• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam sejarahnya, patologi birokrasi (Bureaupathology) dikenal sejak hadirnya rutinitas kegiatan yang menyibukkan para birokrat itu sendiri dan menciptakan aktifitas yang berbelit-belit. Kemudian kondisi ini dikenal dengan istilah Red Tape (pita merah).

Yakni birokrasi yang berbelit-belit sehingga menciptakan perilaku birokrasi yang sangat bertentangan dengan tujuan mulia kehadiran birokrasi itu sendiri di tengah-tengah masyarakat. Kajian dan eksprimen terhadap patologi birokrasi pun kian berkembang dan menghasilkan banyak pandangan atau teori tentang patologi birokrasi.

Menurut Taliziduhu Ndraha, Miftah Thoha, Peter M. Blau, David Osborne, JW Schoorl) Patologi birokrasi adalah penyakit, perilaku negatif, atau penyimpangan yang dilakukan pejabat atau lembaga birokrasi dalam rangka melayani publik, melaksanakan tugas, dan menjalankan program pembangunan.

Patologi Birokrasi (Bureaupathology) adalah himpunan dari perilaku-perilaku yang kadang-kadang disibukkan oleh para birokrat. Secara umum, Patologi birokrasi adalah penyakit dalam birokrasi Negara yang muncul akibat perilaku para birokrat dan kondisi yang membuka kesempatan untuk itu, baik yang menyangkut politis, ekonomis, social cultural dan teknologikal

Victor A Thompson menggambarkan fitur dari patologi birokrasi seperti “sikap menyisih berlebihan, pemasangan taat pada aturan atau rutinitas dan

prosedur, perlawanan terhsadap perubahan, dan desakan picik atas hak-hak dari otoritas dan status.”

Sayangnya, pada kenyataannya negara berkembang telah menjadi ‘ruang dan tempat’ tumbuh suburnya patologi birokrasi. Seperti Indonesia sebagai negara berkembang masih dalam selimut patologi birokrasi, mulai dari birokrasi pusat hingga birokrasi di daerah. Bahwa ternyata desentralisasi atau otonomi daerah yang sedang dan terus dijalani bangsa ini belum mampu menyingkirkan patologi birokrasi. Bahkan di beberapa daerah kita menyaksikan semakin mengukuhkan patologi birokrasi itu sendiri. Ciri ini dapat kita lihat,

a) Betapa administrasi publik kita masih kerap bersifat elitis, otoriter, paternalistik, serta menjauh dari atau jauh dari masyarakat dan lingkungannya. Bahwa keberadaan birokrasi belum menyatu dalam kehidupan masyarakat dan belum mengakomodir kolektifitas atau partisipasi semua unsur dalam agenda birokrasi.

b) Birokrasi kita kekurangan sumber daya manusia (dalam hal kualitas) untuk menyelenggarakan pembangunan dan over (berlebih) dalam segi kuantitas. Fakta ini telah kita saksikan, birokrasi kita masih saja lemah secara sumber daya manusia. Dan sangat wajar lemah, karena dalam proses rekrutmennya selama ini bukan atas dasar kualitas, dan inilah salah satu produk patologi birokrasi tersebut. Secara kuantitas, jelas birokrasi Indonesia sangat gemuk dan over lembaga dalam menangani sektor-sektor yang pada dasarnya sama. Sehingga sering kita menyaksikan di

kantor-kantor pemerintahan kita banyak aparatur yang tidak bekerja dan terjadinya tumpang tindih dalam penanganan masalah dalam memberikan pelayanan publik.

c) Birokrasi kita masih lebih berorientasi kepada kemanfaatan pribadi ketimbang kepentingan masyarakat. Telah menjadi sebuah realitas yang berkepanjangan. Bahwa mental dan kultur birokrasi kita masih berazas manfaat pribadi atau kelompok serta sangat pragmatis dan mengabaikan kehendak rakyat. Kenyataan ini dekat dengan kita, di mana para birokrat kita begitu kaya-kaya atau sejahtera secara materiil secara tidak layak bila dibandingkan gaji yang ditetapkan.

