• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. tegas dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. tegas dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara hukum. Hal ini telah dinyatakan dengan tegas dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”, tidak hanya berdasar atas kekuasaan belaka. Dalam negara hukum, hukum merupakan tiang utama dalam menggerakkan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Salah satu ciri utama dari suatu negara hukum terletak pada kecenderungan untuk menilai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap dasar peraturan-peraturan hukum. Sebuah negara dengan konsep negara hukum selalu mengatur setiap tindakan dan tingkah laku masyarakatnya berdasarkan atas undang-undang yang berlaku untuk

menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian hidup

bermasyarakat agar sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 bahwa setiap warga negara berhak atas rasa aman dan bebas dari segala bentuk kejahatan.

Kasus kriminalitas di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat, tak bisa dipungkiri bahwa jumlah tindak pidana yang terjadi di masyarakat masih menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah Indonesia, terutama pihak Kepolisian Republik Indonesia. Selayaknya pepatah Mati Satu Tumbuh Seribu, kejahatan yang terjadi di masyarakat tidak pernah ada habisnya.

(2)

Berdasarkan Badan Pusat Statistik Kriminal 2016, kejahatan diklasifikasikan dalam beberapa jenis, pengklasifikasian ini secara umum sejalan dengan yang tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Republik Indonesia yaitu Kejahatan terhadap Nyawa; Kejahatan terhadap Fisik/Badan; Kejahatan terhadap Kesusilaan; Kejahatan terhadap Kemerdekaan Orang; Kejahatan terhadap Hak Milik/Barang dengan Penggunaan Kekerasan; Kejahatan terhadap Hak Milik/Barang; Kejahatan terkait Narkotika; Kejahatan terkait Penipuan, Penggelapan, dan Korupsi;

Kejahatan terhadap Ketertiban Umum.1

Jenis kejahatan yang termasuk dalam klasifikasi terhadap fisik/badan ialah penganiayaan berat, penganiayaan ringan, dan kekerasan dalam rumah tangga. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kriminal, pada tahun 2011-2015 jumlah kejadian kejahatan terhadap fisik/badan di Indonesia cenderung meningkat. Pada tahun 2013 terjadi 44.990 kasus, pada tahun 2014 meningkat menjadi 46.366 kasus, dan pada tahun 2015 meningkat lagi menjadi 47.128 kasus. Berdasarkan data Kepolisian Republik Indonesia yang diambil dari Badan Statistik Kriminal 2016, pada tahun 2015 jumlah kejahatan yang diselesaikan adalah 205.170 dari 352.936 total keseluruhan jumlah kejahatan yang terjadi.

Angka kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Indonesia terus meningkat. Komisi Nasional Perempuan mencatat di tingkat nasional jumlah korban kekerasan terhadap perempuan terutama kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) pada akhir tahun 2015 tercatat lebih dari 305.535 kasus

1Badan Pusat Statistik, Statistik Kriminal 2016, diakses dari

https://www.bps.go.id/website/pdf_publikasi/Statistik-Kriminal-2016.pdf , pada tanggal 17 Maret 2017 pukul 13.00 WIB.

(3)

kekerasan terhadap perempuan dan sebanyak 69 persen dikarenakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Bentuk kekerasan tertinggi adalah fisik lalu kekerasan seksual dalam rumah tangga.

Tahun 2015 Komnas Perempuan mengirimkan 780 lembar formulir kepada lembaga mitra Komnas Perempuan di seluruh Indonesia, sementara tahun 2014 sebanyak 664 formulir, dengan tingkat respon pengembalian mencapai 30% yaitu 232 formulir. Jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan sebesar 321.752 sebagaian besar bersumber dari data kasus atau perkara yang ditangani oleh Pengadilan Agama. Data yang dihimpun berasal dari sumber yakni (1) Pengadilan Agama atau Badan Peradilan Agama (PA-BADILAG) sejumlah 305.535 kasus, (2) Lembaga layanan mitra Komnas Perempuan sejumlah 16.217 kasus, (3) Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR), satu unit yang sengaja dibentuk oleh Komnas Perempuan, dan (4) divisi pemantauan yang mengelola pengaduan yang masuk lewat surat dan surat elektronik. Berdasarkan data-data yang terkumpul tersebut jenis kekerasan terhadap perempuan yang paling menonjol sama seperti tahun sebelumnya

