• Tidak ada hasil yang ditemukan

commit to user

TINJAUAN PUSTAKA

2. Patogenesis endometriosis

 

Semakin maraknya penggunaan laparoskopi, maka angka kejadian terdeteksinya endometriosis semakin meningkat (West, 2004). Prevalensi kejadian ini sangat beragam dipandang dari berbagai tingkat sosial maupun indikasi dari laparoskopi. Diperkirakan lebih dari 70 juta perempuan dan gadis di seluruh dunia menderita endometriosis. Data penderita endometriosis di Indonesia belum diketahui secara pasti, namun di Rumah Sakit Umum dr Moewardi pada temuan bedah ginekologi endometriosis berkisar 13,6 %., di rumah Sakit Umum dr Soetomo angka kejadian endometriosis kelompok infertilitas 37,2%, dan di Rumah Sakit dr Cipto Mangunkusumo angka kejadian endometriosis pada kelompok infertilitas berkisar 69,5% (Oepomo TD, 2007). Penelitian pada 1542 wanita caucasian, didapatkan 6 % wanita dengan endometriosis pada sterilisasi laparoskopi, 21 % ditemukan pada wanita dengan infertilitas dan 15 % pada wanita dengan nyeri pelvis. Secara umum pada 1542 sampel tersebut didapatkan prevalensi endometriosis sebesar 33 % (West, 2004).

2. Patogenesis endometriosis

Akhir-akhir ini patogenesis endometriosis peritoneal termasuk dari implantasi endometrium secara umum diterima (Ceyhan, 2008). Perkembangan teori patogenesis endometriosis baik dari ductus wolfii maupun dari jaringan mulleri telah banyak ditentang bahkan sebagian besar mengabaikan. Penemuan endometriosis pada permukaan lapisan serosa colon dan usus halus terjadi murni oleh derivasi embrionik yang terbatas. Teori coelomic metaplasia masih dianggap lemah, karena tidak dapat menjelaskan asal endometriosis. Teori ini tidak dapat menjelaskan mengapa endometriosis hanya terjadi pada wanita reproduksi,

commit to user

 

 

terutama pada organ pelvis dan pada wanita dengan endometrium yang berfungsi baik.

Levander dan Normann (1955) mengemukakan teori induksi. Teori ini berdasarkan asumsi adanya substansi spesifik yang dilepaskan oleh endometrium yang berdegenerasi menginduksi endometriosis dari omnipotent blastema.

Teori implantasi berdasarkan prinsip kemampuan endometrium dalam berimplantasi pada permukaan peritoneum. Teori ini terjadi atas 3 tahapan, yaitu : (1) menstruasi retrograde (2) menstruasi retrograde mengandung sel endometrial yang mampu berimplantasi (3) adhesi pada peritoneum terjadi karena adanya implantasi dan proliferasi. Menstruasi retrograde dan adhesi peritoneal dari jaringan endometrial merupakan elemen penting pada patogenesis endometriosis sesuai dengan teori Sampson (Van der Linden, 1997).

Menurut Bulun (2009) endometriosis mempunyai 3 bentuk klinis, yaitu : (1) implantasi endometrium pada permukaan peritoneum pelvis dan ovarium (peritoneal endometriosis) (2) kista ovarii yang berisi mukosa endometrioid (endometrioma) (3) massa solid kompleks yang terdiri dari campuran jaringan endometrium dengan jaringan adiposa serta jaringan fibromuskular yang letaknya antara rectum dan vagina (rectovaginal endometriotic nodule).

Endometrioma lazim ditemukan pada wanita usia reproduksi, yang biasanya terdiagnosis sebagai lesi kistik dan disebut endometrioma. Ukurannya beragam, dari 1-2 cm hingga mencapai 10 cm atau lebih dan dapat menyerang satu atau kedua ovarium (Ceyhan, 2008, Bulun, 2009).

commit to user

 

 

Histogenesis endometrioma belum seluruhnya jelas. Endometrioma memiliki protein yang berbeda dari sebukan endometriosis nir-kistik, dengan tampilan kolagen VI yang relatif berlebihan dan tampilan bcl-2 dan metaloproteinase IX yang kurang. Pada perkembangan dan pemeliharaan dua jenis ini, secara perbandingan imunohistokimiawi dapat ditampilkan gen-gen yang berbeda.

