• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN TUMOR NECROSIS FACTOR ΑLPHA (TNF-α) DENGAN KEJADIAN RESISTENSI INSULIN PADA ANAK OBESITAS.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "HUBUNGAN TUMOR NECROSIS FACTOR ΑLPHA (TNF-α) DENGAN KEJADIAN RESISTENSI INSULIN PADA ANAK OBESITAS."

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

i

TESIS

HUBUNGAN

TUMOR NECROSIS FAC

TOR ΑLPHA

(TNF-

α) DENGAN KEJADIAN RESISTENSI INSULIN

PADA ANAK OBESITAS

KADEK SURYA JAYANTI

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

i

TESIS

HUBUNGAN

TUMOR NECROSIS FAC

TOR ΑLPHA

(TNF-

α) DENGAN KEJADIAN RESISTENSI INSULIN

PADA ANAK OBESITAS

KADEK SURYA JAYANTI NIM 1014018102

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(3)

ii

HUBUNGAN

TUMOR NECROSIS FAC

TOR ΑLPHA

(TNF-

α) DENGAN KEJADIAN RESISTENSI INSULIN

PADA ANAK OBESITAS

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik

Program Pascasarjana Universitas Udayana

KADEK SURYA JAYANTI NIM 1014018102

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(4)

iii

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 6 APRIL 2016

Mengetahui

TesisiniTelahDiujipada

Tanggal 26Januari 2016

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana,

Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, MSc, Sp.GK NIP. 195805211985031002

Direktur Program Pascasarjana

Universitas Udayana,

Prof. Dr. dr. A.A.Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP. 195902151985102001

Pembimbing I,

Dr. dr. I Gst Lanang Sidiartha, Sp.A(K) NIP. 1962006101988031004

Pembimbing II,

(5)

iv

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana

Dengan Nomor: 1382/UN14.4/HK/2016

Tertanggal 1 April 2016

Ketua : Dr. dr. I Gst Lanang Sidiartha, Sp.A(K)

Sekretaris : dr. IGN Sanjaya Putra, SH, Sp.A(K)

Anggota : 1. Prof. Dr. dr. I Gede Raka Widiana, Sp.PD-KGH

2. dr. I Made Arimbawa, Sp.A (K)

(6)
(7)

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur ke hadapan

Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan

karunia-Nya maka tesis yang berjudul ” Hubungan Tumor Necrosis Factor αlpha

(TNF-α) dengan kejadian resistensi insulin pada anak obesitas” dapat

terselesaikan dengan baik.

Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan, pengarahan, sumbangan pikiran,

dorongan semangat, dan bantuan lainnya yang sangat berharga dari semua pihak,

tesis ini tidak akan terlaksana dengan baik dan lancar. Oleh karena itu, pada

kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terimakasih yang setulus-tulusnya dan

penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Rektor Universitas Udayana, Prof.

Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD dan Dekan Fakultas Kedokteran (FK)

Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT, yang telah memberikan

kesempatan dan fasilitas kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan

Program Pendidikan Dokter Spesialis I (PPDS I) di Universitas Udayana.

Terimakasih pula penulis ucapkan kepada Direktur Program Pascasarjana

Universitas Udayana, Prof. Dr. dr.A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K), yang telah

memberikan kesempatan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Pasca

Sarjana, Program Studi Kekhususan Kedokteran Klinik (combined degree) serta

Ketua Program Pascasarjana Kekhususan Kedokteran Klinik (combined degree),

Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp.GK, yang telah memberikan

kesempatan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Pascasarjana,

(8)

vii

Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada Direktur RSUP Sanglah

Denpasar, dr. A.A.A Saraswati, M.Kes, yang telah memberikan kesempatan dan

fasilitas kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan di Bagian/SMF Ilmu

Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar, kepada

Kepala Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Universitas Udayana/RSUP

Sanglah, dr. Bagus Ngurah Putu Arhana, Sp.A(K), yang telah memberikan

kesempatan penulis untuk mengikuti PPDS I dan telah memberikan dukungan,

semangat, serta bimbingan selama pendidikan, serta kepada Ketua Program Studi

Pendidikan Dokter Spesialis I (KPS PPDS-I) Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak

FK Universitas Udayana/RSUP Sanglah, dr. Ketut Suarta, Sp.A(K), yang telah

memberikan kesempatan, bimbingan, dan dukungan sejak awal sampai akhir

pendidikan penulis. Terima kasih karena telah menjadi orang tua selama penulis

menjalani pendidikan PPDS I IKA.

Terimakasih yang tulus juga penulis sampaikan kepada pembimbing

akademik, dr. Eka Gunawijaya, Sp.A(K), yang senantiasa memberikan

bimbingan, dukungan, dan arahan selama penulis mengikuti PPDS I di

Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Universitas Udayana/RSUP Sanglah.

Kepada Dr. dr. I Gst Lanang Sidiartha, Sp.A(K) dan dr. IGN Sanjaya Putra, SH,

Sp.A(K) sebagai pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan serta

meluangkan waktu dan pemikiran dalam penyusunan tesis ini sehingga dapat

terselesaikan dengan baik, serta Prof. Dr. dr. I Gede Raka Widiana, Sp.PD-KGH,

dr. I Made Arimbawa, Sp.A (K), dan Dr. dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK., M.Kes

(9)

viii

penyusunan dan penulisan tesis ini, penulis menyampaikan rasa terimakasih yang

sedalam-dalamnya.

Penulis tidak lupa menyampaikan rasa terimakasih kepada seluruh supervisor

Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Universitas Udayana/RSUP Sanglah atas

segala bimbingan, dukungan, dan bantuan yang diberikan selama penulis

menempuh pendidikan, seluruh staf Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah atas segala bimbingan dan

bantuan yang diberikan selama penulis menempuh pendidikan, serta rekan sejawat

PPDS I Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas

Udayana/RSUP Sanglah, atas pengertian, bantuan, dan kerjasama yang baik

selama masa pendidikan dan pembuatan tesis penulis.

Penulis juga menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada kepala

sekolah dan murid-murid SDN 5 Dauh Puri, SDN 6 Dauh Puri, SDN 24 Dauh

Puri, SDN 7 Dauh Puri dan SD Cipta Dharma Denpasar atas pengertian, bantuan,

dan kerjasama yang baik selama pengambilan data, serta kepada Sdri. Dian

Andryani, dr. Vina Paramitha, dr. Ambara Dewi, dr. Novita Tjiang, dan dr. Tri

Apriastini atas bantuan dan kerjasama yang baik dalam pengumpulan data di lima

sekolah dasar.

Kepada kedua orangtua (Bapak Drs. I Ketut Ginastra dan Ibu Ni Nyoman

Sutarmi, S.Pd) yang dengan penuh kasih sayang membesarkan, mendidik,

memberikan dukungan dan menanamkan kecintaan pada pendidikan kepada

penulis serta kepada bapak/ibu mertua Bapak I Nyoman Suatra dan Ibu Ni

(10)

ix

terimakasih yang tak berhingga. Tak lupa pula penulis sampaikan terimakasih

yang sedalam-dalamnya kepada suami (I Nyoman Sudiarka, ST) dan anak-anak

tercinta (Putu Aliya Sasmita Arkayanti, Kadek Anindita Saskia Arkayanti, dan

Komang Surya Satya Pramodhana Arka) yang telah begitu sabar, tegar, dan

mandiri serta selalu memberikan dukungan, doa, kasih tak terhingga, inspirasi,

dan motivasi kepada penulis selama menempuh pendidikan. Terimakasih juga

penulis sampaikan kepada saudara terkasih Putu Agus Prayogi, S.ST.Par, M.Par,

Komang Indra Sukmawati S.Pd, Ketut Kartika Diah Utami, SE. Ak., serta seluruh

keluarga besar yang turut memberikan dukungan kepada penulis.

Kepada semua pihak, sahabat, rekan paramedis, dan non paramedis yang tidak

bisa penulis sebutkan satu persatu di sini, penulis mengucapkan terimakasih atas

seluruh dukungan dan bantuan yang telah diberikan selama penulis menjalani

pendidikan PPDS I IKA.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini jauh dari sempurna. Dengan

segala kerendahan hati, penulis mohon maaf apabila ada kesalahan dalam

penulisan tesis ini. Sekiranya, penulis tetap mohon petunjuk untuk perbaikan

supaya hasil yang tertuang dalam tesis ini dapat bermanfaat bagi ilmu kedokteran

dan pelayanan kesehatan.

Denpasar, Maret 2016

(11)

x ABSTRAK

HUBUNGAN TUMOR NECROSIS FACTOR ΑLPHA (TNF-α) DENGAN

KEJADIAN RESISTENSI INSULIN PADA ANAK OBESITAS

Resistensi insulin merupakan kondisi penurunan sensitivitas jaringan perifer terhadap insulin. Resistensi insulin merupakan usaha kompensasi tubuh untuk mempertahankan kadar glukosa darah dalam batas normal. Resistensi insulin berperan dalam pathogenesis diabetes mellitus tipe 2 dan merupakan salah satu komorbid dari obesitas. Faktor yang dianggap berperan dalam terjadinya resistensi insulin pada obesitas adalah proses inflamasi kronis mikro yang melibatkan beberapa mediator proinflamasi. Tumor necrosis factor alpha (TNF-α) merupakan mediator proinflamasi yang dianggap berperan dalam terjadinya resistensi insulin pada obesitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan TNF-α dengan resistensi insulin pada anak dengan obesitas.