adalah KDRT/RP (Relasi Personal)2 yang mencapai angka 11.207 kasus

(69%). Pada ranah KDRT/RP, kekerasan yag paling menonjol adalah kekerasan fisik sebanyak 4.304 kasus (38%), disusul kekerasan seksual sebanyak 3.325 kasus (30%), kekerasan psikis sebanyak 2.607 kasus (23%),

dan ekonomi sebanyak 971 kasus (9%).3

2 Kekerasan pada ranah RP (Relasi Personal) antara lain kekerasan dalam pacaran, kekerasan oleh mantan suami, kekerasan oleh mantan pacar.

3 Komnas Perempuan, “Kekerasan terhadap Perempuan Meluas: Negara Urgen Hadir Hentikan Kekerasan terhadap Perempuan di Ranah Domestik, Komunitas, dan Negara”, diakses dari

(4)

https://www.komnasperempuan.go.id/wp-content/uploads/2016/03/KOMNAS-PEREMPUAN-_-Kekerasan dalam rumah tangga adalah kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga, terutama lingkup keluarga. Kekerasan dalam rumah tangga merupakan kekerasan yang dilakukan oleh suami ke istri, istri ke suami, ayah ke anak, ibu ke anak, dan orang-orang yang berada dalam satu lingkup rumah tangga tersebut. Kekerasan dalam rumah tangga terjadi karena kurangnya pengendalian dari dalam diri pelakunya. Kesalahpahaman dan kurangnya komunikasi juga menjadi pemicu timbulnya kekerasan terjadi dalam lingkup rumah tangga. Keluarga adalah kelompok masyarakat terkecil yang memiliki peran dan pengaruh besar dalam perkembangan sosial serta kepribadian setiap anggotanya. Pada umumnya, keluarga memiliki organisasi sendiri dan kepala keluarga untuk memimpin serta menjalankan kehidupan bersama. Keluarga sebagai lambang tempat yang aman, yang dapat menentramkan jiwa, sebagai tempat latihan yang cocok untuk menyesuaikan diri, sebagai benteng yang kuat dalam membina rumah tangga dan merupakan arena yang nyaman bagi orang yang menginginkan hidup bahagia. Saling menghargai dan saling menghormati merupakan kunci utama untuk menghindari terjadi kekerasan dalam rumah tangga.

Keluarga yang rukun, aman, dan tenteram adalah dambaan dari setiap orang yang membangun rumah tangga. Dalam mewujudkan itu semua diperlukan kualitas perilaku dan pengendalian diri dari setiap orang dalam lingkup rumah tangga, saling toleransi dan menghargai antara satu dengan yang lainnya. Kegagalan dalam menjaga kualitas perilaku serta pengendalian diri inilah yang menimbulkan ketidakharmonisan dalam lingkup rumah

CATATAN-TAHUNAN-2016edisi-Launching-7-Maret-2016.pdf , pada tanggal 11 Juli 2017 pukul 16.40 WIB.

(5)

tangga. Hal tersebut dapat memicu tindakan kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga sering disebut pula dengan Hidden Crime yang dimana tindakan kejahatan yang dilakukan tidak terlihat secara langsung oleh masyarakat luas. Hal ini disebabkan banyak diantara korbannya malu untuk melaporkan dan/atau mengungkap tindakan kejahatan ini karena dianggap sebagai aib keluarga. Kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat manusia serta bentuk diskriminasi yang harus dihapuskan.

