. Kriteria proteksi kebakaran mencakup:

a) Prasarana proteksi kebakaran, merupakan kondisi dimana tidak tersedianya;

b) Sarana proteksi kebakaran terdiri dari:

Tabel 2.3 Indikator Permukiman Kumuh

Indikator Permukiman Kumuh

Pendapat Variabel

Aspek Fisik 1. Fisik bangunan.

2. Jaringan jalan.

3. Jaringan air minum / baku.

4. Jaringan drainase.

5. Pengelolaan air limbah.

6. Pengelolaan persampahan.

7. Proteksi kebakaran.

1. Kondisi fisik.

Sumber: Hasil Sintesa Teori, 2019

2.2.4 Penyebab Munculnya Permukiman Kumuh

Berkembangnya permukiman kumuh dapat disebabkan oleh beberapa factor, menurut Constantinos A.Doxiadis (1968), tumbuhnya permukiman kumuh disebabkan oleh Growth of density and Urbanization (pertambahan penduduk dan urbanisasi), dengan bertambahnya jumlah penduduk dari kelahiran dan migrasi masuk, tentu hal ini menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan rumah. Dengan bertambahnya jumlah rumah tersebut tanpa adanya upaya pengendalian mengakibatkan tumbuhnya permukiman kumuh.

Menurut Khomarudin, 1997 penyebab utama tumbuhnya permukiman kumuh adalah sebagai berikut:

1. Urbanisasi dan migrasi yang tinggi terutama bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah,

2. Sulit mencari pekerjaan,

3. Sulitnya mencicil atau menyewa rumah,

(9)

41 4. Kurang tegasnya pelaksanaan perundang-undangan,

5. Perbaikan lingkungan yang hanya dinikmati oleh para pemilik rumah serta disiplin warga yang rendah,

6. Semakin sempitnya lahan permukiman dan tingginya harga tanah.

Menurut Arawinda Nawagamuwa dan Nils Viking (2003:3-5) penyebab adanya permukiman kumuh adalah:

1. Kondisi bangunan yang sudah tidak layak huni serta fasilitas permukiman yang tidak sesuai dengan standar teknis yang berlaku.

2. Kurang atau tidak adanya kawasan ruang terbuka hijau (RTH), serta kepadatan bangunan dan penduduk yang tinggi.

Sedangkan menurut Rindarjono (2007), faktor penyebab munculnya permukiman kumuh adalah:

1. Faktor urbanisasi yang tidak terkendali berakibat terhadap adanya kerisis kebutuhan perumahan.

2. Faktor ekonomi, masyarakat dengan penghasilan rendah cenderung memilih tempat tinggal berdekatan dengan lokasi tempat mereka bekerja, seperti nelayan yang memilih untuk tinggal pada kawasan pinggir laut.

3. Faktor sosial budaya, masuknya penduduk dari desa ke daerah perkotaan yang tidak diimbangi dengan sikap serta kultur kota dan berdampak pada ketidaksiapan mereka terhadap budaya perkotaan.

Adapun faktor – faktor yang mempengaruhi munculnya permukiman kumuh berdasarkan para ahli mengungkapkan bahwa faktor – faktor yang mempengaruhi adalah tingkat urbanisasi, tingkat pendapatan, pekerjaan, lahan permukiman, kesadaran masyarakat, serta kondisi masyarakat permukiman.

Tabel 2.4 Penyebab Permukiman Kumuh

Pendapat Ahli Penyebab Permukiman Kumuh Variabel Doxiadis (1968) 1. Growth of density (pertambahan

penduduk).

2. Urbanization (Urbanisasi).

Kondisi sosial

Khomarudin (1997) 1. Urbanisasi dan migrasi yang tinggi, terutama bagi kelompok masyarakat dengan penghasilan rendah.

1. Kondisi sosial.

2. Kondisi ekonomi.

3. Kondisi lingkungan.

(10)

42

Pendapat Ahli Penyebab Permukiman Kumuh Variabel 2. Sulit mencari pekerjaan.

3. Sulit menyewa rumah.

4. Kurang tegasnya pelaksaanaan peraturan terkait.

5. Perbaikan lingkungan hanya dinikmati oleh pemilik rumah serta disiplin warga yang rendah.

6. Sedikitnya lahan permukiman dan mahalnya harga lahan.

Nawagamuwa dan Viking (2003)

1. Karakter bangunan.

2. Karakter lingkungan.

Kondisi lingkungan.

Rindarjono (2007) 1. Pertambahan jumlah penduduk.

