• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Obesitas .1 Definisi .1 Definisi

2.1.2 Patogenesis dan etiologi

2.1.2.1 Gangguan pada kontrol homeostasis keseimbangan energi

Pada individu dengan obesitas, kadar leptin meningkat bila dibandingkan individu dengan berat badan normal. Konsentrasi leptin proporsional dengan massa lemak tubuh baik pada individu dengan obesitas maupun tidak. Obesitas bukan merupakan akibat dari defisiensi leptin yang bersirkulasi, tetapi lebih karena resistensi terhadap leptin. Resistensi ini bisa terjadi pada tingkat sirkulasi

ataupun pada transpor leptin ke sistem saraf pusat (Gurevich-Panigrahi dkk., 2009; National Collaborative on Childhood Obesity Research).

Disfungsi dari mediator selain leptin juga terlibat pada obesitas. Sitokin lain yang juga berperan dalam transmisi informasi dari jaringan adiposa ke otak yaitu TNF-α juga meningkat pada individu dengan obesitas yang mengalami resistensi insulin. Terdapat pula disfungsi pada protein yang berperan pada fosforilasi oksidatif pada adiposit serta pada faktor transkripsi yang mengatur lipogenesis dan ekspresi gen dari enzim yang terkait dengan homeostasis lemak dan glukosa. (Gurevich-Panigrahi dkk., 2009; National Collaborative on Childhood Obesity Research).

2.1.2.2 Faktor genetik

Faktor genetik juga mempunyai peranan penting dalam patogenesis obesitas. Bentuk obesitas dismorfik di mana faktor genetik berperan di antaranya sindrom Prader-Willi, sindrom Ahlstrom,sindrom Laurence-Moon-Biedl, sindrom Cohen, dan sindrom Carpenter. Beberapa penelitian menunjukkan hubungan antara variasi sekuens DNA pada gen tertentu dan terjadinya obesitas. (Gurevich-Panigrahi dkk., 2009; National Collaborative on Childhood Obesity Research).

Hubungan antara obesitas pada manusia dengan faktor lain berkaitan dengan keseimbangan energi juga telah dilaporkan. Mutasi pada gen reseptor beta-3-adrenergik dihubungkan dengan onset diabetes mellitus onset dini dan resistensi insulin sebagaimana peningkatan berat badan pada pasien dengan obesitas morbid. Beberapa hasil penelitian menunjukkan hasil yang tidak konsisten antara populasi etnik yang berbeda. Kadar IL-8 plasma meningkat pada pasien dengan

obesitas. IL-8 ini berkaitan dengan massa lemak dan sistem TNF. Peningkatan kadar IL-8 dapat merupakan faktor yang menghubungkan obesitas dengan risiko kardiovaskuler yang lebih tinggi. Sebagian besar penelitian genomik pada manusia menunjukkan heterogenitas genetik yang mempengaruhi regulasi indeks massa tubuh. (Gurevich-Panigrahi dkk., 2009; National Collaborative on Childhood Obesity Research).

2.1.2.3 Faktor lingkungan

Faktor lingkungan berinteraksi dengan suseptibilitas genetik pada patogenesis obesitas. Sebagai contoh, cedera pada hipotalamus akibat trauma atau pembedahan dan lesi destruktif pada regio ventromedial atau nukleus paraventrikuler dapat menyebabkan obesitas. Beberapa faktor pada obesitas hipotalamus adalah hiperfagia, gangguan pada fungsi reproduktif, penurunan aktivitas simpatis dan peningkatan aktivitas parasimpatis. Kelainan endokrin seperti penyakit Cushing, sindrom polikistik ovarium dan pemakaian beberapa obat (golongan phenothiazine; seperti antidepresan klorpromazin; amitriptilin, valproat, steroid, glukokortikoid, antihipertensi terazosin) juga dikaitkan dengan obesitas (Gurevich-Panigrahi dkk., 2009; National Collaborative on Childhood Obesity Research).

