• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pasca Kemerdekaan 1945

Dalam dokumen TEORI & PRAKTEK KEWENANGAN PEMERINTAHAN (Halaman 106-188)

BAB VI PRAKTEK KEWENANGAN PEMERINTAHAN

C. Pasca Kemerdekaan 1945

Selanjutnya, praktek kewenangan pemerintahan selanjutnya yaitu dengan adanya desentralisasi dan dekonsentrasi yang melekat pada UUD 1945. Sri

Soemantri mengemukakan bahwa Sejak Negara

Kesatuan Republik Indonesia dibentuk melalui Proklamasi dan sejak berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 pada 18 Agustus 1945, telah beberapa kali dikeluarkan berbagai undang-undang tentang pemerintahan di daerah. Adanya peraturan perundang-undangan di bidang desentralisasi itu mempunyai arti

Teori & Praktek Kewenangan Pemerintahan| 99 strategis. Secara konstitusional hal itu merupakan perwujudan Pasal 18 UUD 1945, yang memerintahkan dibaginya wilayah negara Indonesia atas daerah besar dan daerah kecil, masing-masing dengan bentuk dan susunan pemerintahannya yang harus memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara. Di samping itu, Pasal 18 di atas juga mengakui adanya hak-hak asal-usul bagi daerah-daerah yang bersifat istimewa.127

Pasal 18 UUD 1945 menggambarkan bahwa Indonesia menganut sistem desentralisasi. Pasal 18 UUD 1945 yang hanya terdiri atas satu ayat tersebut berbunyi:

“pembagian daerah Indonesia atas dasar daerah

besar dan kecil (huruf miring oleh penulis), dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak, asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.”

Bagir Manan kemudian menjelaskan bahwa penjelasan UUD 1945 (sebelum diamandemen) itu unik, karena undang-undang dasar yang berlaku di Indonesia sebelum mengalami perubahan adalah satu-satunya konstitusi di dunia yang mempunyai penjelasan. Pada penjelasan Pasal 18 UUD 1945, ditemukan beberapa kaidah umum yang merupakan landasan dalam menjabarkan sistem desentralisasi dan dekonsentrasi di

127 H.R.T. Sri Soemantri Martosoewignjo, Otonomi Daerah, disampaikan dalam Seminar, Yogyakarta: FH UII, 1994

Teori & Praktek Kewenangan Pemerintahan| 100 Indonesia sebagai dasar dari adanya kewenangan pemerintahan sebagai berikut:128

1. Daerah Indonesia (maksudnya wilayah negara Indonesia) akan dibagi dalam daerah provinsi, sedangkan daerah provinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Ini berarti wilayah negara Indonesia dibagi dalam wilayah-wilayah administrasi yang lebih kecil daripada provinsi. 2. Selain wilayah administrasi, wilayah negara

Indonesia juga dibagi dalam daerah-daerah yang bersifat otonom yang dalam bahasa Belanda disebut streekgemeenschappen dan

locale rechtgemeenschappen. Dengan

demikian, wilayah negara Indonesia dibagi dalam wilayah administrasi dan daerah otonom. 3. Dalam daerah otonom akan diadakan badan

perwakilan daerah. adanya badan perwakilan daerah menunjukkan bahwa sistem pemerintahan daerah akan bersendikan permusyawaratan.

Penjelasan pasal 18 di atas juga dikatakan sebagai fakta, adanya kurang lebih 250 zelfbesturende

landschappen dan volksgemeenschappeni dengan

sebutan yang berbeda-beda. Ada yang bernama desa, dusun, marga dan sebagainya. Daerah-daerah tersebut menurut penjelasan juga berkedudukan sebagai daerah istimewa karena adanya hak-hak asal-usul pada daerah tersebut. Ternyata, sejarah berlakunya UUD 1945 tidak

Teori & Praktek Kewenangan Pemerintahan| 101 ada keseragaman dalam menerapkan Pasal 18 UUD 1945. Hal ini dilihat dari undang-undang tentang pemerintahan (di) daerah yang dikeluarkan semasa berlakunya UUD 1945, baik dalam periode 1945 sampai 1949 maupun dalam periode 1959 sampai dengan sekarang.

Dalam periode pertama berlakunya UUD 1945 telah dikeluarkan dua undang-undang yang mengatur.

