• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Etos Kerja Birokrasi Dengan Red-Tape (Studi Pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Serdang Bedagai)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Etos Kerja Birokrasi Dengan Red-Tape (Studi Pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Serdang Bedagai)"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

(2)

banyak jumlahnya harus diselesaikan oleh banyak orang sehingga tidak terjadi tumpang tindih di dalam penyelesaiannya, itulah yang sebenarnya menjadi tugas dari birokrasi.

Namun terdapat sisi buruk dari administrasi yang terdapat didalam birokrasi, hal ini senantiasa dikeluhkan oleh masyarakat bagaimana kesalnya masyarakat yang menjadi bulan-bulanan petugas dari meja satu kemeja yang lainnya untuk melakukan urusan administrasi dalam organisasi publik, banyaknya alasan klasik yang dilontarkan oleh pegawai birokrasi menanggapi pertanyaan masyarakat yang ingin mengurus berkas-berkas administrasinya, alasan tersebut dapat berupa pimpinan yang masih keluar kota dalam rangka urusan dinas, banyaknya masyarakat yang telah terlebih dahulu mengurus surat menyuratnya, menyelibnya berkas sehinnga tidak dapat diproses. Tidak jarang hal ini memakan jangka waktu yang cukup lama. Isu tentang Red Tape merupakan persoalan yang klasik, namun tak kunjung terpecahkan, dapat diketahui bahwa prsoalan ini merupakan akbat dari faktor

Weber menganggap keberadaan Birokrasi merupakan suatu yang tidak rasional. Banyak pengangkatan pejabat yang mengacu pada political-will pimpinan Dinasti. Akibatnya banyak pekerjaan negara yang “salah-urus” atau tidak mencapai hasil secara maksimal. Atas dasar “ketidakrasional” itu,

(3)

birokrasi yang kerap memperlambat setiap kinerja sehingga yang terjadi ialah infesesiesi dan tidak efektif.

Pernyataan serupa juga dilontarkan oleh bapak Susilo Bambang Yudoyono selaku mantan presiden presiden republik indonesia yang mengatakan “mutu pelayanan publik saat ini berada pada titik nadir yang menjadi salah satu sebab keterpurukan yang berkepanjangan. Kegeraman mantan presiden Susilo Bambang Yodoyono tidak akan efektif mengubah prilaku birokrasi bila tidak ditopang oleh efek sadar dan upaya nyata dan terukur dalam meningkatkan etos kerja dan kinerja birokrasi pemerintahan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 3 Undang-undang No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (UU KKN).1

Hal serupa juga di dukung oleh pendapat kepala negara republik indonesia saat ini jokowidodo, yang mengatakan Birokrasi harus berubah untuk dapat menghadapi kompetisi. Etos kerja dan budaya kerja harus berubah."Jika tidak berubah, kita akan tertinggal dari negara lain. Ada 2 pilihan bagi para pejabat, berubah atau dicopot," tegas Presiden Joko Widodo pada Rapat Kerja Pemerintah dengan peserta para Menteri, Kepala LPNK dan jajaran Eselon 1 kementerian/lembaga di Auditorium Kementerian PUPR, Red tape ataupun proses birokrasi yang berbelit belit merupakan suatu penyakit birokrasi yang telah diketahui dan hampir dirasakan oleh setiap masyarakat, hal ini tidak hanya dirasakan oleh masyarakat kecil saja, namun para kepala pemerintahan negara ini

1

(4)

juga telah menyatakan salah satu penghambat proses pembangunan adalah masalah birokrasi yang berbelit-belit hal ini dikarnakan terlalu banyak aturan yang justru mempersulit dan bukan sebaliknya, hal serupa juga dirasakan oleh para investor yang ingin mengurus surat izin untuk melakukan investasi, sulitnya proses administrasi yang panjang dan kurangnya transparansi atas proses administrasi menyebabkan masyarakat ataupun pelanggan negara terpaksa melakukan hal-hal kecurangan seperti memeberikan uang pelicin agar setaip urusan administrasi dapat segera diselesaikan.

(5)

Melalui penerapan konsep pelayanan publik yang beretos kerja tinggi, reformis, terukur, berorientasi kepada kinerja dan diikuti oleh asas umum seperti keterbukaan, integritas, akuntabilitas, legalitas, nondiskriminasi atau perlakuan yang sama, proporsionalitas, dan konsistensi, akan menghasilkan pelayanan publik yang dikehendaki sebagai perwujudan dari good governance. Dengan demikian, kinerja birokrasi akan mengalami perbaikan baik mutu maupun performance dan kepuasan publik dapat terwujud secara nyata dan terukur.

Birokrasi harus dapat melayani rakyatnya dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, unit-unit pelayanan teknis maupun tempat-tempat pelayanan publik mulai dari kantor gubernur sampai ke kantor kelurahan harus ada aparatur pemerintahan yang siap melayani rakyat. “Sebagai abdi masyarakat, abdi negara dia (pegawai) harus melayani, nah cara pandang seperti inilah yang diminta bapak presiden untuk disosialisasikan tentang kedisiplinan ditingkatkan, budaya kerja diperbaiki dan tentunya peningkatan kualitas pelayanan.

(6)

1.2Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka permasalahan yang menjadi perhatian penulis ialah “ Apakah Ada Pengaruh Etos Kerja Birokrasi Terhadap Red Tape”

1.3. Tujuan Penelitian.

Setiap penelitian yang dilakukan terhadap suatu masalah tertentu tentu mepunyai jalan tujuan yang ingin dicapai dalam penyelenggaraannya. Tujuan penelitian adalah suatu pernyataan yang disusun berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang mendasari dilakukannya penelitian. Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :

a) untuk mengetahui pemahaman pegawai tentang hal yang mendasari etos kerja birokrasi pada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Serdang Bedagai.

b) untuk mengetahui kelancaran sistem dan prosedur Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Serdang Bedagai dalam melaksanakan pelayanannya. c) untuk mengetahui adakah pengaruh etos kerja terhadap Red Tape pada

(7)

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian sebagai berikut:

a) Sebagai kontribusi bagi dunia pendidikan, khususnya dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan.

b) Sebagai bahan informasi bagi pihak lain yang ingin melakukan penelitian dimasa yang akan datang.

1.5. Kerangka Teori

1.5.1 Birokrasi

Birokrasi berhubungan dengan organisasi masyarakat yang disusun secara ideal. Birokrasi dicapai melalui formalisasi aturan, struktur, dan proses di dalam organisasi. Para teoritikus klasik seperti Fayol (1949), Taylor (1911), dan Weber (1948), selama bertahun-tahun telah mendukung model birokrasi guna meningkatkan efektivitas administrasi organisasi. Max Weber adalah sosok yang dikenal sebagai bapak birokrasi. Menurut Weber (1948), organisasi birokrasi yang ideal menyertakan delapan karakteristik struktural.