2.1.2.4 Asupan makanan

Pada individu dengan obesitas dikatakan terdapat kelebihan masukan energi dibandingkan pengeluaran energi sebanyak 30-40 kkal pada awalnya dan kemudian meningkat secara bertahap untuk mempertahankan peningkatan berat badan. Jenis makanan yang dikonsumsi memegang peranan penting dalam

gangguan keseimbangan energi. Lemak mengandung lebih banyak kalori dibandingkan karbohidrat atau protein. Tiap gram lemak mengandung 9 kalori, sementara karbohidrat dan protein mengandung 4 kalori per gram. Diduga bahwa mekanisme yang mengatur nafsu makan bereaksi lebih lambat pada lemak dibandingkan karbohidrat dan protein sehingga rasa kenyang muncul lebih lambat. Peningkatan densitas makanan, porsi makanan, rasa yang lebih enak, peningkatan ketersediaan dan biaya yang murah meningkatkan kejadian obesitas. Individu dengan obesitas berusaha melakukan diet untuk menurunkan berat badan, akan tetapi pada saat seseorang mengurangi asupan energi, terdapat pergeseran ke arah keseimbangan energi negatif. Seseorang dapat mengalami penurunan berat badan tetapi bersamaan dengan itu juga terjadi penurunan laju metabolisme dan terdapat penurunan pengeluaran energi. Sistem tubuh berusaha untuk mengembalikan berat badan pada set point tertentu dan hal ini menunjukkan bahwa untuk mempertahankan keseimbangan energi tergantung pada berbagai jalur umpan balik metabolik yang diatur oleh suseptibilitas gen individu. Seseorang yang sebelumnya dengan obesitas dan saat ini dengan berat badan normal pada umumnya memerlukan lebih sedikit kalori untuk mempertahankan berat badannya dibandingkan dengan seseorang yang tidak pernah mengalami obesitas. Berkurangnya pengeluaran energi kemungkinan sebagian besar akibat dari perubahan pada konversi energi kimia menjadi aktivitas mekanik pada otot skeletal (Gurevich-Panigrahi dkk., 2009; National Collaborative on Childhood Obesity Research).

2.1.2.5 Aktivitas fisik

Aktivitas fisik dapat dibagi menjadi aktivitas olahraga dan bukan olahraga. Aktivitas bukan olahraga termasuk kegiatan terkait pekerjaan dan aktivitas hidup harian. Sulit untuk mengukur energi yang dikeluarkan dalam aktivitas bukan olahraga. Secara umum, peningkatan perilaku sedentary dan berkurangnya aktivitas harian dan pekerjaan bertanggungjawab terhadap obesitas. Peningkatan pengeluaran energi dengan aktivitas fisik mempunyai peran yang positif dalam mengurangi cadangan lemak dan mengatur keseimbangan energi, terutama bila dikombinasikan dengan modifikasi diet (Gurevich-Panigrahi dkk., 2009; National

Collaborative on Childhood Obesity Research). 2.1.3 Diagnosis

Secara klinis obesitas dapat dengan mudah dikenali dengan tanda dan gejala yang khas antara lain wajah membulat, pipi tembem, dagu rangkap, leher relatif pendek, dada yang membesar dengan payudara yang membesar, perut membuncit dengan dinding perut yang berlipat-lipat dan kedua tungkai umumnya berbentuk X. Untuk menegakkan diagnosis, diperlukan pengukuran yang obyektif dengan pengukuran antropometrik dan laboratorik (Sjarif, 2011).

Pengukuran antropometrik pada umumnya berdasarkan atas tiga metode pengukuran sebagai berikut :

a. Mengukur berat badan dan hasilnya dibandingkan dengan berat badan ideal sesuai tinggi badan (BB/TB). Obesitas pada anak didefinisikan sebagai berat badan menurut tinggi badan di atas persentil 90 atau 120% dibandingkan berat badan ideal. Bila berat badan lebih besar 140% dibandingkan berat badan

ideal maka dikategorikan sebagai superobesitas. Cara ini mencerminkan proporsi atau penampilan tetapi tidak mencerminkan massa lemak tubuh. b. WHO dan the National Institutes of Health (NIH) merekomendasikan Body

