• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pati Jagung

Dalam dokumen PENGARUH PERLAKUAN PASSING (Halaman 26-40)

Pati banyak terdapat pada tanaman sebagai cadangan karbohidrat, dan merupakan sumber karbohidrat utama bagi manusia. Pati komersial didapat dari biji–bijian seperti jagung, jagung tipe waxy, jagung dengan kandungan amilosa yang tinggi, gandum, dan berbagai jenis beras, serta dari batang dan umbi–umbian (Fennema, 1996). Pati memiliki karakteristik tertentu berdasarkan bentuk, ukuran, distribusi ukuran, komposisi, dan kekristalan granulanya (Belitz, dan Grosch, 1999). Pati tidak larut pada air dingin dan akan membentuk massa pasta yang padat dan keras apabila dicampur dengan

air dingin. Oleh karena itulah pati sangat sulit dijadikan massa adonan yang nantinya mengalami pencetakan. Sifat pati jagung berbeda dengan tepung jagung yang komposisinya masih lengkap. Pati jagung atau yang dikenal dengan nama dagang maizena merupakan produk utama dari industri penggilingan jagung dengan teknik basah (Greenwood, 1975).

Pati tersusun dari unit–unit glukosa. Pati tersusun paling sedikit oleh tiga komponen utama yaitu amilosa, amilopektin, dan material antara seperti protein dan lemak (Banks dan Greenwood, 1975). Umumnya pati mengandung 12–30% amilosa, 75–80% amilopektin dan 5–10% material antara. Pati biji-bijian memiliki kandungan lemak yang rendah. Lemak yang berikatan dengan pati umumnya adalah lemak polar. Jumlah lemak yang dikandung oleh pati biji–bijian adalah sekitar 0.5–1.0%. Selain itu, pati mengandung mineral seperti fosfat dan nitrogen. Pada biji–bijian, umumnya fosfat berbentuk fosfolipid (Hoseney, 1998). Struktur dan jenis material antara tiap sumber pati berbeda tergantung sifat-sifat botani sumber pati tersebut. Secara umum dapat dikatakan bahwa pati biji-bijian mengandung bahan antara yang lebih besar dibandingkan pati batang dan pati umbi (Greenwood, 1979).

1. Amilosa

Amilosa merupakan homoglikan D-glukosa dengan ikatan α-(1,4) dari struktur cincin piranosa, yang membentuk rantai lurus umumnya dikatakan sebagai linier dari pati. Meskipun sebenarnnya jika amilosa dihidrolisa dengan β-amilase pada beberapa jenis pati tidak diperoleh hasil hidrolisis yang sempurna. β-amilase menghidrolisa amilosa menjadi unit-unit residu glukosa dengan memutuskan ikatan α-(1,4) dari ujung non pereduksi rantai amilosa menghasilkan maltosa (Hoseney, 1998).

Berat molekul amilosa beragam tergantung pada sumber dan metode ekstraksi yang digunakan. Berat molekul amilosa sekitar 250.000 (untuk 1500 unit anhidroglukosa). Secara umum amilosa yang diperoleh dari umbi–umbian dan pati batang memiliki berat molekul yang lebih tinggi dibandingkan dengan amilosa dari pati biji–bijian. Kemampuan

amilosa berinteraksi dengan iodin membentuk kompleks berwarna biru merupakan cara untuk mendeteksi adanya pati (Hoseney, 1998).

2. Amilopektin

Amilopektin seperti amilosa juga mempunyai ikatan α-(1,4) pada rantai lurusnya, serta ikatan α-(1,6) pada titik percabangannya. Ikatan percabangan tersebut berjumlah sekitar 4–5% dari seluruh ikatan yang ada pada amilopektin. Bobot molekul amilopektin berkisar antara 107 – 5 x 108 (Fennema, 1996).

Amilopektin terkandung pada semua pati. Biasanya pati mengandung hampir 75% amilopektin. Beberapa pati mengandung amilopektin seluruhnya dan dinamakan waxy starch (pati berlilin) contohnya jagung berlilin (Fennema, 1996).