Penelitian ini menggunakan rancangan potong lintang dengan regresi logistik sederhana untuk mendapatkan nilai OR (odss ratio). Pemeriksaan berat badan, tinggi badan, lingkar abdomen, kadar insulin serum, kadar glukosa puasa, kadar TNF-α dilakukan pada anak obesitas usia 6-10 tahun yang tidak menderita penyakit infeksi, keganasan, dislipidemia, dan diabetes mellitus tipe 2. Penelitian ini dilakukan selama lima bulan sejak bulan Agustus 2015 sampai dengan Desember 2015 pada anak sekolah dasar di Denpasar.

Sebanyak 35 subjek yang dianalisis, sebanyak 23 subjek laki-laki, rerata kadar TNF-α pada kelompok resistensi insulin adalah 2,47 pg/ml (SB 0,72) dan sebesar 1,93 pg/ml (SB 0,40) pada kelompok anak obesitas tanpa resistensi insulin (OR=7,72;IK95% 1,13-52,93;P=0,038).

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara TNF-α serum dengan kejadian resistensi insulin pada anak dengan obesitas.

(12)

xi ABSTRACT

ASSOCIATION BETWEEN TUMOR NECROSIS FACTOR ALPHA AND INSULIN RESISTANCE IN OBESE CHILDREN

Insulin resistance is a condition of decreased sensitivity to insulin in peripheral tissues. It is a compensation effort to maintain blood glucose level within normal limits. Insulin resistance plays a role in the pathogenesis of type 2 diabetes mellitus and is one of the co-morbidities of obesity. Factors to be considered to play a role in obesity related insulin resistance is chronic micro-inflammation involving pro-inflammatory mediator. Tumor necrosis factor alpha (TNF-α) is a pro-inflammatory mediator that are considered instrumental in the development of insulin resistance in obesity. This study was aimed to determine the association between TNF-α and insulin resistance in obese children.

This was a cross-sectional study with simple logistic regression to calculate odds ratio (OR). Measurement of bodyweight, height, waist circumference, serum insulin level, fasting glucose level, TNF-α level was performed in obese children aged 6 to 10 year who are not suffering from infectious diseases, malignancies, dyslipidemia, and type 2 diabetes mellitus. This study was conducted for five months from August 2015 until December 2015 on primary school student in Denpasar.

Thirty five subject was analysed, with 23 males, mean of TNF-α on insulin resistance group was 2.47 pg/ml (SD 0.72) compared with 1.93 (SD 0.40) on non insulin resistance group (OR=7,72;IK95% 1,13-52,93;P=0,038).

Result of this study was TNF-α was associated with insulin resistance in obese children.

(13)

xii

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PRASYARAT GELAR ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT... v

UCAPAN TERIMAKASIH ... vi

ABSTRAK ... x

ABSTRACT ... xi

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 5

(14)

xiii

2.1.1 Definisi ... 5

2.1.2 Patogenesis dan etiologi ... 5

2.1.3 Diagnosis ... 9

2.1.4 Tatalaksana ... 11

2.1.5 Komorbiditas ... 14

2.1.6 Peran obesitas sentral pada resistensi insulin ... 23

2.2 Resistensi Insulin ... 25

2.2.1 Definisi ... 25

2.2.2 Patogenesis ... 26

2.2.3 Kriteria diagnosis ... 28

2.3 Peran Tumor Necrosis Factor alpha (TNF-α) pada Resistensi Insulin 29

2.3.1 Proses inflamasi pada obesitas ... 29

2.3.2 Sitokin proinflamasi ... 30

2.3.3 Peran TNF-α dalam resistensi insulin ... 33

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS ... 36

3.1 Kerangka Berpikir ... 36

3.2 Kerangka Konsep ... 38

3.3 Hipotesis Penelitian ... 38

BAB IV METODE PENELITIAN ... 39

4.1 Rancangan Peneltian ... 39

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian... 39

4.3 Penentuan Sumber Data ... 39

(15)

xiv

4.3.2 Sampel penelitian ... 40

4.4 Variabel Penelitian ... 41

4.5 Definisi Operasional Variabel ... 41

4.6 Instrumen Penelitian ... 44

4.7 Prosedur Penelitian ... 45

4.8 Alur Penelitian ... 56

4.9 Analisis Data... 57

4.10 Etika Penelitian ... 58

BAB V HASIL PENELITIAN ... 59

5.1 Karakteristik Subjek Penelitian ... 59

5.2 Hubungan Kadar TNF- α dan Beberapa Parameter ... 61

5.3 Analisis Multivariat ... 62

BAB VI PEMBAHASAN ... 64

6.1 Karakteristik Subjek ... 64

6.2 Hubungan Kadar TNF- α dan Beberapa Parameter dengan Resistensi Insulin ... 66

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 73

7.1 Simpulan ... 73

7.2 Saran ... 73

DAFTAR PUSTAKA ... 74

(16)

xv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Mekanisme Inhibisi Reseptor Insulin oleh TNF-Α ... 35

Gambar 3.1 Hubungan antara TNF-α dengan Resistensi Insulin pada Obesitas 37

Gambar 3.2 Bagan Kerangka Konsep ... 38

Gambar 4.1 Rancangan Penelitian ... 39

Gambar 4.2 Cara Pemasangan Alat Pengukur Tinggi Badan ... 48

Gambar 4.3 Posisi Anak Saat Pengukuran Tinggi Badan ... 48

Gambar 4.4 Cara Pengukuran Lingkar Perut ... 50

Gambar 4.5 Alur Penelitian... 56

(17)

xvi

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 5.1 Karakteristik Subjek ... 61

Tabel 5.2 Analisis Bivariat Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Resistensi

Insulin pada Anak dengan Obesitas ... 62

(18)

xvii

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

SINGKATAN

asil CoA : asil koenzim A

ACE : Association of Clinical Endocrinologist BB : berat badan GLUT-4 : glucose transporter member 4 HDL : High Density Lipoprotein

HOMA-IR : Homeostasis Model Assessment of Insulin Resistance IGF : insulin-like growth factor

IL-6 : interleukin-6 IL-8 : interleukin-8 IL-10 : interleukin-10 IMT : Indeks Massa Tubuh IQR : interquartile range

IRS-1 : insulin receptor substrate-1 IRS-2 : insulin receptor substrate-2

kg : kilogram

mg : milligram

ml : mililiter

MRI : magnetic resonance imaging

NCHS : National Center for Health Statistics NIH : the National Institue of Health OR : odds ratio

OSA : obstructive sleep apnea PI3K : phosphoinocitide 3-kinase PKC : protein kinase C

PR : prevalence ratio

RDA : Recommended Dietary Allowance SD : Standard of Deviation

SB : simpang baku

TB : tinggi badan

TLK : Tebal Lipatan Kulit

TNF-α : tumor necrosis factor alpha

(19)

xviii LAMBANG

= : sama dengan

< : kurang dari

> : lebih dari

≥ : lebih dari sama dengan

≤ : kurang dari sama dengan

(20)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Surat Keterangan Kelaikan Etik ... 79

Lampiran 2 Rekomendasi Badan Penanaman Modal dan Perizinan Pemerintah Provinsi Bali ... 80

Lampiran 3 Rekomendasi Penelitian dari Badan Kesatuan Bangsa dan Politik ... 81

Lampiran 4 Rekomendasi Penelitian dari Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Kota Denpasar ... 82

Lampiran 5 Penjelasan dan Informasi ... 83

Lampiran 6 Informed Consent ... 87

Lampiran 7 Kuesioner ... 89

Lampiran 8 Hasil Analisis Data ... 92

(21)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Beberapa tahun belakangan ini, obesitas telah menjadi masalah kesehatan

yang epidemik. Di seluruh dunia, prevalensi obesitas pada anak meningkat secara

konstan sejak tahun 1980-an. Pada tahun 2007, diperkirakan 22 juta anak usia di

bawah 5 tahun overweight, dengan lebih dari 75% dari anak yang overweight dan

obesitas tinggal di negara berpendapatan rendah dan menengah (WHO, 2008).

Berdasarkan American Obesity Association, 30% anak dan remaja berusia antara 6

dan 19 tahun overweight dan sekitar 15% memenuhi kriteria obesitas. Prevalensi

obesitas pada anak dan remaja berusia antara 10 hingga 17 tahun dilaporkan

sebesar 4,9%. Prevalensi overweight dan obesitas pada masa anak-anak sebesar

21-25% dan 5-6% di Australia, 7,7% dan 3,7% di Cina, dan 20% dan 75 di

negara-negara Uni Eropa (Arslan dkk., 2010).

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2007 menemukan prevalensi

obesitas pada anak Indonesia usia 5-15 tahun sebesar 8,3% (Sartika, 2011).