Mass Index (BMI) atau Indeks Massa Tubuh (IMT) sebagai standar pengukuran obesitas pada anak dan remaja di atas usia 2 tahun. Cara ini berkorelasi dengan massa lemak tubuh dan dapat untuk mengidentifikasi pasien obesitas yang mempunyai risiko mendapat komplikasi medis. Interpretasi IMT tergantung pada umur dan jenis kelamin karena distribusi lemak tubuh pada anak laki-laki dan perempuan berbeda. Pada tahun 2006, WHO mengeluarkan kurva baru IMT menurut umur dan jenis kelamin usia 0-5 tahun berdasarkan hasil pengamatan jangka panjang pada anak-anak yang tmbuh dalam lingkungan yang optimal di benua Asia, Afrika, Eropa, Amerika Latin, dan Amerika Utara. Klasifikasi yang digunakan adalah berdasarkan Z-score sebagai berikut Z score ≥ +1: berpotensi gizi lebih, ≥ +2 gizi lebih (overweight), dan ≥ +3 obesitas. Sedangkan untuk usia 5-19 tahun menggunakan WHO Reference 2007: Z-score ≥ +1 diklasifikasikan sebagai gizi lebih (overweight), ≥ +2 sebagai obesitas.

c. Pengukuran langsung lemak subkutan dengan mengukur tebal lipatan kulit (TLK). Terdapat empat macam pengukuran TLK yaitu TLK biseps, triseps, subskapular, dan suprailiaka, di mana TLK triseps di atas persentil 85 merupakan indikator adanya obesitas (Sjarif, 2011).

2.1.4 Tatalaksana

Tatalaksana obesitas bersifat komprehensif mencakup penanganan obesitas dan dampak yang terjadi. Prinsip dari tatalaksana obesitas adalah mengurangi asupan energi serta meningkatkan keluaran energi dan mencakup pengaturan diet, peningkatan aktivitas fisik, merubah pola hidup, dan keterlibatan keluarga dalam proses terapi. (Sjarif, 2011).

2.1.4.1 Pengaturan diet

Prinsip pengaturan diet pada anak obesitas adalah diet seimbang sesuai dengan Recommended Daily allowance (RDA). Kalori yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan normal. Pengurangan kalori berkisar 200-500 kalori sehari dengan target penurunan berat badan 0,5 kg per minggu. Penurunan berat badan ditargetkan sampai mencapai kira-kira 10% di atas berat badan ideal atau cukup dipertahankan agar tidak bertambah, karena pertumbuhan linier masih berlangsung. (Sjarif, 2011).

Diet seimbang yang dianjurkan dengan komposisi karbohidrat 50-60%, lemak 30%, dan protein cukup untuk tumbuh kembang normal (15-20%). Bentuk dan jenis makanan harus dapat diterima anak. Diet tinggi serat juga dianjurkan karena dapat membantu pengaturan berat badan lewat mekanisme menurunkan asupan makanan akibat efek serat yang cepat mengenyangkan, mengurangi rasa lapar, meningkatkan oksidasi lemak, sehingga mengurangi jumlah lemak yang disimpan. (Sjarif, 2011).

Secara garis besar prinsip pengaturan diet pada anak dengan obesitas adalah: a. Menghindari obesitas serta mempertahankan berat badan dan pertumbuhan

normal

b. Masukan makanan dengan kandungan karbohidrat rendah (48% energi total) c. Menurunkan masukan lemak (<30% energi total), dengan lemak tak jenuh

(10% energi total), kolesterol tidak lebih dari 300 mg per hari d. Meningkatkan makanan tinggi serat

e. Makanan dengan kandungan garam cukup (5 gram per hari) f. Meningkatkan masukan besi, kalsium, dan fluor (Sjarif, 2011).

2.1.4.2 Pengaturan aktivitas fisik

Cara yang dilakukan adalah melakukan latihan dan meningkatkan aktivitas harian. Peningkatan aktivitas fisik dapat menurunkan nafsu makan dan meningkatkan laju metabolisme. Latihan aerobik teratur yang dikombinasikan dengan pengurangan energi akan menghasilkan penurunan berat badan yang lebih besar dibandingkan hanya dengan diet. Aktivitas sehari-hari dioptimalkan seperti berjalan kaki dan bersepeda ke sekolah, mengurangi lama menonton televise dan bermain games komputer, atau bermain di luar rumah. Aktivitas fisik sedang dianjurkan selama 20-30 menit. (Sjarif, 2011).

