87
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kasus Posisi 1. Kronologi Kasus
Polda Jateng melakukan Penyidikan dugaan tindak pidana korupsi atas pemalsuan bukti setor dan validasi bank persepsi pembayaran pajak BPHTB / SSB dan PPh Final / SSP pada proses peralihan hak atas tanah dan bangunan SHM 295 / Kalibanteng Kulon, Kota Semarang tahun 2010 di Bank BTN Cab. Semarang dan Bank BPD Jateng Cab. Semarang sehingga diduga mengakibatkan kerugian Negara ± Rp 823.536.000,00 (delapan ratus dua puluh tiga juta lima ratus tiga puluh enam ribu rupiah), dengan Pelaku
Bahwa dalam perkara ini Notaris tersebut dapat diduga telah melakukan kesewenang-wenangan, kelalaian karena yang seharusnya Notaris tersebut selaku orang yang dipercaya oleh kliennya untuk menyetorkan pembayaran pajak-pajak yang telah dipercayakan pengurusannya terhadap Notaris tersebut akan tetapi yang terjadi Notaris tersebut dengan tidak menyetorkannya akan tetapi memfiktifkan setoran pajak tersebut.
formulir SSB (BPHTB) dan SSP (PPh Final) untuk 2 peralihan hak tersebut adalah tidak benar/ dipalsukan, ditemukan fakta bahwa uang pembayaran pajak BPHTB dan PPh Final atas peralihan hak atas tanah dan bangunan S.HM No. 295/ Kalibanteng Kulon senilai total Rp 823.536.000,00 tidak dibayarkan ke Bank Persepsi dan tidak masuk ke Kas Negara yang diduga dilakukan oleh Pelaku dengan kronologi perkara sebagai berikut:
Bahwa pada pembayaran BPHTB di Bank BPD Jateng Cab. Semarang, diduga telah terjadi peralihan hak atas tanah dan bangunan HM 295/ Kalibantengkulon, Kota Semarang sebanyak 2 (dua) kali yaitu
a) Tanggal 25 Nopember 2010 dari Penjual ke Pembeli I sesuai AJB No. : 747/2010, tanggal 25 Nopember 2010 dengan nilai transaksi sebesar Rp 4.000.000.000,00.
b) Tanggal 3 Desember 2010 dari Pembeli I ke Pembeli II sesuai dengan AJB No. : 764/2010, tanggal.3 Desember 2010 dengan nilai transaksi sebesar Rp 4.000.000.000,00.
Atas 2 peralihan hak (AJB) tersebut di atas timbul kewajiban para pihak untuk pembayaran pajak, dengan penghitungan besaran masing-masing sebagai berikut :
a) PPh Final/SSP = 5%xNJOPPBB
Yaitu 5 % x 4.127.000.000,00 = Rp 206.384.000,00
b) BPHTB / SSB = NJOP PBB - NPOP TKP (Rp 20.000.000,00) x 5% Yaitu 4.127.000.000,00 - Rp 20.000.000,00 x 5% = Rp 205.384.000,00.
pajaknya kepada Notaris dan PPAT Pelaku selaku PPAT yang menangani proses peralihan hak;
Total pembayaran pajak yang diserahkan melalui Notaris dan PPAT Pelaku sebesar Rp.823.536.000,00 yang dibayarkan oleh masing-masing pihak dalam 2 (dua) tahap sesuai pelaksanaan penandatanganan AJB yaitu tanggal 25 Nopember 2010 dan 3 Desember 2010, masing-masing sebesar Rp.411.768.000,00 di Kantor Notaris dan PPAT Pelaku, Jl. Kartini Raya No. 77 Semarang.;
sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 17 tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.
Akibat perbuatan Pelaku bersama-sama dengan Pemalsu dan Karyawan Pelaku I telah memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yaitu diri Pelaku dan mengakibatkan kerugian keuangan Negara sebesar Rp.823.536.000,- (delapan ratus dua puluh tiga juta lima ratus tiga puluh enam ribu rupiah) .
2. Hasil Penyidikan
Dugaan tindak pidana korupsi atas pemalsuan bukti setor dan validasi bank persepsi pembayaran pajak BPHTB / SSB dan PPh Final / SSP pada proses peralihan hak atas tanah dan bangunan SHM 295 / Kalibanteng Kulon, Kota Semarang tahun 2010 yang mengakibatkan kerugian Negara Rp 823.536.000,00 (delapan ratus dua puluh tiga juta lima ratus tiga puluh enam ribu rupiah) yang diduga dilakukan oleh Pelaku dengan kronologi perkara sebagai berikut :
1. Pada tahun 2010 telah terjadi peralihan hak atas tanah dan bangunan HM 295/ Kalibantengkulon, Kota Semarang sebanyak 2 (dua) kali yaitu :
a. Tanggal 25 Nopember 2010 dari Penjual ke Pembeli I sesuai AJB No. : 747/2010, tanggal 25 Nopember 2010 dengan nilai transaksi sebesar Rp 4.000.000.000,00.
2. Atas 2 peralihan hak (AJB) tersebut di atas timbul kewajiban para pihak untuk pembayaran pajak, dengan penghitungan besaran masing-masing sebagai berikut :
a. PPh Final / SSP = 5% x NJOP PBB
Yaitu 5 % x 4.127.000.000,00 = Rp 206.384.000,00 b. BPHTB / SSB = NJOP PBB – NPOP TKP (Rp
20.000.000,00) x 5%
Yaitu 4.127.000.000,00 – Rp 20.000.000,00 x 5% = Rp 205.384.000,00
3. Kedua belah pihak (penjual dan pembeli) pada masing-masing AJB tersebut selaku wajib pajak telah menyerahkan / menitipkan uang pembayaran pajaknya kepada Notaris dan PPAT Pelaku selaku PPAT yang menangani proses peralihan hak ;
4. Total pembayaran pajak yang diserahkan melalui Notaris dan PPAT Pelaku sebesar Rp.823.536.000,00 yang dibayarkan oleh masing-masing pihak dalam 2 (dua) tahap sesuai pelaksanaan penandatanganan AJB yaitu tanggal 25 Nopember 2010 dan 3 Desember 2010, masing-masing sebesar Rp.411.768.000,00 di Kantor Notaris dan PPAT Pelaku , Jl. Kartini Raya No. 77 Semarang ;
5. AJB No. : 747/2010 tanggal 25 Nopember 2010, Setelah menerima uang pembayaran pajak BPHTB dan PPh Final sebesar Rp.411.768.000,00 pada tanggal 25 Nopember 2010 tersebut, PPAT Pelaku selanjutnya menghubungi Pemalsu (oknum broker pemalsu dan pengurusan peralihan hak di Kantor Pertanahan/pensiunan pegawai BPN Kota Semarang) untuk meminta tolong dibuatkan slip setoran pajak dari Bank Persepsi dan validasi formulir SSB dan SSP dengan kompensasi 10% dari nilai pajak ;
6. Kemudian berkas formulir SSB dan SSP yang sudah diisi nominal pajaknya serta sudah ditandatangani oleh PPAT Pelaku, tetapi belum ada validasi pembayaran dari Bank Persepsi diserahkan ke Pemalsu melalui Karyawan Pelaku I (karyawan PPAT Pelaku) di tempat kos nya Pemalsu ;
8. Selang 2 hari, formulir SSP dan SSB tersebut diserahkan kembali dari Pemalsu kepada Karyawan Pelaku I di kantor Notaris dan PPAT Pelaku dan kedua formulir tersebut sudah ada dilengkapi validasi Bank persepsi (stempel Bank, nama & tanda tangan Teller, Cap lunas) serta resi/ Slip setoran pembayaran pajak dari Bank Persepsi), kemudian Pemalsu menerima amplop coklat berisi uang melalui Karyawan Pelaku I sebagai kompensasi / fee dari Pelaku atas pekerjaan pemalsuannya tersebut ;
9. Untuk AJB No. : 764/2010 tanggal 3 Desember 2010, proses pembayaran pajak dari wajib pajak dan pemalsuannya sama dengan proses pada AJB No. : 747/2010 tanggal 25 Nopember 2010 , namun transaksi yang terakhir ini, Pemalsu tidak mendapat upah/ fee dari Pelaku sebagaimana yang telah dijanjikan karena terdapat kesalahan penulisan ;
10.Selanjutnya bukti pembayaran pajak BPHTB dan PPh Final tersebut (SSP, SSB dan resi/ Slip Setoran dari Bank Persepsi) dijadikan lampiran pendaftaran balik nama Sertifikat di Kantor Pertanahan Kota Semarang dan sertifikat telah beralih nama ke pembeli ;
11.Setelah menerima berkas SSP dan SSB tersebut Pemalsu kemudian menghubungi Karyawan Pelaku I (pelaku pemalsuan validasi pembayaran pajak) untuk mengambil berkas SSP dan SSB tersebut di kosnya Pemalsu di Jl. Singa Semarang (belakang pom bensin Majapahit), pada saat Karyawan Pelaku I mengambil berkas blangko SSB dan SSP tersebut, Pemalsu memberikan uang sebesar Rp.1.000.000,00 kepada Karyawan Pelaku I sebagai imbalan jasa memalsukan validasi pembayaran pajak tersebut; 12.Selang 2 hari, setelah proses pemalsuan validasi bank persepsi
13.Oleh Pelaku uang fee yang akan diberikan kepada Pemalsu tersebut dimasukkan ke dalam amplop coklat besar dan memerintahkan kepada Karyawan Pelaku I untuk memberikannya kepada Pemalsu, kemudian ketika Pemalsu datang ke Kantor Pelaku di Jl. Kartini Raya No. 77 Semarang, amplop coklat berisi uang tersebut diserahkan kepada Pemalsu ;
14.Setelah berkas SSP dan SSB berikut slip setoran palsunya tersebut diambil oleh Karyawan Pelaku I dari kosnya Pemalsu, selanjutnya diserahkan kepada Pelaku di ruang kerjanya dan oleh Pelaku dokumen SSB da SSP yang telah divalidasi/ distempel palsu Bank Persepsi berikut slip setoran palsunya kemudian diserahkan kepada Karyawan Pelaku II guna pengurusan di kantor Pertanahan Kota Semarang
15.Dalam proses pendaftaran peralihan hak SHM No. 295/ Kalibanteng Kulon dari Penjual ke Pembeli I, PPAT Pelaku menugaskan stafnya bernama Karyawan Pelaku II untuk mengurus proses peralihan hak dengan lampiran pendaftaran sebagai berikut:
a. Surat Pengantar dari PPAT; b. Akta Jual Beli;
c. Foto copy Kartu Keluarga (KK), atau Surat Nikah; d. Foto copy KTP penjual dan pembeli;
e. Blangko bukti pembayaran pajak BPHTB setoran SSB lembar ke 5;
f. Blangko bukti pembayaran pajak PPH setoran SSP lembar ke 5;
g. Sertifikat Aslinya.