Kekerasan dalam rumah tangga bisa berupa kekerasan secara verbal maupun fisik. Kekerasan verbal bisa jadi memiliki pengaruh yang relatif permanen karena yang disakiti adalah sisi dalam dari wanita yang selama ini dikatakan memiliki kelemahan secara emosional. Di satu sisi, kekerasan yang bersifat fisik selain menyebabkan penderitaan secara fisik juga meninggalkan luka hati yang mendalam. Seorang pelaku tindak pidana sudah seharusnya diadili menurut hukum yang berlaku, seperti yang kita ketahui di Indonesia terdapat pranata-pranata hukum yang bertanggung jawab atas penegakan hukum di Indonesia.

Menurut Yohanna, Koordinator Perubahan Hukum LBH Apik, di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga mengatakan bahwa keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya, namun seringkali aparat penegak hukum berpendapat bahwa satu saksi dan satu alat bukti

(6)

lainnya masih kurang.4 Dianggap masih kurang karena biasanya alat bukti yang diajukan oleh korban tersebut, kurang bisa menjelaskan mengenai perbuatan pelaku atau mengenai tindak pidana kekerasan yang terjadi. Kasus kekerasan dalam rumah tangga umumnya merupakan kasus tertutup, minimnya alat bukti yang dapat diajukan oleh korban menyulitkan aparat penegak hukum dalam proses pembuktian tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga.

Silvia Desti, jaksa fungsional pada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat mengakui masalah alat bukti memang menjadi kendala dalam penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga. Silvia mengatakan untuk membuktikan kekerasan fisik harus ada visum namun seringkali hasil visum hanya menunjukkan kekerasan yang terakhir dilakukan, “yang kelihatan lecet, padahal korban dipukulinya tiga bulan berturut-turut.” Silvia menambahkan supaya ke depannya rekaman dapat digunakan sebagai alat bukti. Alat bukti rekaman dapat digunakan dalam kasus korban meninggal dunia, sehingga

korban tidak bisa memberi kesaksian.5

Seiring perkembangan zaman yang semakin canggih, penggunaan teknologi dalam kehidupan sehari-hari bukan hal yang tabu lagi. Selain untuk mempermudah pekerjaan, teknologi juga berfungsi sebagai alat penolong untuk menghindarkan dari hal-hal yang tidak diinginkan. Sekarang ini sudah banyak rumah atau tempat-tempat yang mempergunakan barang-barang

4Hukumonline, “Pembuktian Masih Menjadi Momok Penanganan Kasus KDRT”, diakses dari

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b459ec464a39/kdrt , pada tanggal 17 Maret 2017 pukul 13.37 WIB.

5Hukumonline, “Pembuktian Masih Menjadi Momok Penanganan Kasus KDRT”, diakses dari

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b459ec464a39/kdrt , pada tanggal 11 Juli 2017 pukul 17.42 WIB.

(7)

elektronik seperti cctv untuk memantau dan menjaga keamanan rumah atau tempat-tempat yang dikehendaki. Bukti elektronik ini juga dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam proses pembuktian suatu tindak pidana. Bukti elektronik ini dapat diajukan untuk menguatkan alat bukti lain dalam proses pembuktian di persidangan, yang dapat digunakan untuk membuat terang suatu tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa. Tak jarang bukti elektronik menjadi salah satu bukti yang menguatkan atas kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh pelaku. Masalah alat bukti memang menjadi kendala dalam penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga ini. Terlebih pengaturan mengenai bukti elektronik tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.Tak sedikit pula masyarakat yang kurang memahami mengenai penyampaian alat bukti dalam kasus pidana, khususnya alat bukti elektronik dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga.Kondisi inilah yang membuat penulis tertarik untuk menguraikan mengenai alat bukti elektronik dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga. B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, maka rumusan masalah yang dapat disusun sebagai berikut :

1. Bagaimanakah kedudukan alat bukti elektronik jika dikaitkan dengan Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ?