3. Granula Pati

Dalam keadaan murni granula pati berwarna putih, mengkilat, tidak berbau dan tidak berasa. Secara mikroskopik terlihat bahwa granula pati dibentuk oleh molekul-molekul yang membentuk lapisan tipis yang tersusun terpusat. Granula pati bervariasi dalam bentuk tidak beraturan. Pati jagung biasa memiliki diameter berkisar antara 2–30 μm, Pati jagung berlilin juga memiliki diameter berkisar antara 2–30 μm, jagung yang tinggi amilosa 2-24 μm, kentang 5-100 μm, tapioka 4-35 μm, dan gandum 2-55 μm (Fennnema, 1996).

Bentuk butir pati secara fisik berupa semi kristalin yang terdiri dari unit kristal dan unit amorphus. Unit kristal lebih tahan terhadap perlakuan asam kuat dan enzim. Bagian amorphus dapat menyerap air dingin sampai 30 persen tanpa merusak struktur pati secara keseluruhan (Hodge dan Osman, 1976).

D. Gelatinisasi

1. Konsep dan Mekanisme Gelatinisasi

Granula pati tidak larut dalam air dingin tetapi akan mengembang dalam air panas atau hangat. Pengembangan granula pati tersebut bersifat bolak–balik (reversible) jika tidak melewati suhu gelatinisasi dan akan menjadi tidak bolak–balik (irreversible) jika telah mencapai suhu gelatinisasi (Greenwood dan Munro, 1979).

Beberapa perubahan selama terjadinya gelatinisasi dapat diamati. Mula–mula suspensi yang keruh mulai menjadi jernih pada suhu tertentu, tergantung jenis pati yang digunakan. Terjadinya translusi larutan pati tersebut biasanya diikuti dengan pembengkakan granula. Bila energi kinetik molekul–molekul air menjadi lebih kuat daripada gaya tarik– menarik antar molekul pati di dalam granula, air dapat masuk ke dalam butir–butir granula. Hal inilah yang menyebabkan bengkaknya granula pati. Indeks refraksi butir–butir pati yang membengkak itu mendekati indeks refraksi air, hal inilah yang menyebabkan sifat translusen. Karena jumlah gugus hidroksil dalam molekul pati sangat besar, maka kemampuan menyerap air sangat besar. Peningkatan viskositas disebabkan air yang awalnya berada di luar granula dan bebas bergerak sebelum suspensi dipanaskan, kini sudah berada di dalam butir–butir pati dan tidak dapat bergerak bebas lagi (Winarno, 1997).

Pada dasarnya mekanisme gelatinisasi terjadi dalam tiga tahap, yaitu : (1) penyerapan air oleh granula pati sampai batas yang akan mengembang secara lambat dimana air secara perlahan-lahan dan bolak-balik berimbibisi ke dalam granula, sehingga terjadi pemutusan ikatan hidrogen antara molekul-molekul granula, (2) pengembangan granula secara cepat karena menyerap air secara cepat sampai kehilangan sifat birefriengence-nya dan (3) granula pecah jika cukup air dan suhu terus naik sehingga molekul amilosa keluar dari granula (Swinkels, 1985).

Menurut Harper (1981) mekanisme gelatinisasi dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 3.

2. Suhu Gelatinisasi

Fennema (1996) menyatakan bahwa suhu atau titik gelatinisasi adalah titik saat sifat birefrigence pati mulai menghilang. Suhu gelatinisasi tidak sama pada berbagai jenis pati. Suhu gelatinisasi pada berbagai jenis pati ditunjukkan oleh Tabel 5.

Tabel 5. Suhu gelatinisasi beberapa jenis pati Sumber pati Suhu gelatinisasi (oC) Beras 65-73 Ubi jalar 82-83 Tapioka 59-70 Jagung 61-72 Gandum 53-64 Sumber: Fennema (1996)

Gambar 3. Mekanisme gelatinisasi pati (Harper, 1981) Granula pati tersusun dari amilosa (berpilin) dan amilopektin (bercabang)

Masuknya air merusak kristalinitas amilosa dan merusak helix. Granula membengkak

Adanya panas dan air menyebabkan

pembengkakan tinggi. Amilosa berdifusi keluar dari granula

Granula mengandung amilopektin, rusak dan terperangkap dalam matriks amilosa membentuk gel

Suhu gelatinisasi diawali dengan pembengkakan yang irreversible granula pati dalam air panas dan diakhiri tepat ketika granula pati telah kehilangan sifat kristalnya Dalam suatu larutan pati, suhu gelatinisasi berupa kisaran. Hal ini disebabkan populasi pati yang bervariasi dalam ukuran, bentuk, dan energi yang diperlukan untuk mengembang. Selain itu, suhu gelatinisasi dipengaruhi oleh ukuran amilosa amilopektin serta keadaan media pemanasan.