16.Karyawan Pelaku II mendaftarkan proses peralihan hak tersebut pada tanggal 29 November 2010 dan proses peralihan hak selesai (sertifikat telah beralih nama menjadi a.n. Pembeli I) pada tanggal 1 desember 2010.
17.Pada proses peralihan hak yang pertama ini, proses pendaftaran peralihan hak di kantor Pertanahan Kota Semarang tanggal 29 Nopember 2010 dan selesai tanggal 1 Desember 2010 ;
pemalsuannya juga sama melalui Pemalsu dan Karyawan Pelaku I dengan janji fee atau imbalan sebesar 10%, namun sampai dengan proses peralihan hak selesai (sertifikat telah beralih kepemilikan dari Pembeli I menjadi atas nama Pembeli II) dan hingga perkara ini disidik) Pemalsu dan Karyawan Pelaku I belum mendapatkan fee dari Pelaku atas jasanya memalsukan validasi pembayaran pajak tersebut karena terdapat kesalahan penulisan ;
19.Pada proses peralihan hak yang kedua ini juga proses pendaftaran peralihan haknya juga sama dilakukan oleh Karyawan Pelaku II atas perintah dari Pelaku dengan menggunakan syarat kelengkapan salah satunya adalah bukti pembayaran pajak palsu (SSB dan SSP berikut resi setoran pajak Bank Persepsi) pada tanggal 6 Desember 2010 dan selesai tanggal 9 Desember 2010; 20.Berdasarkan hasil penyidikan ditemukan fakta bahwa Slip setoran
Bank Persepsi berikut validasi Bank nya pada formulir SSB (BPHTB) dan SSP (PPH Final) telah dipalsukan, dan uang pembayaran pajak BPHTB dan PPh Final atas peralihan hak atas tanah dan bangunan SHM No. 295/ Kalibanteng Kulon senilai total Rp 823.536.000,00 tidak pernah dibayarkan ke Bank Persepsi dan tidak masuk ke Kas Negara (MPN).
Bahwa uang setoran pajak (BPHTB dan PPh Final) sejumlah Rp.823.536.000,00 yang berada dalam penguasaan terdakwa Pelaku selaku Notaris/PPAT dari para wajib pajak tersebut adalah merupakan uang yang seharusnya milik Negara atau masuk pengertian keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 17 tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.
Akibat perbuatan Pelaku bersama-sama dengan Pemalsu dan Karyawan Pelaku I telah memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yaitu diri Pelaku. dan mengakibatkan kerugian keuangan Negara sebesar Rp.823.536.000,-
B. Analisis Tidak Disetorkan Uang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Dalam kategori sebagai Tindak Pidana Korupsi
1. Dugaan terjadinya Tindak Pidana Korupsi Penggelapan uang pajak pada proses peralihan hak atas jual beli tanah dan bangunan
Dalam hasil penyidikan proses peralihan hak atas tersebut di atas, Pelaku telah dengan sadar telah melakukan proses peraihan atas tanah tersebut sekaligus menawarkan diri untuk membayarkan BPHTB da PPh Final atas peralihan ha tersebut. Akan tetapi hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh Pelaku. Yang terjadi adalah Pelaku meminta kepada Pemalsu untuk membuat bukti pembayaran BPHTB dan PPh (Final) palsu, sementara uang sejumlah Rp. 823.536.000 yang diberikan oleh wajib pajak yang semestinya di setorkan ke kas negara berada dalam penguasaan Pelaku .
Tindakan lain yang mungkin dilakukan dimana perbuatan tesebut dilakukan dengan melanggar kewajiban hukum atau menyalahgunakan kewenangan dan jika perbuatan tersebut dapat mengakibatkan lenyap/ hilang sebagaian atau seluruhnya uang tersebut, maka sama artinya dengan melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian keuangan Negara.
dan Karyawan Pelaku I dapat dikualifiser sebagai perbuatan turut serta dalam perbuatan notaris/PPAT menyalahgunakan kewenangan jabatan. Sebagaimana diketahui bahwa bagi pelaku peserta tidak harus berkualitas yang sama dengan orang yang melakukan (pelaku pelaksanaannya), yang in casu sebagai Notaris/PPAT. Kedua orang itu bisa berkualitas sebagai pelaku peserta dalam hal Notaris/PPAT menyalahgunakan kewenangan jabatannya, meskipun kedua orang lainnya itu bukan seorang notaris ; Perbuatannya itu (dapat) menimbulkan kerugian keuangan Negara;
2. Kewenangan PPAT dikaitkan dengan Uang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Sebagai Uang Negara dan Tindak Pidana Korupsi
Sebagaimana dalam Pasal 24 ayat (1) UU BPHTB, menyebutkan bahwa kewajiban pembayaran BPHTB adalah kewajiban dari Wajib Pajak dan bukan kewajiban PPAT/Notaris, karena dalam pasal tersebut dikatakan bahwa Pejabat PPAT/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan pada saat setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak BPHTB berupa Surat Setoran BPHTB. Dalam penjelasan ayat tersebut dikatakan bahwa penyerahan bukti pembayaran pajak dilakukan dengan menyerahkan fotokopi pembayaran pajak (SSB) dan menunjukkan aslinya.
Oleh karena itu Notaris disini hanya berperan untuk membantu klien untuk menyetorkan pajak BPHTB. Undang-undang juga tidak mengatur, bahwa kewenangan PPAT untuk mengetahui kebenaran pembayaran BPHTB. Yang memeriksa Dinas Pendapatan Daerah dengan melakukan verifikasi dengan mencocokkan Nomor Surat Setoran dengan data yang ada.
sebelum ditanda tanganinya akta peralihan yang diinginkan para pihak. Jadi tanggung jawab PPAT bukan menjadi tempat pembayaran pajak BPHTB, maka sebaiknya PPAT menolak dan menyarankan serta menghimbaukan kepada para kliennya untuk melakukan pembayaran pajak BPHTB di Dinas Pendapatan Daerah terlebih dahulu sebelum menandatangani akta peralihan hak atas tanah.
