• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No 31 tahun 1999 yang telah dirubah dengan Undang-undang No 20 tahun 2001 tentang

Dalam dokumen T2 322013035 BAB III (Halaman 47-54)

C. Pemenuhan Unsur Tindak Pidana Korupsi Pada

1. Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No 31 tahun 1999 yang telah dirubah dengan Undang-undang No 20 tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Bunyi pasal

"Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00".

Pembahasan dan Analisa Yuridis Unsur-Unsur Pasal di atas, sebagai berikut :

a. Setiap orang

Terdapat adanya orang yang bernama Pelaku sebagai Notaris/PPAT yang diduga telah melakukan tindak pidana korupsi dengan cara memalsukan bukti setor dan validasi bank persepsi pembayaran pajak BPHTB / SSB dan PPh Final / SSP pada proses peralihan hak atas tanah dan bangunan SHM 295 / Kalibanteng Kulon, Kota Semarang tahun 2010 yang menyebabkan tidak terbayarnya pajak PPh Final / SSP dan BPHTB / SSB ke Kas Negara sementara Negara telah berprestasi menyelesaikan proses peralihan (proses balik nama Sertifkan Hak Milik telah selesai menjadi atas nama pembeli) sehingga mengakibatkan kerugian Negara ± Rp 823.536.000,00 (delapan ratus dua puluh tiga juta lima ratus tiga puluh enam ribu rupiah).

b. Unsur melawan hukum :

Unsur melawan hukum dalam hukum pidana terdapat ajaran

tentang “sifat melawan hukum” (SMH) terdiri dari SMH formil dan

SMH materil. SMH formil, hukum adalah hukum tertulis yaitu peraturan perundang-undangan (wet). Terpenuhinya sifat melawan hukum apabila pelaku melanggar atu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan (onwetmatigedaad). SMH materil, hukum tidak hanya hukum tertulis tetapi juga hukum yang tidak tertulis (unwritten

law) hukum adalah recht. Terpenuhinya sifat melawan hukum apabila pelaku melanggar atau bertentangan dengan hukum (onrechtmatigedaad).

SMH materil terdiri dari SMH materil dalam fungsinya yang positif dan SMH materil dalam fungsinya yang negatif. SMH materil dalam fungsinya yang negatif sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU 31/1999 jo UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi (UUTPK)

“Yang dimaksud dengan secara melawan hukum

dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang- undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma- norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan

tersebut dapat dipidana”.

Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUTPK ini telah dicabut dengan putusan Mahkamah Konstitusi No. 3 Tahun 2006, sehingga UUTPK tidak menganut ajaran sifat melawan hukum materil dalam fungsinya yang positif. Oleh karena itu, terpenuhinya unsur melawan hukum apabila perbuatan pelaku melanggar atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Sifat melawan hukum materil dalam fungsinya yang negatif terdapat dalam yurisprudensi, yaitu putusan MA No. 42/KR/1965 yang pada intinya menyatakan bahwa suatu perbuatan yang memenuhi

unsur-unsur tindak pidana korupsi, dapat hilang sifat melawan hukumnya, sehingga pelaku tidak dapat dipidana apabila:

1. Negara tidak dirugikan; 2. Terdakwa tidak dapat untung; 3. Kepentingan umum dilayani.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur melawan hukum terpenuhi apabila perbuatan pelaku bertentangan atau melanggar peraturan perundang-undangan (onwetmatigedaad). Unsur melawan hukum tidak terpenuhi apabila:

1. Negara tidak dirugikan; 2. Terdakwa tidak dapat untung; 3. Kepentingan umum dilayani.

Berdasarkan kasus tindak pidana korupsi yang didakwakan dalam penggelapan pajak yang ada, bahwa perbuatan Pelaku tersebut telah melawan hukum formil, sebagai berikut :

1) Undang-undang No. 20 Tahun 2000 tentang BPHTB

a) Pasal 24 (1) : PPAT/Notaris hanya dapat menandatangani Akta Pemindahan Hak atas tanah dan atau Bangunan setelah wajib pajak menyerahkan Bukti Pembayaran Pajak;

Penjelasan Pasal 24 (1) tersebut menyebutkan bahwa penyerahan bukti pembayaran pajak dilakukan dengan menyerahkan fotokopi pembayaran pajak dan menunjukkan aslinya.

b) Pasal 24 (3) : Kepala Kantor Pertanahan Kab./ Kota hanya dapat melakukan pendaftaran hak atas tanah atau pendaftaran peralihan hak atas tanah setelah wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak.

