• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Stres Oksidatif Pada Patogenesis

Dalam dokumen Imron Riyatno S.500907018 (Halaman 42-47)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

5. Peran Stres Oksidatif Pada Patogenesis

Stres oksidatif terjadi karena peningkatan produksi oksidan atau ber- kurangnya produksi antioksidan sehingga mengakibatkan gangguan kese- timbangan antara oksidan dan antioksidan. Peningkatan produksi oksidan diantaranya disebabkan inflamasi pada saluran napas pasien asma. Sel makrofag saluran napas pasien asma menghasilkan kadar superoksida lebih tinggi dibanding subyek normal. Polusi udara juga merangsang peningkatan oksidan eksogen yang berpengaruh terhadap insidensi asma. Pengurangan produksi antioksidan pada asma disebabakan oleh beberapa gangguan yang mekanismenya sudah diketahui yaitu berkurangnya kadar selenium (elemen penting aktivitas aktivasi glutathione peroxidase), serta berkurangnya aktivitas tembaga dan seng yang mengandung superoxide dismutase (Cu, Zn-SOD) pada sel epitel bronkus dan cairan BAL. Terdapat bukti adanya polimorfisme genetik pada antioksidan enzimatik Mn-SOD dan glutathione S-transferase pada penderita asma (Dworski 2000). Penelitian pada model hewan coba asma menunjukkan adanya penurunan kadar nuclear factor like 2 (Nrf2) dan peroksiredoksin

commit to user

24

aktivitas pertahanan antioksidan intraselular berpengaruh terhadap perkembangan asma (Cho dan Moon 2010). Kehilangan kontrol oksidan di saluran napas dapat menimbulkan inisiasi sel Th2 yang merupakan fase

awal perkembangan inflamasi alergi dalam saluran napas. Peningkatan

kadar ROS dalam APC mempengaruhi sistem imunitas akibat respon Th2

(Peterson et al. 1998). Kondisi stres oksidatif menyebabkan gangguan maturasi sel dendritik ditandai penurunan sekresi IL-12 dan IFN- yang berdampak down regulation terhadap Th1 (Kim et al. 2007, Kroening et

al. 2010). Pajanan oksidan terhadap sel dendritik terbukti meningkatkan produksi IL-4, IL-8 dan TNF-

(Verhasselt et al. 1998). Sel makrofag yang mengalami stres oksidatif akan mengalami peningkatan produksi IL-6 dan IL-10 dan akan mendeferensiasi Th0 ke arah respons Th2 (Murata et al. 2002).

Peningkatan stres oksidatif juga berkontribusi pada perkembangan atau kelangsungan inflamasi saluran napas, menimbulkan peningkatan hiperresponsivitas saluran napas, stimulasi sekresi mukus, dan induksi berbagai mediator kimia proinflamasi. Semua hal tersebut diatas terkait dengan tingkat keparahan asma (Fitzpatrick et al. 2009).

Sel makrofag saluran napas pasien asma menghasilkan kadar superoksida lebih tinggi dibanding subyek normal. Pajanan antigen juga terbukti meningkatkan kadar ROS saluran napas. Sel inflamasi pada sirkulasi diduga juga menjadi sumber stres oksidatif. Monosit darah perifer teraktivasi oleh ikatan IgE dengan membran reseptor dan

commit to user

25

mensekresi superoksida. Isolasi eosinofil dari pasien asma setelah pajanan antigen selama 24 jam menghasilkan kadar hidrogen peroksida lebih tinggi. Eosinofil dan monosit darah pasien asma terbukti juga mengandung kadar ROS lebih tinggi dibandingkan dengan subyek normal. Data tersebut di atas menunjukkan bahwa sel-sel inflamasi saluran napas maupun intravaskular berkontribusi pada peningkatan stres oksidatif pada asma (Bowler dan Crapo 2002). Peran stres oksidatif terhadap perkembangan asma terlihat pada gambar tiga.

Gambar 3. Peran stres oksidatif pada asma.