Penelitian di Jakarta mendapatkan prevalensi obesitas pada anak sekolah dasar

usia 10-12 tahun di lima wilayah di Jakarta sebesar 15,3% dari 600 anak (Sjarif

dkk., 2014). Penelitian di Bali mendapatkan prevalensi obesitas 11% pada anak

berusia 11-17 tahun di kota Denpasar dan Badung dan sebesar 15% pada anak

usia 6-10 tahun (Adhianto dan Soetjiningsih, 2002; Dewi dan Sidiartha, 2013).

Komorbiditas dari obesitas pada anak dan remaja termasuk kelainan endokrin,

(22)

i

psiokososial, dan perkembangan berbagai jenis keganasan (Klish, 2013).

Komorbid tertentu seperti diabetes mellitus dan steatohepatitis, yang sebelumnya

dianggap sebagai penyakit orang dewasa saat ini sudah banyak ditemukan pada

anak dengan obesitas. Semua efek yang tidak diinginkan ini memperpendek usia

harapan hidup. Penelitian menunjukkan bahwa perubahan vaskuler,

histopatologis, dan metabolik ini dimulai pada usia anak-anak. Selain itu, obesitas

pada masa remaja meningkatkan risiko penyakit dan kematian prematur pada usia

dewasa, terlepas dari obesitas pada masa dewasa (Arslan dkk., 2010).

Obesitas meningkatkan risiko penyakit kardiovaskuler pada orang dewasa dan

mempunyai hubungan yang amat kuat dengan resistensi insulin pada individu

dengan normoglikemia dan individu dengan diabetes mellitus tipe 2. Penelitian

Framingham menunjukkan peningkatan insiden penyakit kardiovaskuler seiring

dengan peningkatan berat badan pada laki-laki dan perempuan. Baik pada

anak-anak maupun orang dewasa, ditemukan adanya hubungan antara jaringan adiposa

dengan resistensi insulin. Penurunan berat badan dihubungkan dengan penurunan

konsentrasi insulin dan peningkatan sensitifitas insulin pada orang dewasa dan

remaja. (Steinberger dan Daniels, 2003). Penelitian di Inggris menemukan

prevalensi sindrom resistensi insulin pada anak dengan obesitas sebesar 30% pada

anak berusia di bawah 12 tahun (Viner dkk., 2005).

Resistensi insulin pada obesitas terkait dengan proses inflamasi yang terjadi

pada obesitas. Beberapa jenis sitokin mediator inflamasi diproduksi oleh jaringan

adiposa. Mediator yang terutama adalah interleukin-6 (IL-6), tumor necrosis

(23)

interleukin-ii

10 (IL-10) bukan merupakan produk jaringan adiposa, tetapi kadarnya yang

bersirkulasi berada di bawah kontrol dari adipokin. Pada pasien obesitas,

peningkatan IL-6, CRP, TNF-α, serta penurunan adiponektin dan IL-10,

menginduksi keadaan proinflamasi, menghasilkan resistensi insulin dan disfungsi

endotel (Bastard dkk., 2006).

Penelitian pada binatang menunjukkan gangguan pada sinyal insulin

merupakan komponen penting pada terjadinya resistensi insulin (Saad dkk.,

1992). Penelitian pada manusia menunjukkan bahwa kelompok dengan obesitas

menunjukkan kadar TNF-α yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok

yang tidak obesitas (Hotamisligil dkk., 1995). Penelitian oleh Aygun dkk. (2005)

menunjukkan bahwa kadar TNF-α pada anak prapubertas dengan obesitas lebih

tinggi dibandingkan dengan anak dengan berat badan normal. Hasil serupa juga

diperoleh Alikasifoglu dkk. (2009) pada anak usia 10 hingga 14 tahun dan Aycan

dkk. (2005) pada anak usia 8 hingga12 tahun. Selain itu, pada anak dengan

obesitas didapatkan peningkatan kadar TNF-α dan indeks HOMA yang

menunjukkan adanya peran TNF-α dalam terjadinya resistensi insulin. Penelitian

oleh Dandona dkk. (1997) menunjukkan bahwa obesitas berhubungan dengan

peningkatan kadar TNF-α dan penurunan kadar TNF-α seiring dengan penurunan

berat badan dikatakan memperbaiki resistensi insulin pada subjek.

Sampai saat ini, penelitian yang menganalisis hubungan antara TNF-α dengan

resistensi insulin pada anak dengan obesitas di Indonesia masih sangat terbatas.

Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara

(24)

iii

1.2Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah terdapat hubungan

antara TNF-α dengan kejadian resistensi insulin pada anak obesitas?

1.3Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Tujuan umum penelitian ini adalah membuktikan hubungan antara TNF-α

dengan resistensi insulin pada anak obesitas.

1.3.2Tujuan khusus

1.3.2.1 Menentukan angka prevalensi resistensi insulin pada anak obesitas

1.3.2.2 Menentukan kadar TNF α pada anak obesitas

1.3.2.3 Menentukan hubungan antara TNF α dengan resistensi insulin

1.4Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat akademis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan keilmuan mengenai

hubungan antara TNF-α dengan kejadian resistensi insulin pada anak obesitas.

1.4.2 Manfaat pengembangan penelitian

Dari data hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan untuk

penelitian selanjutnya.

1.4.2 Manfaat praktis

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan untuk

penatalaksanaan anak obesitas dalam praktik sehari-hari serta kemungkinan

penggunaan pemeriksaan TNF-α untuk menmprediksi terjadinya resistensi insulin

(25)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Obesitas

2.1.1 Definisi

Obesitas didefinisikan sebagai akumulasi lemak yang berlebih atau abnormal

yang berisiko mengganggu kesehatan (WHO, 2014).

Metode untuk mengukur berat badan anak berbeda berdasarkan usia. Untuk anak

usia 0-5 tahun dipergunakan WHO Child Growth Standards 2006. Sedangkan

untuk anak usia 5-19 tahun, WHO mengembangkan Growth Reference Data yang

merupakan rekonstruksi dari standar National Center for Health Statistics

(NCHS)/WHO 1977 dan menggunakan data NCHS dilengkapi dengan data dari

standar WHO dengan sampel anak-anak usia hingga 5 tahun. Obesitas

didiagnosis bila didapatkan Indeks Massa Tubuh (IMT) lebih dari dua standar

deviasi berdasarkan umur dan jenis kelamin. (WHO, 2008).

2.1.2 Patogenesis dan etiologi

2.1.2.1 Gangguan pada kontrol homeostasis keseimbangan energi

Pada individu dengan obesitas, kadar leptin meningkat bila dibandingkan

individu dengan berat badan normal. Konsentrasi leptin proporsional dengan

massa lemak tubuh baik pada individu dengan obesitas maupun tidak. Obesitas

bukan merupakan akibat dari defisiensi leptin yang bersirkulasi, tetapi lebih

(26)

ataupun pada transpor leptin ke sistem saraf pusat (Gurevich-Panigrahi dkk.,

2009; National Collaborative on Childhood Obesity Research).

Disfungsi dari mediator selain leptin juga terlibat pada obesitas. Sitokin lain

yang juga berperan dalam transmisi informasi dari jaringan adiposa ke otak yaitu

TNF-α juga meningkat pada individu dengan obesitas yang mengalami resistensi

insulin. Terdapat pula disfungsi pada protein yang berperan pada fosforilasi

oksidatif pada adiposit serta pada faktor transkripsi yang mengatur lipogenesis

dan ekspresi gen dari enzim yang terkait dengan homeostasis lemak dan glukosa.

(Gurevich-Panigrahi dkk., 2009; National Collaborative on Childhood Obesity

Research).

2.1.2.2 Faktor genetik

Faktor genetik juga mempunyai peranan penting dalam patogenesis obesitas.

Bentuk obesitas dismorfik di mana faktor genetik berperan di antaranya sindrom

Prader-Willi, sindrom Ahlstrom,sindrom Laurence-Moon-Biedl, sindrom Cohen,

dan sindrom Carpenter. Beberapa penelitian menunjukkan hubungan antara

variasi sekuens DNA pada gen tertentu dan terjadinya obesitas.

(Gurevich-Panigrahi dkk., 2009; National Collaborative on Childhood Obesity Research).

Hubungan antara obesitas pada manusia dengan faktor lain berkaitan dengan

keseimbangan energi juga telah dilaporkan. Mutasi pada gen reseptor

beta-3-adrenergik dihubungkan dengan onset diabetes mellitus onset dini dan resistensi

insulin sebagaimana peningkatan berat badan pada pasien dengan obesitas

morbid. Beberapa hasil penelitian menunjukkan hasil yang tidak konsisten antara

(27)

obesitas. IL-8 ini berkaitan dengan massa lemak dan sistem TNF. Peningkatan

kadar IL-8 dapat merupakan faktor yang menghubungkan obesitas dengan risiko

kardiovaskuler yang lebih tinggi. Sebagian besar penelitian genomik pada

manusia menunjukkan heterogenitas genetik yang mempengaruhi regulasi indeks

massa tubuh. (Gurevich-Panigrahi dkk., 2009; National Collaborative on

Childhood Obesity Research).