2. Bagaimanakah kekuatan pembuktian elektronik dalam perkara tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) ?

(8)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah disusun di atas, maka tujuan penulisan hukum ini ialah sebagai berikut :

1. Tujuan Objektif

a. Untuk menganalisis kedudukan alat bukti elektronik jika dikaitkan dengan Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

b. Untuk menganalisis kekuatan pembuktian elektronik dalam perkara tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

2. Tujuan Subjektif

Untuk memperoleh data-data yang diperlukan dalam penulisan hukum sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

D. Keaslian Penelitian

Untuk melihat keaslian penelitian telah dilakukan penelusuran penelitian pada berbagai referensi. Penelitian yang berkaitan dengan data atau dokumen elektronik khususnya mengenai “Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Elektronik dalam Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)”, sejauh ini ada beberapa penelitian yang memiliki keterkaitan dengan penelitian penulis ini yakni:

1. Tiar Panahatan Sidabutar, Pembuktian Dalam Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik Melalui Media Elektronik, 2016, Fakultas Hukum Universitas

Gadjah Mada dengan rumusan masalah sebagai berikut:6

6Tiar Panahatan Sidabutar, 2016, Pembuktian Dalam Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik Melalui Media Elektronik, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

(9)

a. Bagaimanakah proses pembuktian terhadap tindak pidana pencemaran nama baik melalui media elektronik ?

b. Bagaimanakah proses pemeriksaan digital forensic terhadap alat bukti elektronik dalam putusan No. 382/Pid.Sus/2014/PN. Yyk atas nama Terdakwa Florence Saulina Sihombing ?

Dari rumusan masalah dalam penelitian tersebut dapat ditarik perbedaan sebagai berikut:

1) Dalam penelitian tersebut difokuskan pada proses pembuktian tindak pidana pencemaran nama baik melalui media elekronik, pada penulisan hukum ini difokuskan pada kekuatan pembuktian elektronik dalam perkara tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

2) Dalam rumusan masalah kedua penelitian tersebut difokuskan pada penjelasan pemeriksaan digital foensic terhadap alat bukti elektronik dalam putusan No. 382/Pid.Sus/2014/PN. Yyk atas nama Terdakwa Florence Saulina Sihombing, pada penulisan hukum ini difokuskan pada kedudukan alat bukti elektronik yang dikaitkan dengan Pasal 184 Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. 2. Daniel Pradipta Firdaus, Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Elektronik Yang Diperoleh Berdasarkan Hasil Rekaman Penyadapan Dalam Tindak Pidana Korupsi Studi Putusan 11/Pid.B/TPK/2008/PN.Jkt.Pst, 2012, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dengan rumusan masalah

sebagai berikut:7

7Daniel Pradipta Firdaus, 2012, Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Elektronik Yang Diperoleh Berdasarkan Hasil Rekaman Penyadapan Dalam Tindak Pidana Korupsi Studi Pustaka 11/Pid.B/TPK/2008/PN.Jkt.Pst., Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

(10)

a. Bagaimana kekuatan pembuktian elektronik yang berupa hasil rekaman penyadapan dalam perkara tindak pidana korupsi ?

b. Bagaimana kedudukan alat bukti elektronik hasil rekaman penyadapan sehubungan dengan putusan nomor 11/Pid.B/TPK/2008/PN.Jkt.Pst ? Dari rumusan masalah dalam penelitian tersebut dapat ditarik perbedaan sebagai berikut:

1) Dalam penelitian tersebut difokuskan pada kekuatan pembuktian elektronik yang berupa hasil rekaman penyadapan dalam perkara tindak pidana korupsi, sedangkan pada penulisan hukum ini difokuskan pada kekuatan pembuktian elektronik dalam perkara tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

2) Dalam rumusan masalah kedua penelitian tersebut difokuskan pada penjelasan kedudukan alat bukti elektronik hasil rekaman penyadapan sehubungan dengan putusan nomor 11/Pid.B/TPK/2008/PN.Jkt.Pst, sedangkan pada penulisan hukum ini difokuskan pada kedudukan alat bukti elektronik yang dikaitkan dengan Pasal 184 Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

