10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Permukiman Kumuh
2.1.1 Pengertian Permukiman Kumuh
Permukiman kumuh adalah suatu permukiman yang tidak memungkinkan lagi untuk dapat mencapai kehidupan layak bagi penghuninya Wicaksosno (2010).
Kumuh mencakup berbagai permasalahan-permasalahan seperti permukiman yang illegal, ketidaktersediaan pelayanan infrastruktur dasar sehingga tidak menunjang kebutuhan sehari-hari masyarakat (Muchadenyiks, 2018). Secara umum permukiman kumuh terlihat dari kondisi infrastruktur fisik dan sosial yang tidak memadai serta rendahnya tingkat pendapatan dan pendidikan penghuninya.
Sadyohutomo (2008) berpendapat bahwa keberadaan permukiman kumuh berada di kawasan strategis pusat kota yang penghuninya adalah penduduk miskin, keadaan permukiman yang padat dan tidak teratur yang terletak di pinggiran kota dan penghuniya pada umumnya bukan berasal dari daerah tersebut namun dari luar daerah yang artinya tingkat urbanisasi tinggi. Sebagian dari permukiman tersebut memiliki status tanah yang illegal tanpa seijin pemilik hak tanah atau tanah yang bukan miliknya tetapi milik pemerintah atau negara.
Keberadaan permukiman kumuh sering kali di identikkan sebagai suatu kawasan yang memiliki kepadatan penduduk tinggi, kepadatan kawasan permukiman padat, kondisi kurang layak, penghuninya merupakan kelas menengah kebawah, berbahaya, tidak aman, kondisi lingkungannya tidak sehat, kotor dan stigma-stigma negative lainnya (Rahardjo Adisasmita, 2010). Tjuk Kuswartojo (2005) menyatakan bahwa permukiman kumuh memiliki kondisi permukiman yang padat, kualitas kontruksi yang rendah, ketersediaan sarana dan prasarana yang minim dan merupakan perwujudan dari kemiskinan. Suatu permukiman dipengaruhi oleh kondisi fisik dan non fisik dimana kondisi fisik meliputi sarana, prasarana, transportasi, rumah, jalan dan lain-lain sedangkan kondisi non fisik meliputi faktor sosial, ekonomi dan budaya.
Perkembangan jumlah penduduk yang meningkat pada wilayah permukiman kota mengakibatkan meningkatnya kepadatan penduduk dan kebutuhan hidup namun tidak diiringi dengan ketersediaan lahan, hal inilah mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan (Marshall dalam Aeny, 2014). Menurunnya kualitas lingkungan dikarenakan pertumbuhan dan perkembangan permukiman yang pesat tidak terkendali yang disebabkan tidak adanya pengawasan pembangunan (Budihardjo, 2004). Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi permukiman kumuh sebagai berikut :
1. Growth of Density (Pertambahan Penduduk)
Pertambahan penduduk akan mempengaruhi bertambahnya kebutuhan akan hunian, maka akan mengakibatkan pertumbuhan perumahan permukiman juga.
2. Urbanization (Urbanisasi)
Pusat kota memiliki daya tarik yang mengakibatkan arus migrasi ke perkotaan meningkat. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan akan permukiman di kawasan pusat kota semakin berkembang namun ketersediaan lahan yang kurang dapat menyebabkan munculnya permukiman-permukiman kumuh.
Tabel 2. 1 Komparasi Teori Terkait Definisi Permukiman Kumuh No Sumber Teori Definisi Permukiman Kumuh
1. Wicaksono dalam Sukari (2010)
Permukiman kumuh adalah lingkungan tempat tinggal yang telah mengalami penurunan kualitas baik secara fisik, ekonomi, sosial dan budaya.
2. Muchadenyiks (2018)
Kumuh mencakup berbagai permasalahan- permasalahan seperti permukiman yang illegal, air bersih dan sanitasi.
3. Tjuk Kuswartojo (2005)
Permukiman kumuh adalah lingkungan tepat tinggal yang padat, sarana dan prasarana yang minim serta merupakan perwujudan dari kemiskinan.
