• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

7 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Semiotika

Semiotika merupakan ilmu yang mempelajari tentang tanda. Tanda-tanda tersebut menyampaikan sebuah informasi sehingga bersifat komunikatif. Keberadaannya dapat menggantikan sesuatu yang lain, dapat dipikirkan, atau dibayangkan. Semiotika sendiri berasal dari kata Yunani, Semeion, yang artinya tanda. Terdapat kenderungan bahwa manusia selalu mencari arti atau berusaha memahami segala sesuatu yang ada di sekelilingnya dan menganggapnya sebagai tanda. Pemaknaan terhadap dunia tanda pada tingkat terendah adalah pemaknaan secara lugas, yakni mengintepretasikan berdasarkan asal makna tanda tersebut (Sobur, 2009: 15).

Bidang kajian semiotik atau semiologi mempelajari fungsi tanda pada teks, yaitu bagaimana memahami sistem tanda yang ada dalam teks yang berperan membimbing pembacanya agar mampu menangkap pesan yang terdapat di dalamnya. Dengan kata lain, semiologi berperan untuk melakukan interogasi terhadap tanda-tanda yang dipasang oleh penulis agar pembaca bisa masuk ke bilik-bilik makna yang tersimpan dalam sebuah teks (Hidayat, 1996: 163).

2.1.2. Semiotika Roland Barthes

Semiotika, atau dalam istilah Barthes disebut semiologi pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan memaknai hal-hal. Memaknai yang artinya bahwa objek-objek tidak cuma membawa informasi, dalam hal dimana objek-objek tersebut hendak berkomunikasi, tapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Barthes merupakan orang terpenting dalam tradisi semiotika Eropa pasca Saussure. Pemikirannya tak hanya melanjutkan pemikiran Saussure terutama ketika ia menggambarkan makna ideologis dari representasi jenis lain yang disebut mitos. Barthes menekankan pada cara tanda-tanda di dalam teks berinteraksi dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya dan memperhatikan konvensi pada teks yang berinteraksi dengan konvensi yang dialami (Kriyantono, 2008: 268).

Konsep konotasi dan denotasi menjadi kunci dari analisis Barthes. Konsep ini dinamai Two orders of signification (signifikasi dua tahap atau dua tatanan

(2)

8

pertandaan) yang terdiri dari first order of signification yaitu denotasi, serta second orders of signification yaitu konotasi. Tatanan pertama mencakup penanda dan petanda yang membentuk tanda. Tanda inilah yang disebut makna denotasi. Denotasi merupakan tingkat petandaan yang menjelaskan hubungan antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna yang ekplisit, langsung, dan pasti. Denotasi adalah makna paling nyata dari tanda, sedangkan konotasi adalah pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda yang didalamnya beroperasi makna yang bersifat implisit dan tersembunyi (Christomy, 2004: 94). Konotasi memiliki makna yang subjektif. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap suatu objek dan makna konotasi adalah bagaimana cara menggambarkan (Wibowo, 2011: 17).

1. Penanda 2. Petanda 3. Tanda Denotatif

4. Penanda Konotatif 5. Petanda Konotatif 6. Tanda Konotatif

Gambar 3

Peta Tanda Roland Barthes (Sumber: Sobur, 2003: 69)

Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri dari penanda (1) dan petanda (2). Tetapi, pada saat yang sama, tanda denotatif juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material: hanya jika anda mengenal tanda “singa”, barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin (Cobley dan Jansz, 1999: 51) dalam Sobur (2003: 69). Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak hanya mempunyai makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya (Sobur, 2003:69).

Dalam pengertian umum, denotasi biasanya dimengerti sebagai makna harfiah, makna yang “sesungguhnya.” Akan tetapi dalam semiologi Barthes dan para pengikutnya, denotasi adalah sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru diasosiasikan

(3)

9

dengan ketertutupan makna. Sebagai reaksi melawan keharfiahan denotasi yang bersifat opresif ini, Barthes mencoba menolaknya. Bagi dia hanya ada konotasi. Lebih lanjut dikatakan bahwa makna “harfiah” merupakan sesuatu yang alamiah (Budiman, 1999: 22) dalam Sobur (2003: 71). Menurut Lyons, denotasi adalah hubungan yang digunakan di dalam tingkat pertama pada sebuah kata yang secara bebas memegang peranan penting di dalam ujaran (Sobur, 2003: 263).