Pertama, tentang Komite Nasional Daerah dan tentang

Pemerintahan Daerah. Apabila kita pelajari undang-undang yang pertama, maka akan terlihat bahwa yang diatur hanyalah mengenai Komite Nasional Daerah. Undang-undang ini merupakan undang-undang pertama yang dibuat oleh tangan Indonesia sendiri. Akan tetapi, undang-undang tersebut hanya terdiri dari 6 (enam) pasal saja. Oleh karena itu, yang diatur hanyalah sebuah badan yang akan menggantikan Badan Perwakilan Rakyat untuk sementara.129

Adanya Komite Nasional Daerah menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1945, diadakan di keresidenan, di kota berotonomi, kabupaten, dan lain-lain daerah yang dianggap perlu oleh Menteri Dalam Negeri. Dari ketentuan tersebut dapat kita ketahui bahwa provinsi tidak mempunyai Komite Nasional Daerah. Dikecualikan dari adanya Komite Nasional Daerah tersebut adalah Daerah Surakarta (Kasunanan) dan Daerah Yogyakarta

129 Azmi Fendri, Pengaturan Kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah Dalam Pemanfaatan Sumber Daya Mineral dan Batu Bara, Jakarta: Rajawali Press, 2016, hlm. 146

Teori & Praktek Kewenangan Pemerintahan| 102 (Kasultanan). Di kedua daerah ini tidak diadakan Komite Nasional Daerah, karena keduanya merupakan daerah swapraja yang mempunyai susunan pemerintahan sendiri. Dari materi muata Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 dapat diketahui bahwa Pasal 18 UUD 1945 belum dilaksanakan sebagaimana mestinya. 130

Selanjutnya, Presiden bersama-sama Badan

Pekerja Komite Nasional Pusat menetapkan Undang No. 22 Tahun 1948, yang diberi nama Undang-Undang Pokok tentang Pemerintahan Daerah.Dalam Pasal 1 ayat (1) kita dapat mengetahui bahwa Daerah negara Republik Indonesia dibagi dalam 3 (tiga) tingkatan, yaitu provinsi, kabupaten atau kota besar dan desa atau kota kecil, seperti negeri, marga, dan sebagainya. Kewenangan daerah provinsi meliputi kewenangan pangkal yang ditetapkan bersamaan dengan pembentukan daerah yang bersangkutan. Kewenangan daerah kabupaten, kota besar, dan kota kecil meliputi kewenangan pangkal dan kewenangan tambahan ditambah dengan kewenangan untuk mendukung kelancaran pemerintahan.131

Pemerintahan Daerah dalam undang-undang ini adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dari masing-masing tingkatan daerah dan dewan Pemerintahan Daerah (DPD) juga dari masing-masing tingkatan daerah. Selain itu, sebagaimana diatur dalam

130 Agussalin Andi Gadjong, Pemerintahan Daerah, Kajian Politik dan Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2007, hlm. 143

Teori & Praktek Kewenangan Pemerintahan| 103 Undang-Undang No. 22 Tahun 1948, masing-masing tingkatan daerah mempunyai kepala daerahnya sendiri berturut-turut diangkat oleh Presiden, menteri dalam Negeri, dan Kepala Daerah Provinsi. Adapun pencalonannya dilakukan oleh masing-masing tingkatan DPRD-nya. Ini berarti bahwa desa sebagai daerah otonom juga mempunyai Dewan Perwakilan Rakyat Desa.

Perlu dikemukakan bahwa berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 Pemerintahan Daerah dilakukan secara collegial (bersama-sama), undang-undang ini merupakan pelaksanaan atau penjabaran Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 dalam periode pertama.

Selanjutnya, perlu diketahui bahwa UUD 1945 berlaku dalam dua kurun waktu, yaitu kurun waktu 1945-1949, dan kurun waktu 1959 sampai dengan sekarang. Diberlakukannnya kembali UUD 1945 disebabkan tidak berhasilnya Konstituante Republik Indonesia hasil pemilu 1955 menetapkan Undang-Undang Dasar baru yang bersifat tetap untuk menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950.