Sumber : Hasil Pustaka , 2021
12 Berdasarkan tabel 2.2 diketahui definisi yang dikemukakan oleh Ravianto dalam Suparto 2014, Wicaksono (2010) dan Muchadenyiks (2018) memiliki keterkaitan sehingga dapat disimpulkan bahwa definisi permukiman kumuh adalah lingkungan tempat tinggal yang telah mengalami penurunan kualitas lingkungan apabila ditinjau secara fisik, sarana dan prasarana dan social ekonomi.
2.1.2 Karakteristik Permukiman Kumuh
Keberadaan permukiman kumuh memiliki karakteristik dan berkesan negatif. Karakteristik permukiman kumuh menurut (Suparlan dalam Oktaviansyah, 2012) antara lain :
1. Fasilitas umum yang ada memiliki kondisi yang kurang atau tidak memadai dalam menunjang kehidupan masyarakat.
2. Kondisi rumah mencerminkan penghuninya tinggal memiliki keadaan yang kurang mampu atau miskin.
3. Kepadatan bangunan yang tinggi serta adanya ketidakteraturan tata ruang serta kondisi ekonomi yang rendah.
4. Permukiman kumuh memiliki batas administrasi yang jelas merupakan bagian dari sebuah RT atau RW bahkan Kelurahan.
5. Jenis Pekerjaan dan tingkat kepadatan penghuni permukiman kumuh beranekaragam serta adanya kesenjangan social.
6. Pekerjaan atau mata pencaharian tambahan penduduk sebagian besar berada di sektor informal.
Menurut Rikhwanto (dalam Suparto, 2014) lingkungan ciri-ciri permukiman kumuh meliputi :
1. Ligkungan permukiman memiliki penduduk yang padat, dikarenakan pertumbuhan penduduk akibat tingginya angka kelahiran dan urbanisasi.
2. Penghasilan penghuninya rendah.
3. Kondisi bangunan terbuat dari bahan-bahan tidak sesuai dengan standar.
4. Rendahnya kondisi kesehatan dan sanitasi permukiman yang ditandai dengan lingkungan fisik yang jorok dan mudahnya tersebar penyakit yang menular.
5. Tidak terpenuhinya pelayanan kota seperti air bersih, jaringan listrik, fasilitas MCK dan lainnya.
6. Kondisi fisik permukiman kumuh tidak teratur seperti keadaan jalan yang sempit, tidak memiliki halaman rumah dan sebagainya yang dikarenakan pertumbuhan yang tidak terencana.
7. Masih kuatnya gaya hidup pedesaan yang ditandai dengan kehidupan yang tradisional.
8. Legalitas rumah berstatus illegal dengan status hukum tanah yang tidak jelas (bermasalah).
9. Banyaknya tindak criminal yang terjadi da perilaku yang menyimpang di lingkungan permukiman.
Sedangkan menurut Sinulingga (dalam Muhtar, 2012) permukiman kumuh memiliki ciri sebagai berikut :
1. Kepadatan penduduk yang tinggi antara 250-400 jiwa/ha dimana apabila suatu kawasan mencapai kepadatan 80 jiwa/ha akan menimbulkan permasalahn karena kepadatan tersebut.
2. Jaringan jalan yang sempit dan tidak bisa dilalui kendaraan roda empat.
3. Kondisi drainase tidak mencukupi serta masih adanya jalan-jalan yang belum memiliki drainase sehingga mudahnya terjadinya bencana banjir.
4. Tidak layak dan minimnya kondisi sanitasi pada kawasan permukiman.
5. Minimnya pelayanan dan ketersediaan air bersih sehingga harus memanfaatkan air dari sumber-sumber yang ada seperti air hujan, air sungai ataupun sumur.
Berdasarkan beberapa teori diatas, diketahui bahwa karakteristik permukiman kumuh sangat beragam dan memiliki beberapa kesamaan. Namun dalam penelitian ini dibatasi pada 4 indikator yaitu aspek social, aspek ekonomi, aspek ekologi dan aspek kelembagaan.