Gambar 4

Signifikasi dua tahap Roland Barthes

(Sumber: John Fiske, Introduction to Communication Studies, 1990, hal 122)

Dari gambar diatas, Barthes seperti dikutip Fiske, menjelaskan signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara penanda dan petanda didalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutkan sebagai denotasi. Konotasi ialah istilah yang digunakan Barthes untuk signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaan. Pada signifikasi tahap kedua yang berkaitan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos (Sobur, 2001: 128). Menurut pandangan Barthes, mitos merupakan cara berpikir dari suatu kebudayaan mengenai sesuatu, cara untuk memahami sesuatu. Jika konotasi adalah pemaknaan tatanan kedua dari petanda. Di tatanan kedua, sistem tanda dari tatanan pertama disisipkan ke dalam sistem nilai budaya. Mitos adalah cerita yang dipakai suatu kebudayaan untuk menjelaskan atau mencari pemahaman terkait beberapa aspek dari realitas maupun alam (Fiske, 2007: 121).

(4)

10

Barthes menegaskan cara kerja pokok mitos adalah untuk menaturalisasikan sejarah. Ini menunjukkan kenyataan bahwa mitos sebenarnya merupakan produk kelas sosial yang mencapai dominasi melalui sejarah tertentu maknanya, peredaran mitos mesti membawa sejarahnya, namun operasinya sebagai mitos membuatnya mencoba menyangkal hal tersebut, dan menunjukkan maknanya sebagai alamu, dan bukan bersifat historis atau sosial (Fiske, 2007: 122).

Untuk melakukan analisis pada tayangan Mata Najwa episode ‘Siapa Rindu Soeharto’, penulis menemukan scene Tommy Soeharto dalam tayangan tersebut yang menunjukkan gaya komunikasi Tommy Soeharto. Dari setiap scene itu, akan dilakukan analisis terhadap setiap penanda yang muncul guna mengetahui makna denotatif di signifikasi tahap pertama. Lalu makna denotatif itu menjadi penanda pada signifikasi tahap kedua untuk makna konotatif. Setelah itu, analisis guna mencari mitos yang terdapat pada makna konotatif tersebut.

2.2. Definisi Talkshow

Program talkshow merupakan program yang menampilkan beberapa orang, terdiri atas, pewancara atau host dan narasumbernya, membahas suatu topik tertentu. Mereka yang menjadi narasumber merupakan orang-orang yang berkompeten atau mempunyai kaitan dengan topik atau masalah yang tengah dibahas (Morissan, 2008: 28). Talkshow juga bisa diartikan program pembicaraan yang melibatkan tiga orang atau lebih yang membahas mengenai suatu permasalahan. Pada program ini masing-masing orang atau narasumber yang diundang dapat berbicara satu sama lain, mengemukakan pendapatnya dan host dapat bertindak sebagai moderator yang juga bisa melontarkan pendapatnya atau membagi dan mengatur pembicaraan (Fred, 2007: 8).

Format talkshow merupakan cerminan dari kekuatan yang menonjol pada mediaum televisi, yaitu original dan credible (dapat dipercaya). Narasumber yang “vocal” dan pahas dengan topik atau bahasan merupakan salah satu poin keberhasilan sebuah talkshow. Agar talkshow dapat menarik dan berbobot, host atau moderator harus memahami topik pembahasan yang sedang dibahas (Fred, 2007: 67).

2.3. Definisi Gaya Komunikasi

Gaya komunikasi merupakan cara penyampaian dan gaya bahasa yang baik. Gaya yang dimaksud sendiri dapat bertipe verbal yang berupa kata-kata atau nonverbal berupa vokalik, bahasa badan, penggunaan waktu, dan penggunaan ruang dan jarak. Setiap

(5)

11

gaya komunikasi terdiri atas sekumpulan perilaku komunikasi yang digunakan guna mendapat respon atau tanggapan tertentu pada situasi tertentu. Gaya komunikasi bukan tergantung pada tipe seseorang melainkan pada situasi yang sedang dihadapi. Setiap orang memakai gaya komunikasi yang berbeda ketika mereka sedang tertarik, sedih, gembira, marah, atau bosan. Begitu juga dengan seseorang ketika berbicara dengan sahabatnya, orang yang baru dikenal atau dengan anak-anak akan berbicara dengan gaya yang berbeda. Selain itu, gaya yang dipakai dipengaruhi beberapa faktor, gaya komunikasi adalah sesuatu yang dinamis dan sulit ditebak. Sebagaimana budaya, gaya komunikasi adalah sesuatu yang relatif (Widjaja, 2000: 57).