1. Peraturan yang disahkan, regulasi, dan prosedur yang distandarkan dan arah tindakan anggota organisasi dalam pencapaian tugas organisasi. Weber menggambarkan pengembangan rangkaian kaidah dan panduan spesifik untuk merencanakan tugas dan aktivitas organisasi.

(8)

tugas yang rumit. Dengan memecah tugas-tugas yang rumit ke dalam aktivitas khusus tersebut, maka produktivitas pekerja dapat ditingkatkan. 3. Hirarki otoritas organisasi formal dan legitimasi peran kekuasaan anggota

organisasi didasarkan pada keahlian pemegang jabatan secara individu, membantu mengarahkan hubungan intra personal di antara anggota organisasi guna menyelesaikan tugas-tugas organisasi.

4. Pekerjaan personil berkualitas didasarkan pada kemampuan tehnik yang mereka miliki dan kemampuan untuk melaksanakan tugas yang dibebankan kepada mereka. Para manajer harus mengevaluasi persyaratan pelamar kerja secara logis, dan individu yang berkualitas dapat diberikan kesempatan untuk melakukan tugasnya demi perusahaan.

5. Kemampuan tukar personil dalam peran organisasi yang bertanggung jawab memungkinkan aktivitas organisasi dapat diselesaikan oleh individu yang berbeda. Mampu tukar ini menekankan pentingnya tugas organisasi yang relatif untuk dibandingkan dengan anggota organisasi tertentu yang melaksanakan tugasnya-tugasnya.

(9)

7. Penguraian tugas yang terperinci harus diberikan kepada semua anggota organisasi sebagai garis besar tugas formal dan tanggung jawab kerjanya. Pekerja harus mempunyai pemahaman yang jelas tentang keinginan perusahaan dari kinerja yang mereka lakukan.

8. Rasionalitas dan predictability dalam aktivitas organisasi dan pencapaian tujuan organisasi membantu meningkatkan stabilitas perusahaan. Menurut prinsip dasarnya, organisasi harus dijalankan dengan kaidah dan panduan pemangkasan yang logis dan bisa diprediksikan.

Menurut Jan-jan Erik Lane di dalam tulisannya yang berjudul

Introdiuction: The Concep Of Bureaucrasy “ dalam Bureaucrcy And Public

Choice (1987:1_31) adalah Profesional Administration (Administrasi

Profesional). Administrasi profesional merupakan pendekatan sosiologis yang memandang birokrasi sebagai sebuah bagian dari tipe organisasi. Referensi utamanya adalah tipe ideal birokrasi Max Waber yang memuat sejumlah unsur sebagai berikut2

a) Pembagian divisi pegawai yang terdevenisi secara jelas. :

b) Struktur otoritas impersonal. c) Memiliki jenjan hirarki.

d) Bergantung pada aturan formal.

e) Menggunakan sistem merit pada pegawai. f) Ketersediaan karir.

(10)

g) Pemisahan jarak antara kehidupan sebagai anggota organisasi dan kehidupan pribadi.

Max waber menyatakan pula bahwa sebagai bentuk representasi organisasi, aktivitas Birokrasi merupakanrasionalisasi aktivitas kolektif guna mencapai tingkatan tertinggi dan efesiensi.

Dalam konteks birokrasi pemerintahan, Randaal B. Repley dan Grace A menyatakan bahwa birokrasi pemerintahan berhubungan dengan unsur-unsur publik. Pada level yang umum, apabila birokrasi memberikan pelayanan publik dengan baik maka birokrasi tersebut mampu menunjukan sejumlah indikasi prilaku berikut 3

a) Memproses pekerjaan secara stabil dan giat; :

b) Memperlakukan individu yang berhubungan denganya secara adil dan berimbang;

c) Memperkerjakan dan mempertahankan pegawai berdasarkan kualifikasi profesional dari orientasi terhadap keberhasilan program; d) Mempromosikan staff berdasarkan sistem merit dan hasil pekerjaan

yang lebih baik yang dapat dibuktikan;

e) Melakukan pemeliharaan terhadap prestasi yang sudah dicapai sehingga dapat segera bangkit bila menghadapi keterpurukan.

3

(11)

Sedangkan tujuan penyediaan birokrasi pemerintah sebagaimana diuraikan oleh Ripley Franklin adalah sebagai berikut :4

a) Menyediakan sejumlah layanan sebagai hakikat dari tanggung jawab pemerintah

b) Memajukan kepentingan sektor ekonomi spesifik seperti pertanian, buruh, atau segmen tertentu dari bisnis privat

c) Membuat regulasi atas berbagai aktivitas privat

d) Mendistribusikan sejumlah keuntungan seperti pendapatan, hak-hak dan lain-lain.

Brown dalam tulisannya Bureaucracy as an Issue in thrid world management; an African case study dalam Public Administration development

volume. Brown menyusun defisini birokrasi dengan mendasarkan aumsinya

terhadap (bagaimana) secara aktual mereka bekerja.

Fritz Morstein Marx, Pengertian Birokrasi adalah suatu tipe organisasi yang dipergunakan pemerintah modern untuk melaksanakan tugas-tugasnya yang bersifat spesialis, dilaksanakan dalam sistem administrasi dan khususnya oleh aparatur pemerintah.

Pengertian Birokrasi menurut Peter A. Blau dan Charles H. Page, Birokrasi adalah suatu tipe dari organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai

(12)

tugas-tugas administratif yang besar, yaitu dengan cara mengkoordinir secara sistematik pekerjaan yang dilakukan oleh banyak orang.

Menurut Jay M Shafritz dan E. W Russel merumuskan birokrasi sebagai :

• Semua Kantor Pemerintah

Semua kantor yang melaksanakan fungsi publik yang dijalankan oleh pemerintah.

• Semua Pegawai Pemerintah

Semua pegawai pemerintah dari tingkatan terendah hingga tertinggi, yang dipilih maupun yang diangkat.

• Karakteristik Negatif

Segala sesuatu yang menunjukkan karakterisitik negatif birokrasi seperti korupsi, kaku, prosedural, berbelit-belit dan inefisiensi.

• Karakteristik Struktural menurut Max Weber

Birokrasi identik dengan karakteristik struktural yang dikemukakan oleh Max Weber, seperti adanya pembidangan tugas yang jelas, prinsip hierarki, spesialisasi dan formalisme

(13)

bagaimana birokrasi seharusnya bekerja dan lebih banyak melihat pada birokrasi sesungguhnya.

Menurut Turner dan David Hulme (1997) Mendefinisikan birokrasi sama dengan administrasi negara yaitu dengan melihat aspek-aspek unik dalam administrasi negara seperti keterkaitan administrasi negara dengan pemerintah atau negara, keterkaitan dengan hukum, dan adanya aspek akuntabilitas publik.