Lebih lanjut, dalam pelaksanaan pembayaran BPHTB, PPAT sebagai salah satu pejabat yang berwenang untuk membuat akta perolehan hak atas tanah dan bangunan selain berperan dalam membantu tugas kantor pelayanan pajak guna mengamankan penerimaan Negara dari sektor pajak, juga dapat menimbulkan akibat hukum bagi PPAT jika melanggar ketentuan Pasal 24 ayat (1) Undang-undang BPHTB.
Dalam suatu transaksi jual beli tanah dan atau bangunan, pembeli biasanya karena tidak mau repot, menitipkan pembayaran BPHTB kepada notaris atau Pemalsu. Di sinilah peluang untuk melakukan pemalsuan terjadi.
Sebagaimana dalam Undang-undang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) menentukan beberapa Pejabat yang berwenang dalam pemenuhan ketentuan BPHTB atas suatu perolehan hak atas tanah dan bangunan. PPAT/Notaris ini diberi kewenangan untuk memeriksa apakah Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) terutang sudah disetorkan ke Kas Negara oleh Pihak yang memperoleh hak sebelum pejabat yang berwenang menandatangani dokumen yang berkenaan dengan perolehan dimaksud.
Pejabat yang dimaksud tersebut ditunjuk karena kewenangannya dalam pembuatan akta dan pengesahan terjadinya perolehan hak. Pejabat tersebut adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Pejabat Lelang dan Pejabat Pertanahan. Pejabat yang berwenang sebagaimana yang dimaksud oleh Undang-undang, dalam pelaksanaannya mempunyai tugas pokok dan fungsi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24 ayat (3) dan Pasal 25 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1997 dan UU PDRD:
kepada Direktorat Jenderal Pajak selambat-lambatnya pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.1
Menurut Habib Adjie, apabila akta PPAT telah dapat menjawab pertanyaan mengenai telah terpenuhi kecakapan dan kewenangan sedang Kantor Pertanahan masih memerlukan persyaratan yang berkaitan dengan terpenuhinya kecakapan dan kewenangan, maka Kantor Pertanahan akan ikut bertangung jawab atau setidak-tidaknya telah mengurus sesuatu hal yang seharusnya menjadi tanggung jawab PPAT.2
Dalam UU No. 28 tahun 2009 disebutkan bahwa Pejabat Pembuat Akta Tanah atau Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan pada saat wajib pajak menyerahkan bukti setoran pajak berupa SSB. Dalam penjelasan ayat tersebut dikatakan bahwa penyerahan bukti pembayaran pajak dilakukan dengan menyerahkan fotokopi pembayaran pajak (SSB) dan menunjukkan aslinya.
Berdasarkan UU PDRD, bahwa kewajiban pembayaran BPHTB adalah kewajiban dari Wajib Pajak dan bukan kewajiban PPAT/Notaris, karena dalam pasal tersebut dikatakan bahwa Pejabat PPAT/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan pada saat setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak BPHTB berupa Surat Setoran BPHTB. Oleh karena itu, salah satu tugas Notaris disini
1 Adjie, Habib, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia, PT Citra
Aditya
Bandung, Bandung, 2009, h 16.
berperan untuk membantu klien untuk menyetorkan pajak BPHTB. Undang-undang juga tidak mengatur bahwa kewenangan PPAT untuk mengetahui kebenaran pembayaran BPHTB.3 Yang memeriksa Dinas Pendapatan Daerah dengan melakukan verifikasi dengan mencocokkan Nomor Surat Setoran dengan data yang ada.4
Sehubungan dengan hal tersebut, bahwa dalam kasus tersebut Notaris telah menerima penitipan pembayaran BPHTB dari kliennya untuk disetorkan. Maka berdasarkan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang BPHTB, Undang-Undang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris maka kewajiban pembayaran BPHTB adalah kewajiban dari Wajib Pajak dan bukan kewajiban PPAT/Notaris akan tetapi karena notaris tersebut telah menerima penitipan uang pembayaran BPHTB tersebut dari kliennya maka Notaris tersebut bertanggung jawab dalam jabatannya untuk menyetorkan pajak BPHTB tersebut karena telah dipercaya oleh kliennya.
Oleh karena itu notaris dalam menjalankan jabatannya serta melaksanakan tugasnya dalam memberikan pelayanan kepada kliennya tetap menghormati dan menjunjung tinggi kode etik profesi dan senantiasa menghayati dan mengingat sumpah jabatannya.
Sebelum menjelaskan lebih lanjut terkait adanya penyalahgunaan wewenang dalam pemungutan BPHTB dalam kasus Pelaku, ada baiknya
disamakan persepsi bahwa pemungutan pajak apapun harus berdasarkan hukum. Selanjutnya, harus pula disepakati bahwa dasar hukum atau legalitas pajak dan retribusi daerah adalah peraturan daerah. Artinya, selama tidak ada peraturan daerah, maka pungutan apapun bentuknya termasuk pungutan liar, ilegal, dan masuk kategori perbuatan melawan hukum.
Untuk menyamakan persepsi tersebut, maka menurut Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan, pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang. Artinya, negara dengan kekuasaannya tidak bisa sewenang-wenang memungut pajak apapun tanpa ada dasar hukum atau undang-undang.
Menurut Sugiharto bahwa peningkatan pendapatan dari bidang pajak, dapat dilakukan dengan menetapkan strategi yang tepat dalam pemungutan pajak, banyak hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemungutan pajak antara lain adalah asas dalam pemungutan pajak.5 Dalam pemungutan pajak terkait beberapa asas yakni asas yuridis, ekonomis dan finansial:
1) Asas Yuridis
Menurut asas ini untuk menjamin bahwa pemungutan pajak mencerminkan keadilan maka hukum pajak harus memberikan jaminan hukum yang nyata bagi Negara maupun bagi warganya, oleh karena itu maka pajak yang dipungut untuk kepentingan negara harus berdasarkan
undang-undang. Di Indonesia landasan hukum pemungutan pajak untuk kepentingan negara adalah Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
2) Asas Ekonomi
Asas ekonomi lebih menekankan pada pemikiran bahwa negara menghendaki agar kehidupan ekonomi masyarakat terus meningkat, untuk itu maka pemungutan pajak diupayakan tidak menghambat kelancaran perkembangan ekonomi juga akan selalu memperhitungkan biaya untuk melakukan pemungutan pajak (collection ratio) relevan dengan jumlah penerimaan yang diharapkan. Selain itu tidak kalah pentingnya asas ekonomi dalam pemungutan pajak ini justru lebih dekat dengan fungsi pengaturan (regulerred).
3) Asas Finansial
Suatu pemahaman bahwa fungsi pajak adalah fungsi budget, yaitu fungsi pajak untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke dalam kas negara, sehubungan dengan itu agar hasil pemungutan pajak besar maka biaya pemungutannya harus sekecil-kecilnya.
1) Asas legal, berdasarkan asas ini setiap pemungutan pajak harus didasarkan pada undang-undang. Oleh karena itu setiap peraturan perpajakan, baik yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah, maupun peraturan yang lebih rendah tingkatannya harus ada referensinya dalam undang-undang”.
2) Asas kepastian hukum, menurut asas ini ketentuan-ketentuan perpajakan tidak boleh menimbulkan keragu-raguan dan kebingungan, tetapi harus jelas dan mempunyai pengertian sehingga tidak bersifat ambigu. Ketentuan-ketentuan pajak yang dapat ditafsirkan ganda akan menimbulkan celah hukum yang dapat dimanfaatkan oleh para penyelundup pajak.
3) Asas efisien, dimana pajak yang dipungut dari masyarakat kemudian digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan administrasi pemerintah dan pembangunan. Oleh karena itu suatu pungutan pajak harus efisien, jangan sampai biaya pemungutannya justru lebih besar dari hasil penerimaan pajaknya sendiri.
5) Asas kesederhanaan, dalam hal ini yang dimaksud bahwa aturan-aturan perpajakan, harus dibuat secara sederhana sehingga mudah dimengerti oleh masyarakat wajib pajak, maupun oleh fiskus sebagai pihak-pihak yang terkait dengan perpajakan. Sederhana dalam sistem maupun tata caranya sehingga wajib pajak mudah dalam melaksanakan kewajibannya maupun haknya. Aturan-aturan pajak yang rumit disamping akan menyulitkan dalam pelaksanaan perpajakan juga akan menimbulkan penafsiran yang berbeda sehingga dapat celah hukum (loopholes) dan memudahkan terjadinya penghindaran pajak, disamping itu juga dapat menimbulkan keengganan bagi wajib pajak.6
Asas-asas tersebut akan dijadikan notaris, untuk memposisikan diri, menimbang kebenaran informasi yang diberikan, hal ini berkaitan dengan landasan logis dari Notaris dalam menilai suatu transaksi, logis dalam mengkaji nilai riil dari transaksi tersebut.