2.1.2.3 Faktor lingkungan

Faktor lingkungan berinteraksi dengan suseptibilitas genetik pada patogenesis

obesitas. Sebagai contoh, cedera pada hipotalamus akibat trauma atau

pembedahan dan lesi destruktif pada regio ventromedial atau nukleus

paraventrikuler dapat menyebabkan obesitas. Beberapa faktor pada obesitas

hipotalamus adalah hiperfagia, gangguan pada fungsi reproduktif, penurunan

aktivitas simpatis dan peningkatan aktivitas parasimpatis. Kelainan endokrin

seperti penyakit Cushing, sindrom polikistik ovarium dan pemakaian beberapa

obat (golongan phenothiazine; seperti antidepresan klorpromazin; amitriptilin,

valproat, steroid, glukokortikoid, antihipertensi terazosin) juga dikaitkan dengan

obesitas (Gurevich-Panigrahi dkk., 2009; National Collaborative on Childhood

Obesity Research).

2.1.2.4 Asupan makanan

Pada individu dengan obesitas dikatakan terdapat kelebihan masukan energi

dibandingkan pengeluaran energi sebanyak 30-40 kkal pada awalnya dan

kemudian meningkat secara bertahap untuk mempertahankan peningkatan berat

(28)

gangguan keseimbangan energi. Lemak mengandung lebih banyak kalori

dibandingkan karbohidrat atau protein. Tiap gram lemak mengandung 9 kalori,

sementara karbohidrat dan protein mengandung 4 kalori per gram. Diduga bahwa

mekanisme yang mengatur nafsu makan bereaksi lebih lambat pada lemak

dibandingkan karbohidrat dan protein sehingga rasa kenyang muncul lebih

lambat. Peningkatan densitas makanan, porsi makanan, rasa yang lebih enak,

peningkatan ketersediaan dan biaya yang murah meningkatkan kejadian obesitas.

Individu dengan obesitas berusaha melakukan diet untuk menurunkan berat

badan, akan tetapi pada saat seseorang mengurangi asupan energi, terdapat

pergeseran ke arah keseimbangan energi negatif. Seseorang dapat mengalami

penurunan berat badan tetapi bersamaan dengan itu juga terjadi penurunan laju

metabolisme dan terdapat penurunan pengeluaran energi. Sistem tubuh berusaha

untuk mengembalikan berat badan pada set point tertentu dan hal ini

menunjukkan bahwa untuk mempertahankan keseimbangan energi tergantung

pada berbagai jalur umpan balik metabolik yang diatur oleh suseptibilitas gen

individu. Seseorang yang sebelumnya dengan obesitas dan saat ini dengan berat

badan normal pada umumnya memerlukan lebih sedikit kalori untuk

mempertahankan berat badannya dibandingkan dengan seseorang yang tidak

pernah mengalami obesitas. Berkurangnya pengeluaran energi kemungkinan

sebagian besar akibat dari perubahan pada konversi energi kimia menjadi aktivitas

mekanik pada otot skeletal (Gurevich-Panigrahi dkk., 2009; National

(29)

2.1.2.5 Aktivitas fisik

Aktivitas fisik dapat dibagi menjadi aktivitas olahraga dan bukan olahraga.

Aktivitas bukan olahraga termasuk kegiatan terkait pekerjaan dan aktivitas hidup

harian. Sulit untuk mengukur energi yang dikeluarkan dalam aktivitas bukan

olahraga. Secara umum, peningkatan perilaku sedentary dan berkurangnya

aktivitas harian dan pekerjaan bertanggungjawab terhadap obesitas. Peningkatan

pengeluaran energi dengan aktivitas fisik mempunyai peran yang positif dalam

mengurangi cadangan lemak dan mengatur keseimbangan energi, terutama bila

dikombinasikan dengan modifikasi diet (Gurevich-Panigrahi dkk., 2009; National

Collaborative on Childhood Obesity Research).

2.1.3 Diagnosis

Secara klinis obesitas dapat dengan mudah dikenali dengan tanda dan gejala

yang khas antara lain wajah membulat, pipi tembem, dagu rangkap, leher relatif

pendek, dada yang membesar dengan payudara yang membesar, perut membuncit

dengan dinding perut yang berlipat-lipat dan kedua tungkai umumnya berbentuk

X. Untuk menegakkan diagnosis, diperlukan pengukuran yang obyektif dengan

pengukuran antropometrik dan laboratorik (Sjarif, 2011).

Pengukuran antropometrik pada umumnya berdasarkan atas tiga metode

pengukuran sebagai berikut :

a. Mengukur berat badan dan hasilnya dibandingkan dengan berat badan ideal

sesuai tinggi badan (BB/TB). Obesitas pada anak didefinisikan sebagai berat

badan menurut tinggi badan di atas persentil 90 atau 120% dibandingkan berat

(30)

ideal maka dikategorikan sebagai superobesitas. Cara ini mencerminkan

proporsi atau penampilan tetapi tidak mencerminkan massa lemak tubuh.

b. WHO dan the National Institutes of Health (NIH) merekomendasikan Body

Mass Index (BMI) atau Indeks Massa Tubuh (IMT) sebagai standar

pengukuran obesitas pada anak dan remaja di atas usia 2 tahun. Cara ini

berkorelasi dengan massa lemak tubuh dan dapat untuk mengidentifikasi

pasien obesitas yang mempunyai risiko mendapat komplikasi medis.

Interpretasi IMT tergantung pada umur dan jenis kelamin karena distribusi

lemak tubuh pada anak laki-laki dan perempuan berbeda. Pada tahun 2006,

WHO mengeluarkan kurva baru IMT menurut umur dan jenis kelamin usia

0-5 tahun berdasarkan hasil pengamatan jangka panjang pada anak-anak yang

tmbuh dalam lingkungan yang optimal di benua Asia, Afrika, Eropa, Amerika

Latin, dan Amerika Utara. Klasifikasi yang digunakan adalah berdasarkan

Z-score sebagai berikut Z score ≥ +1: berpotensi gizi lebih, ≥ +2 gizi lebih

(overweight), dan ≥ +3 obesitas. Sedangkan untuk usia 5-19 tahun

menggunakan WHO Reference 2007: Z-score ≥ +1 diklasifikasikan sebagai

gizi lebih (overweight), ≥ +2 sebagai obesitas.

c. Pengukuran langsung lemak subkutan dengan mengukur tebal lipatan kulit

(TLK). Terdapat empat macam pengukuran TLK yaitu TLK biseps, triseps,

subskapular, dan suprailiaka, di mana TLK triseps di atas persentil 85

(31)

2.1.4 Tatalaksana

Tatalaksana obesitas bersifat komprehensif mencakup penanganan obesitas

dan dampak yang terjadi. Prinsip dari tatalaksana obesitas adalah mengurangi

asupan energi serta meningkatkan keluaran energi dan mencakup pengaturan diet,

peningkatan aktivitas fisik, merubah pola hidup, dan keterlibatan keluarga dalam

proses terapi. (Sjarif, 2011).

2.1.4.1 Pengaturan diet

Prinsip pengaturan diet pada anak obesitas adalah diet seimbang sesuai dengan

Recommended Daily allowance (RDA). Kalori yang diberikan disesuaikan dengan

kebutuhan normal. Pengurangan kalori berkisar 200-500 kalori sehari dengan

target penurunan berat badan 0,5 kg per minggu. Penurunan berat badan

ditargetkan sampai mencapai kira-kira 10% di atas berat badan ideal atau cukup

dipertahankan agar tidak bertambah, karena pertumbuhan linier masih

berlangsung. (Sjarif, 2011).

Diet seimbang yang dianjurkan dengan komposisi karbohidrat 50-60%, lemak

30%, dan protein cukup untuk tumbuh kembang normal (15-20%). Bentuk dan

jenis makanan harus dapat diterima anak. Diet tinggi serat juga dianjurkan karena

dapat membantu pengaturan berat badan lewat mekanisme menurunkan asupan

makanan akibat efek serat yang cepat mengenyangkan, mengurangi rasa lapar,

meningkatkan oksidasi lemak, sehingga mengurangi jumlah lemak yang disimpan.

(32)

Secara garis besar prinsip pengaturan diet pada anak dengan obesitas adalah:

a. Menghindari obesitas serta mempertahankan berat badan dan pertumbuhan

normal

b. Masukan makanan dengan kandungan karbohidrat rendah (48% energi total)

c. Menurunkan masukan lemak (<30% energi total), dengan lemak tak jenuh

(10% energi total), kolesterol tidak lebih dari 300 mg per hari

d. Meningkatkan makanan tinggi serat

e. Makanan dengan kandungan garam cukup (5 gram per hari)

f. Meningkatkan masukan besi, kalsium, dan fluor (Sjarif, 2011).

2.1.4.2 Pengaturan aktivitas fisik

Cara yang dilakukan adalah melakukan latihan dan meningkatkan aktivitas

harian. Peningkatan aktivitas fisik dapat menurunkan nafsu makan dan

meningkatkan laju metabolisme. Latihan aerobik teratur yang dikombinasikan

dengan pengurangan energi akan menghasilkan penurunan berat badan yang lebih

besar dibandingkan hanya dengan diet. Aktivitas sehari-hari dioptimalkan seperti

berjalan kaki dan bersepeda ke sekolah, mengurangi lama menonton televise dan

bermain games komputer, atau bermain di luar rumah. Aktivitas fisik sedang

dianjurkan selama 20-30 menit. (Sjarif, 2011).