Berdasarkan pengertian diatas maka dapat disimpulkan Birokrasi merupakan suat wadah organisasi yang luas yang tersusun secara jenjan jabatan yang hirarki, yang memiliki fungsi dan tanggung jawab tertentu, dan berfungsi sebagai pelayan publik dibidang administrasi. Defenisi yang kemudian dihasilkan dari pendekatan tersebut menyatakan bahwa birokrasi adalah sisten stratifikasi hirarki pegawai dimana orang dipekerjakan untuk upah dan gaji.

1.5.2. Etos Kerja

Etika merupakan cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai ataupun kualitas, standar moral dan penilaian.etika juga mencakup sebagai peneran konsep seperti benar dan salah, baik, burluk dan tanggung jawab dan etika memandang dari sudut pandang normatif. Etika nilai dari tingkah laku manusia menjadi persoalan maksudnya adlah tingkah laku yang penuh tanggung jawab terhadap diri sendiri, masyarakat, alam, maupun terhadap Tuhan.

(14)

kelemahan bagi manusia, sehingga dibutuhkannya pengendalian yang dapat mengukur apakah sesuatu itu baik atau tidak baik untuk dilakukan, maka muculah nilai-nilai yang mampu memberikan kekuatan moral bagi manusia. Nilai-nilai yang menjadi dasar kuat adalah kepribadian moral yang kuat sebagai berikut:

1. Nilai Kejujuran hal ini di jadikan dasar yang kuat bagi manusia untuk dapat bertindak sebagaimana dirinya sendiri. Sebab bagaimana mungkin seseorang dapat melangkah jika ia tidak berani menjadi dirinya sediri. 2. Nilai Tanggung Jawab merupakan kesedian untuk melakukan apa yang

harus dilakukan. Hal ini menyatakan bahwa perlunya kesadaran untuk melakukan yang menjadi bagian manusia tersebut, sehingga tidak menimbulkan konflik.

3. Nilai Kemandirian Moral artinya tidak ikut-ikutan dengan berbagai pandangan moral.manusia sudah mapu mempertahankan moral yang memang dianggapnya baik dan sesuai dengan kepribadiannya.

4. Nilai Keberanian moral kemampuan untuk selalu membetuk penilaian sendiri tentang norma. Hal ini berti manusia tersebut harus mampu menilai suatu paham normaataupun nilai yang dianggapnya baik ataupun buruk. 5. Kerendahan hati kekuatan batin untu melihat sesuai dengan keadaan.

(15)

Kaitannya dengan dengan etos kerja adalah dimana etika yang melatarbelakangi setiap pekerjaan yang dilakukan oleh seorang manusia, seperti yang diketahui tindakan manusia akan di pengaruhi melalui apa yang mereka lihat, dengar dan baca, sehingga muncul suatu konsep yang dapat menilai apakah susuatu itu baik atau buruk, hal ini lah yang terkait dengan moral yaitu paham yang me nganngap sesuatu itu bernilai, untuk itu didalam melakukan pekerjaan manusia cenderung akan menerapkan nilai-nilai yang telah dipahami dan menjadikannya sebagai sebuh petunjuk dalam bekerja, tentu saja nilai-nilai ini tidak terlepas dari motivasi, keinginan, serta, cita-cita dari individu itu sendri, sehingga nilai yang dianggap baik bagi seseorang belum tentu dikatakan baik secara universal.

Setiap pekerjaan yang dilakukan manusia tidak akan terleas dari hubungan manusia terhadap hal yang berpengaruh terhadap kehidupannya, dan bagaimana manusia tersebut dapat melakukan sebuah pekerjaan, tentu saja salah satu yang mempengaruhi prilaku manusia adalah nilai budaya yang melingkarinya maka, maka kuckhon menggambarkan lima masalah hakekat hidup manusia.

1. Hakekat dari kehidupan manusia.

2. Hakekat kehidupan manusia dengan karya 3. Hakekat manusia dengan waktu.

(16)

Dari kelima pandangan nilai diatas masing-masing memiliki pengertian tersendiri yang memang menjadi salah satu penetu arah prilaku manusia.

1. Hakekat dari kehidupan manusia.

Masyarakat dipengaruhi oleh kebudayaan-kebudayaan dalam memahami arti dari hidup. Hal ini mempengaruhi pola pikir masyarakat dalam menjalani kehidupannya. Namun, banyak kebudayaan yang menganggap hidup itu baik. Jadi, variasi budaya mempengaruhi pemikiran-pemikiran manusia

2. Hakekat manusia dengan karya

hakekat kerja atau karya dalam kehidupan. Ada kebudayaan yang memandang bahwa kerja itu sebagai usaha untuk kelangsungan hidup (survive) semata. Kelompok ini kurang tertarik kepada kerja keras. Akan tetapi ada juga yang menganggap kerja untuk mendapatkan status, jabatan dan kehormatan. Namun, ada yang berpendapat bahwa kerja untuk mempertinggi prestasi. Mereka ini berorientasi kepada prestasi bukan kepada status.

3. Hakekat manusia dengan waktu.

orientasi manusia terhadap waktu. Ada budaya yang memandang penting masa lampau, tetapi ada yang melihat masa kini sebagai focus usaha dalam perjuangannya. Sebaliknya ada yang jauh melihat kedepan. Pandangan yang berbeda dalam dimensi waktu ini sangat mempengaruhi perencanaan hidup masyarakatnya.

(17)

menyangkut hubungan antar manusia. Dalam banyak kebudayaan hubungan ini tampak dalam bentuk orientasi berfikir, cara bermusyawarah, mengambil keputusan dan bertindak. Kebudayaan yang menekankan hubungan horizontal (koleteral) antar individu, cenderung untuk mementingkan hak azasi, kemerdekaan dan kemandirian seperti terlihat dalam masyarakat – masyarakat eligaterian. Sebaliknya kebudayaan yang menekankan hubungan vertical cenderung untuk mengembangkan orientasi keatas (kepada senioritas, penguasa atau pemimpin). Orientasi ini banyak terdapat dalam masyarakat paternalistic (kebapaan). Tentu saja pandangan ini sangat mempengaruhi proses dinamika dan mobilitas social masyarakatnya.

5. Hakekat hubungan manusia dengan alam.

berkaitan dengan kedudukan fungsional manusia terhadap alam. Ada yang percaya bahwa alam itu dahsyat dan mengenai kehidupan manusia. Sebaliknya ada yang menganggap alam sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa untuk dikuasai manusia. Akan tetapi, ada juga kebudayaan ingin mencari harmoni dan keselarasan dengan alam. Cara pandang ini akan berpengaruh terhadap pola aktivitas masyarakatnya.