14 Tabel 2. 2 Komparasi Teori Terkait Karakteristik Permukiman Kumuh No Sumber Teori Karakteristik Permukiman Kumuh
1. Suparlan dalam Oktaviansyah, 2012
1. Fasilitas permukiman tidak memadai.
2. Kondisi permukiman mencerminkan kemiskinan.
3. Kepadatan bangunan tinggi.
4. Memiliki batas-batas kebudayaan dan sosial yang jelas.
5. Jenis mata pencaharian beranekaragam.
6. Pekerjaan penduduk di sektor informal.
2. Rikhwanto dalam Suparto (2014)
1. Penduduk dengan kepadatan tinggi.
2. Penghuninya memiliki penghasilan yang rendah dan tidak tetap.
3. Bahan kontruksi bangunan tidak layak 4. Kondisi kesehatan dan sanitasi rendah 5. Tidak terpenuhinya pelayanan kota.
6. Kondisi fisik permukiman tidak teratur.
7. Masih kuatnya gaya hidup pedesaan.
8. Legalitas rumah berstatus illegal.
9. Banyaknya tindak kriminal yang terjadi dan perilaku yang menyimpang.
3. Sinulingga (dalam Muhtar, 2012)
1. Kepadatan penduduk tinggi antara 250 – 400 jiwa/ha.
2. Lebar jalan tidak sesuai standar
3. Kondisi drainase tidak mencukupi serta masih adanya jalan-jalan yang belum memiliki drainase.
4. Kondisi saitasi yang tidak layak dan sangat minim.
5. Kemudahan penyediaan air ersih yang masih sangat minim.
Sumber : Hasil Pustaka , 2021
Berdasarkan tabel 2.3 dapat diketahui bahwa karakteristik permukiman kumuh yang dikemukakan oleh Suparlan dalam Oktaviansyah, 2012, Rikhwanto dalam Suparto (2014) dan Sinulingga (dalam Muhtar, 2012) memiliki definisi yang beragam, dapat disimpulkan bahwa karakteristik permukiman kumuh memiliki ciri-ciri kepadatan penduduk tinggi, kondisi sarana prasarana tidak memadai, kondisi ekonomi yang rendah dan legalitas rumah berstatus illegal.
2.1.3 Penyebab Timbulnya Permukiman Kumuh
Menurut Panju (dalam Keman, 2005) menjelaskan bahwa penyebab penurunan kualitas permukiman dipengaruhi oleh kondisi social yang belum mendukung, kondisi ekonomi yang rendah, lingkungan fisik dan kebijakan pemerintah yang belum dapat memberikan ketersediaan lahan ataupun program- program pembangunan perumahan yang tidak konsisten. Keberadaan kawasan kumuh disebabkan dua faktor meliputi faktor bersifat langsung dan bersifat tidak langsung (Hariyanto, 2008). Faktor bersifat langsung meliputi faktor fisik seperti kondisi perumahan, koefisien dasar bangunan (KDB), hak milik lahan, kepadatan bangunan, dan kondisi prasarana. Sedangkan yang bersifat tidak langsung meliputi faktor ekonomi, sosial dan budaya. Urbanisasi, kemiskinan, kebudayaan, dan aktivitas politik mengakibatkan pertabahan kepadatan penduduk dan menyebabkan adanya keberadaan permukiman kumuh (Clinord dalam Rindarjono, 2012). Menurut Astuti (2004) permukiman kumuh disebabkan oleh :
1. Faktor ekonomi
Faktor ekonomi yang menyebabkan perkembangan permukiman kumuh yaitu rendahnya tingkat pendapatan dan krisis ekonomi yang mengakibatkan masyarakat memilih untuk hidupan di perkotaan namun tidak diiringi dengan kemampuan dalam memiliki hunian.
2. Faktor bencana
Faktor bencana merupakan akibat yang ditimbulkan dari suatu bencana baik bencana alam seperti banjir, tanah longsor, dan lain-lain.
Kurangnya peran pemerintah dalam merencanakan dan pembangunan permukiman dapat menyebabkan kemunculan permukiman kumuh (Sadyohuto, 2008). Menurut Mulyono (2009), faktor yang menyebabkan munculnya permukiman kumuh meliputi (1) tingginya pertumbuhan penduduk tidak diiringi dengan ketersediaan lahan permukiman dan (2) terlambatnya perencanaan dan pembangunan prasarana oleh pemerintah pada daerah perkembangan permukiman baru. Sedangkan Rindrojono (2013) menjelaskan bahwa penyebab pertumbuhan permukiman kumuh di daerah perkotaan dipengaruhi faktor sebagai berikut :
16 1. Faktor Urbanisasi
Urbanisasi terjadi karena adanya daya tarik daerah perkotaan maupun karena keadaan daerah pedesaan yang masih tertinggal. Pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat setiap tahunnya tidak diiringi dengan ketersediaan lapangan pekerjaan mengakibatkan terjadinya tekanan ekonomi sehingga masyarakat tersebut terpaksa tinggal di daerah pinggiran dan bertumbuhnya lingkungan permukiman kumuh.
