• Tidak ada hasil yang ditemukan

Patofisiologi Asma

Dalam dokumen Imron Riyatno S.500907018 (Halaman 47-55)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

7. Patofisiologi Asma

Respons inflamasi kronik pada asma mendasari kelainan faal paru. Kelainan faal paru tersebut akibat kerusakan epitel saluran napas, fibrosis subepitel saluran napas, hiperplasia dan hipertrofi saluran napas, vasodilatasi pembuluh darah, kebocoran plasma, hipersekresi mukus, serta aktivasi saraf sensorik (Barnes dan Rennard 2002). Perubahan faal paru pada asma diantaranya adalah:

a. Obstruksi saluran napas

Obstruksi saluran napas pada asma bersifat difus dan derajatnya ber-variasi, dapat membaik dengan atau tanpa pengobatan. Penyebab utama obstruksi adalah kontraksi otot polos bronkus yang diprovokasi oleh mediator yang dilepaskan sel inflamasi (Rahmawati et al. 2003). Fibrosis subepitel saluran napas dengan penimbunan kolagen berhubungan dengan obstruksi dan hiperesponsivitas saluran napas

commit to user

29

yang terdapat pada penderita asma. Peningkatan aliran darah mukosa saluran napas menyebabkan peningkatan volume pembuluh darah diduga juga berperan terhadap penyempitan saluran napas yang mengakibatkan obstuksi. Peningkatan produksi mukus berperan dalam peningkatan viskositas mucus plugs yang dapat menyebabkan oklusi saluran napas penderita asma (Barnes dan Rennard 2002).

b. Hiperesponsivitas saluran napas

Mekanisme hiperresponsivitas saluran napas belum diketahui secara pasti. Salah satu penyebabnya diduga karena perubahan sifat otot polos saluran napas sekunder terhadap perubahan fenotip kontraktilitas. Inflamasi dinding saluran napas terutama di daerah peribronkial dapat menambah penyempitan saluran napas selama kontraksi otot polos. Hiperesponsivitas saluran napas dapat diukur dengan uji provokasi bronkus. Pada penderita asma terjadi peningkatan pemendekan otot polos bronkus saat kontraksi isotonik. Perubahan fungsi kontraksi mungkin disebabkan oleh perubahan aparatus kontraksi (Rahmawati et al. 2003). Kerusakan epitel saluran napas diduga penting dalam kontribusi terjadinya hiperesponsivitas saluran napas. Kerusakan epitel dapat terjadi melalui beberapa mekanisme yaitu: kehilangan fungsi pertahanan untuk melawan masuknya alergen, kehilangan enzim (neural peptidase) yang secara normal menurunkan mediator inflamasi, kehilangan faktor relaksasi, dan kerusakan saraf sensorik. Kerusakan kontrol saraf otonom diduga

commit to user

30

juga berperan dalam hiperresponsivitas saluran napas pada penderita asma (Barnes dan Rennard 2002).

c. Hipersekresi mukus

Saluran napas penderita asma terjadi hiperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet, sehingga menyebabkan penyumbatan saluran napas oleh mukus. Hipersekresi mukus akan mengurangi gerakan silia, mempengaruhi lama inflamasi dan menyebabkan kerusakan struktur / fungsi epitel (Rahmawati et al. 2003). Peningkatan respons sekresi ini mungkin akibat dari aktivitas mediator inflamasi pada kelenjar submukosa dan akibat dari stimulasi elemen saraf (Barnes dan Rennard 2002). Gambaran patofisiologi asma terlihat pada gambar empat.

Gambar 4. Patofisiologi asma.

commit to user

31

8. Peran Stres Oksidatif Pada Patofisiologi Asma

Stres oksidatif berperan pada peningkatan dan kelangsungan inflamasi saluran napas berdampak pada peningkatan hiperresponsivitas saluran

napas, merangsang sekresi mukus, dan menginduksi mediator

proinflamasi, yang semua terkait dengan derajat keparahan asma (Fitzpatrick et al. 2009). Peningkatan produksi ROS berkorelasi ter-

balik dengan FEV1 (Bowler dan Crapo 2002). Kekurangan asup-

an makanan yang mengandung antioksidan juga terkait dengan

peningkatan insiden asma (Grievink et al. 1998). Pajanan polusi udara juga menyebabkan peningkatan keparahan dan frekuensi serangan. Peningkatan stres oksidatif pada pasien asma juga ber-hubungan dengan penurunan fungsi paru (Cho dan Moon 2010).