(18)

tanggung jawab individu.5

Namun demi menghindari sifat serigala tersebut, etos memberi pencerahan terhadap manusia bahwa hakikat bekerja adalah nalar manusia. Tanpa etos, manusia menjadi serigala dan menuruti nafsu hewaniahnya saja dalam bekerja. Maka dengan etos, manusia akan menjadi beribawa dalam bekerja. Agama memiliki korelasi kuat dalam upaya membentuk dan mengkreasi etos ekonomi tersebut. Substansi yang paling utama dalam membentuk etos ekonomi dalam agama tersebutsebenarnya adalah masalah spiritualisme dalam membentuk Menurut waber Kata etos berasal dari bahasa Yunani yang berarti adat kebiasaan, watak (karakter), moral(etika), cara mengerjakan sesuatu. Dalam pemaknaan lainnya, etos kerja berarti watak dankebiasaan manusia, perhatian dan moral kerja manusia, dalam mengerjakan sesuatu yang telah menjadi rutinitas kehidupan. Melalui etos, manusia dapat menilai dan mengevalusasi tindakan nyaberdasar motivasi yang diembannya. Pada hakikatnya, manusia terbagi dalam dua entitas yakni sebagai makhluk politik

(zoon politicon) dan makhluk sosial (homo socius) sekaligus pula sebagai

makhluk ekonomi (homo economicus).

memaknai etos secara beragam. Dalam ranah politicoon dansocius, etos dimaknai sebagai bentuk kolektivitas mencapai kesejahteraan sehingga tercapailah apa yang dimaknai sebagai homo hominu socius . Sedangkan di ranah ekonomi, manusia cenderung bersaing dalam mencapai kesejahteraan di arena privat sehingga manusia sebagai aktor ekonomi kerap dideskripsikan sebagai serigala sesama

(homo homini lupus)

5

(19)

semangat bekerja. Namun demikian, tentunya agak tak lazim bagaimana mengkorelasikan spiritualisme sebagai dimensi imateriil dengan ekonomi sebagai materiil. Hal itulah yang kemudian dikatakan filsuf Nietzsche sebagai. “sesuatu yang mustahil” Tidak ada lagi pengharapan. Tujuan bekerja menjadi berubah,bekerja hanya untuk kebutuhan perut. Bekerja sebagai siksaan, atau bekerja dianggap sebagaihukuman. Setidaknya etos ekonomi tersebut yang berkembang terlebih dahulu sebelum etika Prostestan Weber lahir. Etos tersebut sekiranya ingin mengatakan bahwa bekerja adalah berdosa karena hanya memikirkan duniawi saja, manusia harusnya menjadi pribadi yang alim sehingga mendapatkan kemuliaan dari Tuhan.

(20)

berkombinasi dengan semangat kapitalisme membawa masyarakat barat kepada perkembangan masyarakat kaptalis modren. Jadi, doktin calvinisme tentang takdir memberikan daya dorong psikologis bagi rasionalisasi (Damsar 2002)

Penelaahan lain mengenai hubungan nilai-nilai dengan etos kerja yaitu etika samurai yang sesuai dengan ajaran-ajaran Tokugawa. Menurut ajaran Tokugawa etika kewajiban keluarga mendorong terbentuknya seperangkat nilai etika kejujuran, kualitas dan nama baik yang selalu dijunjung tinggi yang kemudian didukung oleh nilai-nilai universal dalam yang mendukung keberhasilan negara jepang menjadi negara maju. Menurut Robert N. Bellah melihat adanya tiga karateristik pokok dan ajaran dan tuntutan persyaratan etika ini.

Pertama, ajaran untuk bekerja secara tekun dan bersungguh-sungguh, khususnya dibidan kerja yang telah dipilih, persyaratan ini menempati posisi sentral dari ajaran dan tuntunan etika.

Kedua, ajaran untuk memiliki sikap pertapa dan hemat dalam kondisi barang, misalnya, dapat dilihat dari berbagai anjuran dan pribahsa yang muncul waktu ini, misalnya untuk tidak melupakan bekerja tekun pada pagi dan sore hari, himbauan bekerja keras, berikap kepaladingin terhadap konsumsi barang mewah, dan juga terlihat pada anjuran yang tegas untuk tidak berjudi dan lebih baik mengambil sedikit dari pada banyak.

(21)

usaha-usaha yang normal diberikan dan disediakan legitimasinya dalam ajaran agama melalui doktrin spirit dan Bodhisatta.

Dalam GBHN 1993, sasaran umum PJP II adalah terciptanya kualitas manusia indonesia yang maju dan mandiri. Dalam pelita VI telah di isyaratkan bahwa ada faktor yang menentukan keberhasilan pembangunan:6

1) Partisipasi sosial dan,

2) Sikap mental, tekad, disiplin dan semangat kerja ini di sebut juga sebagai etos Budaya. Secara operasional etos budaya ini jga di kenal sebagai etos kerja.

Menurut Geertz etos adalah sikap yang mendasar terhadap diri dan dunia yang di pancarkan hidup dan etos adalah aspek evaluatif yang bersifat menilai. Maka hal ini bisa di pertanyakan apakah kerja dalam arti khusus, usaha komersial, dianggap suatu keharusan demi hidup, atau sesuatu imperatif dari diri, ataukah sesuatu yang terkait dengan identitas diri yang bersikap sakral. Identitas diri dalam hal ini adalah sesuatu yang telah diberikan oleh agama, etos kerja sangat terkait dengan irama karakter, kualitas hidup, gaya moral estetika dan suasana perasaan seseorang.7

6 GBHN 1993, Sasaran umum PJP II Dalam departemen pendidikan dan kebudayaan, 1996/1997, Persepsi Tentang Etoskerja:Kaitannya Dengan Nilai Budaya Masyarakat Melayu Daerah Riau. hal 57

7

(22)

Etos kerja merupakan sikap yang muncul atas kehendak otonom dan kesadaran diri sendiri yang didasari oleh sistem orientasi nilai budaya terhadap kerja. Secara imperikal kita mengenal etos kerja yang tinggi dan rendah.8

Etos kerja merupakan bagian dari sistem nilai menurut kluckhohn yang di kutip dari koentjaraningrat ada lima dasar dalam kehidupan manusia yang berkaitan dengan nilai budaya, yankni masalah yang berkenaan dengan hakekat hidup, karya, waktu, alam, hubungan antar manusia.9

Menurut Toto Tasmara, (2002) Etos kerja adalah totalitas kepribadian dirinya serta caranya mengekspresikan, memandang, meyakini dan memberikan makna ada sesuatu, yang mendorong dirinya untuk bertindak dan meraih amal yang optimal sehingga pola hubungan antara manusia dengan dirinya dan antara manusia dengan makhluk lainnya dapat terjalin dengan baik. Etos kerja berhubungan dengan beberapa hal penting seperti:

Etos kerja menurut adbullah, dapat dilihat dari dua segi pertama, di manakah kedudukan kerja dalam hirarki nilai. Dalam hal ini apakah kerja dianggap sebagai suatu tyang dilakukan secara “Terpaksa” sebagai pilihan utama atau bahkan sebagai “Panggilan“ suci sebagai ibadah, kedua apakah di dalam hirarki nilai itu ada perbedaan dasar memilih dari berbagai jenis pekerjaan yang tersedia. Apakah ada derajat penilaian bahwa pekejaan yang satu lebih penting dari pekerjaan yang lainnya.