Sedangkan menurut Tubbs & Moss (dalam Ruliana, 2014: 31) gaya komunikasi sebagai seperangkat perilaku antarpribadi yang terspesialisasi yang digunakan dalam situasi tertentu. Masing-masing gaya komunikasi terdiri dari sekumpulan perilaku komunikasi yang dipakai untuk memperoleh respons atau tanggapan tertentu dalam situasi yang tertentu pula. Kesesuaian dari satu gaya komunikasi yang digunakan, bergantung pada maksud dari pengirim dan harapan dari penerima.

Gaya komunikasi dapat ditinjau dari segi paralinguistik, yakni karakteristik verbal yang bersama dengan pesannya, yaitu kecepatan berbicara, intonasi, nada suara, kelancaran, dan sebagainya. Paralinguistik sebenarnya merupakan salah satu aspek komunikasi nonverbal, meskipun terkait juga dengan komunikasi verbal. Akan tetapi aspek ini penting kita perhatikan agar komunikasi kita efektif. Kesalahan tekanan pada satu kata dapat menimbulkan kesalahpahaman. Aspek paralinguistik ini membawa informasi mengenai emosi, sikap, kepribadian, dan latar belakang sosial individu yang bersangkutan (Mulyana, 2005: 154).

Menurut Norton (1978: 100-101), gaya komunikasi dikelompokkan kedalam sembilan kategori atau jenis:

a. Gaya dominan (dominant style), gaya seseorang yang cenderung menguasai pembicaraan atau mengontrol situasi sosial.

b. Gaya dramatis (dramatic style), gaya individu yang ketika ia berbicara terkesan melebih-lebihkan. Gaya ini cenderung memakai seperti kiasan, metafora, fantasi, cerita dan suara.

c. Gaya argumentatif / kontroversial (Contentious / controversial style), gaya komunikasi yang selalu argumentatif atau cepat menantang orang lain yang tidak setuju dengan mereka. Komunikator bersifat konfrontatif dan berkaitan dengan gaya dominan.

(6)

12

d. Gaya animasi (animated style), gaya orang berkomunikasi yang secara aktif memakai bahasa nonverbal seperti ekspresi wajah, gestur, dan kontak mata. e. Gaya berkesan (impression style), gaya berkomuniksi yang membuat orang

lain terkesan dan mengingatnya.

f. Gaya santai (relaxed style), gaya berkomunikasi orang dengan tenang, senang, penuh senyum dan tawa. Tidak mudah menunjukkan sikap gegabah atau cemas.

g. Gaya atentif (attentive style), gaya orang berkomunikasi dengan memberi perhatian penuh pada orang lain, bersikap simpati, mendengarkan orang lain secara sungguh-sungguh.

h. Gaya terbuka (open style), gaya dimana seseorang berkomunikasi secara terbuka dengan cara berpenampilan jujur dan mungkin blak-blakan.

i. Gaya bersahabat (friendly style), gaya komunikasi yang ditunjukkan seseorang secara ramah, memberi respon positif, dekat, dan mendukung.

2.4. Definisi Komunikasi Verbal

Komunikasi verbal yaitu komunikasi yang dalam menyampaikan pesannya menggunakan lisan dan tulisan (Effendi, 1998:7). Adapun kode komunikasi verbal dalam pemakaiannya menggunakan bahasa, bahasa dapat didefinisikan seperangkat kata yang telah disusun secara berstruktur sehingga menjadi inti kalimat yang mengandung arti (Cangara, 2003: 99).

Diatas sudah disebut komunikasi verbal dibedakan atas komunikasi lisan dan komunikasi tulisan. Komunikasi lisan didefinisikan sebagai suatu proses dimana seorang pembicara berinteraksi secara lisan dengan pendengar untuk mempengaruhi tingkah laku penerima. Sedangkan komunikasi tulisan yaitu apabila keputusan yang akan disampaikan oleh pimpinan itu disandikan dengan simbol-simbol kemudian dikirimkan kepada karyawan yang dimaksudkan. Komunikasi tertulis ini dapat berupa memo, surat, buku petunjuk, gambar, maupun laporan. Sedangkan komunikasi lisan dapat berupa tatap muka, melalui telepon, radio, televisi dan lainlain (Arni, 2001: 95).