2. Kondisi ekonomi.

3. Pengetahuan masyarakat.

1. Kondisi sosial.

2. Kondisi ekonomi.

3. Kondisi lingkungan.

Sumber: Hasil Sintesa Teori, 2019

Kebijakan Penanganan Permukiman Kumuh

2.3.1 Penanganan Permukiman Kumuh dalam Undang – Undang No.1 tahun 2011

Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman pasal 97, lingkup penanganan lingkungan permukiman kumuh adalah untuk peningkatan kualitas yang mencakup hal-hal berikut:

1. Pemugaran, merupakan upaya membangun kembali permukiman menjadi layak. Dimana pemugaran yang dilakukan meliputi:

a. Revitalisasi, menghidupkan kembali kawasan mati pada suatu wilayah perkotaan.

b. Rehabilitasi, merupakan upaya pemulihan fisik suatu kawasan yang mengalami degradasi lingkungan.

c. Renovasi, merupakan upaya peremajaan sebagian atau seluruh komponen lingkungan permukiman.

d. Rekonstruksi, merupakan upaya mengembalikan permukiman seperti semula.

e. Preservasi, merupakan upaya mempertahankan suatu lingkungan permukiman dari penurunan kualitas atau kerusakan.

2. Relokasi adalah upaya memindahkan masyarakat terdampak dari lokasi yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan/atau rawan bencana serta dapat menimbulkan bahaya bagi barang maupun orang.

(11)

43 Pola-pola penanganan tersebut dilakukan dengan melibatkan masyarakat serta mempertimbangkan hal – hal sebagai berikut (Direktorat Pengembangan Kawasan Pemukiman, 2016):

a. Peremajaan dilakukan apabila pada lokasi memiliki tingkat kekumuhan tinggi hingga sedang dengan status tanah legal;

b. Pemugaran dilakukan apabila pada lokasi memiliki tingkat kekumuhan rendah dengan status lahan legal;

c. Relokasi dilakukan apabila pada lokasi merupakan tanah yang tidak dimiliki pribadi (ilegal).

2.3.2 Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 34 Tahun 2006 Tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Keterpaduan Prasarana Sarana Dan Utilitas (PSU) Kawasan Perumahan

Pola Penanganan Keterpaduan PSU merupakan acuan di dalam penyelenggaraan Keterpaduan PSU melalui :

1. Pembangunan perumahan dan kawasan permukiman skala besar yang dilaksanakan secara bertahap.

2. Peningkatan kualitas permukiman berupa kegiatan pemugaran, perbaikan dan peremajaan dan mitigasi bencana.

Dalam menangani keterpaduan PSU pada kawasan permukiman yang sudah terbangun, pemerintah melakukan upaya preventif sebagai tindakan pencegahan agar tidak menimbulkan masalah yang akan datang, sehingga terwujudnya lingkungan kawasan yang sehat, dan berwawasan lingkungan. Komponen PSU dalam Kawasan perumahan dan lingkungan permukiman adalah sebagai berikut : Tabel 2.5 Tabel Komponen PSU Kaawasan

No. Komponen PSU Kawasan Skala Besar Kawasan Khusus Prasarana

1 Jalan Jalan lokal sekunder Jalan lokal sekunder dan jalan diatas air

2 Drainase Primer dan sekunder Primer dan sekunder

3 Air Limbah Terpusat setempat Terpusat setempat

4 Persampahan Tempat pengolahan sementara/akhir dan komposter

Tempat pengolahan sementara dan komposter

5 Jaringan Air Minum Distribusi terminal

Sarana

(12)

44

No. Komponen PSU Kawasan Skala Besar Kawasan Khusus 1 Tempat pendidikan TK, SD, SLTP, dan SMU SD, SLTP

2 Layanan kesehatan Klinik, puskesmas, RS tipe C, B, dan A Klinik, posyandu, puskesmas pembantu, dan puskesmas

3 Layanan

perdagangan

Warung, restoran, pujasera, pasar tradisional, minimarket, dan pertokoan

Warung, pujasera, pasar, dan tempat pelelangan ikan

4 Fasos dan fasum Rumah ibadah, balai pertemuan, dan kantor

Rumah iabdah dan balai pertemuan 5 Tempat olahraga Gedung dan lapangan olahraga Lapangan olahraga

6 Pemakaman Pemakaman -

7 RTH Taman Taman dan tempat penjemuran ikan

8 Terminal Halte Dermaga

Utilitas Umum

1 Jaringan listrik Gardu dan jaringan (PLN) serta genset Gardu dan jaringan (PLN) serta genset

2 Jaringan telepon Jaringan (telkom) Jaringan (telkom)

3 Jaringan gas Jaringan (migas) Jaringan (migas)

4 Transportasi Angkutan umum Angkutan umum

5 Pemadam Kebakaran Perlengakapan pemadam kebakaran Perlengakapan pemadam kebakaran

Sumber: Permen PUPR Nomor 34 tahun 2006 Tabel 2.6 Kebijakan Penanganan Permukiman Kumuh