8

Usman Pelly. 1992. Departemen pendidikan dan kebudayaan, 1996/1997 Persepsi Tentang Etoskerja:Kaitannya Dengan Nilai Budaya Masyarakat Melayu Daerah Riau Hal 12

9

(23)

a) Orientasi ke masa depan, yaitu segala sesuatu direncanakan dengan baik, baik waktu, kondisi untuk ke depan agar lebih baik dari kemarin.

b) Menghargai waktu dengan adanya disiplin waktu merupakan hal yang sangat penting guna efesien dan efektivitas bekerja.

c) Tanggung jawab, yaitu memberikan asumsi bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan sesuatu yang harus dikerjakan dengan ketekunan dan kesungguhan.

d) Hemat dan sederhana, yaitu sesuatu yang berbeda dengan hidup boros, sehingga bagaimana pengeluaran itu bermanfaat untuk kedepan.

e) Persaingan sehat, yaitu dengan memacu diri agar pekerjaan yang dilakukan tidak mudah patah semangat dan menambah kreativitas diri.

Secara umum, etos kerja berfungsi sebagai alat penggerak tetap perbuatan dan kegiatan individu sebagai seorang pengusaha atau manajer. Menurut A. Tabrani Rusyan, (1989) fungsi etos kerja adalah:

a) pendorang timbulnya perbuatan. b) penggairah dalam aktivitas.

c) penggerak, seperti; mesin bagi mobil, maka besar kecilnya motivasi yang akan menentukan cepat lambatnya suatu perbuatan.

(24)

dalam keberhasilan suatu perusahaan, perusahaan besar dan terkenal telah membuktikan bahwa etos kerja yang militan menjadi salah satu dampak keberhasilan perusahaannya. Etos kerja seseorang erat kaitannya dengan kepribadian, perilaku, dan karakternya. Setiap orang memiliki internal yang merumuskan siapa dia. Selanjutnya internal being menetapkan respon, atau reaksi terhadap tuntutan external. Respon internal being terhadap tuntutan external dunia kerja menetapkan etos kerja seseorang (Siregar, 2000 : 25)

Konsep etos kerja dalam arti modren pertama kali dikembangkan oleh filsuf immanuel kant yang menyatakan bahwa etos kerja merupakan kehendak otonom sebagai chiri khas setiap moral dam kaitan etos kerja, etos kerja berarti sikap kehendak yang dituntut terhadap kegiatan tertentu yang mempergunakan etos kerja dalam arti yang luas, yaitu sebagaimana sistem tata nilai mental, tanggung jawab dan kewajiban.

Etos kerja juga merupakan semua kebiasaan baik yang berlandaskan etika yang harus dilakukan di tempat kerja seperti: disiplin jujur, tanggung jawab, tekun, sabar, berwawasan kreatif, bersemangat, mampu bekerjasama, sadar lingkungan, loyal, berdedikasi, bersikap santun.

Etos berasal dari bahasa yunani ethos yakni karakter, cara hidup,

kebiasaan seseorang

(25)

sebagai sikap mendasar terhadap diri dan dunia mereka yang direfleksikan dalam kehidupannya (Khasanah, 2004:8).

Indikator etos kerja adalah ciri–ciri dari orang yang sudah memiliki etos kerja, jika sifat etos kerja yang baik sudah tertanam disetiap diri pegawai maka pegawai disuatu instansi itu akan mampu memberikan dampak yang baik terhadap hasil kerja yang dicapainya. Tentunya hal ini sudah kita inginkan sejak lama, jika etos kerja ini sudah tertanam maka sifat karyawan akan berubah menjadi, tangguh,cerdas, terampil, mandiri dan memiliki rasa kesetiakawanan serta pekerja keras, hemat, produktif, berdisiplin, dan beroreantasi ke masa depan untuk menciptakaan keadaan yang lebih baik.

Jansen Sinamo ( 2005 ) Berpendapat bahwa ada delapan faktor untuk memiliki etos kerja yang baik, yakni:

1. Pekerja sudah berperinsip bahwa kerja adalah rahmat, disini dapat diartikan bahwa pekerjaannya itu tulus penuh syukur dan ikhlas,

2. Kerja adalah amanah, disini dapat pula di pahami bahwa seorang pegawai dalam melakukan pekerjaannya sudah penuh dengan tanggung jawab.

3. Kerja adalah panggilan, dapat diartikan seorang pekerja harus bekerja tuntas penuh integritasi.

4. Kerja adalah aktualisasi, dapat diartikan setiap pekerja dalam bekerja harus penuh semangat.

5. Kerja adalah Ibadah, dapat diartikan setiap pekerja harus serius dan penuh kecintaansehingga bernialai ibadah

(26)

7. Kerja adalah kehormatan, bekerja harus tekun penuh keunggulan.

8. Kerja adalah pelayanan, dapat diartikan bahwa setiap pekerja harus bekerja paling sempurna dan penuh kerendahan hati.

Dapat disimpulkan bahwa etos kerja memang merupakan otoritas otonom dari setiap individu, dalam hal ini etos kerja dikaitkan dengan sikap pandangan dan tanggun jawab atas pekerjaan, disiplin, pekerja keras, dan memiliki karakter serta budaya yang membangun kinerja Birokrasi10

a) Mempunyai semangat positif terhadap hasil kerja manusia. Indikator-Indikator Etos Kerja

b) Mepertahankan pandangan tentang kerja, sedagai suatu yang luhur bagi eksistensi manusia.

c) Kerja yang dirasakan sebagai aktivitas yang bermakna bagi kehidupan manusia.

d) Kerja dihayati sebagai suatu proses yang menumbuhkan ketekunan dan sekaligus sarana yang penting dalam mewujudkan cita-cita. e) Kerja dilakukan sebagai bentuk ibadah.

10

(27)

1.5.3. Patologi Birokrasi

Dalam sejarahnya, patologi birokrasi (Bureaupathology) dikenal sejak hadirnya rutinitas kegiatan yang menyibukkan para birokrat itu sendiri dan menciptakan aktifitas yang berbelit-belit. Kemudian kondisi ini dikenal dengan istilah Red Tape (pita merah).

Yakni birokrasi yang berbelit-belit sehingga menciptakan perilaku birokrasi yang sangat bertentangan dengan tujuan mulia kehadiran birokrasi itu sendiri di tengah-tengah masyarakat. Kajian dan eksprimen terhadap patologi birokrasi pun kian berkembang dan menghasilkan banyak pandangan atau teori tentang patologi birokrasi.

Menurut Taliziduhu Ndraha, Miftah Thoha, Peter M. Blau, David Osborne, JW Schoorl) Patologi birokrasi adalah penyakit, perilaku negatif, atau penyimpangan yang dilakukan pejabat atau lembaga birokrasi dalam rangka melayani publik, melaksanakan tugas, dan menjalankan program pembangunan.