2.1.4.3 Modifikasi perilaku

Prioritas utama dalam tatalaksana obesitas adalah perubahan perilaku dan perlu menghadirkan peran orangtua sebagai komponen intervensi. Beberapa cara pengubahan perilaku misalnya dengan pengawasan sendiri terhadap berat badan, masukan makanan, dan aktivitas fisik; kontrol terhadap rangsangan/stimulus

terhadap keinginan untuk makan, mengubah perilaku makan, mekanisme penghargaan dan hukuman, pengendalian diri dalam mengatasi masalah. (Sjarif, 2011).

2.1.4.4 Terapi intensif

Terapi intensif diterapkan pada obesitas anak dan remaja yang disertai penyakit peserta dan tidak memberikan respons terhadap terapi konvensional. Terapi intensif terdiri dari diet berkalori sangat rendah (very low calorie diet), farmakoterapi, dan terapi bedah (Sjarif, 2011).

a. Diet berkalori sangat rendah

Terapi ini diindikasikan bila berat badan >140% dari berat badan ideal (superobesitas). Diet yang paling sering diterapkan adalah protein sparing modified fast (PSMF). Diet ini membatasi asupan kalori hanya 600-800 kalori/hari. Selain itu dianjurkan juga ditambah protein hewani 1,5-2,5 g/kg berat badan ideal, suplementasi vitamin dan mineral serta minum lebih dari 1,5 liter cairan per hari. Diet ini hanya boleh diterapkan selama 12 minggu di bawah pengawasan dokter (Sjarif, 2011).

b. Farmakoterapi

Farmakoterapi untuk obesitas dibagi menjadi tiga kelompok yaitu penekan nafsu makan (sibutramin), penghambat absorbsi zat-zat gizi (orlistat), dan kelompok lain-lain (leptin, octreotide, metformin). Akan tetapi penggunaan farmakoterapi untuk anak obesitas masih dipertanyakan untuk keamanannya. Hanya orlistat yang sudah disetujui oleh Food and Drug Administration

(FDA) Amerika Serikat untuk tatalaksana obesitas pada usia di atas 12 tahun (Sjarif, 2011).

c. Terapi bedah

Terapi bedah pada obesitas (bedah bariatrik) pada prinsipnya ada dua yaitu mengurangi asupan makanan atau memperlambat pengosongan lambung dengan cara gastric banding dan vertical-banded gastroplasty, serta mengurangi absorpsi makanan dengan cara membuat gastric bypass dari lambung ke bagian akhir usus halus. Terapi ini dipertimbangkan bila remaja mengalami kegagalan menurunkan berat badan setelah menjalani program yang terencana > 6 bulan. Indikasi bedah bariatrik pada remaja adalah superobesitas, secara umum sudah mencapai maturitas tulang (pada

perempuan umumnya ≥ 13 tahun dan laki-laki ≥ 15 tahun), dan menderita

komplikasi obesitas yang hanya dapat diatasi dengan penurunan berat badan. Komplikasi yang dapat terjadi di antaranya adalah hiatal hernia, infeksi luka, defisiensi mikronutrien, hingga embolisme paru, syok, obstruksi usus, perdarahan pasca bedah, kebocoran di tempat jahitan, dan gizi buruk (Sjarif, 2011).

2.1.5 Komorbiditas

Komorbid terkait obesitas pada anak hampir sama dengan orang dewasa. Secara umum, komorbid ini dapat dikategorikan menjadi komplikasi medis dan psikososial. Konsekuensi medis dapat menimbulkan efek metabolik, yang melibatkan sistem kardiovaskuler, endokrin, gastrointestinal, dan renal, dan juga efek mekanik yang melibatkan sistem pulmonal, skeletal, dan sistem saraf pusat.

2.1.5.1 Sistem endokrin

Obesitas mempunyai dampak negative pada perubahan aksis glukosa/insulin dan atau metabolisme lipid. Laju sekresi insulin meningkat secara bermakna pada kelompok obesitas bila dibandingkan dengan kelompok dengan berat badan normal. Akan tetapi tidak terdapat perbedaan pada bersihan insulin atau ekstraksi insulin hepatik pada kedua kelompok. Abnormalitas pada metabolisme glukosa yang terjadi secara dini pada anak dengan obesitas merupakan respon insulin terhadap stimulus makanan dan ambilan glukosa maksimal menurun sesuai umur dan durasi obesitas. Dapat dismpulkan bahwa efek negatif obesitas yang paling awal adalah terjadinya resistensi insulin (Banerjee dan Schuster, 2012).