d) Birokrasi kita sering mengutamakan formalitas daripada substansi. Bahwa banyak penyelenggaraan birokrasi kita dalam melaksanakan pembangunan hanya bersifat sekedar tanpa mengoptimalkan sisi esensi, manfaat dan dampak positifnya jauh ke depan. Serta sering bersifat seremonial.

e) Birokrasi kita masih asik dengan jalannya sendiri tanpa mengperhitungkan atau mengakomodir aspirasi rakyat. Birokrasi kita, khususnya di daerah, masih jauh dari pengawasan yang seyogianya. Artinya, lepas dari proses politik dan pengawasan publik secara kuat.

Kondisi yang mengakibatkan tumbuh dan berkembangnya patologi birokrasi adalah akibat pembiaran terhadap lahir dan tumbuhnya benih-benih gejala patologi birokrasi itu sendiri. Menurut Sondang P. Siagian, gejala patologi dalam birokrasi bersumber pada lima masalah pokok.

a) persepsi gaya manajerial para pejabat di lingkungan birokrasi yang menyimpang dari prinsip-prinsip demokrasi. Hal ini mengakibatkan bentuk patologi seperti: penyalahgunaan wewenang dan jabatan menerima sogok, dan nepotisme.

b) Rendahnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional, mengakibatkan produktivitas dan mutu pelayanan yang rendah, serta pegawai sering berbuat kesalahan.

c) Tindakan pejabat yang melanggar hukum, dengan ”penggemukan” pembiayaan, menerima sogok, korupsi dan sebagainya.

d) Manifestasi perilaku birokrasi yang bersifat disfungsional atau negatif, seperti: sewenang-wenang, pura-pura sibuk, dan diskriminatif. akibat situasi internal berbagai instansi pemerintahan yang berakibat negatif terhadap birokrasi, seperti: imbalan dan kondisi kerja yang kurang memadai, ketiadaan deskripsi dan indikator kerja, dan sistem pilih kasih.

Prof.Dr.Sondang P.Siagian, MPA dalam bukunya ”Patologi Birokrasi: Analisis,Identifikasi dan Terapinya” menyebut serangkaian contoh penyakit (patologi) birokrasi yang lazim dijumpai. Penyakit - penyakit tersebut dapat dikategorikan dalam lima macam :

1. Patologi yang timbul karena persepsi dan gaya menejerial para pejabat dilingkungan birokrasi (birokrat). Diantara patologi jenis ini antara lain, penyalahgunaan wewenang dan jabatan, menerima suap, arogansi dan intimidasi, kredibilitas rendah, dan nepotisme.

2. Patologi yang timbul karena kurangnya atau rendahnya pengetahuan ketrampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional.Diantara patologi jenis ini antara lain, ketidaktelitian dan ketidakcekatan, ketidakmampuan menjabarkan kebijakan pimpinan, rasa puas diri, bertindak tanpa pikir, kemampuan rendah, tidak produktif, dan kebingungan.

3. Patologi yang timbul karena karena tindakan para anggota birokrasi melanggar norma hukum dan peraturan perundang - undangan yang berlaku. Diantara patologi jenis ini antara lain, menerima suap, korupsi, ketidakjujuran, kleptokrasi, dan mark up anggaran.

4. Patologi yang dimanifestasikan dalam perilaku para birokrasi yang bersifat disfungsional atau negatif.Diantara patologi jenis ini antara lain, bertindak sewenang-wenang, konspirasi, diskriminatif, dan tidak disiplin.