Lebih lanjut, dengan pertimbangan Undang-Undang 22 tahun 1999 yang disempurnakan oleh Undang-Undang 32 tahun 2004 yang intinya terdapat pelimpahan sebagian kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, diharapkan terciptanya kemandirian pengelolaan pemerintahan daerah melalui sistem otonomi daerah. Atas dasar itulah, maka Pemerintah Pusat mengalihkan beberapa pemungutan pajaknya kepada
Pemerintah Daerah, salah satunya adalah Pajak BPHTB dengan dasar Undang-Undang 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Merujuk dalam kasus ini, maka suatu transaksi jual beli tanah dan atau bangunan, pembeli biasanya karena tidak mau repot, menitipkan pembayaran BPHTB kepada Notaris atau Pemalsu. Di sinilah peluang untuk menggunakan uang titipan tidak sebagaimana mestinya. Namun demikian, belum tentu kesalahan selalu ada pada notaris. Karena, bisa saja pemalsuan dilakukan justru oleh pembelinya sendiri.
Dengan cara memalsukan SSB dan SSP tersebut, yang mana telah dilaporkan dan dilakukan penyidikan oleh penyidik Kepolisian Daerah Jawa Tengah yang dapat dianalisis, sebagai berikut :
Bahwa pada bulan November sampai dengan Desember 2010 atau setidak-tidaknya pada tahun 2010 di Kota Semarang telah diduga terjadi tindak pidana korupsi atas pemalsuan bukti setor dan validasi bank persepsi pembayaran pajak BPHTB / SSB dan PPh Final / SSP pada proses peralihan hak atas tanah dan bangunan SHM 295 / Kalibanteng Kulon, Kota Semarang tahun 2010 yang mengakibatkan kerugian Negara Rp 823.536.000,00 (delapan ratus dua puluh tiga juta lima ratus tiga puluh enam ribu rupiah) yang dilakukan oleh Pelaku. Pelaku, dkk, sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dan/ atau Pasal 3 dan/ atau pasal 9 UU Rl No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Rl No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 15 UU Rl No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Rl No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 88 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
BPHTB dan PPh (Final) sebagaimana diuraikan diatas terdapat perbuatan yang mengandung sifat melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang di mana proses pembalikan nama sertifikat HM No. 295 Kalibanteng Kulon tersebut, Pelaku secara sadar menyalahgunakan kewenangan selaku PPAT yang mempunyai kewenangan melakukan proses peralihan hak atas tanah dan bangunan tetapi sekaligus menawarkan diri untuk jasa pembayaran BPHTB dan PPh (Final) atas peralihan hak tersebut.
Negara atau masuk keuangan Negara karena uang setoran pajak BPHTB dan PPh (Final) adalah menjadi hak Negara, meskipun secara fisik belum dalam penguasaan Negara melainkan masih dalam penguasaan Pelaku selaku Notaris/ PPAT disebabkan karena kedudukannya sebagai PPAT yang menyelesaikan akta-akta peralihan hak atas tanah, yang menawarkan diri kepada para wajib pajak untuk membayarkan uang pajak tersebut.
Sifat uang Negara menjadi melekat / timbul atas sejumlah uang Rp. 823.536.000,00 itu terjadi adalah sejak wajib pajak yang in casu pihak wajib pajak mempercayakan dan menyerahkan uang itu pada dan diterima Notaris / PPAT, sehingga pejabat yang karena kedudukannya sebagai PPAT boleh menerima titipan untuk disetor ke Kas Negara tentunya melalui Bank Persepsi.
perbuatan itu, sama artinya dengan melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian keuangan Negara, sama artinya dengan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan/ atau Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pemda bisa langsung memungutnya, sebab ada syarat yang harus dipenuhi, sebagaimana isi Pasal 184, bahwa peraturan pelaksanaan atas Undang-undang ini ditetapkan paling lambat satu tahun sejak Undang-Undang-undang ini diundangkan.
Dalam penjelasan dari Pasal 184 yang menyebutkan, peraturan pelaksanaan atas Undang-undang ini (Undang-Undang 28 tahun 2009) ada dalam Surat Menteri Keuangan Nomor S-495/MK/2010, bahwa persiapan yang diperlukan untuk pemungutan BPHTB antara lain : Landasan hukum pemungutan BPHTB berupa Peraturan Daerah tentang BPHTB; Sistem dan Prosedur pemungutan BPHTB, yang ditetapkan dengan peraturan Kepala Daerah; Data NJOP, untuk validasi pembayaran BPHTB; dan Melakukan sosialisasi tentang tata cara pemungutan BPHTB kepada pihak terkait termasuk Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Notaris, Kantor Lelang, dan kantor Pertanahan.
Pertanahan Kota Semarang. Saat ini kegiatan verifikasi ini sudah mulai mengarah kepada hal-hal yang sifatnya kolektif. Penelitian dilakukan mencakup 2 hal, yaitu :
1) Kebenaran dari informasi yang tercantum dalam Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD),
2) Kelengkapan Dokumen pendukung Surat Setoran BPHTB.
Berdasarkan pada Kasus Pelaku, dimana masalah yang timbul disebabkan karena tindakan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan Notaris/PPAT melalui kedudukan tugas dan tanggungjawabnya sebagai pejabat umum untuk menunjang tata cara pembayaran BPHTB.
tersebut yang perlu direvisi kembali dalam pola administrasi baru menyangkut pengaturan dalam pemungutan BPHTB.
Secara hukum, untuk mengetahui penyalahgunaan wewenang (penggunaan wewenang yang melanggar hukum) harus dilihat dari segi sumber atau lahirnya wewenang. Ini sejalan dengan konsep hukum, “Di dalam setiap pemberian wewenang kepada pejabat pemerintahan tertentu
tersirat pertanggungjawaban dari pejabat yang bersangkutan” (geen
bevoegdheis zonder verantwoordelikjkheid atau there is no authoritu without
responbility).7 Ini membuktikan bahwa dalam hukum administrasi di setiap penggunaan wewenang di dalamnya terkandung pertanggungjawaban, namun tidak semua pejabat yang menjalankan wewenang itu secara otomatis memikul tanggung jawab karena harus dapat melihat apakah pejabat yang bersangkutan yang memikul jabatan tersebut, baik dilihat dari cara memperoleh dan menjalankan wewenang. Menurut L.J.A Damen, yang
mengatakan bahwa “ada tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang diuji
dengan asas spesialitas (specialiteitsbeginsel) yakni asas yang menentukan
bahwa wewenang itu diberikan kepada organ pemerintahan dengan tujuan
tertentu”. Jika menyimpang dari tujuan diberikannya wewenang ini dianggap
sebagai penyalahgunaan wewenang.8
7 Nur Basuki, Minarno, 2009, Penyalahgunaan Wewenang Dan Tindak Pidana
Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah. Palangkaraya : Laksbang Mediatama, hal 75-76
Di dalam hukum administrasi asas legalitas/keabsahan (legaliteit beginsel/wetmatigheid van bestuur) mencakup tiga aspek, yaitu: wewenang,
prosedur, dan substansi. Artinya wewenang, prosedur maupun substansi harus berdasarkan peraturan perundang–undangan (asas legalitas), karena pada peraturan perundang-undangan tersebut sudah ditentukan tujuan diberikannya wewenang kepada pejabat administrasi, bagaimana prosedur untuk mencapai suatu tujuan serta menyangkut tentang substansinya.
Indriyanto Seno Adji, memberikan pengertian penyalahgunaan wewenang dengan mengutip pendapatnya Jean Rivero dan Waline dalam
kaitannya “detournement de pouvoir” dengan “Freis Ermessen”,
penyalahgunaan wewenang dalam hukum administrasi dapat diartikan dalam 3 (tiga) wujud yaitu :
1) Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan,
2) Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar diajukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya,
3) Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana.
sampai saat ini, jelas bahwa perbuatan korupsi merupakan perampasan hak ekonomi dan hak sosial rakyat Indonesia.9
Cara dan metode tindak kejahatan korupsi juga semakin canggih, kejahatan ini semakin bisa mengikuti perkembangan zaman dan juga mengikuti perkembangan aturan yang ada. Kejahatan ini bermetamorfosis dengan baik dan semakin rapi dalam prakteknya. Perilaku kejahatan ini mewabah tidak hanya dalam sisi masyarakat yang secara financial membutuhkan uang atau dengan kata lain melakukan kejahatan korupsi berdasarkan terdesak kebutuhan ekonomi, bahkan cenderung mewabah pada pegawai pemerintah yang dalam sisi ekonomi lebih mapan dan memiliki pendapatan yang tetap.