2.1.4.3 Modifikasi perilaku

Prioritas utama dalam tatalaksana obesitas adalah perubahan perilaku dan

perlu menghadirkan peran orangtua sebagai komponen intervensi. Beberapa cara

pengubahan perilaku misalnya dengan pengawasan sendiri terhadap berat badan,

(33)

terhadap keinginan untuk makan, mengubah perilaku makan, mekanisme

penghargaan dan hukuman, pengendalian diri dalam mengatasi masalah. (Sjarif,

2011).

2.1.4.4 Terapi intensif

Terapi intensif diterapkan pada obesitas anak dan remaja yang disertai

penyakit peserta dan tidak memberikan respons terhadap terapi konvensional.

Terapi intensif terdiri dari diet berkalori sangat rendah (very low calorie diet),

farmakoterapi, dan terapi bedah (Sjarif, 2011).

a. Diet berkalori sangat rendah

Terapi ini diindikasikan bila berat badan >140% dari berat badan ideal

(superobesitas). Diet yang paling sering diterapkan adalah protein sparing

modified fast (PSMF). Diet ini membatasi asupan kalori hanya 600-800

kalori/hari. Selain itu dianjurkan juga ditambah protein hewani 1,5-2,5 g/kg

berat badan ideal, suplementasi vitamin dan mineral serta minum lebih dari

1,5 liter cairan per hari. Diet ini hanya boleh diterapkan selama 12 minggu di

bawah pengawasan dokter (Sjarif, 2011).

b. Farmakoterapi

Farmakoterapi untuk obesitas dibagi menjadi tiga kelompok yaitu penekan

nafsu makan (sibutramin), penghambat absorbsi zat-zat gizi (orlistat), dan

kelompok lain-lain (leptin, octreotide, metformin). Akan tetapi penggunaan

farmakoterapi untuk anak obesitas masih dipertanyakan untuk keamanannya.

(34)

(FDA) Amerika Serikat untuk tatalaksana obesitas pada usia di atas 12 tahun

(Sjarif, 2011).

c. Terapi bedah

Terapi bedah pada obesitas (bedah bariatrik) pada prinsipnya ada dua yaitu

mengurangi asupan makanan atau memperlambat pengosongan lambung

dengan cara gastric banding dan vertical-banded gastroplasty, serta

mengurangi absorpsi makanan dengan cara membuat gastric bypass dari

lambung ke bagian akhir usus halus. Terapi ini dipertimbangkan bila remaja

mengalami kegagalan menurunkan berat badan setelah menjalani program

yang terencana > 6 bulan. Indikasi bedah bariatrik pada remaja adalah

superobesitas, secara umum sudah mencapai maturitas tulang (pada

perempuan umumnya ≥ 13 tahun dan laki-laki ≥ 15 tahun), dan menderita

komplikasi obesitas yang hanya dapat diatasi dengan penurunan berat badan.

Komplikasi yang dapat terjadi di antaranya adalah hiatal hernia, infeksi luka,

defisiensi mikronutrien, hingga embolisme paru, syok, obstruksi usus,

perdarahan pasca bedah, kebocoran di tempat jahitan, dan gizi buruk (Sjarif,

2011).

2.1.5 Komorbiditas

Komorbid terkait obesitas pada anak hampir sama dengan orang dewasa.

Secara umum, komorbid ini dapat dikategorikan menjadi komplikasi medis dan

psikososial. Konsekuensi medis dapat menimbulkan efek metabolik, yang

melibatkan sistem kardiovaskuler, endokrin, gastrointestinal, dan renal, dan juga

(35)

2.1.5.1 Sistem endokrin

Obesitas mempunyai dampak negative pada perubahan aksis glukosa/insulin

dan atau metabolisme lipid. Laju sekresi insulin meningkat secara bermakna pada

kelompok obesitas bila dibandingkan dengan kelompok dengan berat badan

normal. Akan tetapi tidak terdapat perbedaan pada bersihan insulin atau ekstraksi

insulin hepatik pada kedua kelompok. Abnormalitas pada metabolisme glukosa

yang terjadi secara dini pada anak dengan obesitas merupakan respon insulin

terhadap stimulus makanan dan ambilan glukosa maksimal menurun sesuai umur

dan durasi obesitas. Dapat dismpulkan bahwa efek negatif obesitas yang paling

awal adalah terjadinya resistensi insulin (Banerjee dan Schuster, 2012).

2.1.5.2 Sindrom metabolik

Sindrom metabolik terdiri dari hiperglikemia, hipertensi, dislipidemia dan

obesitas di mana lemak tubuh dan resistensi insulin dianggap sebagai masalah

utama. Penelitian oleh Goodman menunjukkan bahwa obesitas memberikan

pengaruh maksimal pada risikokardio-metabolik kumulatif. Setiap komponen dari

kompleks sindrom ini bertambah buruk seiring dengan berkembangnya obesitas

dan tidak tergantung pada umur, jenis kelamin, dan status pubertas (Banerjee dan

Schuster, 2012).

2.1.5.3 Diabetes mellitus tipe 2

Prevalensi dari diabetes mellitus anak meningkat secara bermakna selama

dekade terakhir dengan variabilitas yang bermakna berdasarkan ras dan etnik.

Data tentang peningkatan insiden dan prevalensi diabetes mellitus pada remaja

(36)

viseral memegang peranan dalam terjadinya diabetes mellitus pada remaja, sama

seperti pada orang dewasa. Obesitas dihubungkan dengan kadar TNF α yang

menyebabkan peningkatan pelepasan asam lemak bebas pada adiposit, blokade

sintesis adiponektin, dan aktivasi reseptor insulin. Selain itu, IL-6, yang sebagian

besar dihasilkan oleh makrofag dan adiposit, mempengaruhi toleransi glukosa

dengan memberikan efek antagonis terhadap sekresi adiponektin dan dengan

meningkatkan glukoneogenesis, glikogenolisis, dan menghambat glikogenesis.

Terdapat banyak adipokin seperti resistin, adipsin, dan lainnya yang dianggap

merupakan missing link antara obesitas dan resistensi jaringan target terhadap

insulin menyebabkan terjadinya diabetes mellitus. Obesitas dengan onset dini

dianggap lebih suseptibel terhadap diabetes dan komplikasinya (Banerjee dan

Schuster, 2012).

2.1.5.4 Gangguan ginekologi

a. Sindrom ovarium polikistik

Penyakit ovarium polikistik merupakan salah satu kelainan endokrin yang

paling umum dan dimulai pada usia remaja. Seringkali penyakit ini disertai

dengan hiperandrogenisme dan hiperinsulinemia. Meskipun mekanisme untuk

hubungan ini masih belum jelas, diduga bahwa kadar insulin yang tinggi berperan

dalam pertumbuhan kista ovarium akibat dari efek anabolik insulin pada reseptor

IGF ovarium. Hingga 30% wanita dengan penyakit ovarium polikistik mengalami

obesitas/ overweight. Obesitas dapat memperburuk gambaran sindrom ovarium

polikistik dengan meningkatkan resistensi insulin, diabetes, dan sindrom

(37)

toleransi glukosa pada wanita muda dengan obesitas dengan sindrom ovarium

polikistik diperkirakan sebanyak 30-40%, dengan tambahan sekitar 5-10%

mengalami diabetes mellitus (Banerjee dan Schuster, 2012).

b. Gangguan menstruasi

Berat badan dan lemak tubuh dianggap merupakan trigger fisiologis menarche

yang bermakna. Oleh sebab itu, anak perempuan dengan obesitas sering

mengalami menarche sebelum usia 10 tahun. Obesitas juga dapat menyebabkan

oligomenorrhea atau amenorrhea,yang meningkatkan risiko untuk terjadinya

kehamilan yang sulit (Banerjee dan Schuster, 2012).

2.1.5.5 Sistem kardiovaskuler

a. Hipertensi

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa obesitas pada anak-anak merupakan

determinan utama dari faktor risiko kardiovaskuler pada masa dewasa. Selain

peningkatan jaringan adiposa secara keseluruhan, obesitas pada batang tubuh

dikaitkan dengan peningkatan penyakit aterotrombotik dan peningkatan petanda

inflamasi. Hipertensi, terutama tekanan darah sistolik, pada anak dan

remajaberhubungan erat dengan jaringan lemak. Ketebalan intima media, suatu

petanda non invasif untuk perubahan aterosklerotik dini, ditemukan meningkat

secara bermakna pada anak dengan obesitas dibandingkan dengan anak yang tidak

mengalami obesitas dengan umur, jenis kelamin, dan tingkat pubertas yang sama

(38)

b. Hipertrofi ventrikel kiri dan penyakit arteri koroner

Onset hipertrofi ventrikel kiri dipercaya bermula dari masa remaja dan

berkembang menjadi risiko penyakit kardiovaskuler pada masa dewasa muda.