3. Sifat Birefringence

Dengan pengamatan di bawah mikroskop (polarizing microscope) dapat diketahui keberadaan sifat birefringence pati, yaitu sifat merefleksikan cahaya terpolarisasi, sehingga terlihat kristal gelap terang. Intensitas birefringence pati sangat tergantung dari derajat dan orientasi kristal. Pati yang mempunyai kadar amilosa tinggi, intensitas sifat birefringencenya lemah jika dibandingkan dengan pati dengan kadar amilopektin tinggi (Hoseney, 1998).

Pati mentah dan belum mendapat perlakuan jika diamati di bawah mikroskop polarisasi akan memperlihatkan pola birefringence yang jelas daerah gelap terangnya. Sedangkan pada pati yang dipanaskan bersama air, sifat birefringence secara bertahap akan hilang tergantung suhu dan waktu yang digunakan. Jika suhu yang digunakan di atas suhu gelatinisasi, maka hilangnya sifat birefringence disebabkan oleh pecahnya molekul pati sehingga granula pati kehilangan sifat merefleksikan cahayanya. Penetrasi panas menyebabkan peningkatan derajat ketidakteraturan, dan meningkatnya molekul pati yang terpisah, serta penurunan sifat kristal (Hoseney, 1998).

E. Ekstrusi 1. Ekstruder

Ekstruder adalah alat untuk mencetak bahan melalui proses ekstrusi (Harper, 1981). Ekstruder terdiri atas berbagai bentuk, yang paling sederhana adalah ekstruder tipe ram atau piston.

Ekstrusi pemasakan dapat digambarkan sebagai proses dimana bahan pangan yang mengandung pati dan protein dimasak dan diadon menjadi adonan yang viskos dan plastis. Panas yang digunakan dalam proses pemasakan dapat berasal dari injeksi uap (secara langsung), dari jaket pemanas (secara tidak langsung), dan berasal dari energi mekanik yang timbul dari gesekan adonan selama proses ekstrusi (Harper, 1981).

Ekstruder dapat diklasifikasikan berdasarkan sifat termodinamika, kadar air, sifat fungsional, dan jumlah ulir. Menurut Harper (1981), berdasarkan sifat fungsional, ekstruder terdiri atas pasta extruder, high-pressure forming extruder, low–shear cooking extruder, coolet extruder, dan high–shear cooking extruder. Secara termodinamika, ekstruder terbagi atas tiga jenis yaitu : autogenous yaitu ekstruder yang menghasilkan panas dengan mengkonversi energi mekanik pada aliran proses; isotermal ekstruder; dan polythropic yaitu ekstruder yang prinsip kerjanya menggabungkan antara autogenous ekstruder dan isotermal ekstruder dimana panas diperoleh dari konversi energi mekanik dan dari transfer panas. Berdasarkan kadar air, ekstruder terbagi atas low moisture extruder dengan kadar air bahan sampai 20%, intermediate moisture extruder dengan kadar air bahan 20-28%, dan high moisture extruder dengan kadar air bahan lebih dari 28%. Berdasarkan jumlah ulirnya, ekstruder terbagi atas ekstruder berulir tunggal dan ekstruder berulir ganda.

Ekstruder berulir tunggal terdiri atas ulir yang berputar pada barel silinder. Ekstruder ulir tunggal dapat diklasifikasikan menjadi : high shear ekxtruder (untuk produk–produk sereal sarapan pagi dan makanan ringan), medium shear extruder (untuk produk–produk semi basah), dan low shear extruder (untuk pasta dan produk–produk daging). Biaya investasi dan biaya operasi ekstruder berulir tunggal lebih rendah daripada biaya

ekstruder berulir ganda, selain itu tidak dibutuhkan tenaga ahli untuk pengoperasian dan perawatan ekstruder berulir tungggal (Fellows, 2000).