Public officials’ excessive desire for material wealth has been deemed as among the major causes of the rampaging corruption in Indonesia. This is believed to have contributed to the high demand for civil servant positions in the government. In fact, evidence suggests that there is even an underground market for those who are willing to pay a huge amount of money to succeed in civil servant recruitments.10
Sudut pandang ini timbul atas terlalu banyaknya kegagalan dalam upaya pemberantasan korupsi yang hanya melihat korupsi merupakan kejahatan yang didasarkan pada subjeknya yaitu manusia yang merupakan makhluk ekonomi yang memiliki kebutuhan. Salah satu upaya yang marak dilakukan adalah dengan berbagai perubahan kebijakan pemerintah secara
9 Lilik Mulyadi, Op. cit, 2007, hal 5
merata maupun pihak swasta untuk meningkatkan gaji Pemalsu, yang terbukti belum maksimal untuk menekan angka kejahatan korupsi. Oleh karena itu, menempatkan korupsi dalam kerangka manusia sebagai makhluk ekonomi atau homo economicus sungguh tidak memadai.
Barangkali karena kerangka pemikiran ini, pemberantasan korupsi tidak bisa dilakukan secepat harapan kita semua. Praktis hampir semua kebijakan pemberantasan korupsi dirancang berdasarkan kerangka pemikiran yang menggunakan asumsi homo economicus itu. Korupsi diberantas dengan menaikkan gaji dan meningkatkan hukuman untuk membuat efek jera. Bila penghasilan resmi dinaikkan, maka seseorang tidak akan tergoda untuk mencari tambahan penghasilan melalui cara-cara korupsi. Demikian juga ketika ancaman hukuman diperberat, seseorang tidak akan berani lagi melakukan korupsi.11
Namun penegakan hukum tidak akan pernah berhenti begitu saja, sebab bagaimanapun juga hukum akan terus mengikuti kemajuan jaman dan kebutuhan masyarakat. Metamorfosis hukum sama halnya juga dengan kejahatan, selalu akan berubah seiring jaman. Dalam hal ini yaitu permasalahan kejahatan korupsi, hukum di Indonesia juga terus berkembang. Berdasar pada salah satu tuntutan dari rakyat Indonesia adalah pemberanasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang diawali dengan adanya Ketetapan
MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Lalu secara yuridis normatif berbagai peraturan perundang-undangan sebagai sarana pemberantasan korupsi mulai tercipta, dinataranya yaitu Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, selanjutnya Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah dirubah ke dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. Sehingga saat ini Indonesia memakai Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai salah satu cara untuk memberantas korupsi dengan pendayagunaan hukum pidana.
pengaturan tindak pidana yang berkaitan dengan korupsi. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai hukum pidana (termasuk dalam hukum pidana khusus) didayagunakan untuk menanggulangi tindak pidana korupsi. Undang-Undang tersebut merupakan salah satu sarana (penal) yang memerlukan sarana lain (non-penal) secara terpadu, dan kesemuanya itu sebagai pengoperasian perundang-undangan pidana dalam masyarakat, maka tidak dapat terpisahkan dari problema kemasyarakatan menyangkut politik, sosial, ekonomi, dan budaya.12
Pendayagunaan sanksi hukum pidana untuk menanggulangi kejahatan, lebih konkretnya mengoperasikan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang merupakan perundang-undangan pidana dalam rangka penanggulangan tindak pidana korupsi akan menghadapi problema keterbatasan kemampuannya. Mengingat tipe atau kualitas sasaran (yakni korupsi) yang bukan merupakan tindak pidana sembarangan (dilihat dari pelaku dan modus operandinya) sering dikategorikan sebagai White Collar crime. Oleh karena itu, upaya dengan sarana lainnya secara bersama-sama
sudah seharusnya dimanfaatkan. Bahkan dalam perkembangannya, bukan hanya secara peraturan perundang-undangan saja yang dimaksimalkan dan
semakin berkembang, namun juga instansi dan metode dari para aparat penegak hukum untuk dapat memberantas korupsi yang merajalela di Indonesia.
C. Pemenuhan Unsur Tindak Pidana Korupsi Pada
Penyimpangan Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB)
Suatu perbuatan baru dapat dikategorikan sebagai tindak pidana apabila perbuatan tersebut telah memenuhi seluruh unsur-unsur dari pasal atau aturan yang mengatur dimana perbuatan tersebut dinyatakan dilarang. Dalam hal adanya suatu dugaan tindak pidana, penegak hukum harus dapat menyidik untuk memperoleh kejelasan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh pelaku benar merupakan suatu tindak pidana. Proses hukum lalu berlanjut dengan penerapan sanksi untuk mengetahui peraturan apa saja yang telah dilanggar serta sejauh mana perbuatan pelaku melanggar perturan tersebut. Pada akhirnya, setelah melalui proses pembuktian, diputuskanlah sanksi pidana yang akan diterapkan kepada pelaku.
ketertiban, ketenteraman, kedamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan dalam tata kehidupan bermasyarakat. Dengan adanya hukum maka tiap perkara dapat di selesaikan melalui proses pengadilan dengan perantara hakim berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku,selain itu Hukum bertujuan untuk menjaga dan mencegah agar setiap orang tidak dapat menjadi hakim atas dirinya sendiri.
Dalam tata hukum Indonesia, istilah Korupsi sudah dikenal setelah diundangkan Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM-06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi, yang selanjutnya mengalami perubahan dan pembaharuan menjadi Undang-Undang Nomor 24 Prp 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, hingga Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dan kini Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bahkan sejak berlakunya KUHP (sejak Pemerintah Kolonial Belanda Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch, S 1915 No. 732, mulai berlaku 1 Januari 1918) sudah ada
(penal) yang memerlukan sarana lain (non-penal) secara terpadu, dan kesemuanya itu sebagai pengoperasian perundang-undangan pidana dalam masyarakat, maka tidak dapat terpisahkan dari problema kemasyarakatan menyangkut politik, sosial, ekonomi, dan budaya.13
Dalam upaya pembuktian Tindak Pidana Korupsi, terjadi perbedaan pendapat diantara praktisi hukum mengenai apakah Perkara Pokok dari Tindak Pidana Korupsi harus dibuktikan terlebih dahulu atau tidak? apa yang sebenarnya menjadi sumber permasalahannya hingga menyebabkan perbedaan pandangan tersebut. Dalam hal ini, mencoba menemukan dan mengkaji sumber permasalahan tersebut, yang dimulai dari penguraian unsur tersebut.
(1). Setiap orang yang dengan sengaja:
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Unsur "Dengan Sengaja":
Jika dalam suatu perumusan tindak pidana digunakan istilah dengan sengaja, menurut doktrin harus ditafsirkan secara luas, artinya mencakup:
kesengajaan sebagai maksud (oogmerk), kesengajaan dengan kesadaran pasti atau keharusan (opzet bij zekerheids ofnoodzalijkheids bewustzqn), kesengajaan dengan menyadari kemungkinan (dolus eventualis). Sehingga pengertian dengan sengaja sebagai dikehendaki dan diinsyafi telah diperluas. Jadi menghendaki dan atau menginsyafi tidak hanya berarti apa yang betul-betul dikehendaki dan atau diinsyafi oleh pelaku, tetapi juga hal-hal yang mengarah atau berdekatan dengan kehendak atau keinsyafan itu.14
Penempatan unsur kesengajaan, dalam Pasal 2 ditempatkan pada awal perumusan delik sangat berpengaruh dalam pembuktian unsur-unsur selanjutnya dalam Pasal yang bersangkutan. Unsur kesengajaan diletakkan pada awal perumusan delik, atau dengan perkataan lain dibelakang unsur kesengajaan terdapat unsur-unsur : tindakan terlarang dan diancam pidana oleh undang-undang, bersifat melawan hukum dan keadaan-keadaan tertentu. Maka ketiga unsur tersebut harus diliputi oleh unsur kesengajaan. Misalnya : delik dalam Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999:
“Setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atas sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara paling sedikit I (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)"."
