• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Konsep Asma

2.4.4. Patogenesis Asma

Denominator umum yang mendasari diathesis asma adalah hiper-iritabilitas nonspesifik saluran trakeobronkial. Pada pasien asma, pathogenesis penyakit yang sangat berkaitan dengan gambaran klinis penyakit. Bila reaktivitas jalan napas sangat tinggi, fungsi paru menjadi tidak stabil, gejala menjadi lebih berat serta menetap, respon akut terhadap bronkodilator menjadi lebih luas dan jumlah terapi yang dibutuhkan untuk mengatasi keluhan pasien semakin meningkat. Lagi pula, besarnya fluktuasi diurnal fungsi paru menjadi lebih besar dan pasien cenderung terbangun di malam hari atau subuh kehabisan napas.

Baik pada individu normal maupun pasien asma, reaktivitas jalan napas meningkat setelah infeksi virus pada saluran napas dan pajanan terhadap polutan

29

memperlihatkan gejala yang lebih nyata dan sepertinya mengikuti pola infeksi jalan napas bagian atas yang biasa, sehingga respons jalan napas mungkin tetap tinggi selama berminggu-minggu. Sebaliknya, akibat pajanan terhadap ozon, reaktivitas saluran napas tetap tinggi selama beberapa hari saja. Alergen dapat menyebabkan respons jalan napas meningkat dalam beberapa menit dan tetap tinggi selama berminggu-minggu. Bila jumlah antigen cukup banyak, episode akut obstruksi dapat terjadi setiap hari untuk waktu yang lebih lama setelah pajanan tunggal.

Sejumlah penyebab mengenai peningkatan reaktivitas jalan napas terhadap asma telah disusun; akan tetapi, mekanisme dasar tetap belum diketahui. Hipotesis yang paling terkenal saat ini adalah peradangan jalan napas. Setelah pajanan terhadap rangsangan awal, mediator yang mengandung sel seperti sel mast, basofil, dan makrofag dapat diaktifkan untuk melepaskan beragam senyawa peradangan yang menghasilkan efek langsung terhadap otot polos jalan napas dan permeabilitaskapiler, sehingga membangkitkan reaksi setempat yang kuat yang kemudian dapat diikuti oleh reaksi yang lebih kronik. Reaksi yang terakhir dapat disebabkan akibat pelepasan faktor kemotaktik yang membutuhkan elemen seluler pada tempat terjadinya luka. Lagi pula, diperkirakan bahwa efek akut dan kronik akibat pelepasan mediator dan infiltrasi sel mungkin menimbulkan kerusakan epitel dan gangguan bagian akhir saraf di dalam jalan napas dan pengaktifan reflek akson. Pada model ini, fenomena lokal yang penting dapat menjelaskan efek penyebaran di seluruh saluran trakeobronkial.

Rangsangan yang berinteraksi dengan respons jalan napas dan membangkitkan akut asma dapat dikelompokkan menjadi tujuh kelompok utama:

30

alergik, farmakologik, lingkungan, pekerjaan, infeksi, yang berkaitan dengan exercise dan emosi.

1. Alergen

Asma akibat alergi bergantung pada respons IgE yang dikendalikan oleh limfosit T dan B dan diaktifkan oleh interaksi antara antigen dengan molekul IgE yang berikatan dengan sel mast. Sebagian besar alergen yang

mencetuskan asma bersifat airborne dan supaya dapat menginduksi keadaan

sensitivitas, alergen tersebut harus tersedia dalam jumlah banyak untuk periode waktu tertentu. Akan tetapi, sekali sensitisasi telah terjadi pasien akan memperlihatkan respons yang sangat baik sehingga sejumlah kecil alergen yang mengganggu sudah dapat menghasilkan eksaserbasi penyakit yang jelas. Mekanisme imunologik kelihatannya berhubungan sebab akibat dengan perkembangan asma pada 25 sampai 35 persen dari semua kasus dan mungkin berperan pada sepertiga kasus yang lain. Prevalensi yang lebih

tinggi telah dinyatakan, tetapi sulit diketahui bagaimana

menginterpretasikan data karena faktor yang bercampur baur. Asma alergi biasanya bersifat musiman dan biasanya lebih sering ditemukan pada anak dan orang dewasa muda. Bentuk tidak musiman mungkin disebabkan alergi tehadap bulu, kotoran hewan, tungau debu, jamur dan antigen lain yang ditemukan secara terus menerus di lingkungan. Pajanan terhadap antigen secara khusus akan menimbulkan respons cepat dengan obstruksi jalan napas terjadi dalam beberapa menit dan kemudian hilang. Pada 30 sampai 50 persen pasien, serangan bronkokonstriksi kedua, yang disebut sebagai