5. Patologi yang merupakan akibat situasi internal dalam berbagai instansi di lingkungan pemerintah.Diantara patologi jenis ini antara lain, eksploitasi bawahan, motivasi tidak tepat, beban kerja berlebihan, dan kondisi kerja kurang kondusif

Menurut F.W. Riggs dalam model admininstrasi sala yaitu sebutan Administrasi dari negara-negara berkembang atau masyarakat yang sedang berkembang. Di dalam model ini riggs mencoba menggambarkan bahwa administrasi pada saat itu merupakan suatu faktor yang diabaikan dalam proses pembangunan serta menurunnya ekonomi. Buruknya administrasi akhirnya merugikan lebih dari 90% usaha pembangunan saluran pengairan di china dilain

pihak laporan tentang kuba yang mencatatat bahwa sebagian besar pekerja perusahaan industri gulannya adalah pegawai Negeri, meskipun dari beberapa pegawai tersebut ditemukan pegawai yang bekerja dengan penuh rasa tanggung jawab, tetapi ada pula yang menganggap “ pekerjaan pemerintah sebagai suatu pekerjaan yang sangat enteng. Di kebanyakan departemen sejumlah pegai jarang muncul sama sekali kecuali dalam pemberian gaji, dan mereka yang secara teratur masuk kantor terbukti tidak banyak mendapatkan pekerjaan, bukan saja hanya karna tidak becus, tetapi juga kerena kurangnya pengawasan dan pengorganisasian atau pelimpahan wewenang. Munculnya kabar bahwa “ rendahnya tingkat gaji pegawai dan kurangnya kesadaran untuk berperan serta dalam pekerjaan dilaporkan menjadi penguji kejujuran pegawai. Hal lain yang merupakan masalah ataupun patologi bagi birokrasi merupakan adanya kelebihan tenaga kerja, tugas-tugas tidak dirumuskan dengan baik dan koordinasi dilakukan tanpa menimbang efesiensi, kemajuan bergantung ada senioritas dan bukan berdasarkan kemampuan dan jasa, ditambah lagi dengan kepegawaian yang kaku dan lebih ditunjukan untuk melindungi pegawai pemerintah dari pada untuk meningkatkan efesiensi administrasi itu sendiri.

Masalah lainnya ialah pemusatan yang berlebilahan dan kelemahan koordinasi, pemusatan yang berlebilah dimaksudkan sebagai sentralisasi yang berlebihan telah mempersempit ruang inisiatif dan sedikitnya pelimpahan hal ini menyebabkan pejabat tinggi menjadi sasaran tekanan yang tidak semestinya sehingga semakin tinggi tingkat pemerintah, semakin terlibat pula ia dengan berbagai persoalan masyarakat yang sepele, sehingga membutuhkan waktu yang

lama dan pekerjaan yang berbelit-belit, untuk itu dibutuhkan adanya koordinasi agar setiap departemen memiliki kepala bagiannya tersendiri yang mampu menanggungjawapi di dalam bidangnya namun muncul masalah baru dimana kurang tersedianya teanga ahli yang mampu mengemban tugasnya, serta kesimpangsiuran struktur yang sudah ada dan justru menambah konflik dan kompetisi didalam tubuh birokrasi itu sendiri, serta meningkatkan beban puncak hirarki dalam melaksanakan koordinasi.

Riggs juga menyatakan bahwa ada beberapa faktor dasar yang menyebabkan masalah-masalah birokrasi yang terkait dengangan nilai dan pandangan administrator dalam bekerja, hal ini disoroti Riggs dari cara negara-negara berkembang menanggapipencapaian hasil jika dibandingkan dengan jepang yang menekan pada produktivitas dimana partai-partai bersaing untuk memenangkan suara dalam pemilu, dan kelompok-kelompok penekan dan kepentingan yang terorganisasi serta kolompok masyarakat profesional saling berpadu untuk mendesak para pejabat pemrintah memenuhi tuntutan mereka jika para pejabat itu ingin mempertahankan jabatannya dan mendapatkan promosi. Lain hal nya di negara-negara berkembang. Birokrasi tampaknya membuat aturannya sendiri untuk mempertahankan keberadaannya, senioritas, hubungan patron, aturan jabatan yang ketat, kerja sambilan, dan korupsi. Semua hal ini merupakan pertanda bahwa tekanan utama kaum administrator tidak ditujukan untuk meningkatkan hasil kerja. Mereka lebih menganggap penting hubungan dengan para keluarga dan klik yang berpengaruh dengan memberikan waktu, upeti kepada mereka yang berstatus dan beruang dan seterusnya. Hal ini sungguh