Sumber Isi Keterangan

UU No.1 thn 2011

Pemugaran, meliputi:

a. Rehabilitasi.

b. Renovasi.

c. Rekonstruksi.

d. Preservasi.

a. Mengembalikan komponen fisik lingkungan.

b. Perubahan sebagian dari komponen lingkungan permukiman.

c. Mengembalikan kembali lingkungan permukiman sesuai dengan asalnya.

d. Mempertahankan lingkungan dari penurunan kualitas atau kerusakan.

Peremajaan Pembongkaran sebagian atau

keseluruhan.

Permukiman kembali a. Memindahkan masyarakat.

b. Lokasi permukiman tidak sesuai dengan rencana tata ruang.

Permen PUPR No. 34

tahun 2006

Sarana Keterpaduan pembangunan sarana.

Prasarana Keterpaduan pembangunan prasarana.

Sumber: Hasil Sintesa Teori, 2019

Penelitian Terdahulu

Pada sub bab ini dijelaskan dalam rangkuman hasil penelitian terdahulu yang memiliki keterkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan. Adapun penulis mengadaptasi dari beberapa penelitian terdahulu, yaitu :

Deysi Kaseke dkk (2017), melakukan penelitian terkait analisis perencanaan pola penanganan permukiman kumuh di kawasan sindulang satu Kecamatan Tuminting, Kota Manado. Membagi faktor-faktor kunci sebagai indikator yang berpengaruh dalam pola penanganan permukiman kumuh menjadi kondisi fisik

(13)

45 bangunan, kondisi jalan lingkungan, kondisi drainase lingkungan, penyediaan air minum, pengelolaan air limbah, kondisi persampahan, kondisi pengaman kebakaran, ketersediaan ruang terbuka hijau, peran pemerintah, kondisi sosial, kondisi ekonomi, peran serta masyarakat, dan legalitas. Pembagian indikator tersebut dilakukan dengan penilaian lokasi berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 02/PRT/M/2016 tentang peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh.

Niken dan Rulli (2014), dalam penelitiannya mengidentifikasi karakteristik lingkungan permukiman kumuh di Kelurahan Kapuk, Jakarta Barat. Niken dan Rulli (2014) membagi faktor-faktor yang mempengaruhi dalam melakukan identifikasi karakteristik lingkungan permukiman kumuh menjadi 4 indikator yaitu, kondisi fisik, kondisi sosial, kondisi ekonomi, dan kondisi kebencanaan.

Annas Anshar dkk (2018), melakukan penelitian mengenai penentuan infrastruktur prioritas pada kawasan kumuh lingkungan kerantil, Kota Blitar. Dalam penelitiannya pendekatan yang digunakan yaitu teknik analisis Service and Quality (Servqual) dan Importance-Performance Analysis (IPA) dengan cara membandingkan antara tingkat kepuasan dan harapan dari responden terhadap infrastruktur pada kawasan penelitian. Annas Anshar dkk (2018), mengkaji faktor penyebab terjadinya kekumuhan yang ditemukan pada kawasan lingkungan kertil, Kota Blitar antara lain infrastruktur jalan, infrastruktur drainase, infrastruktur air bersih, infrastruktur persampahan, kondisi fisik bangunan, proteksi pemadam kebakaran, dan ruang terbuka hijau. Selain dari faktor infrastruktur, ditemukan pula faktor lain diantaranya peran pemerintah, sosial, ekonomi, peran masyarakat, dan legalitas.

Agatha Crysta (2017) melakukan penelitian serupa dalam menganalisis tingkat kekumuhan dan pola penanganannya di Kelurahan Keputih, Surabaya.

Penelitian dilakukan menggunakan metode skoring untuk mendapatkan klasifikasi tingkat kekumuhan. Parameter yang digunakan dalam penelitian tersebut menggunakan indikator yang telah ditetapkan mengacu pada Permen PUPR nomor 2 tahun 2016. Hasil penelitian tersebut menampilkan 4 (empat) klasifikasi kekumuhan antara lain adalah kawasan tidak kumuh, kumuh ringan, kumuh sedang,

(14)

46

kumuh berat, yang kemudian dari tingkat kekumuhan tersebut dilakukan penanganan berdasarkan karakteristik kawasan tersebut.