14 Sianturi, EY Kanter, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni
Penempatan unsur kesengajaan di depan perumusan delik tersebut berarti pelaku harus mengetahui dan/atau menginsyafi :
tindakannya dalam menempatkan harta kekayaan. sifat melawan hukum dari harta kekayaan tersebut.
Unsur Diketahui dan Patut diduga:
Dilihat dari uraian unsur-unsur diketahui dan patut diduga dalam pasal 3 diatas, dapat dikatakan bahwa pasal tersebut diliputi oleh kesengajaan (diketahui), 46 tetapi mungkin pula diliputi kealpaan (patut diduga), atau dalam bahasa latinnya disebut (PRO PARTUS DOLUS PRO PARTUS CULPA (1/2 Dolus 1/2 Culpa).
Apabila perbuatan menempatkan harta kekayaan itu diketahui bahwa harta kekayaan tersebut berasal dari kejahatan, maka perbuatan tersebut disengaja (DOLUS), sedangkan apabila asal-usul harta kekayaan yang ditempatkannya itu tidak diketahui berasal dari kejahatan tetapi si pelaku lalai dan kurang hati-hati dalam menilainya maka perbuatan tersebut menjadi lalai (CULPA).;
sengaja menempatkan harta kekayaan (diatas 50 juta rupiah) yang dia ketahui bahwa harta kekayaan tersebut berasal dari suatu kejahatan korupsi.
Apabila unsur patut diduga dalam Pasal 3 tidak diliputi unsur kesengajaan, maka Jaksa dapat membarengkan pembuktiannya, si pelaku yang menempatkan harta kekayaan tersebut mengetahui bahwa harta tersebut berasal dari korupsi atau seharusnya si pelaku patut menduga bahwa harta kekayaan tersebut berasal dari kejahatan korupsi, sehingga Jaksa dalam hal ini dapat membuktikan secara alternatif yaitu harta kekayaan yang diketahui pelaku tersebut berasal dari korupsi atau dapat memfokuskan pada kealpaan si pelaku dalam menilai pengetahuannya terhadap harta kekayaan tersebut.
Pasal 480 KUHP
Diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah :
1. barangsiapa membeli, menyewa, menukar, menerima gadai, menerima hadiah, atau untuk menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadai, mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan, sesuatu benda, yang diketahui atau sepatutnva harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan penadahan.
Namun ada prinsip dasar dalam Pasal 480 KUHP yang membedakannya dengan korupsi, yaitu: Pelaku Kejahatan Pokoknya (misalnya si Pencurinya) tidak dapat dikenakan penadahan walaupun ia sendiri yang menjual barang hasil curiannya dengan hasrat mendapat untung (utwinsbejag). Dimana menurut Arrest Hoge Raad tahun 1927 mengenai Pasal 480 KUHP, ditentukan bahwa pencuri yang dengan hasrat untuk mendapat untung menjual sendiri barang curiannya, tidak dapat dikatakan penadahan (helen), sekalipun itu memenuhi unsur yang tersebut dalam Pasal
480 KUHP. Sebab Pasal 480 KUHP dinamakan “kejahatan yang
mempermudah orang melakukan kejahatan”.15
Sedangkan yang dimaksud dengan korupsi adalah suatu proses untuk menyembunyikan atau menyamarkan harta kekayaan yang diperoleh dari hasil kejahatan untuk menghindari penuntutan dan atau penyitaan, dengan
15 M Suharto, Hukum Pidana Materiil, Unsur-unsur Obyektif sebagai Dasar Dakwaan, Edisi
hasil akhir dari proses itu adalah hasil tindak pidana "menjelma" seolah-olah menjadi harta yang sah.
Sehingga pelaku korupsi selain dikenakan dakwaan Pasal 365 KUHP tetapi juga dapat dikenakan Dakwaan Tindak Pidana Pencucian Uang, apabila ia sendiri yang menempatkan harta kekayaan yang berasal dari hasil korupsi tersebut.
Berkaitan dengan kasus yang diteliti, bahwa Pelaku merupakan PPAT/Notaris yang terbukti melakukan tindak pidana dengan berbagai macam rentetan kasus diantarnya Penggelapan uang Pajak, Korupsi dalam hal ini penyalahgunaan wewenang dalam jabatan.
Atas kasus dugaan korupsi yang dilakukan Pelaku melalui pemalsuan SSB dan SSP, telah dilakukan penyidikan oleh penyidik Kepolisian Wilayah Polda Jateng yang dapat dianalisis, sebagai berikut :
(1) dan/ atau Pasal 3 dan/ atau pasal 9 UU Rl No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Rl No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 15 UU Rl No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Rl No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 88 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP,
Rp. 823.536.000,00 yang berada dalam penguasaan Pelaku selaku Notaris / PPAT dari wajib pajak tersebut adalah merupakan uang yang seharusnya milik Negara atau masuk pengertian keuangan Negara yang wajib disetorkan ke Kas Negara atau masuk pengertian keuangan Negara yang wajib disetorkan ke Kas Negara oleh Pelaku selaku Notaris / PPAT, dalam jumlah yang sama. Bahwa uang setoran pajak (BPHTB dan PPh Final) sejumlah Rp. 823.536.000,00 yang berada dalam penguasaan Pelaku selaku Notaris/ PPT adalah merupakan uang Negara atau masuk keuangan Negara karena uang setoran pajak BPHTB dan PPh (Final) adalah menjadi hak Negara, meskipun secara fisik belum dalam penguasaan Negara melainkan masih dalam penguasaan Pelaku selaku Notaris/ PPAT disebabkan karena kedudukannya sebagai PPAT yang menyelesaikan akta-akta peralihan hak atas tanah, yang menawarkan diri kepada para wajib pajak untuk membayarkan uang pajak tersebut.
Maka perlakuan terhadap uang Negara tidak dibenarkan melakukan perbuatan hukum yang lain dari pada perbuatan hukum yang menjadi kewajiban hukumnya untuk dilakukan/ harus dilakukan oleh seorang pejabat in casu notaris / PPAT (Pelaku ) terhadap uang itu in casu menyetorkannya
ke Kas Negara. Maka apabila melakukan perbuatan yang lain itu sama dengan perbuatan melanggar kewajiban hukum yang artinya sama dengan perbuatan menyalahgunakan kewenangan jabatan, yang jika (dapat) menimbulkan lenyap / hilang sebagian atau seluruhnya uang tersebut akibat perbuatan itu, sama artinya dengan melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian keuangan Negara, sama artinya dengan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan/ atau Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
823.536.000,00 (delapan ratus dua puluh tiga juta lima ratus tiga puluh enam ribu rupiah).
Perbuatan Pelaku telah memenuhi unsur delik pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1), pasal 3 dan pasal 9 UU Rl No. 31 Tahun 1999 yang telah dirubah dengan UU Rl No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 15 UU No. 31 Tahun 1999 yang telah dirubah dengan UU Rl No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, dengan uraian analisa pembuktian yuridis sebagai berikut:
1. Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 31 tahun 1999 yang telah dirubah dengan Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Bunyi pasal
"Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00".
a. Setiap orang
Terdapat adanya orang yang bernama Pelaku sebagai Notaris/PPAT yang diduga telah melakukan tindak pidana korupsi dengan cara memalsukan bukti setor dan validasi bank persepsi pembayaran pajak BPHTB / SSB dan PPh Final / SSP pada proses peralihan hak atas tanah dan bangunan SHM 295 / Kalibanteng Kulon, Kota Semarang tahun 2010 yang menyebabkan tidak terbayarnya pajak PPh Final / SSP dan BPHTB / SSB ke Kas Negara sementara Negara telah berprestasi menyelesaikan proses peralihan (proses balik nama Sertifkan Hak Milik telah selesai menjadi atas nama pembeli) sehingga mengakibatkan kerugian Negara ± Rp 823.536.000,00 (delapan ratus dua puluh tiga juta lima ratus tiga puluh enam ribu rupiah).
b. Unsur melawan hukum :
Unsur melawan hukum dalam hukum pidana terdapat ajaran
tentang “sifat melawan hukum” (SMH) terdiri dari SMH formil dan
law) hukum adalah recht. Terpenuhinya sifat melawan hukum apabila
pelaku melanggar atau bertentangan dengan hukum (onrechtmatigedaad).
SMH materil terdiri dari SMH materil dalam fungsinya yang positif dan SMH materil dalam fungsinya yang negatif. SMH materil dalam fungsinya yang negatif sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU 31/1999 jo UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi (UUTPK)
“Yang dimaksud dengan secara melawan hukum
dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan
tersebut dapat dipidana”.