menggambarkan kelemahn politik adminstrasi di negara berkembangyang menjadi bukti atas pernyataan ini ialah bahwa birokrasi secara politis lebih dominan sebagai alat pelaksana pemerintah, sehingga para administrator lebih berurusan dengan mereka sebagai “pejabat”ketimbang berlaku sebagai “pelayan masyarakat”yang harus menanggapi kebutuhan-kebutuhan yang dialtikulasikan. Dari hal ini dapat digambarkan bahwa para pegawai adminitrasi berkerja hanyan sebatas untuk mendapatkan pekerjaan, kesejahteraan, dan jabatan sebagai tujuan akhir, sehingga Administrasi tampak lebih terkait dengan masalah perlindungan den pengokohan status hubungan-hugungan hak istimewa daripada mencapai sasaran organisasi.

Keterbatasan ruang telah menghalangi pengulasan nila-nilai kebudayaan dan faktor-faktor sosial politik yang lain yang mempengaruhi pekerjaan administrasi, seperti perbedaan di dalam penafsiran peranan hukum dan hubungan hirarkis individu struktur keluarga dan pendidikan anak, konepsi individu tentang dirinya sendiri dan peranan yang akan dijalankanya, kelenturan dan daya tahan perjanjian, pandangan hidup yang bersifat pindah-pindah versus menetap, kesadaran penggunaan waktu dan ramalan keadaan mendatang, serta keberagaman versus kekhasan pengharapan di dalam hubungan-hubungan kelembagaan.dari hal ini dapat dilihat tidak ada faktor tunggal yang mempengaruhi prilaku administrator dan secara pribadipenyebab dari masalah-masalah tersebut tidat terlepas dara pandangan nilai dan kebudayaan.

Ciri Karakteristik SALA sebagai Model SAN dalam Masyarakat Prismatik

1. Heterogenitas (heteregonity) : fungsi administrasi kekeluargaan dengan struktur jabatan baru. Fungsi-fungsi administratif yang semula dilaksanakan atas dasar hubungan kekeluargaan tetap dilanjutkan tetapi secara sembunyi-sembunyi, sementara itu disusun struktur jabatan kantor yang baru guna menggantikan organisasi atas dasar kekeluargaan tadi dan selanjutnya sebagai pantas-pantas disiapkan seperangkat norma untuk dipatuhi (walaupun nyatanya norma tersebut diabaikan).

2. Nepotisme (Nepotism) : universalistik dengan hubungan kekerabatan. Dalam masyarakat tradisonal jelas-jelas keluarga merupakan landasan bagi pemerintahan dan administrasi negara, dan wajar apabila jabatan-jabatan dalam administrasi negara disediakan bagi anggota keluarga (nepotisme). Dalam masyarakat yang sedang berkembang (prismatic society), sering terdapat seorang Presiden atau Perdana Menteri yang dipilih, tetapi menyerahkan kedudukannya kepada anak, menantu, kemenakan atau keluarga dekatnya, yang seharusnya kedudukan tersebut digantikan oleh seseorang melalui pemilihan. Jabatan-jabatan dalam administrasi negara dijabat oleh orang-orang atas dasar norma yang bersifat universalistik, tetapi nyatanya diam-diam diisi oleh orang-orang yang punya hubungan kekerabatan. Hal-hal demikian ini menjadi salah satu ciri dalam pengadaan pegawai dari model Sala.

3. Tindan (Overlapping) : antara pekerjaan kantor dengan urusan keluarga. Pengaruh keluarga atau kerabat mengatasi pelaksanaan fungsi dinas/kantor

sedemikian rupa sehingga peraturan/hukum dilaksanakan seenak-enaknya terhadap keluarga, sebaliknya sekeras-kerasnya terhadap pihak-pihak di luar kerabat. Hal ini berlaku juga terhadap pelaksanaan kontrak, pembelian perbekalan, pengadaan barang, pembayaran pajak, pemberian lisensi, pemberian ijin dan lain sebagainya. Bagi pihak luar pegawai-pegawai dari model sala ini nampak bersifat individualistik, karena mereka menilai kepentingan keluarga lebih tinggi daripada kepentingan dinas, pemerintah, kadang-kadang bahkan kepentingan negara.