Untuk fungsi bahasa, menurut Larry L Barker, bahasa memiliki tiga fungsi yaitu: penamaan (naming atau labeling), interaksi, dan transmisi informasi (Mulyana, 2007: 266).

(7)

13

merujuk pada usaha mengidentifikasi objek, tindakan atau orang dengan menyebut namanya sehingga dapat dirujuk dalam komunikasi.

b. Interaksi

Menekankan berbagai gagasan dan emosi, yang dapat mengundang simpati dan pengertian atau kemarahan dan kebingungan.

c. Transmisi informasi

Melalui bahasa, informasi dapat disampaikan kepada orang lain. Informasi dapat diterima secara langsung atau tidak (melalui media massa misalnya).

Dalam mempelajari inetraksi bahasa dan verbal, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan (Devito, 1997: 117):

1. Kata-kata kurang bisa menggantikan perasaan atau pikiran komplek yang ingin kita komunikasikan. Oleh karenanya, kata-kata hanya dapat mendeteksi makna yang kita sampaikan.

2. Kata-kata hanyalah sebagian dari sistem komunikasi. Dalam komunikasi yang sesungguhnya kata-kata kita selalu disertai oleh perasaan nonverbal. Oleh karenanya, pesan-pesan merupakan kombinasi isyarat verbal dan nonverbal, dan efektifitasnya bergantung pada bagaimana kedua macam isyarat ini dipadukan. 3. Bahasa adalah institusi sosial dari budaya kita dan mencerminkan budaya

tersebut. Pandanglah bahasa dalam suatu konteks sosial, selalu mempertimbangkan implikasi sosial dari penggunaan bahasa.

2.5. Definisi Komunikasi Non Verbal

Menurut Larry A. Samovar dan Richard E Porter, komunikasi non verbal mencakup semua rangsangan (kecuali rangsangan verbal) dalam suatu setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan lingkungan oleh individu, yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim atau penerima (Mulyana, 2007: 343). Guna memahami pengertian komunikasi sehingga dapat dilancarkan secara efektif, para peminat komunikasi sering kali mengutip paradigma yang ditemukan oleh Harold Lasswell dalam karyanya, the sructure and function of communication in Society, Laswell mengatakan bahwa cara yang baik untuk menjelaskan komunikasi ialah menjawab pertanyaan sebagai berikut: Who Say What In Which Channel To whoam With What Effect? (Effendy, 1993: 253).

Klasifikasi pesan non verbal meliputi (Mulyana, 2007:351): 1. Bahasa tubuh

(8)

14

Bidang yang menelaah bahasa tubuh adalah kinesika, istilah yang diciptakan oleh perintis studi bahasa non verbal, Ray L. Biedwhistell. Setiap anggota tubuh seperti wajah (termasuk senyuman dan pandangan mata), tangan, kepala, kaki dan tubuh secara keseluruhan dapat digunakan sebagai isyarat simbolik.

2. Sentuhan

Studi tentang sentuh-menyentuh disebut heptika. Sentuhan, seperti foto, adalah perilaku nonverbal yang multi makna, dapat menggantikan seribu kata. Kenyataannya sentuhan ini bisa merupakan tamparan, pukulan, cubitan, senggolan, tepukan, belaian, pelukan, pegangan (jabat tangan), rabaan, hingga sentuhan lembut sekilas. Sentuhan kategori terakhirlah yang sering diasosiasikan dengan sentuhan. Banyak riset menunjukkan bahwa orang berstatus lebih tinggi lebih sering menyentuh orang berstatus lebih rendah daripada sebaliknya. Jadi sentuhan juga berarti “kekuasaan”.

3. Parabahasa

Merujuk pada aspek-aspek suara selain ucapan yang dapat dipahami, seperti misalnya kecepatan berbicara, nada (tinggi atau rendah), intensitas (volume) suara, intonasi, kualitas vocal (kejelasan), warna suara, dialek, suara serak, suara sengau, suara terputus-putus,suara yang gemetar, suitan, siulan, tawa erangan, tangis, gerutuan, gumaman, desahan, dan sebagainya. Setiap karakteristik suara ini mengkomunikasikan emosi dan pikiran kita.

Merhabian dan Ferris menyebut bahwa parabahasa adalah terpenting kedua setelah ekspresi wajah dalam menyampaikan perasaan atau emosi. Menurut formula mereka, parabahasa punya andil 38% dari keseluruhan impak pesan. Oleh karena ekspresi wajah punya andil 55% dari keseluruhan impak pesan, lebih dari 90% isi emosionalnya ditentukan secara nonverbal.