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUTPK ini telah dicabut dengan putusan Mahkamah Konstitusi No. 3 Tahun 2006, sehingga UUTPK tidak menganut ajaran sifat melawan hukum materil dalam fungsinya yang positif. Oleh karena itu, terpenuhinya unsur melawan hukum apabila perbuatan pelaku melanggar atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
unsur-unsur tindak pidana korupsi, dapat hilang sifat melawan hukumnya, sehingga pelaku tidak dapat dipidana apabila:
1. Negara tidak dirugikan; 2. Terdakwa tidak dapat untung; 3. Kepentingan umum dilayani.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur melawan hukum terpenuhi apabila perbuatan pelaku bertentangan atau melanggar peraturan perundang-undangan (onwetmatigedaad). Unsur melawan hukum tidak terpenuhi apabila:
1. Negara tidak dirugikan; 2. Terdakwa tidak dapat untung; 3. Kepentingan umum dilayani.
Berdasarkan kasus tindak pidana korupsi yang didakwakan dalam penggelapan pajak yang ada, bahwa perbuatan Pelaku tersebut telah melawan hukum formil, sebagai berikut :
1) Undang-undang No. 20 Tahun 2000 tentang BPHTB
Penjelasan Pasal 24 (1) tersebut menyebutkan bahwa penyerahan bukti pembayaran pajak dilakukan dengan menyerahkan fotokopi pembayaran pajak dan menunjukkan aslinya.
b) Pasal 24 (3) : Kepala Kantor Pertanahan Kab./ Kota hanya dapat melakukan pendaftaran hak atas tanah atau pendaftaran peralihan hak atas tanah setelah wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak.
Pasal 25 (1) : PPAT/ Notaris dan Kepala Kantor Lelang Negara melaporkan pembuatan akta atau risalah lelang perolehan hak atas tanah dan bangunan kepada Dirjen Pajak selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya;
1) PP No. 37 tahun 1998 tentang PPAT, Pasal 26 (3) : PPAT Wajib mengirim laporan bulanan mengenai akta yang dibuatnya, yang diambil dari buku daftar akta PPAT kepada Kepala Kantor Pertanahan dan kantor-kantor lain sesuai ketentuan Undang – undang atau PP yang berlaku selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya.
perbuatan melawan hukum dalam arti formil, maka perbuatan Pelaku . Pelaku yang menggunakan bukti setor (termasuk validasi bank persepsinya) palsu untuk dipergunakan sebagai syarat dalam pendaftaran proses peralihan hak SHM 295 di kantor pertanahan kota Semarang, sementara Pelaku mengetahui dan sadar bahwa bukti setor BPHTB dan validasinya tersebut palsu adalah telah memenuhi unsur/ delik formil.
c. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi
karena pada akhirnya kekayaan Pelaku dan Karyawan Pelaku I bertambah sebesar bagian yang mereka terima;
Karena besarnya pajak yang dibayarkan tidak sesuai dengan
ketentuan, dimana perbuatan ini telah “memperkaya suatu diri sendiri”
Akibat diterimanya permohonan keberatan pajak dari wajib pajak, Pelaku tersebut menerima keuntungan dalam hal ini jelas telah merugikan Negara.
d. Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara
kejadian tersebut setidak tidaknya dapat mengakibatkan terjadinya kerugian keuangan negara.
Dengan demikian akibat perbuatan Pelaku . Pelaku bersama-sama Pemalsu dan Karyawan Pelaku I dengan melakukan pemalsuan bukti setor Pajak dan validasinya dan tidak menyetorkan uang titipan pembayaran pajak dari wajib pajak sebesar Rp 823.536.000,00 tersebut ke kas Negara, maka berakibat Negara dirugikan sebesar Rp.823.536.000,00.
Dari hasil uraian analisa pembuktian yuridis tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terhadap Pelaku telah cukup bukti melakukan perbuatan pidana yang memenuhi unsur/ delik Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2. Pasal 3 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 yang telah dirubah dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00".
a. Setiap orang
Terdapat adanya orang yang bernama Pelaku sebagai Notaris/PPAT yang diduga telah melakukan tindak pidana korupsi terkait terkait pemalsuan bukti setor dan validasi bank persepsi pembayaran pajak BPHTB / SSB dan PPh Final / SSP pada proses peralihan hak atas tanah dan bangunan SHM 295 / Kalibanteng Kulon, Kota Semarang tahun 2010 yang menyebabkan tidak terbayarnya pajak PPh Final / SSP dan BPHTB / SSB ke Kas Negara sementara Negara telah berprestasi menyelesaikan proses peralihan (proses balik nama Sertifkan Hak Milik telah selesai menjadi atas nama pembeli) sehingga mengakibatkan kerugian Negara Rp. 823.536.000,00 (delapan ratus dua puluh tiga juta lima ratus tiga puluh enam ribu rupiah).
b. Dengan Tujuan Menguntungkan Diri Sendiri Atau Orang
Lain Atau Suatu Korporasi
dan menggunakan bukti setoran pajak palsu untuk pendaftaran proses peralihan hak atas tanah SHM No. 295/ Kalibanteng Kulon, Kota Semarang di Kantor Pertanahan Kota Semarang adalah merupakan perbuatan menguntungkan diri sendiri, karena dengan tidak disetorkannya uang tersebut untuk pembayaran pajak, maka Pelaku diuntungkan sebesar Rp 823.536.000,00 yang kemudian sebagian diserahkan kepada Pemalsu sebesar Rp. 30.000.00 dan Karyawan Pelaku I sebagai fee atas jasa mereka membuatkan bukti setor pajak dan validasi palsu, adalah merupakan perbuatan menguntungkan orang lain, karena pada akhirnya kekayaan Pemalsu dan Karyawan Pelaku I bertambah diuntungkan dengan fee yang mereka terima;
c. Menyalahgunakan Kewenangan, Kesempatan atau Sarana Yang ada Padanya Karena Jabatan atau Kedudukan.
Bahwa perbuatan Pelaku tersebut telah melawan hukum formil, sebagai berikut :
‐ Undang-Undang No. 20 Tahun 2000 Ttg BPHTB
1. Pasal 24 (1) : PPAT/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan setelah wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak;
menyerahkan fotokopi pembayaran pajak dan menunjukkan aslinya.
3. Pasal 24 (3) : kepala kantor pertanahan kab./ kota hanya dapat melakukan pendaftaran hak atas tanah atau pendaftaran peralihan hak atas tanah setelah wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak.
4. Pasal 25 (1) : PPAT/ Notaris dan Kepala Kantor Lelang Negara melaporkan pembuatan akta atau risalah lelang perolehan hak atas tanah dan bangunan kepada dirjen pajak selambat-lambatnya tgl. 10 bulan berikutnya;
‐ PP No. 37 Tahun 1998 tentang PPAT , Pasal 26 (3) : PPAT wajib mengirim laporan bulanan mengenai akta yang dibuatnya, yang diambil dari buku daftar akta PPAT kepada kepala kantor pertanahan dan kantor-kantor lain sesuai ketentuan Undang-undang atau PP yang berlaku selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya.
para pihak (selaku wajib pajak) di Kantor Pertanahan Kota Semarang dengan cara menawarkan diri kepada para pihak (penjual dan pembeli) selain mengurus proses pendaftaran peralihan hak di Kantor Pertanahan Kota Semarang, juga bersedia menerima titipan uang pembayaran PPh (Final) dan BPHTB atas peralihan hak tersebut untuk dibayarkan ke Bank Persepsi, namun oleh Pelaku uang titipan pembayaran PPh (Final) dan BPHTB tersebut tidak dibayarkan dan pada saat melakukan pendaftaran peralihan hak di Kantor Pertanahan, Pelaku selaku Notaris/ PPAT menggunakan bukti setor BPHTB dan PPh (final) palsu yang didapatkannya dari sdr. Pemalsu atas permintaan Pelaku Padahal yang bersangkutan tahu dan paham mengenai aturan, larangan dalam proses peralihan hak. Sehingga menurut penyidik unsur menyalahgunakan Kewenangan, Kesempatan atau Sarana Yang ada Padanya Karena Jabatan atau Kedudukan TELAH TERPENUHI.
d. Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara
Pelaku tersebut, maka dengan mengacu pada definisi tentang kerugian negara bahwa kerugian negara terjadi karena berkurangnya aset negara baik yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum seseorang, dimana berkurangnya asset tersebut terjadi karena uang yang seharusnya tidak keluar dari kas negara tetapi ternyata keluar dari kas negara ataupun uang yang seharusnya masuk ke kas negara ternyata tidak masuk ke kas negara, maka kejadian tersebut telah mengakibatkan terjadinya kerugian negara.