Menurut Smith (1981) ekstruder berulir tunggal dibagi atas tiga kelompok yaitu Low Shear, Medium Shear, dan High Shear. Jenis-jenis ekstruder tersebut dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Klasifikasi Ekstruder Ulir Tunggal (Smith, 1980)

Kategori Low

Shear

Medium Shear

High Shear

Kadar Air Produk (%) 25 – 75 15 – 30 5 – 8 Densitas produk (g/ 100ml) 32 – 80 16 – 51 3.2 – 20 Suhu barrel maksimum (°C) 20 – 65 55 – 145 110 – 180 Tekanan barrel maksimum

(kg / cm2) 6 – 63 21 – 42 42 – 84 Kecepatan ulir (rpm) 100 200 200 Produk khas Produk pasta daging Roti, makanan ternak Snack, breakfast cereal Sedangkan ekstruder ulir ganda dapat diklasifikasikan berdasarkan arah perputaran ulirnya, terdiri dari co-rotating screw extruder (ekstruder dengan arah perputaran ulir yang searah) dan counter rotating screw extruder (ekstruder dengan arah perputaran ulir yang berlawanan). Ekstruder dengan ulir yang co-rotating banyak diaplikasikan dalam proses pengolahan pangan. Beberapa kelebihan ekstruder ulir ganda yaitu : memiliki kontrol yang lebih baik terhadap tranfer panas dibandingkan ekstruder ulir tunggal, dapat menangani bahan pangan yang sangat basah, lengket, dan berminyak, serta dapat menggunakan bahan pangan dengan ukuran partikel yang bervariasi (Fellows, 1990).

Gambar 4. Bagian-Bagian Penting Alat Ekstruder Tunggal

2. Proses Ekstrusi

Ekstrusi adalah proses pengolahan pangan yang mengkombinasikan beberapa proses secara berkesinambungan antara lain pencampuran, pemasakan, pengadonan, shearing, dan pembentukan (Fellows, 2000). Dalam proses ekstrusi, adanya aliran adonan adalah karena pengaruh tekanan ’shear’ (σ), dimana tekanan ’shear’ tergantung pada kecepatan ’shear’ dan viskositas bahan. Pada aliran newtonian terjadi hubungan linear antara tekanan ’shear’ dan kecepatan ’shear’. Aliran seperti ini biasanya terdapat pada aliran gas. Pada bahan pangan, karena mengandung senyawa-senyawa biopolimer seperti pati dan protein, sifat alirannya mengikuti kaedah non-newtonian (Harper, 1981).

Keuntungan proses pemasakan dengan metoda ekstrusi antara lain produktivitas tinggi, biaya produksi rendah, bentuk produk khas, produk lebih bervariasi walaupun dari bahan baku yang sama, pemakaian energi rendah serta mutu produk lebih tinggi karena menggunakan suhu tinggi dengan waktu yang singkat sehingga kerusakan nutrisi dapat dikurangi (Fellows, 2000). Selain itu, produk yang dihasilkan seragam, peralatannya mudah diotomatisasi, dan tidak banyak limbah.

3. Ekstrusi Pasta

Pada umumnya, pasta terbuat dari semolina. Pembuatan pasta cukup sederhana. Air dicampur dengan semolina untuk mendapatkan kadar air 31%. Semolina yang telah dicampur air kemudian dimasukan ke dalam ekstruder. Ulir yang terdapat di dalam ekstruder mengadon campuran dan mendorongnya keluar melalui die. Selanjutanya pasta yang keluar melalui die dikeringkan dan dikemas (Hoseney, 1998).