2. Faktor lahan perkotaan
Pertumbuhan penduduk yang terjadi tentunya mengakibatkan meningkatnya kebutuhan akan permukiman, hal ini menjadi masalah pada daerah perkotaan. Ketidakseimbangan antara penyediaan perumahan yang terjangkau bagi golongan masyarakat yang memiliki ekonomi lemah di daerah perkotaan menjadi permasalahan ketersediaan lahan permukiman.
3. Faktor sarana dan prasarana
Sarana dan prasarana dasar permukiman dibutuhkan untuk menunjang kehidupan apabila tidak memenuhi standard dapat mengakibatkan kekumuhan.
4. Faktor sosial ekonomi
Rendahnya tingkat pendapatan masyarakat dapat mengakibatkan rendahnya kemampuan daya beli akan perumahan yang layak.
5. Faktor tata ruang
Permukiman kumuh tidak dapat dipisahkan dari struktur ruang kota, sehingga perencanaan tata ruang kota sangat penting untuk memperhatikan daya dukung lingkungannya dimana permukiman kumuh memiliki daya dukung yang relative rendah. Jika pembangunan tidak sesuai dengan pemanfaatan ruang kota akan berdampak pada rusaknya lingkungan dan berpotensi pertumbuhan permukiman kumuh dan permukiman kumuh baru.
Tabel 2. 3 Komparasi Teori Terkait Penyebab Timbulnya Permukiman Kumuh No Sumber Teori Penyebab Timbulnya Permukiman Kumuh
1. Panju (dalam Keman, 2005)
1. Tingkat ekonomi masyarakat rendah 2. Lingkungan fisik
3. Social dan budaya belum mendukung 4. Kondisi perumahan tidak sesuai standar 5. Kebijakan tata guna lahan
6. Program pembangunan perumahan oleh pemerintah belum konsisten.
2. Hariyanto (2008) 1. Faktor bersifat langsung (kondisi sarana dan prasarana permukiman)
2. Faktor bersifat tidak langsung (sosial ekonomi dan budaya masyarakat) 3. Clinord dalam
Rindarjono (2012)
1. Pertambahan kepadatan penduduk 2. Kemiskinan
3. Kebudayaan 4. Aktivitas politik 4. Astuti (2004) 1. Faktor ekonomi
2. Faktor bencana 5. Rindrojono (2013) 1. Faktor urbanisasi
2. Faktor ketersediaan lahan 3. Faktor sarana dan prasarana 4. Faktor social ekonomi 5. Faktor tata ruang Sumber : Hasil Pustaka , 2021
Berdasarkan tabel 2.3 diketahui definisi penyebab timbulnya permukiman kumuh yang dikemukakan oleh para pakar cukup beragaman. Dalam penelitian ini faktor yang digunakan yaitu ekologi, social dan ekonomi.
2.2 Penanganan Permukiman Kumuh 2.2.1 Permukiman Berkelanjutan
Penataan permukiman kumuh dilakukan untuk mengatasi penurunan kualitas lingkungan sebagai upaya memperbaiki lingkungan permukiman, dimana keadaan kehidupan masyarakat memprihatinkan serta, tingginya kepadatan bangunan, rendahnya struktur bangunan dan kekuranagan akses terhadap sarana dan prasarana permukiman (Setijanti, 2010). Konsep permukiman berkelanjutan didasari dari pemahaman permukiman yang diartikan sebagai sebuah wadah
18 kehidupan manusia yang menyangkut berbagai aspek baik aspek fisik, sosial, ekonomi dan budaya (Budiharjo, 2004). Dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan harus mempertimbangkan dan memperhatikan tujuan dari pembangunan sosial ekonomi dalam satu kesatuan sistem. Pendekatan permukiman berkelanjutan ini memadukan aspek ekologi, sosial dan ekonomi yang tidak terpisahkan menjadi satu kesatuan (Setijanti, 2010). Keberlanjutan kawasan permukiman dapat diukur melalui empat (4) dimensi keberlanjutan yaitu aspek ekologi, sosial, ekonomi dan kelembagaan/instansi.
