• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP Bunyi pasal:

Dalam dokumen T2 322013035 BAB III (Halaman 70-76)

C. Pemenuhan Unsur Tindak Pidana Korupsi Pada

6. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP Bunyi pasal:

“Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana, orang yang melakukan, menyuruh melakukan dan yang turut serta

melakukan perbuatan itu”

Pada Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP tersebut terdapat beberapa elemen pasal, yaitu setiap orang yang :

a. orang yang melakukan (plager)

b. orang yang menyuruh lakukan (doenplager); c. orang yang turut serta melakukan (made palger) Perbuatan itu (pidana)

Bahwa mengingat pengertian dari masing-masing unsur delik pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP tersebut dijelaskan berikut:

a. orang yang melakukan (plager) adalah orang yang secara sendirian telah berbuat mewujudkan segala anasir/ elemen dari peristiwa pidana.

Dari pengertian orang yang melakukan (plager) dalam pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP ini bila dikaitkan dengan uraian peran serta masing- masing Pelaku , dimana masing-masing Pelaku hanya melakukan sebagian anasir perbuatan dari keseluruhan delik pidana korupsi yang dipersangkakan, maka tidak tepat untuk dipersangkakan kepada para Pelaku ;

b. orang yang menyuruh lakukan (doen plager) adalah orang yang menyuruh orang lain untuk melakukan perbuatan pidana, bukan orang itu sendiri yang melakukan perbuatan pidana melainkan menyuruh orang lain, jadi dipersyaratkan 2 orang atau lebih. Orang yang disuruh melakukan hanya sebagai alat (instrument) saja dan terhadapnya tidak dapat dihukum karena tidak dapat dipertanggungjawaban pidana dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 44, 48 dan Pasal 51 KUHP serta tidak ada kesalah sama sekali darinya. Sehingga terhadap orang yang menyuruh lakukan bisa dipandang sebagai orang yang melakukan perbuatan pidana itu sendiri.

c. orang yang turut melakukan (made plager) atau dalam arti kata turut serta atau bersama-sama melakukan perbuatan pidana, dipersyaratkan sedikitnya 2 orang dalam unsur delik turut melakukan. Ada 3 kategori dalam pengertian turut serta yaitu :

1) Semuanya melakukan seluruh anasir perbuatan pidana;

2) Salah satu orang melakukan seluruh anasir perbuatan pidana, dan lainnya hanya melakukan sebagain anasir perbuatan pidana;

3) Semuanya hanya melakukan sebagian anasir perbuatan pidana. Melihat pengertian made plager tersebut bila dikaitkan dengan uraian perbuatan para Pelaku dimana masing-masing Pelaku hanya melakukan sebagian anasir dari keseluruhan delik pidana korupsi yang di persangkakakan, maka unsur “orang yang turut serta” khususnya pengertiaan nomor 3 yaitu kesemua Pelaku hanya melakukan sebagian anasir perbuatan pidana, maka sangatlah tepat untuk dipersangkakan kepada para Pelaku . Sehingga dari uraian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa unsur turut serta atau secara bersama-sama melakukan perbuatan pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP telah terpenuhi dalam perkara ini.

Bahwa Pasal 55 dipersangkakan dalam perkara ini adalah bertujuan untuk mengetahui peran serat masing-masing Pelaku mengingat perbuatan

yang dilakukan oleh masing-masing Pelaku yaitu Pelaku , Pemalsu (diajukan dalam berkas perkara tersendiri) dan Karyawan Pelaku I (diajukan dalam berkas perkara tersendiri) adalah satu rangkaian perbuatan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya untuk tujuan yang sama yaitu menggunakan bukti setor pajak PPh (final) dan BPHTB Palsu untuk proses peralihan hak, yang pada akhirnya adalah tidak terbayarnya uang pajak tersebut ke Kas Negara akibat tidak dibayarkannya uang pajak (BPHTB dan PPh (Final)) tersebut dan bukti pembayarannya digantikan dengan bukti pembayaran yang palsu. Bahwa perbuatan Pelaku satu dengan Pelaku lainnya tidak dapat dipjsahkan sebagai perbuatan sendiri-sendiri, dengan kata lain Pelaku tidak dapat melakukan anasir delik pidana secara keseluruhan tanpa adanya bukti setor pajak BPTHB dan PPh (final) palsu yang dibuat oleh Karyawan Pelaku I, begitu juga Karyawan Pelaku I yang membuat bukti setor palsu tidak dapat menjadi pidana apabila bukti setor palsu tersebut tidak dipergunakan oleh Pelaku untuk kepentingan pendaftaran peralihan hak atas tanah SHM No. 295/ Kalibanteng Kulon yang pada akhirnya merugikan keuangan Negara sebesar Rp. 823.536.000,00 karena tidak dibayarkannya uang setoran pajak PPh (final) dan BPHTB atas peralihan hak tersebut yang dititipkan oleh para pihak (penjual dan pembeli) selaku wajib pajak kepada Pelaku karena jabatannya selaku PPAT yang mempunyai kewenangan dan tugas memproses pendaftaran peralihan hak di Kantor Pertanahan Kota