Muhajir Syam (2017) dalam skripsinya melakukan penelitian serupa dalam menganalisis tingkat kekumuhan di Kelurahan Ranggas Kabupaten Majene. Dalam penelitiannya melakukan identifikasi tingkat kekumuhan Muhajir Syam menambahkan aspek pertimbangan lain dan legalitas sebagai tolak ukur tingkat kekumuhan yang dilakukannya. Adapun aspek – aspek di dalamnya adalah :

a. Pertimbangan Lain 1. Kepadatan Penduduk;

2. Nilai Stategis;

3. Potensi Sosial Ekonomi;.

4. Dukungan Masyarakat;

5. Komitmen Pemerintah b. Legalitas

1. Status kepemilikan.

2. Kesesuaian dengan rencana tata ruang.

3. Persyaratan administrasi bangunan.

Tabel 2.7 Identifikasi Variabel dan Indikator Penelitian Terdahulu

Nama dan Tahun Publikasi

Variabel Indikator Tujuan yang Ingin di Capai Deysi

Kaseke dkk, 2017

1. Kondisi Fisik 1. Bangunan gedung 2. Kondisi jalan lingku-

ngan

3. Penyediaan air min-um 4. Kondisi draniase lin-

gkungan

5. Pengelolaan air lim- bah

6. Pengelolaan persam- pahan dan

7. Proteksi kebakaran.

Pola penanganan per- mukiman kumuh dan memilih pola yang se-suai untuk dapat di te-rapkan pada kawasan permukiman kumuh.

2. Kondisi Pertimbangan Lain

1. Nilai strategis lokasi 2. Kependudukan 3. Kondisi sosial, ekon-

omi dan budaya 3. Kondisi

Legalitas Lahan

Kejelasan status pengu- asaan lahan dan kesesu- aian Rencana Tata Rua-ng (RTR)

(15)

47

Nama dan Tahun Publikasi

Variabel Indikator Tujuan yang Ingin di Capai Niken dan

Rulli, 2014

1. Kondisi Fisik 1. Kondisi bangunan 2. Kondisi drainase lin-

gkungan

3. Pengelolaan air lim- bah

4. Pengelolaan persam- pahan

5. Penyediaan air min- um

6. Kondisi jalan lingk- ungan

Arahan peningkatan kualitas lingkungan per- mukiman kumuh di Kelurahan Kapuk Jakarta Barat.

2. Kondisi Sosial 1. Kependudukan 2. Tingkat pendidikan 3. Faktor harga dan ke-

dekatan lokasi beke- rja

3. Kondisi Ekonomi

1. Status mata pencah- arian

2. Tingkat penghasilan 4. Kondisi

Kebencanaan

1. Kondisi rawan benc- ana

Annas Anshar dkk, 2018

1. Kondisi Fisik 1. Kondisi jalan ling- kungan

2. Kondisi drainase lin- gkungan

3. Kondisi jaringan air bersih

4. Kondisi jaringan air limbah

5. Pengelolaan persam- pahan

6. Kondisi bangunan 7. Penanggulangan ba-

haya kebakaran 8. Ketersediaan RTH

Merumuskan penanganan permukim-an kumuh yang tepat melalui penentu-an infrastruktur prioritas

2. Kondisi Kelembagaan

Peran Pemerintah:

1. Penyediaan peruma- han layak huni 2. Pembiayaan pemba-

ngunan infrastruktur 3. Respon pemerintah Peran Masyarakat:

1. Keinginan meme- lihara lingkungan 2. Keinginan meningk-

atkan kualitas lingk- ungan

3. Kondisi Sosial 1. Domisili asal

2. Jumlah penghuni lin- gkungan permukiman 3. Tingkat pendidikan 4. Status kependudukan

(16)

48

Nama dan Tahun Publikasi

Variabel Indikator Tujuan yang Ingin di Capai

5. Tingkat kekerabatan 4. Kondisi

Ekonomi

1. Jenis pekerjaan 2. Pendapatan per bul-an 3. Nilai strategis lokasi 5. Kondisi

Legalitas Lahan

1. Status kepemilikan bangunan

2. Legalitas bangunan Muhajir

Syam 2017

Pertimbangan Lain 1. Kepadatan Penduduk;

2. Nilai Stategis;

3. Potensi Sosial Ekonomi;.

4. Dukungan Masyarakat;

5. Komitmen Pemerintah

Teridentifikasi tingkat kekumuhan

Legalitas 1. Status kepemilikan.