4. Poly communal / plural community : Mobilitas cukup tinggi tetapi tingkat asimilasi rendah. Pengelompokan atas dasar keluarga menumbuhkan solidaritas kelompok. Dalam negara berkembang solidaritas kelompok didapat atas dasar etnis, agama, ras yang bersifat mobil karena faktor komunikasi yang relatif baik, tetapi belum tercapai asimilasi dengan penguasa (elite) karena sebagian dari anggota kelompok masih buta aksara, sehingga melahirkan beberapa kelompok masyarakat (communities) tertentu.

5. Clect yang mencakup klik, klub dan sekte (Clicques, Clubs, Sects) : Organisasi primer/tradisional dikelola secara modern atau sebaliknya.

Clect dapat didefinisikan sebagai suatu organisasi yang memiliki fungsi-fungsi secara relatif bercampur baur bersifat semi tradisonal, tetapi diorganisir secara asoasional modern. Sekte oposisi dari partai-partai politik dan gerakan dalam masyarakat prismatik dapat digolongkan sebagai clect. Suatu organisasi mungkin jatuh dikuasai oleh satu

clecttertentu yang anggota-anggotanya sangat kuat solidaritasnya dan sangat kompak menghadapi clect yang lain. Kekuasaan yang ada seakan-akan dimonopoli oleh clect dimana pihak luar tidak dapat ikut serta. Dalam keadaan demikian berkembangkah suap, uang pelicin, upeti atau pungutan liar (pungli) guna mendapatkan pelayanan atau fasilitas.

6. Formalisme (Formalism) : Ekonomi bazaar-canteen. Pelaksanaan peraturan tersurat tidak sama dengan yang tersirat. Pelaksanaannya bisa diibaratkan sebagai bazar di mana tidak ada kepastian harga bersama-sama dengan kantin yang sudah ada kepastian harga dalam mengatur segala sesuatu dalam kehidupan masyarakat. Komisi tidak wajar seakan-akan dibenarkan, harga barang yang dibeli oleh dinas dinaikkan di atas harga pasar (mark-up), di mana selisih harga diserahkan kepada pejabat sebagai ’komisi’. Korupsi seolah-olah dilembagakan diikuti dengan mutasi periodik bergilir diantara jabatan-jabatan ’basah’ dan jabatan-jabatan ’kering’.

7. Mitos, formula dan kode (Mythos, Formula and Code) : Modern dalam pemikiran tetapi pelaksanaan tradisional atau sebaliknya. Mitos, formula dan kode sudah diciptakan mengikuti pokok-pokok pikiran modern, tatapi dalam praktek tetap berlangsung tindakan-tindakan yang mengikuti norma tradisional. Pemerintahan oleh rakyat, kedaulatan di tangan rakyat (merupakan mitos modern), pejabat-pejabat eksekutif tertentu harus dipilih dalam pemilihan umum, pegawai-pegawai pemerintah administrasi negara adalah abdi masyarakat (merupakan formula modern), pemerintahan harus

bertindak sesuai dengan hukum, administrasi negara dapat dituntut di depan pengadilan administrasi (merupakan kode modern), tetapi pada praktek kenyataannya rakyat dianggap sepi seolah-olah sebagai obyek saja, sementara pejabat mengangkat dirinya dalam jabatan yang tidak dibatasi, bukan administrasi yang menjadi public servants yang melayani, tetapi sebaliknya menjadi master yang dilayani dan sebagainya.

8. Distribusi kekuasaan : Otoritas lawan kontrol. (Distribution of Power :

Authority versus Control). Kekuasaan seharusnya dibagi-bagi dengan

pendelegasian dalam rangka desentralisasi, akan tetapi prakteknya justru sebaliknya sentralisasi yang berlaku. Pada sisi yang lain struktur kekuasaannya sentralistik dan terpusat akan tetapi pengendalian atau kontrolnya terpisah-pisah tersebar dilakukan oleh banyak pihak.

Dokumen terkait