Ada tiga model hipotesis yang paling mungkin untuk menjelaskan endometrioma yakni : (1) hipotesis pertama didukung oleh temuan irisan serial ovarium yang berisi endometrioma, ternyata pembentukan khas 90% kista coklat adalah penyusukan jaringan mirip endometrium yang melipat keluar ke permukaan ovarium dan berikutnya melekat ke peritoneum pelvik. Dengan demikian, kebanyakan endometrioma tampaknya dibentuk oleh invaginasi korteks setelah tumpukan serpih perdarahan sebukan endometriosis permukaan melekat ke peritoneum. (2) hipotesis kedua berasal dari teori Sampson yang menyatakan bahwa peran folikel ovarium dalam patogenesis kista endometriosis. Dalam hal ini ada penyebaran lokal endometriosis oleh alir balik darah haid melalui tuba dan sebukan endometriosis permukaan menyerbu kista fungsional. Dengan demikian, sebukan endometriosis di ovarium adalah serupa dengan endometriosis di sisi ekstraovarium yang ukurannya terbatasi oleh fibrosis dan jaringan parut. Artinya, endometrioma besar berkembang karena keterlibatan sekunder kista-kista folikel atau luteal oleh susukan-susukan permukaan. Beberapa endometrioma besar terbukti memiliki ciri histologik kista ovarium luteal atau folikuler. Dengan ultrasonografi transvaginal yang menjejaki folikel ovarium diketahui bahwa

commit to user

 

 

endometrioma dapat berkembang dari folikel ovarium. (3) hipotesis ketiga menggambarkan bahwa metaplasia selomik dari epitel mesotelium yang berinvaginasi ke dalam korteks ovarium berperan pada etiopatogenesis endometrioma. Ini didasarkan pada adanya invaginasi epitel yang sinambung dengan jaringan endometriosis. Hipotesis ini juga didukung oleh adanya endometrioma multilokuler dan asal metaplastik dari tumor-tumor ovarium epitelial. Metaplasia selomik juga dikuatkan oleh adanya endometrioma yang tidak tertahan di peritoneum, sehingga tidak mungkin merupakan akibat dari perlekatan dan perdarahan susukan superfisial yang aktif. Bukti lain adanya endometrioma pada penderita sindrom Rokitansky-Kuster-Mayer-Hauser yang tidak memiliki haid terbalik (Jacoeb et al, 2009).

Ketepatan patogenesis endometrioma tidak hanya diperlukan untuk kepentingan ilmiah, melainkan juga sebagai dasar praktis dalam menentukan penatalaksanaan yang paling memadai untuk endometrioma (Jacoeb et al, 2009). 3. Klasifikasi

Sistem pembagian stadium endometriosis yang dipakai dewasa ini adalah berdasarkan klasifikasi yang dianjurkan oleh Perkumpulan Fertilitas Amerika (American Fertility Society = AFS) dan yang dianjurkan oleh Kurt Semm berupa Endoscopic Endometriosis Classification (EEC) (Baziad, 2003). Klasifikasi yang

dibuat oleh AFS tahun 1979 yang kemudian berganti nama menjadi ASRM (American Society for Reproductive Medicine) mengalami revisi. Walaupun tidak ada perubahan dalam klasifikasinya, telah dideskripsikan bentuk lesi endometriosis sebagai lesi putih, merah atau hitam. Modifikasi ini memunculkan

commit to user

 

 

berbagai penelitian lain mengenai beberapa aktifitas biokimia pada lesi dan memungkinkan prognosis penyakit ini dapat diprediksi dari bentuk implantasinya (Schorge et al, 2008).

Klasifikasi endometrioma dibagi menjadi 3 tipe berdasarkan pada ukuran, isi kista, mudahnya dipisahkan dari kapsulnya, adhesi kista terhadap struktur dan lokasi dari implantasi yang berhubungan dengan dinding kista. Setelah dilakukan laparoskopi, kista dievaluasi secara histologi tanpa mengkaitkan dengan klasifikasi klinis.