Dikutip dari (Cho dan Moon 2010) Sebagian besar bukti epidemiologis dan klinis mendukung adanya hubungan antara peningkatan ROS dan patogenesis asma bronkial. Molekul yang terlibat dalam stres oksidatif lebih banyak ditemukan dari sampel biologi yang diambil dari pasien asma dibandingkan dengan

commit to user

26

kontrol subyek normal. Insidensi pasien asma juga dilaporkan lebih tinggi di daerah dengan polusi udara, menunjukkan adanya pengaruh rangsang oksidan eksogen terhadap asma (Cho dan Moon 2010). Kenaikan ROS pada asma terkait dengan kerusakan berbagai molekul biologis di paru. Peningkatan nitrotyrosine dan chlorotyrosine pada sampel cairan BAL menunjukkan adanya kerusakan protein, yang berhubungan dengan penurunan aktivitas 1 protease inhibitor (Bowler dan Crapo 2002).

6. Patologi Asma

Inflamasi saluran napas pada asma melibatkan interaksi berbagai sel dan mediator berperan sentral pada patologi asma (Barnes dan Rennard 2002). Mediator inflamasi dan protein hasil sekresi sel-sel inflamasi berperan terhadap perubahan struktur dan fungsi saluran napas. Proses inflamasi kronik tersebut akan mengakibatkan perubahan struktur berupa peningkatan epitel, hiperplasia sel goblet, peningkatan jumlah pembuluh darah, peningkatan dan perubahan matriks ekstraselular (extra-cellular matrix / ECM) serta pe-ningkatan massa otot polos saluran napas (airway

smooth muscle / ASM) (Postma dan Timens 2006).

Analisis patologi penderita asma berat menunjukkan terjadi peningkatan sebagian besar unsur dinding saluran napas (otot polos, jaringan ikat, dan kelenjar mukus). Peningkatan ini terjadi pada saluran napas semua ukuran kecuali kelenjar mukus. Perubahan patologis saluran napas penderita asma ringan kurang menonjol. Perubahan terutama hanya

commit to user

27

di saluran napas kecil dengan diameter 2-4 mm. Ketebalan dinding saluran napas juga berhubungan dengan derajat keparahan dan lama penyakit (Homer dan Elias 2005).

Penyebab terpenting penebalan saluran napas adalah peningkatan massa otot polos karena hipertrofi dan hiperplasia (Larsson 2010). Penebalan lapisan kolagen saluran napas penderita asma juga menonjol. Tebal lapisan kolagen saluran napas normal sekitar 5 m. Tebal lapisan

kolagen pasien asma meningkat menjadi 20 m (Larsson 2010).

Penebalan ini semula hanya digambarkan sebagai penebalan basement membrane. Kelainan juga terjadi pada matriks nonkolagen termasuk elastin, proteoglikan, dan kartilago. Fibrosis subepitel memberikan kontribusi terjadi perubahan distensibilitas saluran napas dan mungkin berhubungan dengan hiperesponsif saluran napas pada asma. Fibrosis subepitel merupakan tanda sangat dini fenotipe asma pada anak-anak dan tidak berkorelasi dengan lama waktu atau tingkat keparahan inflamasi (Homer dan Elias 2005).

Peningkatan vaskularisasi juga memberikan kontribusi terhadap penebalan dinding saluran napas pada asma dan berhubungan dengan keparahan penyakit. Angiogenesis merupakan gambaran khas asma berat tetapi juga muncul pada beberapa kasus asma ringan (Larsson 2010). Penderita asma berat memiliki jumlah pembuluh darah mukosa saluran napas lebih banyak dibanding penderita asma ringan. Peningkatan vaskularisasi terjadi pada kapiler dan venula yang terletak di bawah

commit to user

28

epitel saluran napas. Dinding pembuluh kapiler dan venula penderita asma terjadi edema dan penebalan subendothelial basement membrane, hipotrofi atau atrofi miosit serta fibrosis arteriol. Pembuluh darah penderita asma menunjukkan recruitment eosinofil, aktivasi, dan lisis intravaskular (Homer dan Elias 2005).

Dilatasi, kongesti, dan edema dinding pembuluh darah mukosa bronkus merupakan gambaran yang muncul konsisten pada asma berat dan dapat menjelaskan penyebab penebalan dan kekakuan dinding saluran napas (Larsson 2010).

Dalam dokumen Imron Riyatno S.500907018 (Halaman 42-47)

Dokumen terkait