Penelitian oleh Maggio menemukan onset dari hubungan antara obesitas dengan

hipertrofi ventrikel kiri pada kelompok usia prapubertas dan menyarankan untuk

memulai pencegahan dan pengobatan obesitas untuk menegah kerusakan organ.

Penelitian Harvard Growth Study pada tahun 1922-1935 menemukan bahwa

mengalami overweight pada usia remaja berhubungan dengan peningkatan risiko

relative hingga 2 kali pada kematian akibat penyakit arteri koroner, dan tidak

tergantung dari berat badan saat dewasa. Oleh karena itu, pasien-pasien ini dengan

penuaan usia vaskuler, memerlukan tatalaksana intensif, termasuk farmakoterapi

untuk modifikasi faktor risiko, dengan tujuan akhir adalah menghentikan

progresifitas aterosklerosis dan menurunkan risiko morbiditas dan mortalitas

(Banerjee dan Schuster, 2012).

2.1.5.6 Sistem gastrointestinal

a. Steatohepatitis non-alkoholik

Insiden steatosis hepatic pada anak dengan obesitas sebesar 38%. Penyebab

dasarnya belum diketahui, tetapi kondisi ini dikaitkan dengan diabetes mellitus,

obesitas, penurunan berat badan yang cepat,dan hiperlipidemia, di mana semua

kondisi ini ditandai oleh gangguan metabolisme lemak. Steatosis non-alkoholik

merupakan komplikasi hepatik primer dari obesitas dan resistensi insulin, dan

dapat dianggap sebagai manifestasi hepatik dini dari sindrom metabolik. Pada

(39)

adiposa meningkat dan menghasilkan peningkatan laju pelepasan asam lemak ke

dalam plasma sepanjang hari. Hal ini mendukung hipotesis bahwa resitensi insulin

berpengaruh pada pathogenesis steatosis dan berkontribusi terhadap komplikasi

metabolik yang berhubungan dengan steatosis non alkoholik. Lemak terakumulasi

terutama pada jaringan adiposa namun dapat pula pada otot dan hati. Rangkaian

proses akumulasi trigliserida ektopik yang menyebabkan terjadinya resistensi

insulin disebut dengan hipotesis overflow. Derajat berat dari penyakit ini dapat

berkembang menjadi fibrosis dan sirosis hepatis(Banerjee dan Schuster, 2012).

b. Batu empedu

Dislipidemia yang diinduksi oleh obesitas menyebabkan peningkatan ekskresi

kolesterol oleh sistem bilier sehingga meningkatkan kecenderungan untuk

pembentukan batu empedu. Kondisi ini terjadi tanpa adanya penyakit dasar seperti

gangguan hemolitik. Obesitas menyebabkan 8 hingga 33% batu empedu pada

anak, dengan resistensi insulin dan sindrom metabolik merupakan faktor risiko

potensial yang lain (Banerjee dan Schuster, 2012).

2.1.5.7 Sistem renal

Obesitas memerankan peranan penting dalam terjadinya penyakit ginjal

kronis. Obesitas merupakan predisposisi untuk nefropati diabetikum,

nefrosklerosis hipertensi, glomerulosklerosis fokal segmental dan urolitiasis.

Meskipun tidak ada komorbid yang lain, obesitas menyebabkan perubahan

structural seperti glomerulomegali dan penebalan basal membran glomerulus yang

menyebabkan terjadinya nefropati obesitas. Modifikasi fisiologis pada

(40)

dengan hiperperfusi, yang secara bersamaan menyebakan gangguan renal.

Peningkatan laju filtrasi ginjal ditemukan pada individu overweight dibandingkan

normal, secara bermakna berkorelasi positif dengan indeks massa tubuh dan

resistensi insulin. Pembedahan bariatrik untuk menginduksi penurunan berat

badan berhubungan dengan peningkatan fungsi ginjal jangka panjang pada orang

dewasa dengan obesitas morbid (Banerjee dan Schuster, 2012).

2.1.5.8 Sistem pulmonal

a. Obstructive sleep apnea

Prevalensi obstructive sleep apnea (OSA) pada anak dengan obesitas

diperkirakan sekitar 7%. Dibandingkan dengan anak normal, anak dengan

obesitas berisiko 6 kali lebih besar untuk mengalami OSA. Kondisi ini

mengakibatkan somnolen pada siang hari dan defisit neurokognitif seperti

gangguan memori dan konsentrasi akibat dari kualitas tidur yang buruk.

Gangguan tidur ini juga berhubungan dengan peningkatan petanda inflamasi

seperti CRP dan IL-6. Perubahan hormonal yang ditemukan pada OSA termasuk

penurunan leptin, peningkatan ghrelin, peningkatan kadar insulin, dan penurunan

sensitivitas insulin. Etiologi dari perubahan ini masih belum jelas tetapi

kemungkinan besar karena hipoksemia intermiten yang mepotensiasi kaskade

inflamasi yang menstimulasi inflamasi sistemik (Banerjee dan Schuster, 2012).

b. Hiperaktivitas bronkial dan eksaserbasi asma

Obesitas dikatakan berhubungan secara bermakna dengan asma pada anak dan

remaja dengan hubungan yang lebih kuat pada anak non atopik dibandingkan

(41)

dengan obesitas dan overweight menunjukkan penurunan respon terhadap steroid

inhalasi pada asma. Jaringan lemak pada anak dan remaja berhubungan dengan

peningkatan risiko asma secara bermakna dan meningkatkan ketergantungan

terhadap obat-obatan dalam jangka panjang. Ketidakmampuan untuk berolahraga

meningkatkan progresifitas obesitas dan siklus tersebut terus berlanjut (Banerjee

dan Schuster, 2012).

2.1.5.9 Sistem muskuloskeletal

Obesitas pada masa anak-anak berhubungan dengan peningkatan frekuensi

dan derajat keparahan masalah ortopedik pada anak. Gangguan ortopedik ini

akibat dari peningkatan tekanan dan peregangan pada tulang dan tulang rawan

yang tidak dirancang untuk membawa beban yang berlebih. Ganggua ortopedik

yang umum termasuk melengkungnya tibia dan femur yang menyebabkan

pertumbuhan berlebih bagian medial metafisis tibial proksimal atau sindrom

Blount dan bergesernya epifisis femoralis akibat dari peningkatan beban pada

growth plate sendi panggul. Obesitas pada saat growth spurt dapat meningkatkan

kecenderungan fraktur saat jatuh karena perkembangan tulang tidak dapat

mengatasi beban yang berlebih. Ketidakseimbangan berat badan dan tulang ini

juga memberikan tekanan tinggi pada tulang dan sendi yang sedang berkembang

yang menghasilkan kerusakan sendi dan terjadinya osteoarthritis pada usia-usia

berikutnya. Terjadinya fraktur yang lebih berat dan kelainan tulang meningkatkan

kemungkinan pembedahan yang kompleks dan penggantian sendi, terutama pada

trauma pediatrik, dan meningkatkan beban fisik maupun financial (Banerjee dan

(42)

2.1.5.10 Sistem saraf pusat

Corbett dkk melaporkan peningkatan insiden hipertensi intrakranial idiopatik

pada usia relatif muda yaitu di bawah 20 tahun sebesar 90% pada pasien anak

dengan obesitas. Sekitar 30-50% anak dengan pseudotumor serebri mengalami

obesitas dan tidak berhubungan dengan infeksi atau obat-obatan. Diperkirakan

bahwa peningkatan tekanan intraabdominal akibat obesitas meningkatkan tekanan

intratorakal yang ditransmisikan ke kepala sebagai peningkatan resistensi dari

venous return ke otak (Banerjee dan Schuster, 2012).

2.1.5.11 Konsekuensi psikososial

Obesitas pada anak merupakan proses dinamis yang melibatkan aspek

perilaku, kognitif, dan emosional. Hubungan antara obesitas dan masalah

psikologis bersifat siklik, di mana gangguan psikologis yang bermakna secara

klinis dapat meningkatkan berat badan dan obesitas dapat menyebabkan masalah

psikososial lebih lanjut. Depresi pada orang dewasa berhubungan dengan obesitas

pada masa remaja. Wanita dikatakan mempunyai hubungan yang lebih kuat

dibandingkan laki-laki. Pasien wanita pada umumnya mempunyai perhatian yang

obsesif terhadap stigma sosial terhadap citra tubuh, rasa percaya diri yang rendah,

dan persepsi diri yang buruk mengenai penampilan fisik. Harapan akan penolakan

menyebabkan depresi lebih lanjut. Remaja overweight seringkali melaporkan

penurunan kualitas hidup terkait kesehatan pada aspek fisik, emosional, dan

social. Remaja dengan obesitas dapat memiliki pendidikan yang lebih rendah,

pendapatan yang lebih rendah, dan peningkatan laju kemiskinan (Schwartz dan

(43)

2.1.6. Peran obesitas sentral pada resistensi insulin

Hubungan obesitas dengan resistensi insulin ditemukan pada semua kelompok

etnik. Penelitian epidemiologis besar menunjukkan bahwa risiko mengalami

diabetes dan juga resistensi insulin, meningkat apabila indeks massa tubuh (IMT)

meningkat, menunjukkan bahwa ukuran lemak tubuh mempunyai efek pada

sensitivitas insulin. Meskipun hubungan ini ditunjukkan dengan parameter

jaringan adiposa yaitu IMT, yang menunjukkan derajat adiposa total, tidak semua

lokasi jaringan adiposa memberikan pengaruh yang sama. Deposit lemak sentral

(intra-abdominal) lebih berhubungan dengan resistensi insulin, diabetes mellitus

tipe II, dan penyakit kardiovaskuler dibandingkan deposit lemak perifer

(gluteal/subkutan) (Kahn, 2000).