Karakteristik endometrioma dapat dikategorikan sebagai berikut : (1) tipe I yaitu : secara histologi kecil (<2 cm), terdapat pada lapisan superfisial kista dan dinding kista sangat sulit untuk dipisahkan adalah karakteristik.(2) tipe II digambarkan sebagai kista berukuran besar dengan kista yang mudah dipisahkan dari kapsulnya serta merupakan kista luteal. (3) tipe III yaitu: kista besar dengan beberapa perlengketan dan memenuhi karakteristik histologi fungsional (kista luteal atau folikuler) (Nehzat et al, 1992).

Sedangkan menurut Jacoeb et al (2009), ada dua jenis endometrioma yaitu endometrioma primer atau jenis I, dan endometrioma sekunder atau jenis II. Diagnosis dipastikan dengan biopsi yang diperoleh dengan laparoskopi. Model etiopatogenesis ini juga didukung oleh data biologis yang mengungkapkan kemampuan zalir folikel untuk mendukung pertumbuhan sel endometriosis. Zalir folikel penderita endometriosis dapat memicu peningkatan proliferasi sel dibandingkan dengan zalir folikel dari wanita tanpa penyakit. Selain itu, zalir

commit to user

 

 

folikel mewakili lingkungan yang nyaman bagi proliferasi sel yang merangsang dengan kuat pertumbuhan sel endometrium dan endometriosis in vitro.

Endometrioma juga dapat diklasifikasikan sebagai berikut : (1) jenis I yaitu : (a) endometrioma kecil (1-2 cm) dan berisi cairan gelap (b) terbentuk dari kelenjar-kelenjar endometrium dan stroma (c) berkembang dari sebukan endometriosis permukaan dan sukar di-eksisi (d) merupakan endometriosis sejati (true endometriosis) (e) secara mikroskopis jaringan endometriosis terlihat pada semuanya (2) jenis II yaitu : terbentuk dari kista luteal atau folikuler (a) jenis IIA : kista hemoragik, penampakan endometrioma yang menyeluruh, dinding kista terpisahkan dengan mudah dari jaringan ovarium, susukan endometriosis terletak superficial dan berdekatan dengan kista hemoragik, yang berasal folikuler atau luteal dan mikroskopis tidak terlihat selaput endometrium (b) jenis IIB : selaput kista mudah dipisahkan dari kapsul ovarium dan stroma, kecuali yang dekat dengan susukan endometriosis (c) jenis IIC : sebukan endometriosis superficial menyebuk jauh ke dalam dinding kista, sehingga sukar dieksisi, temuan histologis endometriosis terlihat pada dinding kista pada kedua subtipe ini, endometrioma jenis IIB dan IIC berukuran besar dan seringkali terkait dengan perlekatan adneksa dan pelvik (Jacoeb et al, 2009).

4. Diagnosis

Secara klinis keluhan pada endometriosis bergantung pada lokasi dan luasnya lesi. Lesi yang tersebar menyebabkan tampilnya banyak gejala yang tumpang tindih atau mirip dengan penyakit lain, seperti sindrom usus iritabel dan penyakit radang pelvik. Sebagian wanita dengan endometriosis kadang sama

commit to user

 

 

sekali tak bergejala. Akibatnya seringkali ada keterlambatan beberapa tahun antara awitan gejala dan diagnosis pasti (Jacoeb et al, 2009). Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mendiagnosis endometriosis adalah: (1) tampilan klinis dan keluhan endometriosis sangat beragam (tak bergejala, ringan, berat) (2) endometriosis tak dapat didiagnosis hanya dengan riwayat penyakit saja (3) diagnosis sementara dapat ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik, tetapi diagnosis pasti tidak dapat ditegakkan hanya atas dasar gejala-gejala saja. Pemeriksaan pelvis yang amat jelas sekalipun tidak dapat dianggap patognomonik. Belum ada satu pun uji diagnostik nir-invasif atau uji laboratorik sederhana untuk memastikan endometriosis.

Infertilitas, dismenore dan dispareuni sering kali sebagai keluhan utama pada penyakit ini. Sebagian besar penderita mengeluhkan nyeri pelvik yang konstan dan nyeri punggung yang terjadi premenstruasi yang berangsur menghilang pada saat menstruasi datang. Dispareuni sering dialami apabila sudah terjadi penetrasi lesi endometriopsis yang dalam. Keluhan-keluhan tersebut sering juga tidak muncul karena perbedaan lokasi implantasinya (Sajari et al, 2003).