Selanjutnya, terdapat Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang menggantikan Undang-Undang No. 22 Tahun 1948, lebnih menekankan aspek desentralisasi pelaksanaan pemerintahan di daerah. Pembentukan Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 memandang bahwa dengan pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah

Teori & Praktek Kewenangan Pemerintahan| 104 merupakan persyaratan dalam mewujudkan ketentuan-ketentuan UUDS 1950.132

Penyebaran kewenangan pemerintah daerah yang terdiri atas urusan pangkal bersifat dinamis, artinya urusan pangkal tersebut bisa ditambah bahkan dikurangi sesuai dengan kenyataan atau kondisi nyata dari daerah bersangkutan. Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 menganut otonomi yang seluas-luasnya sesuai dengan kondisi nyata dari daerah.133

Sesuai dengan sistem politik yang berlaku, maka dikeluarkanlah undang-undang baru dalam bidang pemerintahan daerah. Undang-undang baru dimaksud adalah Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Selain Pasal 1 ayat (1), Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1), undang-undang tersebut juga mengacu pada Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945.

Seperti dikemukakan dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 18 Tahun 1965 tersebut, yang dimaksud dengan Daerah adalah daerah besar dan daerah kecil, sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UUD 1945. Dalam pada itu, Pasal 2 ayat (1) nya menentukan bahwa Wilayah Negara Republik Indonesia dibagi dalam tiga tingkatan daerah yang berhak mengatur dan mengurus

132 Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994, hlm. 213

Teori & Praktek Kewenangan Pemerintahan| 105 rumah tangganya sendiri; ketiga tingakatan daerah itu adalah sebagai berikut:134

1. Provinsi dan/atau Kota raya sebagai Daerah Tingkat I.

2. Kabupaten dan/atau Kota madya sebagai Daerah Tingkat II.

3. Kecamatan dan/atau Kota praja sebagai Daerah Tingkat III.

Persebaran kewenangan pemerintah daerah tersebut memungkinkan daerah mengembangkan potensi daerah dengan adanya kemungkinan penambahan kewenangan kepada daerah termasuk bidang pertambangan.135

Berbeda dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1948, undang-undang yang baru ini mengatur lebih banyak materi-muatan. Bahkan dilihat dari jumlah pasalnya, kurang lebih ada dua kali dibandingkan dengan yang lama. Undang-Undang No. 18 tahun 1965 terdiri dari 90 (sembilan puluh) pasal. Tentang sistem otonomi yang dianut dapat kit abaca Dallam, Penjelasan Umum, Nomor II yang antara lai mengatakan:

“Dengan berpegang pada pokok pikiran ini,

maka pemecahan perihal dasar dan isi otonomi itu hendaknya didasarkan pada keadaan dan faktor-faktor yang riil, yang nyata, sehingga dengan demikian dapatlan

134 Ibid, hlm. 158

Teori & Praktek Kewenangan Pemerintahan| 106

kiranya diwujudkan keinginan umum dalam masyarakat itu.”

Seperti dikemukakan dalam Penjelasan Umum, bentuk susunan Pemerintah Daerah sedapat mungkin mengikuti bentuk dan susunan Pemerintah Pusat. Kepala Daerah dan dibantu oleh Wakil Kepala Daerah serta Badan Pemerintah Harian (BPH). Pasal 5 dikatakan bahwa Pemerintah Daerah terdiri daerah Kepala daerah dan dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sedangkan dalam Pasal 6 ditentukan bahwa dalam menjalankan pemerintahan sehari-sehari Kepala Daerha dibantu oleh Wakil Kepala Daerah dan badan Pemerintah Harian (BPH).

Tentang Badan Pemerintah Harian, Undang-Undang No. 18 ahun 1965 mengatakan sebagai berikut.

1. Tentang jumlah anggota

2. Masa jabatan anggota-anggota BPH sama dengan masa jabatan Kepala Daerah (yaitu 5 tahun)

3. Tentang pengangkatan dan pemberhentian

Selanjutnya, Undang-Undang No. 5 tahun 1974 Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945. Masalah yang timbul adalah, mengapa Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 yang belum sempat dilaksanakan secara penuh harus diganti dengan yang baru. Pertimbangan pertama dikelaurkannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 dijelaskan bahwa Undang-Undang No. 18 Tahun 1965

Teori & Praktek Kewenangan Pemerintahan| 107 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan.