Hipotesis tentang obesitas sentral menyatakan bahwa adiposit intra-abdominal

lebih aktif mengalami lipolisis karena adanya reseptor adrenergik. Hal ini

meningkatkan kadar dan aliran asam lemak bebas intraportal, yang dapat

menghambat bersihan insulin dan menyebabkan resistensi insulin.

Hiperinsulinemia sendiri menyebabkan resistensi insulin dengan men-down

regulasi reseptor insulin dan mendesensitisasi jalur pasca reseptor (Kahn dan

Flier, 2000).

Meskipun obesitas merupakan penyebab utama resistensi insulin pada anak

dan remaja, beberapa anak dengan obesitas dapat sangat berbeda dalam hal

sensitivitas insulin dan mungkin memiliki risiko kardiovaskuler dan metabolik

(44)

Individu dengan resistensi insulin berat ditandai dengan peningkatan deposisi

lemak viseral dan kompartemen intra-mioseluler (Weiss dan Kaufman, 2008).

Peningkatan lemak viseral berhubungan dengan profil metabolik atherogenik

pada masa anak-anak. Lemak viseral berhubungan dengan resistensi insulin dan

respon sekresi insulin yang lebih rendah pada anak dan remaja dengan obesitas.

Kadar adiponektin pada anak dengan obesitas semakin menurun dengan

meningkatnya deposisi lemak viseral, meskipun total lemak tubuh secara

keseluruhan sama (Weiss dan Kaufman, 2008).

Dari sudut pandang risiko metabolik, lokasi kelebihan lemak sangat penting.

Penelitian epidemiologis menunjukkan bahwa konsekuensi metabolik lebih

berkaitan dengan lokasi lemak dibandingkan dengan jumlah lemak. Akumulasi

lemak sentral merupakan prediktor yang lebih baik untuk risiko DM tipe II dan

penyakit kardiovaskuler dibandingkan massa lemak absolut (Westphal, 2008).

Obesitas abdominal dikatakan meningkatkan risiko untuk menderita DM tipe

II. Orang kurus dikatakan menunjukkan variabilitas dalam hal sensitivitas insulin

yang disebabkan karena perbedaan distribusi lemak. Orang dengan distribusi

lemak perifer dikatakan lebih sensitif terhadap insulin dibandingkan yang

distribusi lemaknya sentral. Sebaliknya, orang yang secara klinis tidak tampak

gemuk dapat berisiko mengalami resistensi insulin dan gangguan metabolik bila

lemaknya terdistribusi secara sentral (Westphal, 2008).

Jaringan lemak abdominal dapat dibedakan menjadi lemak subkutan dan

lemak viseral. Di antara berbagai depot lemak, jumlah lemak intra-abdominal atau

(45)

tomography scan (CT scan) dan magnetic resonance imaging (MRI)

menunjukkan bahwa lemak viseral yang berlokasi sentral lebih berhubungan

dengan resistensi insulin dibandingkan lemak subkutan yang berlokasi sentral

(Westphal, 2008).

Pola obesitas abdominal sentral memiliki korelasi yang lebih kuat dengan

obesitas pada bagian tubuh yang lebih rendah. Meskipun lingkar perut tidak dapat

membedakan jumlah lemak viseral atau subkutan, pemeriksaan CT scan dan MRI

dapat membedakan depot lemak viseral dan subkutan. Pemeriksaan lingkar perut

merupakan pemeriksaan fisik yang berkorelasi dengan jumlah lemak viseral.

Pemeriksaan lingkar perut dapat membantu klinisi dalam membantu pasien yang

mempunyai risiko metabolik yang tinggi (Westphal, 2008).

2.2 Resistensi Insulin

2.2.1 Definisi

Resistensi insulin adalah resistensi terhadap efek insulin pada uptake,

metabolisme, dan penyimpanan glukosa. Resistensi insulin menunjukkan

insensitifitas jaringan perifer (otot, hati, jaringan adiposa) terhadap efek insulin.

Resistensi insulin merupakan faktor prinsip dalam patogenesis diabetes mellitus

tipe 2 bersama dengan gangguan sekresi insulin. Untuk mempertahankan

homeostasis glukosa, sel beta pancreas mengkompensasi resistensi insulin dengan

meningkatkan sekresi insulin dan membuat suatu kondisi hiperinsulinemia.

Kegagalan progresif sel beta untuk mempertahankan sekresi insulin yang adekuat

selanjutnya mengarah ke diabetes mellitus tipe 2 (Kahn dan Flier, 2000; Lee dkk.,

(46)

Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa resistensi insulin

dipengaruhi oleh jenis kelamin, ras, jaringan adiposa, dan status pubertas.

Penelitian oleh Lee menunjukkan bahwa jenis kelamin perempuan dan usia

pubertas menunjukkan kecenderungan yang lebih tinggi untuk mengalami

resistensi insulin (Lee dkk., 2006).

2.2.2. Patogenesis

Resistensi insulin pada obesitas dan diabetes mellitus tipe 2 bermanifestasi

sebagai menurunnya transport dan metabolisme glukosa yang distimulasi insulin

pada jaringan adiposa dan otot dan gangguan pada penekanan pengeluaran

glukosa oleh hati. Gangguan fungsional ini disebabkan oleh terganggunya sinyal

insulin pada ketiga jaringan target dan hambatan pada transporter glukosa sensitif

insulin yang utama yaitu GLUT4 (Kahn dan Flier, 2000).

Reseptor insulin merupakan tirosin kinase. Ikatan insulin dengan reseptornya

menyebabkan fosforilasi pada residu tirosin dari IRS-1 yang mengaktivasi

enzim-enzim yang berperan dalam metabolisme glukosa yang normal. Pada resistensi

insulin, terjadi inhibisi pada ikatan insulin dan reseptornya yang mengakibatkan

penurunan fosforilasi tirosin pada IRS-1 serta peningkatan fosforilasi serin pada

IRS-1. Terjadi penurunan aktivitas fosfoinositida 3-kinase (PI3K) yang

mengakibatkan terganggunya translokasi, penyimpanan, dan fusi dari vesikel yang

mengandung GLUT4 dengan membran plasma. Akibatnya terjadi penurunan

transpor glukosa ke dalam sel. Inhibisi pada reseptor insulin juga menurunkan

(47)

fosfofruktokinase serta glikogen sintase yang mengakibatkan penurunan

pembentukan glikogen dan peningkatan glukosa dalam darah.

Terdapat perbedaan yang spesifik untuk proses sinyal insulin pada jaringan

tertentu. Pada adiposit dari individu obesitas dengan diabetes tipe 2, ekspresi

IRS-1 menurun, menyebabkan penurunan aktivitas fosfoinositida 3-kinase (PI3K)

yang berkaitan dengan IRS-1, dan IRS-2 menjadi protein utama untuk PI3K.

Sebaliknya, pada jaringan otot individu obesitas dan diabetes tipe 2, kadar protein

IRS-1 dan IRS-2 normal tetapi aktivitas PI3K yang berkaitan dengan IRS

terganggu (Kahn dan Flier, 2000).

Dislipidemia dengan penumpukan lemak intra abdominal dikatakan

berkorelasi positif dengan kadar insulin basal serta triasilgliserol. Sementara kadar

high density lipoprotein (HDL) yang rendah pada dislipidemia, berkorelasi negatif

dengan kadar insulin basal (Osganian dan Ferranti, 2008). Akumulasi asam lemak

dalam sel otot, terutama dalam bentuk asil-CoA rantai panjang dan diasilgliserol,

dapat meningkatkan aktivitas serin kinase dan selanjutnya meningkatkan

fosforilasi serin IRS-1. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan terjadinya

penurunan transpor glukosa (Savage dkk., 2005).

Pada obesitas morbid, ekspresi dari berbagai molekul sinyal insulin menurun

pada otot skeletal. Pada berbagai bentuk obesitas dan diabetes, faktor utama yang

berkontribusi terhadap gangguan transport glukosa yang distimulasi insulin pada

adiposit adalah down regulasi dari GLUT4. Meskipun demikian, pada otot

skeletal individu obese dan diabetes, dapat ditemukan ekspresi GLUT4 normal

(48)

translokasi, penyimpanan, dan fusi dari vesikel yang mengandung GLUT4 dengan

membrane plasma (Kahn dan Flier, 2000).