Pemeriksaan fisik pada genetalia eksterna seringkali tidak ada kelainan. Adakalanya, pada pemeriksaan dengan spekulum tampak implantasi berwarna biru atau merah sebagai lesi proliferasi yang sering mengakibatkan perdarahan kontak, dan keduanya sering didapat pada fornix posterior. Pada infiltrasi endometriosis lebih dalam, implantasi pada septum rektovaginal sering teraba. Tidak jarang juga dapat terlihat. Sering didapatkan posisi uterus retrofleksi dan sedikit mobile atau terfiksir. Wanita dengan endometrioma didapatkan massa pada

commit to user

 

 

adneksa yang terfiksir, nyeri tekan dan ligamen uterosakral yang teregang karena perlengketan. Pemeriksaan fisik merupakan diagnosis paling sensitif bila dilakukan pada saat menstruasi dan apabila tidak ditemukan tanda klinis tersebut belum juga dapat menyingkirkan diagnosis endometriosis. Pemeriksaan fisik relatif kurang sensitif, spesifik dan bernilai prediktif yang kurang bila dibandingkan dengan diagnosis secara bedah sebagai baku standar endometriosis (Baziad, 2003, Jacoeb et al, 2009). Laparoskopi dengan pemeriksaan histologi pada lesi merupakan baku emas untuk endometriosis (Speroff, 2005, Fanfani, 2005).

5. Histopatologi

Menurut Taufan, (2009) terdapat 3 tipe patologi endometriosis yang dikenali yaitu :

(1). Endometriosis superfisial (endometriosis bebas) pada peritoneal. Terdapat 2 tipe implantasi peritoneum endometrium yakni, lesi sub mesothelial dan intraepithelial. Kedua tipe ini mengandung unsur glandula dan stroma, dan terpengaruh oleh perubahan hormonal yang berhubungan dengan siklus menstruasi, hal ini menunjukkan perubahan siklik yang mirip (tapi tidak identik) dengan sel endometrium normal. Lesi endometrium yang sembuh ditandai adanya dilatasi glandula, yang ditopang oleh sel stroma, dan dikelilingi oleh jaringan fibrosa. Tipe lesi ini tidak terpengaruh oleh perubahan hormonal. Pada ovarium lesi superfisial ovarium mirip dengan lesi di peritoneal, dan dapat terjadi di semua tempat di ovarium. Lesi hemoragik yang biasa didapati

commit to user

 

 

dihubungkan dengan bentuk berbagai keparahana adesi peri-ovarian, biasanya terdapat pada posterior ovarium

(2) Deep infiltrating (adenomatous) endometriosis (endometriosis yang

terperangkap). Ditandai dengan jaringan fibromuskular dengan glandular endometrium yang jarang dan jaringan stroma ( mirip dengan adenomiosis) tanpa epitel permukaan. Deep endometriosis tidak memperlihatkan perubahan yang berarti selama siklus menstruasi. Nodul nodul ini khas berada di ruang rektovaginal dan melibatkan ligamentum sakrouterina, dinding posterior vagina dan dinding anterior rektum. Bisa juga meluas sampai ke lateral dan mempengaruhi ureter.

(3) Endometrioma, merupakan kista yang dibatasi jaringan endometrium dan berwarna coklat gelap atau cairan kecoklatan yang merupakan akibat dari perdarahan kronis yang berulang dari implantasi sel endometrium. Bila endometrioma telah lama berlangsung , maka jaringan endometrium digantikan oleh jaringan fibrosa. Bahkan, semua jaringan glandular endometrium menghilang, tanpa meninggalkan bekas histopatologis endometriosis. Pada kebanyakan kasus, dinding kista merupakan dinding yang fibrotik dengan fokus hipervaskularisasi dan lesi perdarahan endometrium (Taufan, 2009).d

B. Karsinoma Ovarii 1. Epidemiologi

Karsinoma ovarii jenis epitel adalah penyebab utama kematian akibat kanker ginekologi di Amerika Serikat. Pada tahun 2003 diperkirakan terdapat

commit to user

 

 