2.1.5.2 Sindrom metabolik

Sindrom metabolik terdiri dari hiperglikemia, hipertensi, dislipidemia dan obesitas di mana lemak tubuh dan resistensi insulin dianggap sebagai masalah utama. Penelitian oleh Goodman menunjukkan bahwa obesitas memberikan pengaruh maksimal pada risikokardio-metabolik kumulatif. Setiap komponen dari kompleks sindrom ini bertambah buruk seiring dengan berkembangnya obesitas dan tidak tergantung pada umur, jenis kelamin, dan status pubertas (Banerjee dan Schuster, 2012).

2.1.5.3 Diabetes mellitus tipe 2

Prevalensi dari diabetes mellitus anak meningkat secara bermakna selama dekade terakhir dengan variabilitas yang bermakna berdasarkan ras dan etnik. Data tentang peningkatan insiden dan prevalensi diabetes mellitus pada remaja menunjukkan bahwa resistensi insulin dan peningkatan lemak total dan lemak

viseral memegang peranan dalam terjadinya diabetes mellitus pada remaja, sama seperti pada orang dewasa. Obesitas dihubungkan dengan kadar TNF α yang menyebabkan peningkatan pelepasan asam lemak bebas pada adiposit, blokade sintesis adiponektin, dan aktivasi reseptor insulin. Selain itu, IL-6, yang sebagian besar dihasilkan oleh makrofag dan adiposit, mempengaruhi toleransi glukosa dengan memberikan efek antagonis terhadap sekresi adiponektin dan dengan meningkatkan glukoneogenesis, glikogenolisis, dan menghambat glikogenesis. Terdapat banyak adipokin seperti resistin, adipsin, dan lainnya yang dianggap merupakan missing link antara obesitas dan resistensi jaringan target terhadap insulin menyebabkan terjadinya diabetes mellitus. Obesitas dengan onset dini dianggap lebih suseptibel terhadap diabetes dan komplikasinya (Banerjee dan Schuster, 2012).

2.1.5.4 Gangguan ginekologi a. Sindrom ovarium polikistik

Penyakit ovarium polikistik merupakan salah satu kelainan endokrin yang paling umum dan dimulai pada usia remaja. Seringkali penyakit ini disertai dengan hiperandrogenisme dan hiperinsulinemia. Meskipun mekanisme untuk hubungan ini masih belum jelas, diduga bahwa kadar insulin yang tinggi berperan dalam pertumbuhan kista ovarium akibat dari efek anabolik insulin pada reseptor IGF ovarium. Hingga 30% wanita dengan penyakit ovarium polikistik mengalami obesitas/ overweight. Obesitas dapat memperburuk gambaran sindrom ovarium polikistik dengan meningkatkan resistensi insulin, diabetes, dan sindrom metabolik. Kondisi ini dapat berujung pada infertilitas. Prevalensi gangguan

toleransi glukosa pada wanita muda dengan obesitas dengan sindrom ovarium polikistik diperkirakan sebanyak 30-40%, dengan tambahan sekitar 5-10% mengalami diabetes mellitus (Banerjee dan Schuster, 2012).

b. Gangguan menstruasi

Berat badan dan lemak tubuh dianggap merupakan trigger fisiologis menarche yang bermakna. Oleh sebab itu, anak perempuan dengan obesitas sering mengalami menarche sebelum usia 10 tahun. Obesitas juga dapat menyebabkan oligomenorrhea atau amenorrhea,yang meningkatkan risiko untuk terjadinya kehamilan yang sulit (Banerjee dan Schuster, 2012).