Pasta diekstrusi pada berbagai bentuk dan ukuran. Kecepatan aliran adonan melalui die sangatlah penting karena adanya fluktuasi kecepatan aliran adonan melalui die dapat menyebabkan variasi pada ukuran produk. F. Mi Basah

1. Definisi Mi Basah

Menurut Astawan (1999), mi basah adalah jenis mi yang mengalami pemasakan setelah tahap pemotongan. Sedangkan menurut Dewan Standarisasi Nasional (1992), definisi mi basah adalah produk pangan yang terbuat dari tepung terigu dengan atau tanpa penambahan bahan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan, berbentuk khas mi yang tidak dikeringkan. Mi basah memiliki kadar air maksimal 35% (b/b).

Berdasarkan bahan baku yang digunakan, ada dua macam mi yaitu mi yang berbasis protein dan mi yang berbasis pati. Bahan baku mi berbasis protein berasal dari gandum. Sedangkan bahan baku mi yang berbasis pati dapat berasal dari kacang hijau, ubi jalar, maupun sorgum (Fuglie dan Hermann, 2001).

Berdasarkan bentuk produk mi yang ada di pasaran, mi dapat diklasifikasikan menjadi mi basah mentah yaitu mi yang diproses tanpa pemasakan dan pengeringan, mi basah matang yaitu mi basah yang mengalami pemasakan dan tanpa pengeringan, serta mi kering yaitu mi yang mengalami pengeringan (Anonimc , 2006).

Kualitas mi basah menurut SNI dapat dilihat pada tabel 7. Produk mi umumnya digunakan sebagai sumber energi karena kandungan karbohidratnya relatif tinggi.

Tabel 7. Syarat Mutu Mi Basah

No. Kriteria uji Satuan Persyaratan 1. Keadaan : 1.1. bau 1.2. rasa 1.3. warna Normal Normal Normal 2. Kadar air % b/b 20 – 35 3. Kadar abu (dihitung atas dasar

bahan kering)

% b/b Maks. 3 4. Kadar protein ((N x 6,25)

dihitung atas dasar bahan kering)

% b/b Min. 3 5. Bahan tambahan pangan

5.1 boraks dan asam borat 5.2 pewarna

5.3 formalin

Tidak boleh ada

Sesuai SNI-022-M dan peraturan MenKes No. 722/MenKes/Per/IX/

88

Tidak boleh ada 6 Cemaran logam 6.1 timbal (Pb) 6.2 tembaga (Cu) 6.3 seng (Zn) 6.4 raksa (Hg) mg/kg Maks. 1,0 Maks. 10,0 Maks. 40,0 Maks 0,05 7. Arsen (As) mg/kg Maks 0,05 8. Cemaran mikroba :

8.1 angka lempeng total 8.2 E. Coli 8.3 kapang Koloni/g APM/g Koloni/g Maks 1,0 x 106 Maks. 10 Maks 1,0 x 104 (SNI 01-2987-1992)

2. Penggunaan alkali pada mi

Berdasarkan warnanya, mi di Asia dapat dibedakan menjadi dua yaitu mi putih yang mengandung garam dan mi kuning yang mengandung alkali. Proses pembuatan kedua mi tersebut sama, yang membedakannya adalah penambahan alkali. Mi alkali ini dapat ditemukan di Jepang, Malaysia, Singapura, Indonesia, Thailand, Taiwan, Hongkong, dan Cina bagian selatan.

Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan mi alkali adalah tepung terigu, air, dan garam alkali. Air abu atau alkali berfungsi untuk mempercepat pembentukan gluten, meningkatkan elastisitas dan

fleksibilitas mi, meningkatkan kehalusan tekstur, dan meningkatkan sifat kenyal.

Garam alkali yang umum digunakan di Asia Tenggara adalah Na2CO3 (natrium karbonat). Alkali yang digunakan dapat berupa bubuk maupun larutan atau air kansui. Bubuk alkali harus dilarutkan dalam air terlebih dahulu sebelum dicampurkan dengan tepung.

Penambahan alkali dapat memberikan aroma yang khas terhadap mi, menyebabkan warna yang lebih gelap, dan meningkatkan kekenyalan mi. Penambahan alkali juga dapat memodifikasi adonan, mempengaruhi derajat gelatinisasi pati, dan mempengaruhi karakteristik pemasakan mi. Pada umumnya pH mi alkali antara 9-11, berbeda dengan mi yang hanya mengandung garam yaitu sekitar 7 (Miskelly, 1996).