25.400 kasus kanker ovarium dengan 14.300 kematian, yang mencakup kira-kira 5% dari semua kematian wanita karena kanker. Kanker ovarium jarang ditemukan pada usia di bawah 40 tahun. Angka kejadian meningkat dengan makin tuanya usia. Dari 15-16 per 100.000 pada usia 40-44 tahun, menjadi paling tinggi dengan angka 57 per 100.000 pada usia 70-74 tahun. Usia median saat diagnosis adalah 63 tahun dan 48% penderita berusia di atas 65 tahun. Karena belum ada metode skrining yang efektif untuk karsinoma ovarii, maka 70% kasus ditemukan pada keadaan yang sudah lanjut yakni setelah tumor menyebar jauh di luar ovarium (Busmar, 2006).

2. Etiologi dan patofisiologi

Ada beberapa teori yang mencoba menjelaskan etiologi kanker ovarium, beberapa diantaranya Busmar, (2006) menuliskan : (1) hipotesis incessant ovulation.Teori ini menyatakan bahwa pada saat terjadi ovulasi, terjadi

kerusakan pada sel-sel ovarium. Untuk penyembuhan luka yang sempurna diperlukan waktu. Jika sebelum penyembuhan tercapai terjadi lagi ovulasi atau trauma baru, proses penyembuhan akan terganggu dan kacau sehingga dapat menimbulkan proses transformasi menjadi sel-sel tumor (Taufan ,2009).Teori ini pula mendasari adanya proses inflamasi yang menjadi salah satu faktor terjadinya tumorogenesis dan penyakit inflamasi dihubungkan dengan keganasan ovarium (Rask, 2006). (2) hipotesis gonadotropin, kadar hormon estrogen di sirkulasi perifer rendah, kadar hormon gonadotropin akan meningkat. Peningkatan kadar hormon gonadotropin ini ternyata berhubungan dengan makin bertambah besarnya tumor ovarium. Dari percobaan pada

commit to user

 

 

binatang rodentia, kelenjar ovarium yang telah terpapar pada zat karsinogenik dimetilbenzantrene (DMBA) akan menjadi tumor ovarium bila

ditransplantasikan pada tikus yang telah dilakukakn ooforektomi, tetapi tidak menjadi tumor jika rodentia tersebut dilakukan hipofisektomi. (3) hipotesis androgen : epitel ovarium mengandung reseptor androgen. Epitel ovarium selalu terpapar pada androgenik steroid yang berasal dari ovarium itu sendiri dan kelenjar adrenal, seperti androstenedion, dehidroepiandrosteron dan testosteron. Dalam percobaan invitro androgen dapat menstimulasi pertumbuhan epitel ovarium normal dan juga sel-sel kanker ovarium dalam kultur sel. Dalam penelitian epidemologi juga ditemukan tingginya kadar androgen dalam darah wanita penderita kanker ovarium. (4) hipotesis progesteron : penelitian pada ayam Gallus domesticus menemukan 3 year incidence terjadinya kanker ovarium secara spontan pada 24% ayam yang

berusia lebih dari 2 tahun. Pemberian makanan yang mengandung pil kontrasepsi ternyata menurunkan terjadinya kanker ovarium. Penurunan insiden ini semakin banyak jika ayam tersebut diberikan hanya progesteron. (5) paritas, beberapa penelitian menunjukkan bahwa wanita dengan paritas tinggi memiliki risiko terjadinya kanker ovarium yang lebih rendah daripada nulipara, yaitu dengan risiko relatif 0,7. Wanita yang mengalami hamil aterm empat kali atau lebih, menurunkan risiko terjadinya kanker ovarium sebesar 40% jika dibandingkan dengan wanita nulipara. (6) pil kontrasepsi, penelitian dari Center for Disease Control menemukan penurunan risiko terjadinya kanker

commit to user

 