Seperti diketahui, Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 dikeluarkan karena kuatnya pertimbangan politik sebagaimana dituntut oleh partai-partai politik utamanya Partai Komunis Indonesia. Hal ini ternyata dari adanya pengaturan Daerah Tingkat III; bahkan untuk mempercepat proses pembentukannya telah dikeluarkan pula Undang-Undang No. 19 Tahun 1965 tentang Desa praja sebagai bentuk peralihan untuk mempercepat terwujudnya Daerah Tingkat III di seluruh wilayah Republik Indonesia.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daera keluar setelah terjadinya pemberontakan G-30S/PKI yang gagal dan adanya kehendak untuk melakukan pembangunan dalam segala bidang kehidupan. Dalam pertimbangannya antara lain dikemukakan hal-hal sebagai berikut.

1. Dalam usaha membna kestabilan politik serta kesatuan bangsa.

2. Untuk terciptanya hubungan yang serasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah atas dasar keutuhan Negara Indonesia.

3. Untuk melaksanakan Otonomi yang nyata dan bertanggung jawab yang dapat menjamin perkembangan dan pembangunan Desa.

4. Bahwa penyelenggraan pemerintahan di Daerah didasarkan pada asas desentralisasi, asas dekonsentrasi, dan asas tugas pembantuan.

Teori & Praktek Kewenangan Pemerintahan| 108 Undang-Undang No. 5 Tahun 1974136 dikeluarkan setelah bangsa Indonesia kurang lebih 29 tahun merdeka. Selama kurang lebih 29 tahun merdeka telah cukup banyak ahli dalam berbagai bidang dihasilkan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Kita juga telah mempunyai pengalaman dalam bidang pemerintahan di Daerah. Oleh karena itu dibandingkan dengan undang-undang tentang hal yang sama sebelumnya, Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah jauh lebih baik. Meskipun demikian, hal itu tidak berarti bahwa undang-undang tersebut selalu dapat memenuhi perkembangan baru. Bahwa undang-undang ini selalu dapat disesuaikan dengan perkembangan baru dapat kita baca dari Pasal 3 ayat (2) yang berbunyi sebagai berikut:

“Perkembangan dan pengembangan otonomi

selanjutnya didasarkan pada kondisi politik, ekonomi, sosial-budaya, serta pertahanan dan keamanan Nasional.”

Dalam undang-undang ini disebutkan bahwa prinsip otonomi nyata dan bertanggung jawab yang dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah,

136 Perlu dicatat, meskipun UU No. 5 Tahun 1974 ini lebih baik dari pada undang-undang pemerintahan sebelumnya, sekarang sudah diganti dengan UU No. 22/1999 yang kemudian diganti lagi dengan UU No. 32/2004 dan diubah lagi tahun 2005 dengan Perppu No. 3/2005, kemudian diubah lagi dengan UU No. 12 Tahun 2008, dan terakhir keluar UU No. 23 Tahun 2014.

Teori & Praktek Kewenangan Pemerintahan| 109 yang dilaksanakan bersama-sama dengan dekonsentrasi.137

Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 secara tegas menyebutkan bahwa Kepala Daerah adalah Pejabat Negara yang menjalankan tugas-tugas di bidang dekonsentrasi dan sebagai kepala eksekutif dalam bidang desentralisasi. Untuk kedua tugas ini, Kepala Daerah bertanggung jawab kepada pemerintah pusat, sedangkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,

Kepala Daerah hanya memberikan keterangan

pertanggungjawaban dalam bidang tugas pemerintahan daerah. Pemerintah pusat memperkuat pengawasan atas pemerintahan daerah sebagai pelaksanaan tanggung jawab pemerintah pusat, demi terpeliharanya kesatuan bangsa dan keutuhan wilayah NKRI. Tiga jenis pengawasan dalam Undang-Undang ini yaitu pengawasan preventif, represif dan umum.138

Kemudian, ketika dalam tahun 1997 berkumandang tuntutan reformasi dalam segala bidang kehidupan, yang akhirnya berakibat “lengsernya” Presiden Soeharto, rakyat di daerah pun mulai mempunyai keberanian menuntu hak-haknya. Tuntutan tersebut demikian kuatnya sehingga dalam sidangnya pada tahun 1998, MPR mengeluarkan Ketetapan MPR-RI No. XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta

137 Azmi Fendri, Op.cit, hlm. 162

Teori & Praktek Kewenangan Pemerintahan| 110 Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Atas dasar Ketetapan MPR tersebut, pembentuk undang-undang telah mengeluarkan dua undang-undang-undang-undang, yaitu

Undang-Undang No. 22 Tahun 1999139 tentang

Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Berbeda dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 dan undang-undang sebelumnya, Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dinilai oleh banyak pihak telah membuka cakrawala baru penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia dan menggeser cara pandang sentralisasi menjadi desentralisasi. Berdasarkan konsideran menimbang Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dipahami bahwa otonomi daerah dipahami sebagai kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyrakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.140

Sedangkan prinsip otonomi daerah yang digunakan adalah otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Kewenangan otonomi yang luas adalah keleluasan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, dan lainnya.

139 H.R.T. Sri Soemantri Martosoewignjo, Op.cit

Teori & Praktek Kewenangan Pemerintahan| 111 Sedangkan, otonomi nyata adalah keleluasan daerah dalam penyelenggaraan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh hidup, dan berkembang di daerah. Sedangkan, yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik.141

Teori & Praktek Kewenangan Pemerintahan| 112

BAB VII

KASUS KONKRET KEWENANGAN

A. Kewenangan Penentuan Tarif Pelayanan Kesehatan di Kota Tasikmalaya

Kewenangan pemerintah bersumber peraturan perundang-undangan. Keabsahan suatu wewenang mencakup 3 (tiga aspek) yaitu wewenang, prosedur, dan substansi. Artinya wewenang, prosedur, maupun substansi, sebagaimana diatur dalam Pasal 52 UU No. 30 Tahun 2014, harus berdasarkan peraturan perundang-undangan, karena pada peraturan perundang-undangan tersebut sudah ditentukan tujuan diberikannya wewenang kepada pejabat tata usaha negara, prosedur yang harus dilaksanakan, hingga menyangkut substansi dari wewenang tersebut. Selain itu, penggunaan kewenangan tersebut harus didasari Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).

Setiap pembuatan Keputusan Tata Usaha Negara (Keputusan TUN) harus memperhatikan ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang berlaku.

Tugas dan wewenang pejabat tata usaha negara sebagaimana dikemukakan oleh Bagir Manan, selain dapat dilaksanakan juga harus dapat dipertanggung-jawabkan dengan baik. Pada penyelenggaraan pemerintahan, penggunaan kewenangan oleh pejabat tata usaha negara disesuaikan dengan berkembangnya kondisi saat ini serta mencakup bentuk dari kewenangan

Teori & Praktek Kewenangan Pemerintahan| 113 salah satunya berupa kebijakan, namun kebijakan tersebut memiliki dampak yang luas. Pada tingkat pemerintahan daerah, Pejabat tata usaha negara yang dimaksud di atas, yaitu kepala daerah, seperti walikota/bupati dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Pada praktiknya, terdapat permasalahan terkait kebijakan yang dikeluarkan oleh pejabat tata usaha negara terkait tarif pelayanan kesehatan di Kota Tasikmalaya, yaitu kebijakan yang dikeluarkan oleh Walikota Tasikmalaya pada bulan Mei 2017, dituangkan menjadi Peraturan Walikota Tasikmalaya tentang tarif pelayanan kesehatan reguler RSUD dr. Soekardjo.

Alasan dikeluarkannya kebijakan tersebut dikarenakan tarif pelayanan rumah sakit tersebut tidak pernah disesuaikan sejak dikeluarkannya Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya No. 4 Tahun 2006 tentang Ketentuan Khusus dan Retribusi Pelayanan Kesehatan pada Rumah Sakit Umum Daerah Kelas B Nonpendidikan Kota Tasikmalaya.

Kenaikan tarif ini disesuaikan dengan kebutuhan rumah sakit itu sendiri, seperti kebutuhan alat medis, fasilitas rumah sakit, dan lainnya. Selain itu, kenaikan tarif pelayanan kesehatan sudah disesuaikan berdasarkan hasil survei yang dilakukan di beberapa rumah sakit setara, salah satunya di RSUD di Sukabumi. Kenaikan tarif pelayanan kesehatan diperuntukkan bagi kategori rawat jalan dan rawat inap kelas 2, kelas 1, VIP dan VVIP.