2.1.5.5 Sistem kardiovaskuler a. Hipertensi

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa obesitas pada anak-anak merupakan determinan utama dari faktor risiko kardiovaskuler pada masa dewasa. Selain peningkatan jaringan adiposa secara keseluruhan, obesitas pada batang tubuh dikaitkan dengan peningkatan penyakit aterotrombotik dan peningkatan petanda inflamasi. Hipertensi, terutama tekanan darah sistolik, pada anak dan remajaberhubungan erat dengan jaringan lemak. Ketebalan intima media, suatu petanda non invasif untuk perubahan aterosklerotik dini, ditemukan meningkat secara bermakna pada anak dengan obesitas dibandingkan dengan anak yang tidak mengalami obesitas dengan umur, jenis kelamin, dan tingkat pubertas yang sama (Banerjee dan Schuster, 2012).

b. Hipertrofi ventrikel kiri dan penyakit arteri koroner

Onset hipertrofi ventrikel kiri dipercaya bermula dari masa remaja dan berkembang menjadi risiko penyakit kardiovaskuler pada masa dewasa muda. Penelitian oleh Maggio menemukan onset dari hubungan antara obesitas dengan hipertrofi ventrikel kiri pada kelompok usia prapubertas dan menyarankan untuk memulai pencegahan dan pengobatan obesitas untuk menegah kerusakan organ. Penelitian Harvard Growth Study pada tahun 1922-1935 menemukan bahwa mengalami overweight pada usia remaja berhubungan dengan peningkatan risiko relative hingga 2 kali pada kematian akibat penyakit arteri koroner, dan tidak tergantung dari berat badan saat dewasa. Oleh karena itu, pasien-pasien ini dengan penuaan usia vaskuler, memerlukan tatalaksana intensif, termasuk farmakoterapi untuk modifikasi faktor risiko, dengan tujuan akhir adalah menghentikan progresifitas aterosklerosis dan menurunkan risiko morbiditas dan mortalitas (Banerjee dan Schuster, 2012).

2.1.5.6 Sistem gastrointestinal a. Steatohepatitis non-alkoholik

Insiden steatosis hepatic pada anak dengan obesitas sebesar 38%. Penyebab dasarnya belum diketahui, tetapi kondisi ini dikaitkan dengan diabetes mellitus, obesitas, penurunan berat badan yang cepat,dan hiperlipidemia, di mana semua kondisi ini ditandai oleh gangguan metabolisme lemak. Steatosis non-alkoholik merupakan komplikasi hepatik primer dari obesitas dan resistensi insulin, dan dapat dianggap sebagai manifestasi hepatik dini dari sindrom metabolik. Pada anak-anak, penelitian menunjukkan peningkatan aktivitas lipolisis jaringan

adiposa meningkat dan menghasilkan peningkatan laju pelepasan asam lemak ke dalam plasma sepanjang hari. Hal ini mendukung hipotesis bahwa resitensi insulin berpengaruh pada pathogenesis steatosis dan berkontribusi terhadap komplikasi metabolik yang berhubungan dengan steatosis non alkoholik. Lemak terakumulasi terutama pada jaringan adiposa namun dapat pula pada otot dan hati. Rangkaian proses akumulasi trigliserida ektopik yang menyebabkan terjadinya resistensi insulin disebut dengan hipotesis overflow. Derajat berat dari penyakit ini dapat berkembang menjadi fibrosis dan sirosis hepatis(Banerjee dan Schuster, 2012).

b. Batu empedu

Dislipidemia yang diinduksi oleh obesitas menyebabkan peningkatan ekskresi kolesterol oleh sistem bilier sehingga meningkatkan kecenderungan untuk pembentukan batu empedu. Kondisi ini terjadi tanpa adanya penyakit dasar seperti gangguan hemolitik. Obesitas menyebabkan 8 hingga 33% batu empedu pada anak, dengan resistensi insulin dan sindrom metabolik merupakan faktor risiko potensial yang lain (Banerjee dan Schuster, 2012).

2.1.5.7 Sistem renal

Obesitas memerankan peranan penting dalam terjadinya penyakit ginjal kronis. Obesitas merupakan predisposisi untuk nefropati diabetikum, nefrosklerosis hipertensi, glomerulosklerosis fokal segmental dan urolitiasis. Meskipun tidak ada komorbid yang lain, obesitas menyebabkan perubahan structural seperti glomerulomegali dan penebalan basal membran glomerulus yang menyebabkan terjadinya nefropati obesitas. Modifikasi fisiologis pada hemodinamika renal pada obesitas terdiri atas hiperfiltrasi yang berhubungan

dengan hiperperfusi, yang secara bersamaan menyebakan gangguan renal. Peningkatan laju filtrasi ginjal ditemukan pada individu overweight dibandingkan normal, secara bermakna berkorelasi positif dengan indeks massa tubuh dan resistensi insulin. Pembedahan bariatrik untuk menginduksi penurunan berat badan berhubungan dengan peningkatan fungsi ginjal jangka panjang pada orang dewasa dengan obesitas morbid (Banerjee dan Schuster, 2012).