Kadar antioksidan sirkulasi rendah darah atau asupan antioksidan yang rendah diduga menjadi faktor risiko asma. Reaktif oksigen spesies secara langsung dapat menimbulkan eksaserbasi melalui efek pada otot polos

saluran napas dan sekresi mukus. Reaktif oksigen spesies juga

menurunkan -adrenergik pada paru, serta meningkatkan kepekaan

kontraksi otot polos saluran napas terhadap induksi asetilkolin. Hidrogen peroksida mampu mengaktivasi mitogen-activated kinase dalam sel otot serta me-rangsang kontraksi otot polos saluran napas (Bowler dan Crapo 2002).

commit to user

32

9. Peran Steroid Terhadap Tingkat Stres Oksidatif

Glukokortikoid terbukti tidak bisa menghambat pembentukan oksidan dalam eosinofil pada percobaan invitro, tetapi inhalasi glukokortikoid mampu menurunkan kadar H2O2 dalam udara ekshalasi

napas pasien asma. Dosis rendah glukokortikoid inhalasi juga mampu menurunkan konsentrasi nitrat total dan nitrit dalam udara ekshalasi maupun dahak pasien asma stabil. Inhalasi glukokortikoid juga memperbaiki kekurangan kadar CuZn-SOD dalam epitel. Mekanisme glukokortikoid pada asma terkait dengan keseimbangan oksidan dan antioksidan belum diketahui secara pasti (Bowler dan Crapo 2002). Terapi steroid terbukti menunjukkan ada korelasi antara inflamasi dan stres oksidatif. Peningkatan spesies oksigen reaktif pada asma eksaserbasi akut menimbulkan peningkatan pertahanan antioksidan endogen. Kadar glutation saluran napas meningkat pada pasien asma, akan tetapi rasio glutation teroksidasi dibanding glutation tereduksi juga me-ningkat. Peningkatan glutation tereduksi menunjukkan respons adaptif pada asma eksaserbasi akut, namun sebaliknya kadar antioksidan saluran napas yang lain seperti -tokoferol dan asam askorbat mengalami penurunan. Aktivitas SOD dalam sel hasil bilasan dan sikatan bronkus berkurang pada pasien asma (Bowler dan Crapo 2002). Peningkatan stres oksidatif pada saluran napas mengawali perkembangan inflamasi alergi, hiperresponsivitas saluran napas, peningkatan sekresi mukus dan proses lain pada pasien asma (Cho dan Moon 2010).

commit to user

33

Hubungan antara inflamasi dan ROS menunjukkan umpan balik positif yang bisa mempertahankan cedera pada paru. Sitokin seperti

TNF- heparin bound epidermal growth factor, fibroblast growth factor

2, angiotensin II, serotonin, dan trombin ditemukan di paru selama proses inflamasi. Aktivasi oksidasi dapat menyebabkan peningkatan ROS pada percobaan dengan kultur sel. Target ROS belum diketahui secara pasti, diduga berefek pada receptor kinases, fosfatase, fosfolipid, atau nonreceptor tyrosine kinases, mitogen activated protein kinases (Bowler dan Crapo 2002). Berdasar hasil penelitian para ahli berkesimpulan bahwa peningkatan ROS berperan penting pada induksi inflamasi alergi saluran napas. Kontrol stres oksidatif intraseluler pada saat yang tepat penting untuk penatalaksanaan asma yang efektif (Cho dan Moon 2010).