Pasal 25 (1) : PPAT/ Notaris dan Kepala Kantor Lelang Negara melaporkan pembuatan akta atau risalah lelang perolehan hak atas tanah dan bangunan kepada Dirjen Pajak selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya;

1) PP No. 37 tahun 1998 tentang PPAT, Pasal 26 (3) : PPAT Wajib mengirim laporan bulanan mengenai akta yang dibuatnya, yang diambil dari buku daftar akta PPAT kepada Kepala Kantor Pertanahan dan kantor-kantor lain sesuai ketentuan Undang – undang atau PP yang berlaku selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya.

2) Bahwa dalam penjelasan pasal 2 Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, yang dimaksud dengan unsur melawan hukum adalah mencakup

perbuatan melawan hukum dalam arti formil, maka perbuatan Pelaku . Pelaku yang menggunakan bukti setor (termasuk validasi bank persepsinya) palsu untuk dipergunakan sebagai syarat dalam pendaftaran proses peralihan hak SHM 295 di kantor pertanahan kota Semarang, sementara Pelaku mengetahui dan sadar bahwa bukti setor BPHTB dan validasinya tersebut palsu adalah telah memenuhi unsur/ delik formil.

c. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi

Pelaku dengan sengaja tidak membayarkan uang setoran pajak yang dititipkan oleh wajib pajak kepadanya sebesar Rp. 823.536.000.,00 dan menggunakan bukti setoran pajak palsu untuk pendaftaran proses peralihan hak atas tanah SHM No. 295/Kalibanteng Kulon, Kota Semarang di Kantor Pertanahan Kota Semarang adalah merupakan perbuatan memperkaya diri sendiri, karena dengan tidak disetorkannya uang tersebut untuk pembayaran pajak, maka kekayaannnya bertambah Rp 823.536.000,00 yang kemudian sebagian diserahkan kepada Pemalsu sebesar Rp. 30.000.000 dan Karyawan Pelaku I sebagai fee atas jasa mereka membuatkan bukti setor pajak dan validasi palsu, adalah merupakan perbuatan memperkaya orang lain,

karena pada akhirnya kekayaan Pelaku dan Karyawan Pelaku I bertambah sebesar bagian yang mereka terima;

Karena besarnya pajak yang dibayarkan tidak sesuai dengan

ketentuan, dimana perbuatan ini telah “memperkaya suatu diri sendiri”

Akibat diterimanya permohonan keberatan pajak dari wajib pajak, Pelaku tersebut menerima keuntungan dalam hal ini jelas telah merugikan Negara.

d. Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara

Bahwa dengan terjadinya transaksi jual beli yang menimbulkan kewajiban pajak bagi para pihak selaku wajib pajak tersebut, kemudian tidak disetorkannya uang pembayaran pajak PPh (final) dan BPHTB yang sudah dititipkan oleh wajib pajak kepada Notaris ke Kas Negara tetapi digunakan untuk kepentingan pribadi Notaris/PPAT Pelaku tersebut, maka dengan mengacu pada definisi tentang kerugian negara bahwa kerugian negara terjadi karena berkurangnya aset negara baik yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum seseorang, dimana berkurangnya asset tersebut terjadi karena uang yang seharusnya tidak keluar dari kas negara tetapi ternyata keluar dari kas negara ataupun uang yang seharusnya masuk ke kas negara ternyata tidak dimasukan ke kas Negara, maka

kejadian tersebut setidak tidaknya dapat mengakibatkan terjadinya kerugian keuangan negara.

Dengan demikian akibat perbuatan Pelaku . Pelaku bersama- sama Pemalsu dan Karyawan Pelaku I dengan melakukan pemalsuan bukti setor Pajak dan validasinya dan tidak menyetorkan uang titipan pembayaran pajak dari wajib pajak sebesar Rp 823.536.000,00 tersebut ke kas Negara, maka berakibat Negara dirugikan sebesar Rp.823.536.000,00.

Dari hasil uraian analisa pembuktian yuridis tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terhadap Pelaku telah cukup bukti melakukan perbuatan pidana yang memenuhi unsur/ delik Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

2. Pasal 3 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 yang telah

Dalam dokumen T2 322013035 BAB III (Halaman 47-54)

Dokumen terkait