Keberlanjutan aspek ekologi merupakan terjaganya keseimbangan dari suatu ekosistem terutama lingkungan fisik (Perring dalam Aeny, 2014). Keberlanjutan ekologi berkaitan dengan pemenuhan kelayakhunian suatu kawasan permukiman dengan memperhatikan dan memanfaatkan sumber daya alam tidak melebihi kapasitas lingkungan (Janthy, 2014). Kemudian keberlanjutan aspek social dapat diukur melaui tingkat kemiskinan, jenis pekerjaan, ketersediaan transportasi publik, aksesibilitas, ketersediaan lahan, nilai lahan, ketersediaan sarana dan prasarana. Dan keberlanjutan aspek kelembagaan atau institusi adalah sistem pemerintahan dalam meunjang dan mendukung pembangunan berkelanjutan yang dapat diukur dari program pembangunan pemerintah, koordinasi dalam pengelolaan kawasan, ketersediaan kebijakan dan pengendalian ruang (Spangenberg, 2006).
Tabel 2. 4 Komparasi Teori Terkait Pendekatan Permukiman Berkelanjutan No Sumber Teori Permukiman Berkelanjutan
1. Setijanti (2010) Pengendalian permukiman kumuh untuk menangani penurunan kualitas lingkungan dan memperbaiki lingkungan permukiman.
2. Budiharji (2004) Konsep permukiman berkelanjutan tidak hanya menyangkut aspek fisiknya saja namun aspek social, ekonomi serta budaya dari penghuninya.
3. Perring (dalam Aeny, 2014)
Mengukur keberlanjutan kawasan permukiman meliputi empat (4) dimensi yaitu ekologi, social, ekonomi dan kelembagaan/instansi.
Sumber : Hasil Pustaka , 2021
Berdasarkan tabel 2.5 diketahui bahwa definisi permukiman berkelanjutan menurut Setijanti (2010), Budiharji (2004) dan Perring (dalam Aeny, 2014) memiliki kesamaan sehingga definisi oleh para ahli dapat saling memperkuat.
Dapat disimpulkan bahwa permukiman berkelanjutan merupakan pengendalian permukiman kumuh yang mengalami penurunan kualitas lingkungan yang menyangkut aspek ekologi, social, ekonomi dan kelembagaan. Permukiman keberlanjutan dapat diukur berdasarkan empat dimensi yaitu ekologi, social, ekonomi dan kelembagaan/instansi.
2.2.2 Konsep Eco-Settlements
Konsep eco-settlement adalah konsep untuk mengembangkan suatu permukiman menuju ekosistem permukiman yang ekologis dan berkelanjutan.
Konsep eco-settlement bermula dari lingkup kecil yaitu single building menyangkut teknologi-teknologi energi atau material bangunan yang kemudian berkembang pada lingkup lebih luas yaitu menjadi eco-settlement atau eco-city (Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, 2006). Eco- settlement adalah konsep penataan kawasan permukiman menuju keberlanjutan ekosistem permukiman yang memperhatikan aspek sosial ekonomi dan ekologi yang didukung oleh sistem kelembagaan/institusi (Suryani dalam Aeny, 2014).