2. Kesesuaian dengan rencana tata ruang.

3. Persyaratan administrasi bangunan.

Sumber: Penulis, 2019

Best Practice Penanganan Permukiman Kumuh

2.5.1 Program Bantuan Stimulan Permukiman Swadaya (BSPS)

Kemiskinan merupakan suatu masalah yang komplek yang menjadi sebuah permasalahan negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Kemiskinan adalah situasi serba kekurangan karena keadaan yang tidak dapat dihindari dari seseorang atau sekelompok orang dengan kekuatan yang dimilikinya (Bappenas, 2004). Hidup dalam kemiskinana bukan hanya hidup dalam kekurangan uang dan pendapatan yang rendah melainkan menyangkut banyak hal seperti rendahnya tingkat kesehatan, pendidikan bahkan kerentanan terhadap ancaman tindak kriminal selain itu juga menyebabkan rendahnya akses masyarakat terhadap rumah yang yang layak huni. Sehingga pemerintah memberlakukan program bantuan stimulan permukiman swadaya (BSPS) yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta peningkatan kualitas hidup bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah.

Rumah Swadaya merupakan salah satu kegiatan terbesar di Indonesia yang dilakukan oleh masyarakat di berbagai lokasi. Masyarakat tentu saja merupakan dasar utama dalam penyelenggaraan rumah swadaya. Rumah-rumah yang dibangun

(17)

49 secara individual tersebut kemudian dapat membentuk permukiman yang tumbuh dan berkembang secara incremental dengan pola pertumbuhan yang tidak teratur.

Keterbatasan kemampuan sosial ekonomi masyarakat mengakibatkan semakin bertumbuhnya jumlah rumah tidak layak huni. Program bantuan stimulan dari pemerintah bagi penyelenggaraan rumah swadaya merupakan salah satu kegiatan yang bertujuan mengantisipasi masalah perumahan. Dalam program BSPS terdapat beberapa bentuk kegiatan dalam pelaksanaan programnya yaitu: pelaksanaan BSPS berupa uang ; pelaksanaan BSPS berupa bangunan untuk rumah; pelaksanaan BSPS berupa rumah; pelaksanaan BSPS berupa bahan bangunan untuk PSU (Prasarana, Sarana, Utilitas umum). Adapun beberapa persayaratan yang diberlakukan yang harus dipenuhi oleh masyarakat yang menjadi penerima bantuan.

Pada tahapan program ini proses pendampingan masyarakat penerima bantuan untuk meningkatkan kualitas rumah oleh SKPD Kabupaten/Kota merupakan proses yang sangat penting dalam mendorong partisipasi masyarakat demi keberhasilan program pemerintah guna memberikan rumah yang layak huni bagi masyarakat.

Sebagai salah satu contoh program bantuan stimulan permukiman swadaya (BSPS) yang berlokasi di Desa Sambigede Kabupaten Blitar memiliki jumlah kuota rumah tidak layak huni yang cukup banyak dan mendapatkan jumlah kuota bantuan stimulan perumahan swadaya tertinggi pada tahun 2018 di Kabupaten Blitar. Pada teknis pelaksanaan program terdapat 4 tahapan penyelenggara bantuan stimulus perumahan swadaya nomor 07/SE/Dr/2018. 4 tahapan yang dimaksud adalah penyiapan masyarakat, penetapan calon penerima bantuan, pamanfaatan bantuan dan pelaporan. Pada tahapan penyiapan masyarakat kegiatan sosialisasi dan penyuluhan pun di lakukan secara langsung dengan calon penerima bantuan stimulan perumahan swadaya. Dalam pelaksanaan sosialisasi tersebut sudah berjalan sesuai dengan petunjuk Bantuan Stimulus Perumahan Swadaya Nomor 07/SE/Dr/2018 yaitu memberikan informasi mengenai penyelenggaran BSPS kepada masyarakat. Selama penyuluhan yang dilakukan oleh tim pelaksana program antara lain prosedur kegiatan, tata cara pelaksanaan program, tanggung jawab penerima bantuan, sanksi, ketentuan rumah layak huni, penyusunan rencana anggaran biaya, pelaporan kegiatan dan lain-lain. Pada proses kegiatan sosialisasi

(18)

50

terbilang sukses karena perangat desa dan calon penerima bantuan di Desa Sambigede sangat aktif dan antusias dalam menerima bantuan stimulan perumahan swadaya, selain itu koordinasi baik yang terjalin antara tenaga fasilitator lapangan dan perangkat desa dalam melakukan tugas dan fungsi selama kegiatan sosialisasi dan penyuluhan tersebut berlangsung