31

minoritas, hanya reaksi terlambat yang terjadi. Dahulu diperkirakan bahwa reaksi terlambat penting bagi perkembangan peningkatan reaktivitas jalan napas yang terjadi setelah pajanan terhadap antigen. Data terakhir menunjukkan bahwa pemikiran tersebut tidak benar.

2. Rangsangan farmakologik

Obat yang paling sering berhubungan dengan induksi episode akut

asma adalah aspirin, bahan pewarna seperti tartazin, antagonis beta-

adrenergic dan bahan sulfat. Sindroma pernapasan sensitif- aspirin khusus terutama mengenai orang dewasa, walaupun keadaan ini juga dapat dilihat pada masa anak-anak. Masalah ini biasanya berawal dengan rhinitis vasomotor perennial yang diikuti dengan rinosinusitis hiperplastik dengan polip nasal. Baru kemudian muncul asma progesif. Pada pajanan terhadap jumlah aspirin yang sangat kecil sekalipun, pasien secara khusus akan mengalami kongesti mata dan hidung disertai episode obstruksi jalan napas akut, bahkan sering berat. Prevalensi sensitivitas aspirin pada pasien asma bervariasi dari penelitian ke penelitian, tetapi banyak peneliti menduga bahwa 10 persen merupakan gambaran yang masuk akal. Ditemukan reaktivasi silang yang besar antara aspirin dan senyawa anti- inflamasi non- steroid lain. Indometasin, fenoprofen, naproksen, natrium zomepirak, ibuprofen, asam mefenamat dan fenilbutazon secara khusus penting dalam hal ini. Sebaliknya, asetaminofen, natrium salisilat, kolin salisilat, salisilamid dan propoksilen dapat ditoleransi dengan baik. Frekuensi reaksi silang yang sebenarnya terhadap tartazin dan bahan pewarna lain pada pasien asma sensitif- aspirin juga masih kontroversial dan sekali lagi, 10

32

persen merupakan gambaran yang masuk akal. Komplikasi khusus asma sensitif- aspirin bersifat tersembunyi, akan tetapi pada tartazin dan bahan pewarna lain yang cenderung menimbulkan masalah dapat ditemukan secara luas di lingkungan dan mungkin tanpa diketahui ditelan oleh pasien yang sensitif.

Pasien yang sensitif terhadap aspirin dapat didesentisasi dengan pemberian obat setiap hari. Setelah menjalani bentuk terapi ini, toleransi silang juga akan terbentuk terhadap agen anti- inflamasi non- steroid lain. Mekanisme dengan aspirin dan obat lain dapat menyebabkan bronkospasme tidak diketahui tetapi mungkin berkaitan dengan pembentukan leukotrien yang diinduksi secara khusus oleh aspirin. Hipersensitivitas cepat kelihatannya tidak terbentuk.

Antagonis beta- adrenergic biasanya menyebabkan obstruksi jalan napas pada pasien asma demikian juga dengan pasien lain dengan peningkatan reaktivitas jalan napas dan harus dihindarkan pada pasien ini. Bahkan agen beta, selektif memiliki efek ini. Khususnya pada dosis yang lebih tinggi. Sesungguhnya, bahkan penggunaan setempat penghambat beta, di mata pada terapi glaukoma berhubungan dengan asma yang semakin memburuk.

Obat sulfat, seperti kalium metabisulfit, kalium dan natrium bisulfit, natrium sulfit dan sulfat dioksida, yang secara luas digunakan dalam industri makanan dan farmasi sebagai agen sanitasi dan pengawet, juga dapat menimbulkan obstruksi jalan napas akut pada pasien yang sensitif. Pajanan biasanya terjadi setelah menelan makanan atau cairan yang mengandung

33

senyawa ini, misalnya salad, buah segar, kentang, kerang dan anggur. Eksaserbasi asma pernah dilaporkan setelah penggunaan larutan mata topikal yang mengandung sulfit, glukokortikoid intravena dan beberapa larutan bronkodilator inhalan. Insidensi dan mekanisme kerja fenomena ini masih belum diketahui. Bila timbul kecurigaan, diagnosis dapat dipastikan dengan provokasi oral maupun inhalasi.