Semarang. Sementara antara keduanya (Pelaku dan Karyawan Pelaku I) tidak akan terjalin kerja sama atau persekongkolan jahat apabila tidak ada Pemalsu yang bertugas sebagai broker yang menerima order/ pesanan dari Pelaku dan memberi pekerjaan kepada Karyawan Pelaku I untuk memalsukan bukti setor pajak tersebut.

Bahwa masing-masing Pelaku melakukan sebagian dari anasir delik pidana korupsinya, yaitu Karyawan Pelaku I bertugas membuat slip setoran Bank Persepsi untuk pembayaran pajak PPh (final) dan BPHTB berikut validasi Bank Persepsinya dan tanda tangan tellernya yang semuanya dipalsukan, sedangkan Pemalsu bertugas sebagai broker yang menerima pesanan dari Pelaku untuk membuat slip setoran dan validasi bank persepsi untuk bukti setoran pembayaran pajak (BPHTB dan PPh Final) palsu yang kemudian mekerjakan pekerjaan pemalsuan tersebut kepada Karyawan Pelaku I. Sementara Pelaku selaku PPAT adalah bertindak selaku yang memesan bukti setoran palsu tersebut selanjutnya menggunakannya untuk proses pendafatran peralihan hak atas tanah SHM No. 295/ Kalibanteng Kulon di Kantor Pertanahan Kota Semarang.

Ketiganya masing-masing memperoleh keuntungan dan kekayaan yaitu Pelaku sebesar Rp 823.536,000,00, dikurangi Rp.30.000.000,00 atau setidak-tidaknya sebagiannya dipergunakan untuk membayar fee kepada

Pemalsu dan Karyawan Pelaku I sebagai imbalan atas pelaksanaan pemalsuan tersebut.

Sebagaimana telah dibahas pada uraian analisa kasus dan analisa yuridis di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Pelaku dapat diduga telah melakukan perbuatan tindak pidana korupsi dengan cara menggunakan bukti setor dan validasi bank persepsi atas pembayaran pajak BPHTB / SSB dan PPh Final / SSP dan validasi Bank Persepsi Bank BIN Cab. Semarang dan Bank BPD Jateng Cab. Semarang yang telah dipalsu pada proses peralihan hak atas tanah dan bangunan SHM 295 / Kalibanteng Kulon, Kota Semarang tahun 2010 yang menyebabkan tidak terbayarnya pajak PPh Final / SSP dan BPHTB / SSB (dan uang pajaknya dipergunakan secara pribadi oleh Pelaku ) sehingga mengakibatkan kerugian Negara sebesar Rp 823.536.000,00 yang dilakukan secara bersama - sama dengan Pemalsu dan Karyawan Pelaku I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan/ atau Pasal 3 dan/ atau Pasal 9 Undang-undang Rl No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang Rl No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 15 Undang-undang Rl No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang Rl No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 88 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Berbagai penjelasan terkait kasus Pelaku memenuhi beberapa unsur- unsur dalam pasal-pasal yang disangkakan bahwa kejahatan korupsi di Indonesia sebenarnya dapat diberantas dengan baik melalui implementasi peraturan-peraturan yang tersedia, salah satunya yaitu melalui Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Seperti yang telah dipaparkan melalui berbagai penjelasan diatas, bahwa kasus yang melibatkan Pelaku tersebut sebenarnya telah membuka mata publik tentang bagaimana tindak pidana korupsi itu dijalankan.

Korupsi dalam pandangan mainstream dianggap merupakan penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi. Korupsi adalah pengalihan sumber daya publik untuk kepentingan pribadi. Korupsi terjadi di sektor publik dan dilakukan oleh pejabat nakal yang melanggar hukum.16 Sehingga berkaca dari kasus Pelaku ini, bahwa hukum dapat ditegakkan melalui sebuah kerja sama dan skema yang apik dari aparat penegak hukum serta masyarakat yang aktif melawan korupsi. Kerja sama tersebut sejatinya dapat tercipta dengan adanya sistem yang baik serta kesadaran akan pemberantasan korupsi yang baik pula.

Dalam dokumen T2 322013035 BAB III (Halaman 70-76)

Dokumen terkait