Dalam pelaksanaan tahapan verifikasi lapangan pelaksanaan program harus tetap mengikuti petunjuk teknis yang belaku dan transparan, koordinasi antara tenaga fasilitator lapangan dan perangkat desa juga sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan program. Kegiatan kesepakatan calon penerima bantuan stimulan perumahan swadaya dianggap optimal karena dalam pelaksanaan adanya kepercayaan satu sama lain yang memberikan rasa tanggung jawab kepada kedua belah pihak untuk saling bekrja sama dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dalam bantuan stimulan perumahan swadaya. Identifikasi penyusunan proposal di Desa Sambigede dilaksanakan tidak sesuai dengan petunjuk teknis yang berlaku, hal ini diakibatkan karena minimnya pengetahuan masyarakat terkait dengan penyusunan proposal akibatnya proposal yang seharusnya disusun oleh penerima bantuan stimulan perumahan swadaya dikerjakan oleh tenaga fasilitator lapangan sehingga hal ini dianggap masih belum optimal karena tidak sesuai dengan petunjuk teknis Bantuan Stimulus Perumahan Swadaya Nomor 07/SE/Dr/2018.

Pada intinya Program BSPS mengakomodir masyarakat untuk mandiri meningkatkan kualitas lingkungan permukiman mereka dengan diberikannya bantuan stimulan serta sosialisasi/pelatihan untuk memberikan pengetahuan tentang permukiman layak huni. Dari hasil pelaksaan program tersebut didapatkan hasil yang cukup baik dari tingkat partisipasi serta perilaku masyarakat yang menunjukan adanya perubahan menjadi lebih baik (memberikan hasil yang positif), hal tersebut dapat dilihat dari kondisi sebelum dan sesudah pelaksanaan program tersebut, terlihat bahwa kawasan menjadi lebih bersih dan tertata.

2.5.2 Program Sanitasi Masyarakat

Pesatnya urbanisasi di kota-kota menimbulkan tantangan baru dalam menghadapinya terutama dalam memenuhi kebutuhan pengelolaan sanitasi yang baik. karena jika pengelolaan sanitasi dilakukan dengan tidak tepat maka penduduk

(19)

51 balita yang mendiami suatu tempat akan mengalami stunting, yaitu terhambatnya pertumbuhan badan dan otak dan hal tersebut dipengaruhi juga oleh air yang tercemar akibat pengelolaan sanitasi yang buruk. Selain berdampak pada masyarakat sekitar pengelolaan sanitasi yang buruk juga berpengaruh pada lingkungan, karena pada dasarknya saat septic tank di kosongkan lumpur tinja sering kali hanya di pinahkan ke tempat lain seperti tanah kosong atau bantaran sungai yang mana dapat mengganggu ekosistem yang lainnya. sehingga upaya yang dilakukan pemerintah dalam menciptakan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat, baik individu maupun kelompok adalah dengan program sanitasi perkotaan berbasis masyarakat. Program ini dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat dalam pelaksanaannya guna meningkatkan kualitas hidup, kemandirian dan kesejahteraan masyarakat.

Sehingga dalam mewjudkan upaya tersebut pemerintah menjalankan program pamsimas, yang mana pada program ini bertujuan untuk membantu masyarakat dalam berbagai air untuk aktivitas kehidupan sehari-harinya serta kesehatan lingkungan tempat mereka tinggal. Pamsimas dapat berjalan dengan efektif dan berkelanjutan apabila melibatkan masyarakat secara langsung dalam menyiapkan, melaksanakan, mengoprasionalkan dan memelihara sarana yang telah dibangun serta melanjutkan kegiatan peningkatan derajat kesehatan. Contoh penerapan program PAMSIMAS yang dilaksanakan di Desa Timpik Kecamatan Susukan, adapun tahapan implementasi program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) antara lain peran aktor paling bawah (street level bureaucrat). Peran aktor paling bawah ini merupakan sebuah organisasi yang beruhubungan langsung dengan kelompok sasaran maka interpretasi mereka terhadap tujuan kebijakan dan output tujuan tersebut diwujudkan akan sangat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan. Kelompok sasaran dalam program ini kelompok sasaran adalah masyarakat yang menggunakan sarana ini sebelum program masuk dan sudah mendaftar sebagai anggota aktif yang berkontribusi salam hal pembayara iuaran sesuai dengan banyaknya jumlah pemakaian air. Di Desa Timpik terdapat 13 kelompok pengguna sarana program PAMSIMAS dengan nama KPS Bangun Tirta Mandiri dengan jumlah pegguna terbanyak jika dilihat dari kebutuhan akan sumber air minum yang

(20)

52

tinggi dari warga Desa Timpik. Koordinasi intensif aktor bawah dengan kelompok sasaran memiliki komunikasi yang baik antar kedua belah pihak yang terlibat.