E. Manfaat Penelitian

Penulisaan hukum ini diharapkan memberi manfaat sebagai berikut : 1. Manfaat Akademis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada perkembangan ilmu hukum.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat melengkapi penelitian sebelumnya dan menjadi referensi bagi peneliti selanjutnya yang

(11)

memiliki keterkaitan topik, yaitu mengenai kekuatan pembuktian alat bukti elektronik dalam perkara tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para pencari keadilan yang terkait pembuktian dengan menggunakan alat bukti elektronik dalam perkara tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi masyarakat luas mengenai pembuktian dengan menggunakan alat bukti elektronik dalam perkara tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

F. Sistematika Penulisan Hukum

Untuk memperoleh gambaran secara jelas mengenai keseluruhan penulisan hukum ini, maka Penulis akan membagi penuisan ini menjadi 5 (lima) bab sebagaimana tercantum di dalam sistematika di bawah ini:

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini berisi latar belakang masalah, rumusan masalahn, tujuan penelitian, keaslian penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini berisi pembahasan mengenai pengertian tindak pidana, unsur tindak pidana, jenis pidana dan pemidanaan dalam KUHP, tujuan pemidanaan, pengertian tentang kekerasan dalam rumah tangga, bentuk tindak

(12)

pidana kekerasan dalam rumah tangga dan ketentuan pidananya, pengertian pembuktian, sistem pembuktian, alat bukti, dan alat bukti elektronik.

BAB III : METODE PENELITIAN

Pada bab ini, penulis menguraikan mengenai jenis penelitian, sifat penelitian, jenis data penelitian, lokasi penelitian, responden/narasumber penelitian, cara pengumpulan data penelitian, alat pengumpul data penelitian, jalannya penelitian dan analisis hasil penelitian.

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini, penulis menjabarkan dari data-data yang telah diperoleh dari hasil penelitian kemudian dianalisa berdasarkan permasalahan yang dirumuskan dalam penulisan hukum ini.

BAB V : PENUTUP

Pada bab ini, penulis menguraikan kesimpulan dari hasil penelitian dan pembahasan dari penulisan hukum ini. Bab ini juga penulis mengemukakan saran yang bisa penulis sampaikan terkait penelitian yang sudah dilakukan oleh penulis.

Referensi

Dokumen terkait

 Apabila selama masa kontrak performance layanan dari provider sebanyak 3 kali tidak sesuai dengan spesifikasi teknis seperti tertulis di ToR, ICON+ berhak memutus

1) Perilaku verbal adalah saluran tunggal, perilaku nonverbal bersifat multisaluran. Kata-kata datang dari satu sumber, tetapi isyarat nonverbal dapat

Memahami Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa serta Peraturan Pemerintah nomor 8 tahun 2016 Tentang Dana Desa Yang Bersumber Dari APBN serta merujuk

Adapun yang menjadi sasaran pengabdian masyarakat ini adalah para jamaah dan takmir masjid Muhammadiyah di Malang, sebab selama ini para pengurus Muhammadiyah tersebut

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa scalding dalam lilin panas pada pencabutan bulu itik tidak berpengaruh terhadap nilai susut masak dan sobek kulit namun

Dalam dunia hukum, istilah main hakim sendiri dikenal dengan istilah Eigenrichting yang berarti melakukan tindakan kepada orang lain dengan maksud menghukum orang tersebut

Ketersediaan bank sangat mendorong laju pertumbuhan ekonomi di segala bidang, khususnya dalam penyediaan modal dan lalu lintas uang antar daerah, kepentingan lalu lintas uang

Penelitian ini di latar belakangi dari kenyataan hasil belajar di lapangan yang tidak sesuai dengan harapan, yakni masih banyak siswa yang mendapatkan nilai di