4. Penampilan Fisik

Setiap orang memiliki persepsi mengenai penampilan fisik seseorang, baik itu busananya (model, kualitas bahan, warna), dan ornamen lain yang dipakainya, seperti cincin, kacamata, sepatu, jam tangan, kalung, gelang,dan sebagainya. Seringkali orang memberi makna tertentu pada karakteristik fisik orang yang bersangkutan, seperti bentuk tubuh, warna kulit, medel rambut dan sebagainya. 5. Orientasi Ruang dan Jarak Pribadi

Suatu cara bagaimana orang-orang yang terlibat dalam suatu tindakan komunikasi berusaha untuk menggunakan ruang. Antropolog Edward. T. Hall

(9)

15

mendefinisikan empat jarak yang kita gunakan sehari-hari: akrab, personal, sosial, dan publik.

Terdapat tiga perbedaan pokok antara komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal (Mulyana, 2007: 347):

1) Perilaku verbal adalah saluran tunggal, perilaku nonverbal bersifat multisaluran. Kata-kata datang dari satu sumber, tetapi isyarat nonverbal dapat dilihat, didengar, dirasakan, dibaui atau dicicipi.

2) Pesan verbal terpisah-pisah, sedangkan pesan nonverbal sinambung. Artinya, orang dapat mengawali dan mengakhiri pesan verbal kapanpun ia menghendaki, sedangkan pesan nonverbal tetap mengalir, sepanjang ada orang yang hadir di dekatnya.

3) Komunikasi nonverbal mengandung lebih banyak muatan emosiaonal daripada komunikasi verbal. Sementara kata-kata umumnya digunakan untuk menyampaikan fakta, pengetahuan, atau keadaan, pesan nonverbal lebih potensial untuk menyatakan perasaan seseorang.

2.6. Penelitian Sebelumnya 1) Nama Peneliti:

Hansen Hogi Wijaya

Judul Penelitian:

Representasi Citra Institusi Kepolisian Republik Indonesia Pada Film “Enigma” Serial “Kematian Alana”.

Tujuan Penelitian

Mengetahui representasi citra Institusi Kepolisian Republik Indonesia pada film “Enigma” serial “Kematian Alana”.

Metode Penelitian Pendekatan kualitatif

Hasil Penelitian

Menunjukkan bahwa terdapat makna denotasi, konotasi, serta mitos pada film “ENIGMA” serial “Kematian Alana”. Dari makna denotasi, konotasi dan mitos tersebut dapat merepresentasikan citra polisi pada film “ENIGMA” serial “Kematian Alana”. Dapat disimpulkan bahwa citra Institusi Kepolisian Republik Indonesia dalam film

(10)

16

“ENIGMA” serial “Kematian Alana” merupakan citra keinginan. Citra keinginan yang membuat polisi berkesan positif dipandangan masyarakat.

2) Nama Peneliti: Mawaddatur Rahmah

Judul Penelitian:

Gaya Komunikasi Pemimpin di Media (Analisis Semiotika Gaya Komunikasi Basuki Tjahaja Purnama “Ahok” dalam Tayangan Mata Najwa On Stage “Semua Karena Ahok” di Metro TV).

Tujuan Penelitian

Menemukan makna denotasi, konotasi, dan mitos pada gaya komunikasi Basuki Tjahaja Purnama dalam Tayangan Mata Najwa On Stage “Semua Karena Ahok”.

Metode Penelitian Pendekatan kualitatif

Hasil Penelitian

Pemaknaan gaya komunikasi Basuki Tjahaja Purnama “Ahok” secara denotatif, konotatif dan mitos. Secara denotatif, gaya komunikasi Ahok dapat dikategorikan kedalam gaya komunikasi konteks rendah, terlihat dari gaya berbicara Ahok yang terus-terang dan ceplas-ceplos. Dari segi konotatif, terlihat bahwa Ahok tidak ingin seperti pemimpin pada umumnya, Ahok ingin menjadi pemimpin yang benar-benar bekerja untuk warganya. Mitos yang terkandung dalam gaya komunikasi Ahok adalah Ahok dianggap tidak sesuai untuk memimpin DKI Jakarta yang mayorits suku Betawi, karena Ahok bukan berasal dari tanah Jawa melainkan berasal dari pulau Sumatera.