Patologi Birokrasi (Bureaupathology) adalah himpunan dari perilaku-perilaku yang kadang-kadang disibukkan oleh para birokrat. Secara umum, Patologi birokrasi adalah penyakit dalam birokrasi Negara yang muncul akibat perilaku para birokrat dan kondisi yang membuka kesempatan untuk itu, baik yang menyangkut politis, ekonomis, social cultural dan teknologikal

(28)

prosedur, perlawanan terhsadap perubahan, dan desakan picik atas hak-hak dari otoritas dan status.”

Sayangnya, pada kenyataannya negara berkembang telah menjadi ‘ruang dan tempat’ tumbuh suburnya patologi birokrasi. Seperti Indonesia sebagai negara berkembang masih dalam selimut patologi birokrasi, mulai dari birokrasi pusat hingga birokrasi di daerah. Bahwa ternyata desentralisasi atau otonomi daerah yang sedang dan terus dijalani bangsa ini belum mampu menyingkirkan patologi birokrasi. Bahkan di beberapa daerah kita menyaksikan semakin mengukuhkan patologi birokrasi itu sendiri. Ciri ini dapat kita lihat,

a) Betapa administrasi publik kita masih kerap bersifat elitis, otoriter, paternalistik, serta menjauh dari atau jauh dari masyarakat dan lingkungannya. Bahwa keberadaan birokrasi belum menyatu dalam kehidupan masyarakat dan belum mengakomodir kolektifitas atau partisipasi semua unsur dalam agenda birokrasi.

(29)

kantor-kantor pemerintahan kita banyak aparatur yang tidak bekerja dan terjadinya tumpang tindih dalam penanganan masalah dalam memberikan pelayanan publik.

c) Birokrasi kita masih lebih berorientasi kepada kemanfaatan pribadi ketimbang kepentingan masyarakat. Telah menjadi sebuah realitas yang berkepanjangan. Bahwa mental dan kultur birokrasi kita masih berazas manfaat pribadi atau kelompok serta sangat pragmatis dan mengabaikan kehendak rakyat. Kenyataan ini dekat dengan kita, di mana para birokrat kita begitu kaya-kaya atau sejahtera secara materiil secara tidak layak bila dibandingkan gaji yang ditetapkan.

d) Birokrasi kita sering mengutamakan formalitas daripada substansi. Bahwa banyak penyelenggaraan birokrasi kita dalam melaksanakan pembangunan hanya bersifat sekedar tanpa mengoptimalkan sisi esensi, manfaat dan dampak positifnya jauh ke depan. Serta sering bersifat seremonial.

e) Birokrasi kita masih asik dengan jalannya sendiri tanpa mengperhitungkan atau mengakomodir aspirasi rakyat. Birokrasi kita, khususnya di daerah, masih jauh dari pengawasan yang seyogianya. Artinya, lepas dari proses politik dan pengawasan publik secara kuat.

(30)

a) persepsi gaya manajerial para pejabat di lingkungan birokrasi yang menyimpang dari prinsip-prinsip demokrasi. Hal ini mengakibatkan bentuk patologi seperti: penyalahgunaan wewenang dan jabatan menerima sogok, dan nepotisme.

b) Rendahnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional, mengakibatkan produktivitas dan mutu pelayanan yang rendah, serta pegawai sering berbuat kesalahan.

c) Tindakan pejabat yang melanggar hukum, dengan ”penggemukan” pembiayaan, menerima sogok, korupsi dan sebagainya.

d) Manifestasi perilaku birokrasi yang bersifat disfungsional atau negatif, seperti: sewenang-wenang, pura-pura sibuk, dan diskriminatif. akibat situasi internal berbagai instansi pemerintahan yang berakibat negatif terhadap birokrasi, seperti: imbalan dan kondisi kerja yang kurang memadai, ketiadaan deskripsi dan indikator kerja, dan sistem pilih kasih.

Prof.Dr.Sondang P.Siagian, MPA dalam bukunya ”Patologi Birokrasi: Analisis,Identifikasi dan Terapinya” menyebut serangkaian contoh penyakit (patologi) birokrasi yang lazim dijumpai. Penyakit - penyakit tersebut dapat dikategorikan dalam lima macam :

(31)

2. Patologi yang timbul karena kurangnya atau rendahnya pengetahuan ketrampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional.Diantara patologi jenis ini antara lain, ketidaktelitian dan ketidakcekatan, ketidakmampuan menjabarkan kebijakan pimpinan, rasa puas diri, bertindak tanpa pikir, kemampuan rendah, tidak produktif, dan kebingungan.

3. Patologi yang timbul karena karena tindakan para anggota birokrasi melanggar norma hukum dan peraturan perundang - undangan yang berlaku. Diantara patologi jenis ini antara lain, menerima suap, korupsi, ketidakjujuran, kleptokrasi, dan mark up anggaran.

4. Patologi yang dimanifestasikan dalam perilaku para birokrasi yang bersifat disfungsional atau negatif.Diantara patologi jenis ini antara lain, bertindak sewenang-wenang, konspirasi, diskriminatif, dan tidak disiplin.

5. Patologi yang merupakan akibat situasi internal dalam berbagai instansi di lingkungan pemerintah.Diantara patologi jenis ini antara lain, eksploitasi bawahan, motivasi tidak tepat, beban kerja berlebihan, dan kondisi kerja kurang kondusif

(32)

pihak laporan tentang kuba yang mencatatat bahwa sebagian besar pekerja perusahaan industri gulannya adalah pegawai Negeri, meskipun dari beberapa pegawai tersebut ditemukan pegawai yang bekerja dengan penuh rasa tanggung jawab, tetapi ada pula yang menganggap “ pekerjaan pemerintah sebagai suatu pekerjaan yang sangat enteng. Di kebanyakan departemen sejumlah pegai jarang muncul sama sekali kecuali dalam pemberian gaji, dan mereka yang secara teratur masuk kantor terbukti tidak banyak mendapatkan pekerjaan, bukan saja hanya karna tidak becus, tetapi juga kerena kurangnya pengawasan dan pengorganisasian atau pelimpahan wewenang. Munculnya kabar bahwa “ rendahnya tingkat gaji pegawai dan kurangnya kesadaran untuk berperan serta dalam pekerjaan dilaporkan menjadi penguji kejujuran pegawai. Hal lain yang merupakan masalah ataupun patologi bagi birokrasi merupakan adanya kelebihan tenaga kerja, tugas-tugas tidak dirumuskan dengan baik dan koordinasi dilakukan tanpa menimbang efesiensi, kemajuan bergantung ada senioritas dan bukan berdasarkan kemampuan dan jasa, ditambah lagi dengan kepegawaian yang kaku dan lebih ditunjukan untuk melindungi pegawai pemerintah dari pada untuk meningkatkan efesiensi administrasi itu sendiri.

