• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "BAB III"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

Perbuatan dalam Pasal 98 ayat (2) dan (3) UUPPLH dapat disebut perbuatan yang dikualifikasikan sebagai akibat apabila perbuatan yang diatur dalam Pasal 98 ayat (1) UUPPLH tersebut mengakibatkan luka-luka dan/atau membahayakan kesehatan serta mengakibatkan kerugian yang berat. . atau kematian. Ketentuan dalam Pasal 99 UUPPLH secara umum sama dengan unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 98 UUPPLH. Ketentuan dalam Pasal 101 UUPPLH menghukum pelaku yang melanggar kewajiban yang diatur dalam undang-undang, dalam hal ini kewajiban/izin yang berkaitan dengan pelepasan dan/atau peredaran produk rekayasa genetika di media lingkungan.

Proses pembuangan limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup memiliki tata cara yang diatur secara khusus dalam Pasal 60. Pasal 104 UUPPLH mengatur tentang pemidanaan bagi pelanggar yang melanggar mekanisme yang diatur dalam Pasal 60 UUPPLH. Dalam pasal ini harus dibuktikan bahwa pelaku telah membuang limbah dan/atau bahan di media lingkungan hidup dan pelaku tidak memiliki izin sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 105 UUPPLH merupakan mekanisme pidana yang digunakan untuk mengefektifkan larangan ini melalui pemidanaan terhadap pelaku yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf c. Yang harus dibuktikan dalam artikel ini adalah penulis telah mengimpor ke dalam negeri limbah yang tergolong limbah kategori B3. Pasal 112 UUPPLH mengatur tentang sanksi pidana bagi pejabat yang berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan sebagaimana disyaratkan dalam pasal 71 dan pasal 72 UUPPLH.

Selain itu, juga harus dibuktikan bahwa pejabat tersebut tidak dengan sengaja memantau kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan dari Pasal 71 dan 72 oleh penyelenggara kegiatan atau kegiatan.

PertanggungJawaban Pidana Dalam Konteks Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009

Penuntutan dan persidangan kejahatan ekonomi, meskipun undang-undang tersebut merupakan adaptasi dari Wet Economische Delicten tahun 1950 dari Belanda. Dengan semakin terbukanya komunikasi dan hubungan antar negara yang ada, dan sejalan dengan itu, semakin banyak aturan dari berbagai negara bahwa perusahaan tunduk pada hukum pidana, dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, dan pembebanan pertanggungjawaban pidana tidak hanya terbatas . terhadap hukum pidana khusus, Indonesia juga berpendapat bahwa ketentuan tentang pertanggungjawaban pidana harus diatur dalam hukum pidana, yang kemudian dituangkan dalam rancangan undang-undang pidana. Mengenai kedudukan pembuat dan sifat pertanggungjawaban pidana perseroan, terdapat model pertanggungjawaban pidana sebagai berikut:3a.

Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan oleh orang yang ditunjuk sebagai pengurus badan hukum tersebut. Dalam hukum pidana Indonesia, sistem pertanggungjawaban pidana korporasi yang dianut didasarkan pada prinsip strict liability dan prinsip vicarious liability. Asas strict liability dalam corporate liability tidak perlu dibuktikan adanya unsur kesalahan dari pihak korporasi, dan prinsip vicarious liability menyatakan bahwa korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan orang lain dalam rangka perbuatan melawan hukum. aktivitas bisnis mereka. .

Hal ini terlihat dari klausul “kejahatan lingkungan dilakukan oleh, untuk atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap badan hukum…”. Dengan demikian dengan menetapkan bahwa badan usaha (perusahaan) dapat dipidana atas tindak pidana lingkungan yang dilakukan oleh, untuk dan/atau atas nama badan usaha. Prinsip tanggung jawab perwakilan terkandung dalam Pasal 116 ayat atau berdasarkan keadaan lain yang bertindak dalam lingkungan kerja badan usaha tersebut, sanksi pidana dijatuhkan kepada orang yang memberi perintah atau pimpinan tindak pidana.

Asas strict liability dan asas vicarious liability merupakan asas yang hanya digunakan untuk menetapkan bahwa suatu perseroan juga dapat dikenakan sanksi pidana apabila perseroan tersebut melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Maka dalam membahas asas strict liability dan asas vicarious liability ini hanya sebatas dapat atau tidaknya korporasi dikenakan sanksi pidana. Mengenai pertanyaan yang kemudian timbul mengenai beban pidananya, seperti apakah kemudian pengurus tidak dapat dikenakan sanksi pidana, sekalipun pengurusnya adalah orangnya.

Pertanggungjawaban pidana lingkungan didasarkan pada adanya unsur kesalahan dari pelaku, karena perumusan isi delik lingkungan hidup selalu menyangkut kesengajaan atau kelalaian/kelalaian, maka dalam hal ini asas “tiada pidana tanpa pemidanaan”. . kesalahan" (genstrafzondesculd) berlaku, yang berarti bahwa seseorang tidak dapat dihukum tanpa dihukum. bukti kesalahan dari pelaku. Dengan unsur kesengajaan atau kelalaian, dapat dikatakan bahwa tanggung jawab pidana lingkungan memenuhi asas Berdasarkan asas kesalahan, dalam pertanggungjawaban pidana lingkungan seakan-akan pertanggungjawaban mutlak (strict liability atau absolute liability) tidak mungkin, padahal diyakini bahwa strict liability tidak selalu berarti sama dengan absolute liability.