Teori & Praktek Kewenangan Pemerintahan| 114 Selanjutnya, kebijakan ini dipastikan baik oleh Walikota Tasikmalaya maupun Direktur RSUD dr. Soekardjo tidak akan membebani pasien Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS), dan juga pasien Kartu Indonesia Sehat, dan Jaminan Kesehatan Daerah.

Namun, berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 85 Tahun 2015 tentang Pola Tarif Rumah Sakit Nasional, ketetapan tarif RSUD dr. Soekardjo harus melalui pemerintah daerah yang berarti harus melalui eksekutif dan legislatif. Selain itu, DPRD Kota Tasikmalaya tidak dilibatkan dalam penetapan tarif RSUD dr. Soekardjo, sehingga tindakan walikota Tasikmalaya tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan terkait.

Sejauh ini, belum ada peraturan daerah mengenai ketetapan tarif Rumah Sakit Umum Daerah Kota Tasikmalaya yang terbaru sebagaimana dimaksud oleh Permenkes No. 85 Tahun 2015. Peraturan daerah yang berlaku saat ini masih berlaku untuk sebagian peraturan khususnya untuk tarif pelayanan kesehatan kelas III RSUD dr. Soekardjo, selanjutnya peraturan walikota tersebut pada saat ini sudah diberlakukan disertai dengan sosialisasi pada masyarakat terkait kenaikan tarif pelayanan kesehatan RSUD dr. Soekardjo.

Dikeluarkannya kebijakan walikota tasikmalaya tersebut tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi serta mengatur kewenangan dari walikota itu sendiri, seharusnya walikota dalam

Teori & Praktek Kewenangan Pemerintahan| 115 mengeluarkan kebijakannya, melibatkan DPRD Kota Tasikmalaya sebagaimana diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan No. 85 Tahun 2015. Tindakan walikota Tasikmalaya tanpa melibatkan DPRD Kota Tasikmalaya dalam membuat kebijakan tersebut merupakan tindakan diluar wewenangnya.

Tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai penyalahgunaan wewenang, yang dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dinyatakan terjadi ketika badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang, dan/atau bertindak sewenang-wenang.

Terjadinya penyalahgunaan wewenang perlu diukur dengan membuktikan secara faktual bahwa seorang pejabat telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain atau tidak. Penyelesaian sengketa kewenangan, pada prakteknya diajukan dan diselesaikan melalui Peradilan Tata Usaha Negara sebagai suatu gagasan dalam menyelesaikan sengketa yang timbul di bidang Tata Usaha Negara, yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Dasar dari suatu proses beracara di peradilan tata usaha Negara adalah adanya suatu Keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang dirasakan oleh orang atau badan hukum perdata merugikan kepentingannya. Kebijakan yang dikeluarkan oleh pejabat tata usaha negara termasuk ke dalam

Teori & Praktek Kewenangan Pemerintahan| 116 Keputusan TUN. Adanya kepentingan merupakan suatu syarat minimal dijadikannya alasan mengajukan gugatan di pengadilan TUN. Dasar pengajuan suatu gugatan di pengadilan TUN tidak hanya berdasarkan Keputusan TUN sebagai obyek sengketa, tetapi harus memenuhi syarat adanya unsur kepentingan.

Dasar hukum untuk menguji KTUN menurut Pasal 53 ayat 2 UU No. 5 Tahun 1986, lalu ketentuan ini oleh Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 diubah menjadi bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Penyelesaian sengketa melalui Peradilan Tata Usaha Negara sebagai kewenangan Pengadilan untuk memeriksa dan memutus gugatan atau permohonan untuk mendapatkan Keputusan dan/atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan. Dalam kasus ini, Pengadilan TUN dapat memeriksa dan memutus terkait peraturan walikota tentang kenaikan tarif pelayanan kesehatan reguler RSUD dr. Soekardjo apakah termasuk penyalahgunaan wewenang oleh pejabat TUN atau tidak karena tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan lebih tinggi yang memberikan wewenang dalam penetapan tarif RSUD melalui pejabat eksekutif dan legislatif.

Teori & Praktek Kewenangan Pemerintahan| 117

B. Pelaksanaan Kewenangan Bidang Pendidikan oleh Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat

Sesuai dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun

Dalam dokumen TEORI & PRAKTEK KEWENANGAN PEMERINTAHAN (Halaman 106-188)

Dokumen terkait