BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 HIV/AIDS
2.1.2 Patogenesis
HIV menempel pada sel limfosit sel induk melalui gp120 sehingga akan
terjadi fusi membran HIV dengan sel induk. Inti HIV kemudian masuk ke dalam
sitoplasma sel induk. Di dalam sel induk, HIV akan membentuk DNA HIV dari
RNA HIV melalui enzim polymerase. Enzim inetgrasi kemudian akan membantu
DNA HIV untuk berintegrasi dengan DNA sel induk.
DNA virus yang dianggap oleh tubuh sebagai sel DNA induk, akan
membentuk RNA dengan fasilitas sel induk, sedangkan mRNA dalam sitoplasma
akan diubah oleh enzim protease menjadi partikel HIV. Partikel ini selanjutnya
mengambil selubung dari bahan sel induk untuk dilepas sebagai virus HIV lainnya.
Mekanisme penekanan pada sistem imun (imunosupresi) ini akan menyebabkan
pengurangan dan terganggunya jumlah dan fungsi limfosit T (Widoyono, 2005).
2.1.3. Cara penularan
Penyakit ini menular melalui berbagai cara. Antara lain melalui cairan tubuh
seperti darah, cairan genitalia, cairan sperma dan ASI. Virus terdapat juga pada
saliva, dan urin tapi dengan konsentrasi yang sangat rendah. HIV tidak dilaporkan
terdapat dalam air mata dan keringat.
Terdapat tiga cara penularan HIV yaitu :
a. Hubungan seksual; baik secara vagina, oral, maupun anal dengan seorang
pengidap. Ini adalah cara yang paling umum terjadi, meliputi 70-80% dari total
kelamin dengan ulkus atau peradangan jaringan seperti herpes genitalis, sifilis,
gonorea, klamidia, kankroid, dan trikomoniasis. Risiko pada seks anal lebih
besar dibanding seks vagina, dan risiko lebih besar pada receptive daripada
insertive.
b. Kontak langsung dengan darah atau produk darah/jarum suntik;
b.1 Tranfusi darah/produk darah yang tercemar HIV. Ditemukan sekitar 3-5%
dari total kasus sedunia
b.2 Pemakaian jarum suntik tidak steril/pemakaian bersama jarum suntik dan
sempritnya pada para pecandu narkotika suntik. Terdapat 5-10% dari total
kasus sedunia
b.3 Penularan lewat kecelakaan, tertusuk jarum pada petugas kesehatan.
Terdapat 0,1% dari total kasus sedunia
c. Secara vertikal; dari ibu hamil pengidap HIV kepada bayinya, baik selama hamil, saat melahirkan, atau setelah melahirkan. Risiko sekitar 25-40% dan angka
transmisi melalui ASI dilaporkan lebih dari sepertiga.
2.1.4. Diagnosis
Metode yang umum untuk menegakkan diagnosis HIV meliputi :
a. ELISA (Enzym Linked Immuno Sorbent Assay); Sensitivitasnya tinggi yaitu
sebesar 98,1-100%. Tes ini memberikan hasil positif 2-3 bulan setelah infeksi
b. Western blot; Spesifisitasnya tinggi yaitu sebesar 99,9-100%. Pemeriksaannya
c. PCR (Polymerase Chain Reaction); Tes ini digunakan untuk :
c.1 Tes HIV pada bayi, karena zat antimaternal masih ada pada bayi yang dapat
menghambat pemeriksaan secara serologis. Seorang ibu yang menderita
HIV akan membentuk zat kekebalan untuk melawan penyakit tersebut. Zat
kekebalan tubuh yang diturunkan pada bayi melalui plasenta yang akan
mengaburkan hasil pemeriksan, seolah-olah sudah ada infeksi pada bayi
tersebut (pemeriksan HIV sering merupakan deteksi dari zat anti HIV bukan
deteksi HIV nya sendiri)
c.2 Menetapkan status infeksi individu yang seronegatif pada kelompok
berisiko tinggi
c.3 Tes pada kelompok berisiko tinggi sebelum terjadi serokonversi
c.4 Tes konfirmasi untuk HIV-2, sebab ELISA mempunya sensitifitas yang
rendah untuk HIV-2.