3. Lingkungan dan polusi udara

Lingkungan penyebab asma biasanya berhubungan dengan keadaan iklim yang menyebabkan konsentrasi polutan atmosfer dan antigen. Keadaan ini cenderung ditemukan pada daerah yang padat industri ataupun daerah kumuh yang padat penduduknya dan sering berhubungan dengan perubahan suhu atau situasi yang berhubungan dengan massa udara yang terhambat. Pada keadaan seperti ini, walaupun penduduk dapat mengalami gangguan pernapasan, pasien dengan asma dan penyakit pernapasan lain cenderung menderita lebih berat. Polutan udara yang diketahui memiliki efek seperti ini adalah ozon, nitrogen, dioksida dan sulfur oksida. Yang dibutuhkan kemudian adalah konsentrasi tinggi dan dapat menimbulkan efek yang paling berat selama periode ventilasi yang banyak.

4. Faktor pekerjaan

Asma yang berkaitan dengan kerja merupakan masalah kesehatan yang bermakna dan obstruksi jalan napas akut dan kronik dilaporkan terjadi setelah pajanan terhadap sejumlah besar senyawa yang dapat dihasilkan dari pekerjaan, atau pajanan terhadap, garam logam (misalnya platinum, krom dan nikel), debu kayu dan sayuran (misalnya pohon ek, pohon cedar merah

34

barat (western red cedar), padi-padian, tepung, kacang kastor, biji kopi

hijau, mako, gum akasia, gum karay dan tragacanth), bahan farmasi (misalnya antibiotika, piperazin, dan simetidin), bahan kimia industri dan plastik (misalnya toluene diisosianat, asam fitalat anhidrat, asam trimelitat anhidrat, persulfat, etilendiamin, parafenilendiamin dan berbagai bahan pewarna), enzim biologi (misalnya detergen pencuci baju dan enzim pankreas) dan kotoran hewan dan serangga, serum dan secret. Penting untuk mengetahui bahwa pajanan terhadap bahan kimia yang merangsang, khususnya bahan kimia yang digunakan pada cat, pelarut dan plastik, juga dapat terjadi selama istirahat atau aktivitas yang tidak berhubungan dengan kerja.

Mekanisme yang mendasari obstruksi jalan napas ini terbagi atas tiga kelompok: (1) pada beberapa kasus, agen pengganggu menyebabkan pembentukan IgE spesifik dan penyebabnya cenderung bersifat imunologik (reaksi imunologik dapat bersifat cepat, lambat, atau rangkap); (2) pada kasus yang lain, materi dipergunakan dapat menyebabkan pembebasan langsung unsur- unsur bronkokonstriktor; dan (3) pada kasus yang lain lagi, unsur iritan yang berkaitan dengan kerja, secara langsung maupun reflek akan merangsang jalan napas baik pada pasien yang terpajan oleh alergen lain yang menghasilkan reaksi imunologik yang cepat dan rangkap, pasien yang terpajan oleh alergen yang berhubungan dengan kerja akan memperlihatkan riwayat siklik yang khas. Pasien tersebut sehat saat tiba di tempat kerja dan gejala akan timbul menjelang akhir pergantian tugas, bertambah berat saat meninggalkan tempat kerja dan kemudian berkurang.

35

Tidak bekerja karena hari minggu atau libur akan menyebabkan remisi. Seringkali, ditemukan gejala yang mirip pada pekerja yang lain.