(33)

lama dan pekerjaan yang berbelit-belit, untuk itu dibutuhkan adanya koordinasi agar setiap departemen memiliki kepala bagiannya tersendiri yang mampu menanggungjawapi di dalam bidangnya namun muncul masalah baru dimana kurang tersedianya teanga ahli yang mampu mengemban tugasnya, serta kesimpangsiuran struktur yang sudah ada dan justru menambah konflik dan kompetisi didalam tubuh birokrasi itu sendiri, serta meningkatkan beban puncak hirarki dalam melaksanakan koordinasi.

(34)

menggambarkan kelemahn politik adminstrasi di negara berkembangyang menjadi bukti atas pernyataan ini ialah bahwa birokrasi secara politis lebih dominan sebagai alat pelaksana pemerintah, sehingga para administrator lebih berurusan dengan mereka sebagai “pejabat”ketimbang berlaku sebagai “pelayan masyarakat”yang harus menanggapi kebutuhan-kebutuhan yang dialtikulasikan. Dari hal ini dapat digambarkan bahwa para pegawai adminitrasi berkerja hanyan sebatas untuk mendapatkan pekerjaan, kesejahteraan, dan jabatan sebagai tujuan akhir, sehingga Administrasi tampak lebih terkait dengan masalah perlindungan den pengokohan status hubungan-hugungan hak istimewa daripada mencapai sasaran organisasi.

(35)

Ciri Karakteristik SALA sebagai Model SAN dalam Masyarakat Prismatik

1. Heterogenitas (heteregonity) : fungsi administrasi kekeluargaan dengan struktur jabatan baru. Fungsi-fungsi administratif yang semula dilaksanakan atas dasar hubungan kekeluargaan tetap dilanjutkan tetapi secara sembunyi-sembunyi, sementara itu disusun struktur jabatan kantor yang baru guna menggantikan organisasi atas dasar kekeluargaan tadi dan selanjutnya sebagai pantas-pantas disiapkan seperangkat norma untuk dipatuhi (walaupun nyatanya norma tersebut diabaikan).

2. Nepotisme (Nepotism) : universalistik dengan hubungan kekerabatan. Dalam masyarakat tradisonal jelas-jelas keluarga merupakan landasan bagi pemerintahan dan administrasi negara, dan wajar apabila jabatan-jabatan dalam administrasi negara disediakan bagi anggota keluarga (nepotisme). Dalam masyarakat yang sedang berkembang (prismatic society), sering terdapat seorang Presiden atau Perdana Menteri yang dipilih, tetapi menyerahkan kedudukannya kepada anak, menantu, kemenakan atau keluarga dekatnya, yang seharusnya kedudukan tersebut digantikan oleh seseorang melalui pemilihan. Jabatan-jabatan dalam administrasi negara dijabat oleh orang-orang atas dasar norma yang bersifat universalistik, tetapi nyatanya diam-diam diisi oleh orang-orang yang punya hubungan kekerabatan. Hal-hal demikian ini menjadi salah satu ciri dalam pengadaan pegawai dari model Sala.

(36)

sedemikian rupa sehingga peraturan/hukum dilaksanakan seenak-enaknya terhadap keluarga, sebaliknya sekeras-kerasnya terhadap pihak-pihak di luar kerabat. Hal ini berlaku juga terhadap pelaksanaan kontrak, pembelian perbekalan, pengadaan barang, pembayaran pajak, pemberian lisensi, pemberian ijin dan lain sebagainya. Bagi pihak luar pegawai-pegawai dari model sala ini nampak bersifat individualistik, karena mereka menilai kepentingan keluarga lebih tinggi daripada kepentingan dinas, pemerintah, kadang-kadang bahkan kepentingan negara.

4. Poly communal / plural community : Mobilitas cukup tinggi tetapi tingkat asimilasi rendah. Pengelompokan atas dasar keluarga menumbuhkan solidaritas kelompok. Dalam negara berkembang solidaritas kelompok didapat atas dasar etnis, agama, ras yang bersifat mobil karena faktor komunikasi yang relatif baik, tetapi belum tercapai asimilasi dengan penguasa (elite) karena sebagian dari anggota kelompok masih buta aksara, sehingga melahirkan beberapa kelompok masyarakat (communities) tertentu.

5. Clect yang mencakup klik, klub dan sekte (Clicques, Clubs, Sects) : Organisasi primer/tradisional dikelola secara modern atau sebaliknya.

(37)

clecttertentu yang anggota-anggotanya sangat kuat solidaritasnya dan sangat kompak menghadapi clect yang lain. Kekuasaan yang ada seakan-akan dimonopoli oleh clect dimana pihak luar tidak dapat ikut serta. Dalam keadaan demikian berkembangkah suap, uang pelicin, upeti atau pungutan liar (pungli) guna mendapatkan pelayanan atau fasilitas.

6. Formalisme (Formalism) : Ekonomi bazaar-canteen. Pelaksanaan peraturan tersurat tidak sama dengan yang tersirat. Pelaksanaannya bisa diibaratkan sebagai bazar di mana tidak ada kepastian harga bersama-sama dengan kantin yang sudah ada kepastian harga dalam mengatur segala sesuatu dalam kehidupan masyarakat. Komisi tidak wajar seakan-akan dibenarkan, harga barang yang dibeli oleh dinas dinaikkan di atas harga pasar (mark-up), di mana selisih harga diserahkan kepada pejabat sebagai ’komisi’. Korupsi seolah-olah dilembagakan diikuti dengan mutasi periodik bergilir diantara jabatan-jabatan ’basah’ dan jabatan-jabatan ’kering’.

(38)

bertindak sesuai dengan hukum, administrasi negara dapat dituntut di depan pengadilan administrasi (merupakan kode modern), tetapi pada praktek kenyataannya rakyat dianggap sepi seolah-olah sebagai obyek saja, sementara pejabat mengangkat dirinya dalam jabatan yang tidak dibatasi, bukan administrasi yang menjadi public servants yang melayani, tetapi sebaliknya menjadi master yang dilayani dan sebagainya.

8. Distribusi kekuasaan : Otoritas lawan kontrol. (Distribution of Power :

Authority versus Control). Kekuasaan seharusnya dibagi-bagi dengan

pendelegasian dalam rangka desentralisasi, akan tetapi prakteknya justru sebaliknya sentralisasi yang berlaku. Pada sisi yang lain struktur kekuasaannya sentralistik dan terpusat akan tetapi pengendalian atau kontrolnya terpisah-pisah tersebar dilakukan oleh banyak pihak.

1.5.4. Red-Tape

Menurut kamus idiom bahasa inggris red tape merupakan proses birokrasi yang rutin dan berbelit –belit meskipun tidak penting. Salah satu kelemahan yang sering dikaitkan dengan birokrasi ialah “red-tape” . Istilah ini merujuk kepada satu peraturan birokrasi yang sangat berlebihan sehingga menyebabkan kelewatan kepada sesuatu urusan ataupun proses.