Selain membangun komunikasi dengan SKPD, membangun komunikasi yang baik dengan masyarakat juga sangat dibutuhkan terlebih komunikasi dua belah pihak aktor bawah an masyarakat. berdasarkan survey yang dilakukan encapaian kegiatan PAMSIMAS dianggap berhasil karena memiliki persentase sekitar 80%-90%, hal ini tentu menunjukkan bahwa program ini membantu masyarakat dalam pemenuhan air bersih dan pengeolaan sanitasi yang baik.

2.5.3 Program Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)

Sehat merupakan hak setiap orang, oleh karena itu setiap individu memiliki hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya bidang kesehatan.

Perilaku hidup bersih dan sehat merupakan kewajiban bagi setiap individu selain bermanfaat bagi diri sendri juga bermanfaat bagi orang sekitar. Dalam undang- undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan ditetapkan bahwa setiap orang diwajibkan untuk ikut mewujudkan, mempertahankan dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya. Termasuk dalam kewajiban setiap orang adalah berperilaku hidup sehat, serta menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan orang lain. Di Indonesia perilaku hidup bersi dan sehat masih sangat rendah, hal ini terkakit dengan berbagai permasalaan kesehatan dan penyebaran penyakit berbasis lingkungan yang secara epidimologis masih sangat tinggii di Indonesia (Kemenkes, 2012).

Sehingga upaya untuk menyadarkan serta menularkan kebiasaan hidup sehat kepada individu, kelompok ataupun masyarakat luas yaitu dengan program perilaku hidup bersih dan sehat. Tujuan utama dari program ini adalah meningkatkan kualitas keseatan melalui proses penyadartahuan yang menjadi awal dari kontribusi individu-individu dalam menjalani perilaku kehidupan sehari-hari yang bersih dan sehat. Tatanan PHBS melibatkan beberapa elemen yang merupakan bagian dari tempat beraktivitas dalam kehidupn sehari-hari. 5 tatanan PHBS yang menjadi simpul proses penyadaran perilaku hidup bersih dan sehat adalah PHBS di Rumah tangga, PHBS di tempat kerja, PHBS di sarana kesehatan dan PHBS di tempat umum. Adapun langkah-langkah dalam mengedukasi masyarakakt adalah melalui

(21)

53 pendekatan pemuka/pemimpin masyarakat, pembinanaa suasana dan juga pemberdayaan masyarakat dengan tujuan kemampuan mengenal dan tahu masalah kesehatan yang ada di sekitar terutama pada tingkatan ruma tangga sebagai awal untuk memperbaiki pola dan gaya hidup agar lebih sehat.

Berikut merupakan contoh pelaksanaan progam perilaku hidup bersih dan sehat pada tatanan rumah tangga di Dusun Ambarrukmo. Rumah tangga ber-PHBS berarti mampu menjaga, meningkatkan dan melindungi kesehatan setiap anggota rumah tangga dari gangguan ancaman penyakit dan lingkungan kondusif untuk hidup sehat. Pembinaan melalui pemberdayaan dilakukan terhadap individu, keluara dan kelompok masyarakat (kemenkes, 2011). Proses nya diawali dengan pemberdayaan terhadap kelompokmasyarakat melalui pengorganisasian masyarakat. dengan pengorganisasian masyarakat maka selanjutnya pemberdayaan individu dan keluarga. Dan dalam langka pembinaan ini warga Ambarrukmo RT07/RW03 berad pada pembinaan desa melalui pemberdayaan. Peran kader dalam meningkatkan hdup bersih dan sehat adalah dengan menlakukan pendataan rumah tangga yang ada di wilayahnya dengan menggunakan kartu PHBS atau pencatatan PHBS di rumah tangga pada buku kader, melakukan pendekatan kepada tokoh masyarakat untuk memperoleh dukungan dalam pembinaan PHBS di rumah tangga, sosialisasi PHBS di ruma tangga ke seluruh rumah tangga yang ada di desa/kelurahan melalui kelompok dasawisama.

Adapun pembinaan yang dilakukan di Dusun Ambarrukmo RT-7/RW03 adalah dengan pembentukan forum desa/kelurahan untuk meningkatka PHBS, pembinaan bagi individu untuk meningkatkan PHBS, ada pemuka masyarakat sebagai pembina PHBS, terdapat pengurus yang menjadi panutan agar terciptanya PHBS di ruma tangga, ada pengurus PKK yang menjadi ppanutan agar terciptanya PHBS rumah tangga, ada pengurus organisasi pemuda yang menjadi panutan agar terciptamya PHBS rumah tangga, ada organisasi kemasyarakatan tingkat desa/kelurahan yang berperan dalam meningkatkan PHBS rumah tangga, ada penyandang dana dalam membantu upaya pembinaan PHBS rumah tangga.