Permukiman ramah lingkungan (eco-settlement) dapat dicapai apabila suatu kawasan permukiman memperhatikan sejumlah aspek, diantaranya yaitu pemilihan lahan permukiman yang tepat dimana permukiman berada pada lahan yang sesuai dengan peruntukannya, tersedianya jaringan jalan dan jalur pedestrian, penerapan penghematan energi, penghematan air atau konservasi air, penggunaan material bangunan yang berkelanjutan, meminimalkan efek heat island atau peningkatan suhu udara, serta partisipasi masyarakat terhadap konsep keberlanjutan pada lingkungan permukiman (Harso, 2009). Eco-settlement merupakan proses adaptasi pada suatu kawasan permukiman terhadap perubahan keadaan tanpa mengurangi kualitas hidup dan daya dukung kehidupan. Unsur- unsur eco-settlement sebagai berikut :
20 Gambar 2. 1 Unsur-Unsur Eco-settlement
Sumber : UNEP, 2010
Konsep eco-settlement bertujuan untuk mencegah dampak buruk yang ditimbulkan dari permasalahan-permasalahan permukiman kumuh terhadap lingkungan kawasan permukiman. Permukiman yang ramah lingkungan merupakan permukiman dimana aspek ekologi, sosial dan ekonomi dalam pengembangannya seimbang. Menurut Jogja (2013), beberapa kriteria permukiman ramah lingkungan yaitu lokasi permukiman berada pada peruntukan lahan yang tepat, optimasi pemanfaatan lahan, menerapkan zero water dan zero waste, pengendalian pencemaran udara , dan green building code atau bangunan ramah lingkungan. Kemudian menurut Sigra dan Muzayanah (2020), kriteria rumah ramah lingkungan apabila rumah memiliki ruang terbuka hijau, atap hijau, dinding hijau, penggunaan material bangunan yang ramah lingkungan, memaksimalkan penghawaan dan pencahayaan alami, efisiensi penggunaan energi atau listrik, sistem sanitasi yang baik, dan memiliki pengolahan limbah rumah tangga yang baik.
Konsep berkelanjutan dapat diterapkan pada permukiman dengan berfokus pada permukiman perkotaan yang memiliki tipologi krusial untuk diterapkan konsep tersebut dalam rangka mencapai permukiman yang keberlanjutan (Jabareen dalam Howley, 2010). Untuk mewujudkan permukiman yang berkelanjutan, dalam pengembangannya harus memperhatikan beberapa aspek yang meliputi ketersediaan fasilitas dan infrastruktur untuk menunjang permukiman, tata ruang dan struktur ruang, ketersediaan pelayanan transportasi umum, tingkat kesempatan bekerja, hal-hal yang dapat merusak lingkungan seperti pencemaran lingkungan dan partisipasi masyarakat. Sehingga perlu memperhatikan kondisi dan karakteristik lingkungan permukiman, sosial dan ekonomi dalam peningkatan kualitas permukiman. Adapun kriteria eco-settlement menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman (2006), adalah sebagai berikut :
Tabel 2. 5 Kriteria Eco-settlement oleh Puslitbangkim No Aspek Eco-
settlement Kriteria
1. Ekologi  Biodiversity
 Kualitas Udara
 Kualitas dan Kuantitas Air
 Rumah Sehat
 Guna Lahan
 Perubahan Iklim
 Energi
 Teknologi berwawasan lingkungan 2. Sosial  Kapasitas Masyarakat
 Pemberdayaan masyarakat 3. Ekonomi  Inovasi teknologi
 Local economi development
 Aksesbilitas 4. Kelembagaan/
institusi
 Kerjasama antar stakeholder
 Dukungan kebijakan Sumber : Puslitbangkim, 2006
22 Penyediaan perumahan dan permukiman dilakukan untuk mendukung masyarakat agar dapat menjngakau dan memiliki tempat tinggal yang sehat, aman, layak, berkelanjutan serta keterjangkauan dan kemudahan akan sarana dan prasarana. Kriteria eco-settlement berdasarkan Permen Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 2 Tahun 2016 adalah:
Tabel 2. 6 Kriteria Eco-settlement
No Aspek Kriteria