3. Pasal 9 Undang-undang No. 31 tahun 1999 yang telah dirubah dengan Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Bunyi pasal:
"Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar daftar yang khusus untuk pemeriksaan admintstrasi"
Pembahasan unsur - unsur pasal:
Bahwa Pelaku adalah seorang Notaris dan PPAT di Kota Semarang;
Sebagai seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah / PPAT, sesuai pasal 1 PP No. 37 tahun 1998 tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah, menyebut bahwa PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah / hak milik atas satuan rumah susun;
Jabatan Umum adalah tugas yang diberikan kepada seseorang berdasarkan keputusan pejabat administratif didasarkan pada perundang-undangan untuk melaksanakan fungsi pelayanan. b. Dengan sengaja
PPAT Pelaku mengetahui bahwa bukti setoran pajak PPh Final / SSP & BPHTB / SSB dipalsukan dengan cara meminta bantuan Pemalsu untuk memvalidasi (cap tanda lunas dan stempel) pada blanko setoran SSP & SSB tanpa memberikan uang pembayaran pajak kepada Pemalsu;
Uang pajak senilai Rp 823.536.000,00 yang dititipkan oleh wajib pajak tidak disetorkan oleh Pelaku ke bank persepsi / ke kas Negara, namun terbit bukti pembayaran SSP dan SSB;
penegsahan FC tersebut sesuai dengan aslinya yang digunakan untuk lampiran syarat peralihan hak ke BPN sedangkan diketahui validasi, cap, stempel,tanda tangan, tanda lunas pada SSP & SSB di palsukan;
Bahwa Pelaku selaku PPAT dalam pembuatan laporan bulanan untuk bulan November 2010 dan Desember 2010 yang ditujukan ke kantor Pertanahan Kota Semarang dan kantor KPP Pratama Semarang Barat tidak mencantumkan AJB 747/2010 tanggal 25 Nopember 2010 dan AJB 764/2010 tanggal. 3 Desember 2010, karena khawatir akan dikroscek dengan data yang ada di Modul Penerimaan Negara (MPN), yang jelas tidak mencantumkan transaksi penyetoran pajak dimaksud. c. Memalsukan buku - buku atau daftar - daftar khusus untuk
pemeriksaan administrasi
PPAT Pelaku bersama-sama dengan Pemalsu (berkas sendiri) dan Karyawan Pelaku I (berkas sendiri) telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan cara membuat bukti setoran pajak SSP dan SSB yang seolah - olah telah dibayarkan di bank persepsi dengan menggunakan cap tanda lunas, cap stempel bank, nama dan tanda tangan teller, serta resi setoran palsu;
kelengkapan administrasi permohonan berkas peralihan hak atas tanah dan bangunan di BPN kota Semarang, sehingga telah terjadi 2 (dua) kali peralihan hak atas tanah dan bangunan SHM 295 Kalibanteng kulon pada bulan Nopember dan Desember 2010;
Bahwa blangko bukti pembayaran SSP dan SSB tersebut merupakan bukti transaksi penerimaan pajak yang digunakan sebagai dasar untuk pemeriksaan administrasi atas kebenaran realisasi penerimaan pajak dan merupakan kelompok penerimaan Negara yang berasal dari pajak yang wajib dibayarkan ke bank persepsi, oleh karenanya merupakan keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam perundang -undangan;
Bahwa blangko bukti pembayaran SSB dan SSP tersebut dipalsukan agar seolah-olah uang pajak tersebut telah dibayarkan ke bank persepsi dan masuk dalam Modul Penerimaan Negara (MPN);
4. Pasal 15 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Bunyi pasal:
"Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14"
Pada Pasal tersebut terdapat beberapa unsur yaitu "Setiap orang yang melakukan :
1. Percobaan; atau 2. Pembantuan; atau 3. Pemufakatan jahat.
Untuk melakukan tindak pidana korupsi
hak, meskipun dari mereka tidak semuanya melakukan seluruh anasir deliknya, masing-masing melakukan sebagian dari anasir delik pidana korupsinya, yaitu Karyawan Pelaku I bertugas membuat slip setoran Bank Persepsi untuk pembayaran pajak PPh (final) dan BPHTB berikut validasi bank persepsinya dan tanda tangan tellernya yang semuanya dipalsukan, sedangkan Pemalsu bertugas sebagai broker yang menerima pesanan dari Pelaku untuk membuat slip setoran dan validasi bank persepsi untuk bukti setorar pembayaran pajak (PPh final dan BPHTB) palsu yang kemudian menyerahkan pekerjaan pemalsuan tersebut kepada Karyawan Pelaku I.
Sementara Pelaku selaku PPAT adalah bertindak selaku yang memesan bukti setor palsu tersebul selanjutnya menggunakannya untuk proses pendafatran peralihan hak atas tanah SHM No. 295/ Kalibanteng Kulon di Kantor Pertanahan Kota Semarang.
2) Bahwa pengertian pembantuan adalah memberi bantuan sebelum pelaksanaan perbuatan itu terjadi, artinya delik pembantuan adalah tidak bagian dari anasir perbuatan pidana itu, melainkan hanya bertujuan memperlancar perbuatan pidana itu terlaksana, sehingga penyidik berkesimpulan bahwa unsur pembantuan untuk para Pelaku tidak tepat dalam perkara ini karena masing-masing para Pelaku ( Pelaku dan Pemalsu dan Karyawan Pelaku I) masing-masing telah melakukan perbuatan-perbuatan yang dipandang sebagai bagian elemen/ anasir perbuatan pidana korupsi yang dipersangkakan sebagai diuraikan diatas;
3) Kemudian pengertian pemufakatan jahat dalam ketentuan pasal 88 KUHP terjadi apabila terdapat dua orang atau lebih bermufakat untuk melakukan kejahatan. sementara "bermufakat untuk melakukan kejahatan" mengandung arti bahwa kedua orang atau lebih tersebut mempunyai kehendak, maksud dan tujuan yang sama dan sadar atau saling menginsyafi untuk melakukan suatu kejahatan yang dalam hal ini adalah kejahatn atau tindak pidana korupsi.
setor PPh (Final) dan BPHTB, masing-masing menyadari dan menginsyafi bahwa perbuatan mereka adalah mempunyai tujuan yang sama yaitu menggunakan bukti setor pajak PPh (final) dan BPHTB yang dipalsukan tersebut untuk proses peralihan hak, yang pada akhirnya adalah bertujuan untuk tidak terbayarnya uang pajak tersebut ke Kas Negara akibat tidak dibayarkannya uang pajak (BPHTB dan PPh (Final)) tersebut melalui bank persepsi oleh salah satu dari mereka yaitu Pelaku dan bukti pembayarannuya digantikan dengan bukti pembayaran yang palsu. Dan selanjutnya bukti setor BPHTB dan PPh (Final) yang palsu / fiktif tersebut oleh Pelaku dipergunakan untuk kelengkapan syarat dalam lampiran pendaftara peralihan hak di Kantor Pertanahan Kota Semarang.
BPHTB) palsu yang kemudian menyerahkan pekerjaan pemalsuan tersebut kepada Karyawan Pelaku I. Sementara Pelaku selaku PPAT adalah bertindak selaku yang memesan bukti setor palsu tersebut selanjutnya menggunakannya untuk proses pendafatran peralihan hak atas tanah SHM No. 295/ Kalibanteng Kulon di Kantor Pertanahan Kota Semarang. Dan Ketiganya masing-masing memperoleh keuntungan dan kekayaan yaitu Pelaku sebesar Rp 823.536.000,00, dikurangi Rp.30.000.000,00 atau setidak-tidaknya sebagiannya dipergunakan untuk membayar fee kepada Pemalsu dan Karyawan Pelaku I sebagai imbalan atas pelaksanaan pemalsuan tersebut. Namun ketiganya sebelum melakukan perbjjatannya masing-masing tersebut, saling mengerti dan menginsyafi bahwa perbuatan mereka tersebut adalah bertujuan untuk membuat dan menggunakan bukti setor BPHTB dan PPh (Final) palsu sebagai syarat pendaftaran peralihan hak yang tentunya berakibat tidak usah dibayarkannya hak Negara yaitu uang pembayaran PPh (final) dan BPHTB tersebut ke Bank Persepsi.