Individu dengan resistensi insulin bila tidak mampu mempertahankan derajat

hiperinsulinemia yang dibutuhkan untuk mengatasi resistensi insulin, akan

berkembang menjadi diabetes mellitus tipe 2. Sedangkan apabila individu dengan

resistensi insulin mampu mensekresi insulin yang cukup untuk tetap berada dalam

kondisi non diabetes, individu ini tetap memiliki risiko yang meningkat untuk

mengalami sekumpulan kelainan yang disebut dengan istilah Sindrom Resistensi

Insulin. Istilah lain yang juga sering dipergunakan adalah Sindrom Metabolik atau

Sindrom Dismetabolik. (ACE, 2003)

2.2.3 Kriteria diagnosis

Pendekatan untuk menegakkan diagnosis resistensi insulin dapat

menggunakan beberapa pendekatan. Hingga saat ini beberapa pemeriksaan yang

sering dipergunakan untuk menegakkan resistensi insulin adalah pemeriksaan

kadar gula darah puasa, tes toleransi glukosa oral, tes toleransi glukosa intravena,

dan pemeriksaan insulin. Standar baku untuk resistensi insulin adalah

hyperinsulinemic-euglycemic clamp dan tes toleransi glukosa intravena. Kedua

jenis pemeriksaan tersebut bersifat invasif dan mahal dan tidak dianjurkan untuk

penelitian epidemiologis berskala besar. Metode yang lebih sederhana dan praktis

adalah homeostasis model assessment of insulin resistance (HOMA-IR). (Lee

dkk., 2006)

HOMA-IR merupakan perkiraan resistensi insulin yang dinilai dari gula darah

(49)

resistensi insulin yang lebih tinggi. HOMA-IR telah divalidasi sebagai metode

pengukuran pengganti untuk resistensi insulin pada anak yang non-diabetik.

HOMA-IR dihitung dengan membagi kadar insulin (mikrounit/ml) dan gula darah

puasa (mg/dl) dengan 405 (Matthews dkk., 1985).

Hingga saat ini belum terdapat standar nilai cut-off HOMA-IR untuk

menentukan ada tidaknya resistensi insulin. Penelitian yang dilakukan oleh

Keskin dkk. (2005) pada anak dan remaja menemukan nilai cut-off untuk

diagnosis resistensi insulin sebesar 3,16 dengan sensitifitas dan spesifisitas yang

cukup baik yaitu sensitivitas 76% dan spesifisitas 66%. Sementara itu, beberapa

penelitian lain menganjurkan nilai cut off yang berbeda-beda seperti penelitian

oleh Burrows dkk. pada remaja Chili (cut off 2,6; sensitivitas 59%; spesifisitas

87%), penelitian oleh Yin dkk. pada anak dan remaja di Cina (cut off 2,6;

sensitivitas 78%; spesifisitas 67%), dan penelitian oleh Singh dkk. pada remaja di

India (cut off 2,5; sensitivitas >70%; spesifisitas >60%). Untuk mendapatkan nilai

standar baku HOMA-IR serta dengan memperhitungkan faktor jenis kelamin dan

umur yang mempengaruhi nilai tersebut, masih diperlukan penelitian

epidemiologis dengan sampel yang representative (Keskin dkk., 2005; Yin dkk.,

2013; Singh dkk., 2013; Burrows dkk., 2015).

2.3 Peran Tumor Necrosis Faktor α pada Resistensi Insulin

2.3.1 Proses inflamasi pada obesitas

Inflamasi adalah respon terhadap stimulus yang membahayakan untuk

mengembalikan sistem tubuh kembali ke dalam kondisi normal. Respon inflamasi

(50)

klasik terhadap patogen dan termasuk peningkatan sitokin inflamasi dan protein

fase akut yang beredar, penarikan leukosit ke jaringan inflamasi, aktivasi leukosit

jaringan, dan respon perbaikan jaringan (Lumeng dan Saltiel, 2011).

Perjalanan kronis obesitas mengakibatkan aktivasi sistem imun yang

mempengaruhi homeostasis metabolik. Obesitas pada anak menempatkan

seseorang dalam metainflamasi jangka panjang, di mana petanda inflamasi

meningkat pada anak obesitas sejak usia 3 tahun (Lumeng dan Saltiel, 2011).

Keterlibatan multiorgan pada inflamasi yang diinduksi oleh obesitas sangatlah

unik. Inflamasi multipel berkontribusi terhadap disfungsi metabolik termasuk

peningkatan sitokin yang beredar, penurunan faktor protektif (misal adiponektin)

dan komunikasi antara sel inflamasi dan metabolik (Lumeng dan Saltiel, 2011).

Penelitian terbaru menunjukkan hasil bahwa obesitas berkaitan dengan proses

inflamasi level rendah di dalam jaringan adiposa, mekanisme fisiologis yang

masih belum dimengerti hingga saat ini, mendasari hubungan antara sel lemak dan

sistem imun. Aspek fisiologis dan patologis yang menghasilkan berbagai hasil

menunjukkan bahwa jaringan adiposit mempunyai kemampuan untuk mensintesis

dan mensekresi beberapa faktor yang secara kolektif disebut adipokin. Beberapa

di antaranya memainkan peranan penting dalam resistensi insulin terkait obesitas

dan komplikasi kardiovaskuler (Bastard dkk., 2006).

2.3.2 Sitokin proinflamasi

2.3.2.1 Tumor necrosis factor αlpha (TNF-α)

TNF-α adalah sitokin proinflamasi yang sebagian besar diproduksi oleh

(51)

TNF-α pada pasien obesitas diperkirakan bukan karena produksi yang berlebih oleh

jaringan adiposa. Diperkirakan bahwa efek sistemik leptin atau adipokin lainnya

dapat menginduksi sekresi TNF-α dari makrofag dan limfosit (Arslan dkk., 2010).

Dua efek TNF-α yang bermakna secara klinis pada anak dan orang dewasa

obesitas adalah resistensi insulin dan perubahan inflamasi endotel. Pada tikus,

TNF-α diperkirakan memainkan peranan penting dalam patofisiologi resistensi

insulin melalui fosforilasi protein insulin receptor substrate-1 (IRS-1) pada residu

serin. Peningkatan sensitifitas insulin ditemukan pada netralisasi TNF-α endogen

pada tikus yang obesitas. Peningkatan kadar dalam plasma dari reseptor 2 TNF

ditemukan berkaitan dengan resistensi insulin pada sukarelawan sehat (Arslan

dkk., 2010).

Penelitian pada 47 anak obese, menunjukkan indeks HOMA, kadar TNF-α

dan CRP meningkat secara bermakna pada anak obesitas dibandingkan dengan

kontrol. TNF-α mengaktivasi transkripsi faktor nuklear faktor κB, yang

mengakibatkan perubahan inflamasi pada jaringan vaskuler. Perubahan inflamasi

pada jaringan vaskuler ini menghasilkan disfungsi endotel dan hipertensi. Pada

penelitian yang melibatkan 64 anak dan remaja 911 anak dengan obesitas, 11 anak

dengan hipertensi, 28 dengan diabetes, dan 14 dengan hipertensi menyertai

obesitas. Obesitas dan hipertensi yang menyertai obesitas ditemukan berkaitan

dengan peningkatan kadar TNF-α dan IL-6. Peningkatan kadar IL-6 dan TNF-α

pada anak dengan faktor risiko aterosklerosis, khususnya obesitas,

mengkonfirmasi adanya proses inflamasi pada fase awal aterosklerosis (Arslan

Gambar

Gambar 2.1 Mekanisme Inhibisi Reseptor Insulin oleh TNF-α (dimodifikasi dari Peraldi dan Spiegelman, 1998)

Referensi

Dokumen terkait

Untuk membuktikan efek Nigella sativa terhadap pengendalian inflamasi penderita pneumonia melalui pengukuran kadar prokalsitonin, TNF-α, dan capaian perbaikan

Kadar serum TNF-α tidak berhubungan dengan derajat keparahan dispepsia, namun TNF-α mempunyai korelasi positif dengan derajat keparahan gastritis berdasarkan

Hasil; peningkatan kadar IL-10 dan kadar TNF-α pada responden malaria tanpa gejala klinis lebih tinggi dibandingkan dengan responden dengan gejala klinis P.. falciparum maupun

Dijumpai peningkatan kadar serum TNF α yang lebih signifikan pada penderita gastritis H.pylori dibandingkan dengan non H.pylori, namun MMP 9 tidak mempunyai hubungan

Secara teori, mengatakan bahwa terjadi peningkatan asam lemak bebas pada orang yang mengalami obesitas sentral sehingga risiko terjadinya resistensi insulin juga

Rerata kadar resistin dan TNF-α pada wanita hamil yang obesitas lebih tinggi dari pada yang memiliki berat badan normal pada Preeklamsi Berat Awitan Lambat. UCAPAN

Pada tes toleransi glukosa dan toleransi insulin diet tinggi lemak juga menyebabkan kadar gula darah yang lebih tinggi pada kelompok mencit tinggi lemak dibandingkan dengan

Pada penelitian ini ekspresi TNF-α yang positif/over-expression lebih banyak pada kelompok penderita OMSK tipe bahaya dengan komplikasi, yaitu sebanyak 22 (78,6%) penderita