5. Infeksi

Infeksi jalan napas merupakan rangsangan yang paling umum membangkitkan eksaserbasi akut asma. Penelitian yang dilakukan dengan baik memperlihatkan bahwa virus jalan napas dan bukan bakteri ataupun alergi merupakan faktor etiologi yang utama. Pada anak-anak yang lebih

muda, agen infeksi yang paling penting adalah respiratori syncitial virus

(virus sinsitial pernapasan); dan virus parainfluenza. Pada anak yang lebih tua dan orang dewasa, rhinovirus dan virus influenza merupakan patogen utama. Koloni kecil pada saluran trakeobronkial sudah cukup untuk mencetuskan episode akut bronkospasme dan serangan asma terjadi hanya bila gejala infeksi jalan napas yang sedang berlangsung ditemukan atau gejala tersebut sudah ada. Mekanisme bagaimana virus menginduksi timbulnya asma tidak diketahui, tetapi mungkin bahwa hasil perubahan akibat radang mukosa jalan napas mengubah pertahanan pejamu dan menyebabkan saluran trakeobronkial lebih rentan terhadap rangsangan eksogen. Bukti yang mendukung bahwa konsep ini diperoleh dari bukti bahwa respons jalan napas bahkan dari individu normal (bukan pasien asma) terhadap rangsangan secra perlahan akan meningkat setelah infeksi virus. Peningkatan respons jalan napas, yang berhubungan dengan batuk dan yang lebih jarang mengi, dapat berlangsung dari 2 sampai 8 minggu setelah infeksi baik pada individu normal maupun pasien asma.

36

6. Exercise

Exercise merupakan salah satu penyebab episode akut asma yang paling sering ditemukan. Rangsangannya berbeda dengan penyebab alami

lain seperti antigen atau infeksi virus yaitu exercise tidak menimbulkan

cacat yang lama dan juga tidak mengubah reaktivitas jalan napas. Timbulnya bronkospasme akibat latihan fisik mungkin berpengaruh pada beberapa pasien asma dan pada beberapa pasien mungkin merupakan mejanisme pencetus tunggal yang akan menimbulkan gejala asma. Bila pasien tersebut dirawat untuk waktu yang cukup, pasien tersebut sering mengalami episode berulang obstruksi jalan napas yang tidak bergantung

pada exercise; jadi awitan masalah ini kadang- kadang dapat bertindak

sebagai manifestasi pertama sindroma asma yang menyeluruh. Ditemukan

interaksi yang bermakna antara ventilasi yang diperoleh dari exercise, suhu

dan kandungan air udara yang diinspirasi dan besarnya obstruksi pasca exercise. Jadi, untuk kondisi udara yang diinspirasi secara sama, berlariakan menyebabkan serangan asma lebih berat dibandingkan berjalan. Sebaliknya,

untuk exercise yang diberikan, inhalasi udara dingin selama melakukan

latihan akan meningkatkan respons secara bermakna, sementara udara panas, lembab akan menghambatnya bahkan menghilangkannya. Akibatnya, aktivitas seperti bermain es hockey, bermain ski, melintasi alam, atau berseluncur di es lebih bersifat merangsang dibandingkan berenang di kolam renang air hangat yang terletak di dalam gedung. Mekanisme bagaimana exercise akan menghasilkan obstruksi mungkin berhubungan dengan hyperemia yang disebabkan oleh suhu dan pengisian darah

37

(engorge-ment) mikrovaskuler dinding bronkus dan kelihatannya tidak mengikutsertakan kontraksi otot polos.

7. Stres emosional

Banyak data obyektif yang tersedia memperlihatkan bahwa faktor psikologis dapat berinteraksi dengan diathesis asma baik untuk memperberat atau memperbaiki proses penyakit. Jalur dan gambaran interaksi bersifat kompleks tetapi dapat diterima pada lebih dari setengah pasien yang diteliti. Perubahan ukuran jalan napas kelihatannya dicetuskan melalui pengubahan aktivitas saraf vagus aferen, tetapi endorphin juga dapat berperan. Variabel yang paling sering diteliti telah disebutkan dan bukti penelitian saat ini menyatakan bahwa faktor psikologi cukup berperan pada beberapa pasien asma yang telah diseleksi. Bila pasien yang memberikan respons secara psikis diberikan saran yang sesuai, pasien sebenarnya dapat menurunkan atau meningkatkan efek farmakologik rangsangan adrenergik dan kolinergik pada jalan napasnya. Batasan yang menyebabkan faktor psikologi dapat berperan pada perangsangan dan/atau kelangsungan eksaserbasi akut masih belum diketahui tetapi mungkin bervariasi dari pasien ke pasien dan pada beberapa pasien dari satu episode ke episode lain.

Dokumen terkait