2.1.5.8 Sistem pulmonal a. Obstructive sleep apnea

Prevalensi obstructive sleep apnea (OSA) pada anak dengan obesitas diperkirakan sekitar 7%. Dibandingkan dengan anak normal, anak dengan obesitas berisiko 6 kali lebih besar untuk mengalami OSA. Kondisi ini mengakibatkan somnolen pada siang hari dan defisit neurokognitif seperti gangguan memori dan konsentrasi akibat dari kualitas tidur yang buruk. Gangguan tidur ini juga berhubungan dengan peningkatan petanda inflamasi seperti CRP dan IL-6. Perubahan hormonal yang ditemukan pada OSA termasuk penurunan leptin, peningkatan ghrelin, peningkatan kadar insulin, dan penurunan sensitivitas insulin. Etiologi dari perubahan ini masih belum jelas tetapi kemungkinan besar karena hipoksemia intermiten yang mepotensiasi kaskade inflamasi yang menstimulasi inflamasi sistemik (Banerjee dan Schuster, 2012).

b. Hiperaktivitas bronkial dan eksaserbasi asma

Obesitas dikatakan berhubungan secara bermakna dengan asma pada anak dan remaja dengan hubungan yang lebih kuat pada anak non atopik dibandingkan anak yang atopik. Inflamasi sistemik diduga sebagai penyebab kondisi ini. Anak

dengan obesitas dan overweight menunjukkan penurunan respon terhadap steroid inhalasi pada asma. Jaringan lemak pada anak dan remaja berhubungan dengan peningkatan risiko asma secara bermakna dan meningkatkan ketergantungan terhadap obat-obatan dalam jangka panjang. Ketidakmampuan untuk berolahraga meningkatkan progresifitas obesitas dan siklus tersebut terus berlanjut (Banerjee dan Schuster, 2012).

2.1.5.9 Sistem muskuloskeletal

Obesitas pada masa anak-anak berhubungan dengan peningkatan frekuensi dan derajat keparahan masalah ortopedik pada anak. Gangguan ortopedik ini akibat dari peningkatan tekanan dan peregangan pada tulang dan tulang rawan yang tidak dirancang untuk membawa beban yang berlebih. Ganggua ortopedik yang umum termasuk melengkungnya tibia dan femur yang menyebabkan pertumbuhan berlebih bagian medial metafisis tibial proksimal atau sindrom Blount dan bergesernya epifisis femoralis akibat dari peningkatan beban pada growth plate sendi panggul. Obesitas pada saat growth spurt dapat meningkatkan kecenderungan fraktur saat jatuh karena perkembangan tulang tidak dapat mengatasi beban yang berlebih. Ketidakseimbangan berat badan dan tulang ini juga memberikan tekanan tinggi pada tulang dan sendi yang sedang berkembang yang menghasilkan kerusakan sendi dan terjadinya osteoarthritis pada usia-usia berikutnya. Terjadinya fraktur yang lebih berat dan kelainan tulang meningkatkan kemungkinan pembedahan yang kompleks dan penggantian sendi, terutama pada trauma pediatrik, dan meningkatkan beban fisik maupun financial (Banerjee dan Schuster, 2012).

2.1.5.10 Sistem saraf pusat

Corbett dkk melaporkan peningkatan insiden hipertensi intrakranial idiopatik pada usia relatif muda yaitu di bawah 20 tahun sebesar 90% pada pasien anak dengan obesitas. Sekitar 30-50% anak dengan pseudotumor serebri mengalami obesitas dan tidak berhubungan dengan infeksi atau obat-obatan. Diperkirakan bahwa peningkatan tekanan intraabdominal akibat obesitas meningkatkan tekanan

Dokumen terkait