Penegakan Hukum Pidana Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam

Berdasarkan uraian di atas, untuk mencapai tujuan hukum pidana yang termasuk dalam hukum lingkungan, maka dalam penegakan hukum lingkungan dapat diartikan bahwa hukum pidana berperan sebagai upaya hukum terakhir. Karena itu hukum pidana merupakan senjata pamungkas bagi penegak hukum untuk menegakkan hukum lingkungan. Pasal 100 UUPPLH secara jelas menunjukkan peran hukum pidana sebagai upaya terakhir dalam penegakan hukum lingkungan.

Dari penjelasan mengenai peranan hukum pidana di atas, terlihat bahwa kedudukan hukum pidana sangat krusial (penting) karena ketika penegakan hukum pidana dalam penegakan hukum lingkungan tidak efektif atau gagal menangani suatu kejahatan lingkungan, kejahatan tersebut akan melanjutkan. dan memperbanyak atau meningkatkan. Friedman menyatakan bahwa berhasil tidaknya penegakan hukum tergantung pada: Substansi hukum, struktur atau pranata hukum, dan budaya hukum.8 Oleh karena itu, dalam pembahasan faktor penghambat penegakan hukum, akan digunakan tiga komponen sistem hukum menurut kepada Lawrence M. Demikian pula dalam kaitannya dengan penegakan hukum pidana, terdapat kelemahan dalam kaitannya dengan infrastruktur penegakan hukum, yang tentunya berimbas pada sulitnya pembuktian.

10 Fitri, “Faktor-faktor penghambat implementasi hukum lingkungan di Indonesia”, di http://fitrianp.wordpress.com factor-penghambat-penegakan- HukumEnvironmental-di-indonesia/, diakses pada tanggal 05 April 2021 pukul 17.35 WIB . 12 Anonim, “Peran Bapedalda dalam Implementasi Hukum Lingkungan di Kabupaten Maro”, di http://www.artikelbagus.com/2011/04/peranan-bapedalda-dalampenegakan-Hukum.html, diakses 05 April 2021. Apalagi terkait dengan budaya penegakan hukum pidana lingkungan, budaya hukum masih buruk.

Akibatnya, peran masyarakat dalam penegakan hukum lingkungan semakin kecil, baik pengawasan atau pelaporan kejahatan lingkungan maupun pengawasan dan pengendalian kebijakan pemerintah terkait lingkungan. Penegakan hukum pidana dalam pengelolaan sumber daya alam tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan undang-undang dan peraturan lainnya. Selain regulasi yang diamanatkan pemerintah dan penegakan hukum yang kuat, bekerja sama dengan masyarakat untuk memantau dan melaporkan pelanggaran yang terjadi merupakan aspek penting dalam mewujudkan transformasi penegakan hukum di sektor sumber daya alam.

Secara makro, kondisi penegakan hukum di bidang lingkungan hidup saat ini belum sesuai dengan harapan masyarakat. Adanya penyimpangan dalam pengelolaan sumber daya alam, serta lemahnya regulasi dan implementasi peraturan perundang-undangan oleh aparat penegak hukum di tingkat daerah dan nasional, menambah sulitnya mewujudkan pengelolaan hutan dan lahan yang berkeadilan dan lestari, sehingga diperlukan upaya konkrit. oleh pemerintah untuk. Selain regulasi pemerintah dan penegakan hukum yang kuat, bekerja sama dengan masyarakat sipil untuk memantau dan melaporkan pelanggaran di wilayahnya menjadi aspek penting dalam mewujudkan transformasi penegakan hukum di sektor sumber daya alam.

Penegakan hukum lingkungan di Indonesia menghadapi tantangan yang signifikan, terutama terkait dengan kebijakan pemerintah tentang pengelolaan sumber daya alam. Untuk itu perlu dipertahankan peraturan perundang-undangan lingkungan hidup yang komprehensif, mencakup semua aspek dan unsur-unsur yang menyebabkan terjadinya pelanggaran asas-asas hukum alam dan lingkungan.

Referensi

Dokumen terkait

Marcella Elwina S, S.H., CN., M.Hum., (Dosen Hukum Pidana Universitas Katolik Soegijapranata Semarang) menjelaskan bahwa pada kasus penghinaan dan pencemaran nama baik

1) Dalam penelitian tersebut difokuskan pada proses pembuktian tindak pidana pencemaran nama baik melalui media elekronik, pada penulisan hukum ini difokuskan pada

Penentuan ajaran bahwa korporasi dapat dijadikan pelaku atas suatu tindak pidana lingkungan hidup terdapat dalam Pasal 116 ayat (1) UUPPLH 2009, disebutkan bahwa, “Apabila

keterangan di media sosial sebagai alat bukti dalam pembuktian tindak pidana. pencemaran nama baik berdasarkan Undang-Undang Nomor 11

Berdasarkan Pasal 55 KUHP apabila terdapat delik pers seperti pencemaran nama baik, maka pembawa berita dikualifikasikan termasuk sebagai medepleger , hal ini diuraikan

Karena itu kebenaran materiil dalam kasus tindak pidana tidak akan dapat tercapai apabila saksi pelapor, saksi pelaku maupun korban tidak dapat memberikan

Selain itu sebelum isu ekspansi sawit merupakan salah satu isu yang mendorong terjadinya deforestasi dan menjadi perhatian setelah terjadinya kebakaran hutan pada tahun 1997-

Perbuatan kolektor yang dapat dikategorikan tindak pidana (jika telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ada dalam KUHP), seperti diantaranya jika penagih