2.1.5. Pengobatan
Pengobatan pada penderita HIV/AIDS meliputi :
a. Pengobatan suportif
b. Penanggulangan penyakit oportunistik
c. Pemberian obat antivirus
d. Penanggulangan dampak psikososial
Obat antivirus HIV/AIDS adalah :
Dosis : 2 x 100 mg, setiap 12 jam (BB <60 kg)
2 x 125 mg, setiap 12 jam (BB <60 kg)
b. Zidovudin (ZDV)
Dosis 500-600 mg/hari, pemberian setiap 4 jam sebanyak 100 mg, pada saat
penderita tidak tidur.
c. Lamivudin (3TC)
d. Stavudin (d4T)
Obat ARV (antiretrovirus) masih merupakan terapi pilihan karena :
a. Obat ini bisa memperlambat progresivitas penyakit dan dapat memperpanjang
daya tahan tubuh.
b. Obat ini aman, mudah dan tidak mahal. Angka transmisi dapat diturunkan
sampai mendekati nol melalui identifikasi dini ibu hamil dengan HIV positif
dan pengelolaan klinis yang agresif.
c. Hasil penelitian dalam hal upaya pencegahan dengan imunisasi belum
memuaskan.
Beberapa ahli mengusulkan penelitian tentang bagaimana agar CD4 tiruan
diserang oleh virus, sehingga CD4 alami tetap normal. Bagian yang diserang virus
HIV adalah sel darah putih terutama sel limfosit pada bagian CD4. CD4 adalah
bagian dari limfosit yang menunjukkan seberapa besar fungsi pertahanan tubuh
manusia. Jumlah CD4 yang rendah menunjukkan pertahanan tubuh yang lemah dan
2.1.6 Pencegahan HIV/AIDS
Pada prinsipnya pencegahan dapat dilakukan dengan cara mencegah
penularan virus HIV melalui perubahan perilaku seksual yang terkenal dengan istilah
“ABC” yang telah terbukti mampu menurunkan percepatan penularan HIV, terutama
di Uganda dan beberapa negara Afrika lain. Prinsip ‘ABC” ini telah dipakai dan
dibakukan secara intenasional, sebagai cara paling efektif mencegah HIV lewat
hubungan seksual. Prinsip “ABC” itu adalah :
“A” : Anda jauhi seks sampai anda kawin atau menjalin hubungan jangka panjang
dengan pasangan (Abstinensia)
“B” : Bersikap saling setia dengan pasangan dalam hubungan perkawinan atau
hubungan jangka panjang tetap (Be faithful)
“C” : Cegah dengan memakai kondom yang benar dan konsisten untuk penjaja seks
atau orang yang tidak mampu melaksanakan A dan B (Condom)
Untuk penularan non seksual berlaku prinsip “D” dan “E” yaitu :
“D” : Drug; “say no to drug” atau katakan tidak pada napza/narkoba
“E” : Equipment; “no sharing” jangan memakai alat suntik secara bergantian
2.2 Perilaku
2.2.1 Pengertian Perilaku
Dari aspek biologis perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme
Menurut Skinner dalam Notoatmodjo (2010) merumuskan bahwa perilaku
merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar).
Dengan demikian perilaku manusia terjadi melalui proses :
Stimulus --- Organisme--- Respon, sehingga teori Skinner ini disebut teori “SOR”.
Berdasarkan Teori SOR, maka perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi dua,
yakni :
a. Perilaku tertutup (covert behavior); Perilaku tertutup terjadi bila respons terhadap
stimulus tersebut masih belum dapat diamati orang lain (dari luar) secara jelas.
Respon seseorang masih terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi,
pengetahuan dan sikap terhadap stimulus.
b. Perilaku terbuka (overt behavior); Perilaku terbuka terjadi bila respons terhadap
stimulus tersebut sudah berupa tindakan atau praktik ini dapat diamati orang lain
dari luar
Berdasarkan pembagian domain oleh Bloom, dan untuk kepentingan pendidikan
praktis, dikembangkan menjadi tingkat ranah perilaku sebagai berikut (Notoatmodjo,
2010) :
a. Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang
terhadap objek melalui indra yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan
b. Sikap (Attitude)
Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu,
yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan.
c. Tindakan atau praktik (Practice)
Seperti telah disebutkan di atas bahwa sikap adalah kecenderungan untuk
bertindak (praktik). Sikap belum tentu terwujud dalam tindakan, sebab untuk
terwujudnya tindakan perlu faktor lain antara lain adanya fasilitas atau sarana
dan prasarana.