3) Nama Peneliti:

Ralp Johnson Batubara

Judul Penelitian:

Memahami Gaya Komunikasi Politik Ganjar Selaku Gubernur Terhadap DPRD Jateng (Studi Kasus Persepsi DPRD Terhadap Gaya Komunikasi Politik Ganjar Pranowo)

(11)

17 Tujuan Penelitian

Memahami gaya komunikasi politik Ganjar Pranowo selaku gubernur melalui persepsi DPRD Jawa Tengah dalam hubungan kinerja pemerintahan.

Metode Penelitian Pendekatan kualitatif

Hasil Penelitian

Gaya komunikasi politik yang Ganjar lakukan memiliki kecendurungan bergaya konteks rendah. Serta yang menghambat komunikasi ganjar dan DPRD yaitu gaya agresif dan gaya bombastis.

4) Nama Peneliti: Fransisco Lelapary

Judul Penelitian:

Jokowi Dalam Televisi (Analisis Semiotik Konstruksi Pesan Komunikasi Non Verbal Jokowi Dalam Program Berita Feature “Gebrakan Jokowi” Di MetroTV)

Tujuan Penelitian

Mengetahui konstruksi pesan non verbal yang dilakukan oleh Jokowi dalam program berita feature “Gebrakan Jokowi” yang ditayangkan oleh MetroTV.

Metode Penelitian Pendekatan kualitatif

Hasil Penelitian

Konstruksi pesan nonverbal yang ditunjukan oleh Jokowi. Pesan non verbal terkonstruksikan untuk menguatkan citra positif Jokowi dimata masyarakan. Citra positif dibangun melalui tanda tanda nonverbal yaitu dengan pakaian yang dikenakan yang menunjukan kesederhanaan dan kewibawaan, melalui perilaku nonverbal seperti gerak tubuh, sikap badan, ekspresi wajah, keintiman, dan paralinguistik.

2.7. Kerangka Pikir

Pada tanggal 11 Juli 2018, program Mata Najwa mengangkat topik ‘Siapa Rindu Soeharto’. Episode tersebut membahas tentang Partai Berkarya, Orde Baru, dan Soeharto, serta menghadirkan beberapa narasumber yang diantaranya adalah Tommy Soeharto. Dari tayangan Mata Najwa inilah, penulis ingin melihat bagaimana gaya komunikasi Tommy

(12)

18

Soeharto di program Mata Najwa episode tersebut. Untuk mengetahui gaya komunikasi tersebut penulis akan menganalisis tayangan tersebut menggunakan model semiotika menurut Roland Barthes.

Tataran Pertama

Bentuk Isi Tataran Kedua

Program Talkshow Mata Najwa episode “Siapa Rindu Soeharto”

Scene Tommy Soeharto

Denotasi

Analisis Semiotika menurut Roland Barthes

Penanda Petanda

Konotasi Mitos

Gaya komunikasi verbal dan non verbal Tommy Soeharto dalam talkshow ‘Mata Najwa’ episode ‘Siapa Rindu Soeharto’

Referensi

Dokumen terkait

MIRDA MEMBAWA SECANGKIR KOPI UNTUK HARDI YANG ADALAH SUAMINYA KE ATAS PENTAS, SEDANGKAN RANI YANG JUGA SEORANG TUKANG DENDANG SEDANG SIBUK MEMAINKAN HANDPHONE

Modifikasi pati secara kimia menggunakan STPP akan menyebabkan ikatan pati menjadi kuat, tahan terhadap pemanasan, dan asam sehingga dapat menurunkan derajat

sebuah penyakit kronis yang dapat mempengaruhi pembuluh darah arteri pada setiap..

The researcher specifies the analysis on the rhetorical proofs and the speech delivery in Donald Trump’s presidential candidacy announcement speech in 2015?.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sulastiana (2009) bahwa tidak ada hubungan antara persepsi kualitas sekolah dengan komitmen kerja guru,

Pada Tabel 6 tampak bahwa faktor tingkat pendidikan, keikutsertaan dalam poktan, varietas yang ditanam, status petani dalam rumahtangga, status usahatani, status kepemilikan

Hasil penelitian ini menunjukan pemaknaan terhadap objek-objek simbolik, objek fisik atau non fisik yang diterapkan dalam tindakan, sehingga terbentuk

Paket pekerjaan Perencanaan Teknik dan Pengembangan SPAM di Kawasan / Klaster Kecamatan Konang Kabupaten Bangkalan, setelah dilakukan Evaluasi Dokumen Penawaran