1. Ekologi  Rumah Sehat
 Kepadatan Bangunan
 Kondisi Jalan Lingkungan
 Kondisi Drainase Lingkungan
 Air Bersih
 Kondisi Pengolahan Persampahan
 Sistem Proteksi Kebakaran
 RTH
2. Sosial  Local Economy Development 3. Ekonomi  Partisipasi Masyarakat
4. Kelembagaan/
institusi
 Program Pemerintah
*) Permen PUPR Nomor 2 Tahun 2016
Berdasarkan kriteria permukiman berdasarkan konsep eco-settlement, dalam penelitian ini disesuaikan dengan indikator permukiman kumuh dalam Permen PUPR Nomor 2 tahun 2016 dan dikaitkan dengan faktor-faktor permukiman kumuh sehingga beberapa variabel tidak digunakan. Adapun sintesa dari konsep eco-settlement dapat dilihat pada tabel 2.8 sebagi berikut:
Tabel 2. 7 Komparasi Teori Terkait Konsep Eco-settlement
No Sumber Teori Variabel
1. UNEP (2010) a) Bahan Bangunan b) Jalur Pedestrian c) Transportasi umum
d) Infrastruktur yang memadai e) Gaya hidup berkelanjutan
No Sumber Teori Variabel f) Daya hidup
g) Hemat Energi
h) Pelestarian budaya lokal i) Partisipasi Masyarakat j) Peran Pemerintah k) Kebijakan Pemerintah
2. Harso (2009) a) Lokasi Pada Peruntukan Yang Tepat b) Jalur Pedestrian
c) Transportasi d) Penghematan Air e) Penghematan Energi
f) Penggunaan Energi Terbarukan g) Ruang Terbuka Hijau
h) Meminimalkan Efek Heat Island i) Bahan Bangunan
j) Partisipasi Masyarakat 3. Puslitbangkim
(2006)
a) Biodiversity b) Kualitas Udara c) Air bersih d) Rumah Sehat e) Guna Lahan f) Perubahan Iklim
g) Teknologi Berwawasan Lingkungan h) Kapasitas Masyarakat
i) Pemberdayaan Masyarakat j) Inovasi Teknologi
k) Local Economis Development l) Aksesbilitas
m) Kerjasama Antar Stakeholder n) Dukungan Kebijakan
4. Permen PUPR No.2 Tahun 2016
a) Rumah Sehat
b) Kepadatan Bangunan c) Kondisi Jalan Lingkungan d) Kondisi Drainase Lingkungan e) Air Bersih
f) Kondisi Pengolahan Persampahan g) Sistem Proteksi Kebakaran
h) RTH
i) Local Economy Development j) Partisipasi Masyarakat
k) Program Pemerintah Sumber : Hasil Pustaka , 2021
24 Berdasarkan pendapat oleh para ahli terkait konsep eco-settlement diketahui bahwa kriteria eco-settlement yang telah dijabarkan oleh para ahli memiliki beberapa perbedaan. Dalam penelitian ini terdapat beberapa variabel yang tidak akan diaplikasikan, variabel yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada kriteria eco-settlement oleh UNEP (2010), Harso (2009), dan Puslitbangkim (2006) yang memiliki kesamaan. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini meliputi (1) kualitas lingkungan, (2) rumah sehat, (3) kependudukan, (4) partisipasi masyarakat, (5) ekonomi, dan (6) kelembagaan.
2.3 Sintesa Pustaka
Berasarkan pendapat para ahli yang telah dipaparkan sebelumnya, selanjutnya akan disusun indikator dan variabel yang akan diujikan pada penelitian ini untuk menjawab sasaran yang ingin dicapai. Indikator dan variabel yang digunakan dalam penelitian ini melalui beberapa penyesuaian dan tinjauan berbagai sumber, adapun indikator dan variabel penelitian dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2. 8 Sintesa Pustaka
No Sasaran Indikator Variabel Sub Variabel 1.
2.
Menganalisis karakteristik dan penilaian kualitas kawasan
permukiman kumuh Kelurahan Sidodadi.
Menganalisis faktor penyebab kekumuhan di kawasan
permukiman kumuh
Ekologi Kualitas Lingkungan
Air Bersih Drainase Persampahan Jalan Lingkungan
RTH Rumah Sehat Kepadatan
Bangunan
Bahan Bangunan Sanitasi
Sosial Kependudukan Kepadatan Penduduk
Tingkat Pendidikan Tingkat Urbanisasi Partisipasi
Masyarakat
Kegiatan Partisipasi Masyarakat
No Sasaran Indikator Variabel Sub Variabel
3.