(22)

54

2.5.4 Program Kali Bersih (PROKASIH)

Program Kali Bersih disingkat dengan PROKASIH adalah program kerja pengendalian pencemaran air sungai dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas air sungai agar tetap berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Program ini diperkenalkan pada tanggal 9 Juni 1989 oleh Kementerian Negara dan Lingkungan Hidup sebagai Clen River merupakan pendekatan dasar dalam mengontrol debit limbah industri yang masuk ke badan/jalan air. Tahun 1990 mulai diimplementasikan oleh BAPEDAL (PP 20/1990 tentang water pollution control regulation). Tujuan program ini sendiri adalah untuk mencapai kualitas air sungai yang baik, sehingga dapat meningkatkan fungsi sungai dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan, Terciptanya sistem kelembagaan yang mampu melaksanakan pengendalian pencemaran air secara efektif dan efisien, Terwujudnya kesadaran dan tanggung jawab masyarakat dalam pengendalaian pencemaran air.

Sintesa Pustaka

Berdasarkan sasaran penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini, maka ada beberapa teori yang digunakan untuk menjawabnya, seperti teori mengenai faktor-faktor penyebab permukiman kumuh, serta strategi penataan permukiman kumuh.

Tabel 2.8 Sintesa Tinjauan Pustaka

Teori Sumber Variabel Indikator

Penyebab Permukiman

Kumuh.

Doxiadis (1968) Khomarudin (1997) Nawagamuwa dan Viking (2003) Rindarjono (2007)

Ekonomi 1. Tingkat pendapatan.

2. Mata pencaharian.

Sosial 1. Tingkat pendidikan.

2. Tingkat migrasi masuk dan urbanisasi.

3. Tingkat kepadatan.

Lingkungan 1. Kondisi fisik bangunan.

2. Tingkat kesadaran masyarakat.

Kriteria / indikator permukiman

kumuh

Permen PUPR Nomor 02 tahun 2016 Muhajir Syam (2017) Deysi Kaseke (2017) Annas Anshar (2018)

1. Fasilitas umum.

1. Ketersediaan fasilitas umum.

1. Kualitas fasilitas umum.

2. Fisik bangunan.

1. Tingkat keteraturan bangunan.

2. Tingkat kepadatan bangunan.

1. Kualitas bangunan.

2. Kondisi ekonomi.

1. Tingkat pendapatan.

2. Mata pencaharian.

4. Kondisi sosial.

1. Tingkat pendidikan.

2. Tingkat kesehatan.

(23)

55

Niken (2014) 3. Heterogenitas.

5. Legalitas. 1. Izin bangunan.

2. Izin lahan.

Strategi Penanganan Permukiman

Kumuh

Best Practice

Fisik Non Fisik

Sumber: Hasil Tinjauan Pustaka, 2019

Referensi

Dokumen terkait

VI - 6 Bab VI – Aspek Teknis Per Sektor kumuh memiliki ciri (1) ketidakteraturan dan kepadatan bangunan yang tinggi, (2) ketidaklengkapan prasarana, sarana, dan utilitas

Permukiman padat kumuh merupakan suatu kawasan pemukiman yang terabaikan baik dari segi penyediaan fasilitas pendukung maupun daya dukung lingkungan terhadap

diterbitkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Pendefinisian perumahan kumuh dan permukiman kumuh, serta penambahan satu bab khusus

Permukiman yang tidak layak huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak

Pemukiman kumuh ini ditandai dengan gejala-gejala yaitu kondisi perumahan yang buruk karena tidak sesuai dengan persyaratan bangunan dan rumah yang sehat, penduduk yang

Pengertian permukiman juga dapat dirumuskan sebagai suatu kawasan perumahan yang ditata secara fungsional sebagai satuan sosial, ekonomi, dan fisik tata ruang,

2.1.3 Penyebab Timbulnya Permukiman Kumuh Menurut Panju dalam Keman, 2005 menjelaskan bahwa penyebab penurunan kualitas permukiman dipengaruhi oleh kondisi social yang belum

Umumnya kondisi bangunan pada kelurahan yang ditetapkan sebagai kawasan permukiman kumuh Kota Balikpapan memiliki kondisi fisik bangunan yang kurang memadai dengan bangunan semi