G. Mi Jagung

Mi jagung merupakan mi dengan bahan baku utama pati atau tepung jagung. Di Filipina mi yang terbuat dari pati jagung maupun tepung jagung dinamakan bijon. Tekstur permukaannya opaque, agak kasar dan berwarna putih karena terbuat dari jagung putih (Inglett, 1970).

Proses pembuatan mi jagung dengan pembentukan lembaran terdiri dari beberapa tahap yaitu pencampuran bahan, pengukusan pertama, pengulian, pressing, slitting, perebusan, perendaman dalam air dingin, dan pelumuran dengan minyak. Proses pengolahan mi basah jagung berbeda dengan proses pengolahan mi basah terigu karena setelah pencampuran bahan baku dilakukan pengukusan. Pengukusan dilakukan agar adonan dapat dibentuk dan dicetak menjadi mi. Hal ini terjadi karena 60% protein endosperma jagung terdiri dari zein, sedangkan pada terigu, endospermanya terdiri dari gliadin dan glutenin. Gliadin dan glutenin merupakan jenis protein yang mempunyai sifat dapat membentuk massa yang elastic-cohesive bila ditambahkan air dan diuleni (Soraya, 2006).

Pembuatan mi jagung dengan teknik calendering diawali dengan pencampuran tepung basah jagung dengan garam dan baking powder. Campuran ini kemudian dikukus selama lima menit. Pengukusan

menyebabkan pati dalam tepung basah mengalami gelatinisasi. Setelah pengukusan, ditambahkan tepung jagung kering ke dalam campuran, kemudian diuleni. Pengukusan menyebabkan terbentuknya massa yang elastis dan kohesif setelah pengulenan (Soraya, 2006).

Tahap selanjutnya adalah pressing untuk pembentukan lembaran. Pengepresan lembaran dilakukan bertahap dengan melewatkan adonan di antara roll pengepres sehingga didapatkan ketebalan 2 mm. Lembaran ini kemudian dipotong menjadi untaian mi. Agar untaian mi tidak mudah patah, maka jumlah pati yang dipregelatinisasi harus cukup karena pati inilah yang berfungsi sebagai pengikat (Soraya, 2006).

Selanjutnya, untaian mi dimatangkan dengan cara perebusan. Mi yang telah matang direndam dalam air dingin selama 10 detik untuk mengurangi kelengketan antara untaian mi. Lalu mi ditiriskan dan dilumuri dengan minyak (Soraya, 2006).

Pembuatan mi jagung dapat dilakukan dengan cara lain yaitu menggunakan sistem ekstrusi Waniska et al. (2000) menggunakan ekstruder pasta untuk membuat mi berbahan dasar tepung jagung dan air yang dipanaskan.

Proses pembuatan mi jagung menurut Waniska et al. (2000) diawali dengan pencampuran tepung jagung, garam, Natrium metabisulfit, dan air. Penambahan Natrium metabisulfit dapat meningkatkan viskositas pasta pati. Hal ini disebabkan banyak granula pati yang terdispersi dan lebih banyak pati yang tergelatinisasi selama proses. Viskositas pasta pati juga dipengaruhi oleh kadar air dan suhu. Semakin tinggi kadar air, maka viskositasnya semakin rendah dan semakin tinggi suhu, viskositasnya semakin tinggi. Kadar air dalam campuran bahan pembuat mi yang tinggi dapat menurunkan cooking loss namun meningkatkan waktu pemasakan (Waniska et al., 2000).

Campuran tersebut kemudian diberi pemanasan awal menggunakan oven microwave. Pemanasan awal ini bertujuan mendispersikan granula pati dan menyebabkan pati tergelatinisasi meskipun tanpa penambahan Natrium metabisulfit.

Selanjutnya, campuran diekstrusi menggunakan ekstruder pasta sehingga membentuk mi. Setelah ekstrusi, mi dipotong sepanjang 25–30 cm dan dikeringkan (Waniska et al., 2000).

III. METODOLOGI PENELITIAN

Dalam dokumen PENGARUH PERLAKUAN PASSING (Halaman 26-40)

Dokumen terkait