Kelurahan Sidodadi Merumuskan arahan penataan permukiman
kumuh di
Kelurahan
Sidodadi dengan pendekatan Eco- settlement
Ekonomi Mata Pencaharian
Jenis Pekerjaan Tingkat
Pendapatan
Jumlah Pendapatan Kelembagaan Kapasitas
Instansi
Dukungan Kebijakan Dukungan Pemerintah
Sumber : Hasil Pustaka , 2021
2.4 Penelitian Terdahulu
Berikut ini merupakan penelitian yang memiliki hubungan dan relevansi dengan penelitian ini yang telah dilakukan sebelumnya, adapun penelitian terdahulu dapat dilihat sebagai berikut :
26 Tabel 2. 9 Penelitian terdahulu
No Judul Penelitian Penulis Nama Jurnal Vol, Nomer,
Tahun Isi Jurnal
1. Penentuan kualitas permukiman berdasarkan kriteria eco- settlement di kelurahan
sindulang satu kota manado
Kartika Puspa Dewi, Veronica A. Kumurur &
Rieneke L.E Sela
Jurnal Spasial Vol. 6 No.1, Tahun 2019
Masalah :
Kelurahan Sindulang Satu adalah salah satu permukiman kumuh di kota manado yang mengalami penurunan kualitas lingkungan.
Tujuan :
Mengetahui kualitas permukiman yang ada di Kelurahan Sindulang Satu Kota Manado.
Metode Analisis :
 Metode deskriptif kuantitatif
 Metode deskriptif kualitatif
 Analisis skoring Variabel :
Rumah sehat, tingkat kepadatan bangunan, air bersih, jalan lingkungan, drainase lingkungnan, pengolahan sampah, pemadam kebakaran, RTH, Local Economy Development, Partisipai masyarakat dan program pemerintah
Output :
Kualitas lingkungan kawasan permukiman kumuh di Kelurahan Sindulang Satu Kota Manado dengan pendekatan kriteria eco- settlement
No Judul Penelitian Penulis Nama Jurnal Vol, Nomer,
Tahun Isi Jurnal
2. Penerapan Konsep Eco- Settlement Pada Sarana Prasarana Infrastruktur Pendukung Permukiman Huntap (Studi Kasus : Huntap Pagerjurang Dan Huntap
Karangkendal Kecamatan Cangkringan)
HanindyaKusuma Artati dan Albani Musyafa
Jurnal Teknisia
Volume XX, No 2, Tahun
2015
Masalah :
Kerusakan lingkungan permukiman akibat erupsi gunung merapi yang terjadi di Kecamatan Cangkringan dan kawasan aliran sungai menyebabkan munculnya permukiman yang kumuh.
Tujuan :
 Mengidentifikasi sarana dan prasarana dengan pendekatan konsep eco-settlement
 Menganalisis penerapan konsep eco- settlement di lokasi studi
Metode :
 Metode Deduktif kualitatif Variabel :
Air bersih, listrik, drainase, jalan, septictank, resapan limbah, persampahan, hidran/APAR, ipal komunal, RTH, Lapangan olahraga, lampu jalan, masjid, balai warga, parker umum, PAUD, pos kesehatan, pos ekesiagaan dan pertokoan Output :
Hasil penerapan konsep eco-settlement pada sarana prasarana infrastruktur pendukung permukiman huntap.
28 No Judul Penelitian Penulis Nama Jurnal Vol, Nomer,
Tahun Isi Jurnal
3. Tantangan Implementasi Konsep Eco- Settlement Dalam Undang-Undang No.1 Tahun 2011 Tentang
Perumahan Dan Kawasan Permukiman
Anih Sri Suryani - Vol 2 No.1 Tahun 2011
Masalah :
Dalam Undang-Undang no 1 tahun 2011 menjelaskan bahwa seluruh masyarakat berhak mendapatkan dan memiliki perumahan atau permukiman yang layak huni oleh karena itu untuk merespon permasalahan permukiman dengan menggunakan konsep eco-settlement Tujuan :
Mengetahui implementasi konsep eco-settlement dalam Undang-Undang No.1 Tahun 2011
Metode :
Metode kualitatif Variabel :
Biodiversity, kualitas udara, air bersih, rumah sehat, guna lahan,perubahan iklim, energy, teknologi berwawasan lingkungan, kapasitas masyarakat dan pemberdayaan masyarakat, inovasi teknologi, Local economic development, aksesibilitas dan kelembagaan
Output :
Tantangan dalam penerapan konsep eco settlement di Indonesia.
Sumber : Hasil Pustaka , 2021