 

kontrasepsi, yaitu dengan risiko relatif 0,6. Penelitian lain melaporkan juga bahwa pemakaian pil kontrasepsi selama setahun menurunkan risiko hingga 11%, sedangkan pemakaian selama 5 tahun menurunkan risiko hingga 50%. Penurunan risiko semakin nyata dengan semakin lama pemakaiannya. (7) talk, pemakaian talk (hydrous magnesium silicate) pada daerah perineum dilaporkan meningkatkan risiko terjadinya kanker ovarium dengan risiko relatif 1,9%. Akan tetapi, penelitian prospektif mencakup 78.000 wanita ternyata tidak mendukung teori tersebut. Meskipun 40% secara kohort dilaporkan pernah memakai talk, hanya sekitar 15% yang memakainya setiap hari. Risiko relatif terkena kanker ovarium pada yang pernah memakai talk tidak meningkat ( RR : 1,1) (Rask, 2006). (8) ligasi tuba, pengikatan tuba ternyata menurunkan risiko terjadinya kanker ovarium dengan risiko relatif 0,3. Mekanisme terjadinya efek protektif ini diduga dengan terputusnya akses talk atau karsinogen lainnya dengan ovarium. (9) terapi sulih hormon pada masa menopause. Pemakaian terapi sulih hormon pada masa menopause (Menopausal Hormone Therapy = MHT) dengan estrogen saja selama 10 tahun meningkatkan risiko relatif 2,2. Sementara itu, jika masa pemakaian MHT selama 20 tahun atau lebih, risiko relatif meningkat menjadi 3,2. Pemakaian MHT dengan estrogen yang kemudian diikuti progestin, ternyata menunjukkan meningkatnya risiko relatif menjadi 1,5. (10) obat fertilisasi, obat- obat yang meningkatkan fertilitas seperti klomifen sitrat yang diberikan secara oral dan obat-obat gonadotropin yang diberikan dengan suntikan seperti FSH, kombinasi FSH dan LH akan menginduksi terjadinya ovulasi atau multipel ovulasi. Menurut hipotesis

commit to user

 

 

incessant ovulation dan hipotesis gonadotropin, pemakaian obat-obatan ini

jelas meningkatkan kejadian kanker ovarium. (11) faktor herediter, adanya riwayat keluarga dengan karsinoma ovarium ditemukan risiko relatif meningkat dan berbeda pada anggota lapis pertama. Ibu dari penderita karsinoma ovarium risiko relatifnya 1,1 saudara perempuan risiko relatifnya 3,8 dan anak dari penderita risiko relatifnya 6. Yang sering dikaitkan pada angka kejadian ini melalui BRCA gen dan HNPCC (hereditary nonpolyposis colorectal cancer).

Sekitar 85% karsinoma ovarii berasal dari permukaan epitel (EOC/ Epithelial Ovarian Cancer). Salah satu faktor yang mendukung karsinogenesis

adalah proses inflamasi. Proses inflamasi ini bersifat kronik. Salah satu faktor intrinsik yang penting adalah proses ovulasi (Khunnarong, 2010).

3. Klasifikasi

Busmar (2006) mengemukakan 90% karsinoma ovarium berasal dari epitel coelom atau mesotelium (epithelial ovarian tumor) dan 10% adalah

karsinoma ovarium non epitelial (non epithelial ovarium tumor). Kanker ovarium dikelompokkan menjadi 6 kelompok, yaitu : (1) tumor epitelial (2) tumor sel germinal (3) tumor sex cord dan stromal (4) tumor sel lipid (5) sarkoma dan (6) tumor metastasis.

Sekitar 80% dari tumor ovarium merupakan tumor epitelial yang sering didapatkan pada wanita berusia diatas 45 tahun, relatif jarang ditemukan pada wanita yang lebih muda. Pada usia muda lebih sering didapatkan jenis tumor

commit to user

 

 

sel germinal. Pada wanita pasca menopouse hanya 7% tumor ovarium epitelial yang ganas (Busmar,2006)

Kurman , (2010) mengajukan teori tentang asal dan patogenesis EOC (Ephitelial Ovarian Cancer), dan membagi membagi dua kategori yaitu : (1) tipe 1 : low grade serous carcinoma (invasive MPSC), mucinous carcinoma, Endometrioid carcinoma, clear cell carcinoma, Brenner malignant

transisional tumor. (2) tipe 2 : high grade serous carcinoma, undifferentiated

carcinoma , malignant mixed mesodermal tumor.