Target radikal bebas lain yang banyak diteliti adalah oksida nitrat. Terdapat bukti bahwa peningkatan nitrat oksida menyebabkan disregulasi pada asma. Udara ekshalasi pasien asma terbukti memiliki kadar oksida nitrat lebih tinggi dibanding subyek sehat, dan kadar oksida nitrat ini menurun pada pemberian kortikosteroid. Identifikasi peran nitrat oksida di paru sulit karena terdapat tiga sumber berbeda sintesis oksida nitrat (nitric oxide synthases/ NOS). Nitric oxide synthases 1 disebut juga neuronal NOS (nNOS) ditemukan di nonadrenergic nervus terminalis otot polos, diduga dapat menyebabkan bronkodilatasi. Nitric oxide synthases 2 (inducible NOS) ditemukan pada berbagai jenis sel inflamasi

commit to user

34

dan epitel. Nitric oxide synthases 3 (ekstraseluler NOS) terutama ditemukan pada endotel, berfungsi memediasi vasodilatasi. Nitric oxide synthases 2 merupakan penyebab utama peningkatan oksida nitrat pada pasien asma. Peran oksida nitrat pada patogenesis asma masih belum jelas. Efek bronkodilatasi oksida nitrat pada pasien asma tidak signifikan, hal diduga adanya gangguan jalur signaling dalam sel otot polos. Gangguan sinyal oksida nitrat mungkin dimediasi oleh reaksi oksida nitrat dengan ROS yang lain. Oksida nitrat cepat bereaksi dengan superoksida untuk membentuk peroxynitrite. Pembentukan peroxynitrite meningkat selama inflamasi dan mempunyai efek toksik bagi mikroba, namun peroxynitrite juga meningkatkan hiperresponsivitas saluran napas. Pembentukan peroxynitrite akan menurunkan kadar oksida nitrat. Dua mekanisme perlu diupayakan untuk melindungi sinyal oksida nitrat adalah: 1. Merubah nitrat oksida menjadi spesies yang lebih stabil, seperti S-nitrosoglutathione. 2. Mengurangi konsentrasi ROS lokal dengan mengguna-kan enzim antioksidan ekstraseluler konsentrasi tinggi . S-nitrosoglutathione diduga menjadi kontributor utama relaksasi otot polos saluran napas pasien asma (Fang et al. 2000). Famili enzim SOD berperan penting dalam mempertahankan aktivitas oksida nitrat. Peningkatan kadar EC-SOD dalam sel otot polos saluran napas dan pembuluh darah paru diduga berperan untuk mempertahankan tingkat bronkodilatasi otot polos dan regulasi pembuluh darah selama terjadi stress oksidatif (Bowler dan Crapo 2002).

commit to user

35

10.Pemeriksaan Faal Paru Pada Asma

Pemeriksaan faal paru pada penderita asma menggunakan alat spirometri yang dapat mengukur beberapa parameter yaitu kapasitas vital (KV), kapasitas vital paksa (KVP), volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1), dan arus puncak ekspirasi (APE) (Alsagaf dan Mangunnegoro

1993)

Nilai VEP1 adalah volume udara ekspirasi satu detik pertama pada

pengukuran KVP. Orang normal dapat mengeluarkan udara pernapasan 80% dari kapasitas vitalnya pada detik pertama. Nilai VEP1 orang dewasa

normal yang berumur antara 20-60 tahun, akan menurun kira-kira 28 ml setiap tahun. Teknik pengukuran VEP1 dapat diukur dengan perasat yang

sama dengan pengukuran KVP dan biasanya kedua pengukuran tersebut dilakukan sekaligus/bersamaan (Alsagaf dan Mangunnegoro 1993, Barreiro dan Perillo 2004). Pada asma didapatkan peningkatan perbaikan

VEP1

B. VITAMIN C

Vitamin C atau sering disebut asam askorbat, asam hexuronic atau vitamin antiskorbut mempunyai rumus kimia L-ascorbic acid (2,3-endiol-L-gulonic acid-g-lactone), dehydro-L-ascorbic acid (2-oxo-L-gulonic acid- g-lacton. Vitamin C bersifat larut dalam air, dan pertama kali ditemukan pada tahun 1932. Manusia, primata lain, dan babi memenuhi kebutuhan vitamin C tergantung pada sumber eksternal, karena spesies tersebut tidak mampu

commit to user

36

mensintesis vitamin C dari glukosa dan galaktosa dalam tubuh mereka (Padayatty et al. 2003).

Dalam dokumen Imron Riyatno S.500907018 (Halaman 47-55)

Dokumen terkait