4. Karsinogenesis

Karsinogenesis merupakan proses yang berlangsung melalui beberapa tahapan. Paling sedikit karsinogenesis ada 2 tahap, bahkan ada yang mengemukakan paling sedikit 6-7 tahap. Kanker juga merupakan akumulasi dari perubahan genetik. Kerusakan materi genetik ini dapat berupa mutasi, kelainan jumlah atau struktur. Proses dimulai dengan tahapan inisiasi dimana gen tertentu mengalami kerusakan dan sifat kerusakan ini bersifat menetap (irreversible). Sebelum mengalami perubahan menjadi sel kanker, sel tersebut tidak berbeda dengan sel normal lainnya. Hanya saja ia lebih sensitif terhadap perubahan sekitarnya jika dibandingkan dengan sel normal yaitu mudah terangsang baik oleh faktor pertumbuhan, maupun faktor penghambat. Sesudah tahapan inisiasi, terjadi tahapan berikutnya yaitu tahapan promosi. Pada tahapan ini sel yang terinisiasi akan dipacu untuk membelah oleh substansi yang berupa karsinogen atau oleh bahan/substansi lain yang disebut substansi promotif yang sering disebut juga promoting agent (Aziz, 2006). Pada tahapan progresi terjadi insensitivitas

commit to user

 

 

terhadap hambatan pertumbuhan, pathological angiogenesis, apoptosis evasion,

commit to user

 

 

Gambar 2.1. Flow chart dasar biomolekuler kanker dengan modifikasi ( dikutip dari Robbin & Kumar, 2007).

kerusakan DNA, virus 

Kerusakan DNA

Kegagalan repair 

Mutasi genome 

Sel somatik 

Inherited mutation in : Gen yang mempengaruhi  

repair DNA , apoptosis & 

pertumbuhan 

Inaktivasi TSG 

Aktivasi onkogen  Perubahan gen yang  

meregulasi apoptosis 

Unregulated cell proliferation  Penurunan apoptosis 

Ekspansi klonal 

Mutasi tambahan 

Angiogenesis  Escape from immunity 

Progresi tumor

commit to user

 

 

Perubahan-perubahan malignitas diakibatkan oleh adanya kelainan atau mutasi pada beberapa gen antara lain tumor suppresor gene, DNA mismatch repair dan protoonkogen- onkogen serta gen apoptosis. Tumor suppressor gene

(TSG) merupakan gen yang sangat penting terhadap fungsi pengontrolan siklus sel. Hilangnya fungsi TSG akan menyebabkan kegagalan penghentian siklus sel, sehingga bila terjadi kelainan gen pada sel maka perbaikan sel tidak dimungkinkan. Akibatnya sel akan langsung membelah dengan kelainan-kelainan yang menyebabkan perubahan sifat maupun morfologi sel. Proliferasi sel atau pembelahan sel berjalan tanpa faktor kontrol. DNA mismatch repair penting untuk memperbaiki gen yang rusak, yang mengadakan perbaikan dengan beberapa cara. Kegagalan perbaikan sel akan terjadi bila gen yang mengatur atau mengontrol perbaikan mengalami mutasi sehingga gen tersebut tidak berfungsi lagi. Onkogen merupakan gen yang berasal dari mutasi onkogen, proto-onkogen merupakan gen normal tetapi karena proses mutasi menyebabkan perubahan gen yang mempunyai sifat merangsang fungsi. Peningkatan onkogen akan menyebabkan proliferasi sel yang berlebihan sehingga merangsang terjadinya keganasan. Salah satu aktifitas yang penting untuk mencegah hal ini adalah mekanisme apoptosis yang merupakan mekanisme kematian sel yang terjadi akibat kerusakan gen (Andrijono, 2004).

Dengan terjadinya apoptosis maka sel yang mengalami mutasi akan mati kecuali adanya faktor-faktor penghambat apoptosis (Andrijono, 2004). Diantaranya faktor yang dapat menurunkan atau menghambat apoptosis adalah proses inflamasi seperti yang terjadi pada kasus endometrioma.

commit to user

 

 

Gambar 2.2 Tumor supressor gene dalam siklus sel (dikutip dari Andrijono, 2007 dengan modifikasi).

Keterangan : Tumor supressor gen mempengaruhi dalam siklus sel pada fase G1, apabila terjadi penghambatan dalam perbaikan apoptosis maka sel akan berubah menjadi kanker.

C. Hubungan endometrioma dan karsinoma ovarii terkait ekspresi COX-2

Dokumen terkait