(39)

Bozeman dan Feneey red-tape seringkali dipergunakan sebagai sinonim dari istilah prosedur, peraturan, dan regulasi, manakala ketiganya berjalan menyimpang dan menjadi berlebih-lebihan, maka pada saat itulah red tape ada dan berkembang. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap bentuk-bentuk red tape, terdapat lima jenis bentuk red-tape yang kerap dijumpai pada birokrasi hal ini meliputi, meliputi: persyaratan yang banyak, kurang relevan dan ketat; struktur dan hierarki yang panjang, ketat dan berlebihan; prosedur atau tahapan yang rigid atau rinci, kompleks, panjang, dan ketaatan secara berlebihan, serta berbelit-belit; waktu yang lebih lama dari ketentuan, biaya yang lebih tinggi dari standar yang telah ditetapkan; dan sikap dan perilaku petugas yang suka menunda dan acuh tak acuh, mendahulukan keluarga, sahabat dan kroni-kroninya, mengharapkan imbalan, kurang menghargai masyarakat yang dilayani. Adapun perilaku masyarakat wirausaha menghindari red-tape adalah dengan cara menelikung (short cut behavior) dan menyuap (bribery behavior). Untuk itu penulis menawarkan pemutusan red-tape dengan merampingkan struktur dan menyederhanakan prosedur. dengan melalui tiga hierarki atau prosedur.

(40)

yaitu Korupsi, Kolusi, Nepotisme, tidak adanya akuntabilitas, pertanggung jawaban formal, dan lain sebagainya.

M Shafritz dan E. W Russel (1997) merumuskan birokrasi sebagai : (1) Semua Kantor Pemerintah: Semua kantor yang melaksanakan fungsi publik yang dijalankan oleh pemerintah. (2) Semua Pegawai Pemerintah:Semua pegawai pemerintah dari tingkatan terendah hingga tertinggi, yang dipilih maupun yang diangkat. (3) Karakteristik Negatif: Segala sesuatu yang menunjukkan karakterisitik negatif birokrasi seperti korupsi, kaku, prosedural, berbelit-belit dan

inefisiensi. (4) Karakteristik Struktural menurut Max Weber: Birokrasi identik dengan karakteristik struktural yang dikemukakan oleh Max Weber, seperti adanya pembidangan tugas yang jelas, prinsip hierarki, spesialisasi dan formalisme.

Red-tape dari birokrasi terkait dengan prosedur birokrasi yang berbelit-belit dan lamban dalam melakukan tugasnya. dalam kajian ilmu politik red tape of beaurocration ini merupakan salah satu penyakit birokrasi yang klasik. Red tape’ maksudnya formalitas dan prosedussr berbelit-belit yang perlu dilalui, khususnya melibatkan pengisian formulir atau penyerahan dokumentasi, sebelum bisa diambil tindakan resmi.

(41)

menimbulkan kekaburan aturan-aturan sehingga terjadinya birokrasi yang lambat dan berbelit-belit.

Adapun indikator Red-Tape adalah sebagai berikut.

1. Prosedur, peraturan dan regulasi berjalan secara berlebihan dan menyimpang sehingga menjadi berbelit-belit.

2. Terlalu patuh pada prosedur serta prosedur yang kurang jelas dan berbelit-belit.

3. Adanya formalitas yang berlebihan.

4. Birokrasi yang bersifat kaku, dan kurang menerima perubahan. 5. Struktur birokrasi yang panjang.

6. Waktu penyelesaian yang lebih lama dari ketentuan. 7. Biaya yang lebih tinggi dari ketentuan.

8. Sikap prilaku birokrat yang suka menunda-nunda pekerjaan.

9. Sikap prilaku birokrat yang lebih mengutamakan keluarga, sahabat, dan kroni-kroni.

10.Sikap birokrat yang acuh-tak acuh dan kurang menghargai masyarakat yang dilayani.

1.6 Definisi konsep

(42)

suatu hal atau persoalan yang dirumuskan. Dalam merumuskan kita harus dapat menjelaskannya sesuai dengan maksud kita memakainya.

a) Birokrasi berhubungan dengan organisasi masyarakat yang disusun secara ideal. Birokrasi dicapai melalui formalisasi aturan, struktur, dan proses di dalam organisasi. Para teoritikus klasik seperti Fayol (1949), Taylor (1911), dan Weber (1948), selama bertahun-tahun telah mendukung model birokrasi guna meningkatkan efektivitas administrasi organisasi. Max Weber adalah sosok yang dikenal sebagai bapak birokrasi. Menurut Weber (1948), organisasi birokrasi yang ideal menyertakan delapan karakteristik struktural.

1. Peraturan yang disahkan, regulasi, dan prosedur yang distandarkan dan arah tindakan anggota organisasi dalam pencapaian tugas organisasi. Weber menggambarkan pengembangan rangkaian kaidah dan panduan spesifik untuk merencanakan tugas dan aktivitas organisasi.

2. Spesialisasi peran anggota organisasi memberikan peluang kepada divisi pekerja untuk menyederhanakan aktivitas pekerja dalam menyelesaikan tugas yang rumit. Dengan memecah tugas-tugas yang rumit ke dalam aktivitas khusus tersebut, maka produktivitas pekerja dapat ditingkatkan.

(43)

individu, membantu mengarahkan hubungan intra personal di antara anggota organisasi guna menyelesaikan tugas-tugas organisasi.

4. Pekerjaan personil berkualitas didasarkan pada kemampuan tehnik yang mereka miliki dan kemampuan untuk melaksanakan tugas yang dibebankan kepada mereka. Para manajer harus mengevaluasi persyaratan pelamar kerja secara logis, dan individu yang berkualitas dapat diberikan kesempatan untuk melakukan tugasnya demi perusahaan.

5. Kemampuan tukar personil dalam peran organisasi yang bertanggung jawab memungkinkan aktivitas organisasi dapat diselesaikan oleh individu yang berbeda. Mampu tukar ini menekankan pentingnya tugas organisasi yang relatif untuk dibandingkan dengan anggota organisasi tertentu yang melaksanakan tugasnya-tugasnya.

6. Impersonality dan profesionalisme dalam hubungan intra personil di antara anggota organisasi mengarahkan individu ke dalam kinerja tugas organisasi. Menurut prinsipnya, anggota organisasi harus berkonsentrasi pada tujuan organisasi dan mengutamakan tujuan dan kebutuhan sendiri. Sekali lagi, ini menekankan prioritas yang tinggi dari tugas-tugas organisasi di dalam perbandingannya dengan prioritas yang rendah dari anggota organisasi individu.

(44)

jawab kerjanya. Pekerja harus mempunyai pemahaman yang jelas tentang keinginan perusahaan dari kinerja yang mereka lakukan.

8. Rasionalitas dan predictability dalam aktivitas organisasi dan pencapaian tujuan organisasi membantu meningkatkan stabilitas perusahaan. Menurut prinsip dasarnya, organisasi harus dijalankan dengan kaidah dan panduan pemangkasan yang logis dan bisa diprediksikan.

b) Menurut Geertz etos adalah sikap yang mendasar terhadap diri dan dunia yang di pancarkan hidup, Etos adalah aspek evaluatif yang bersifat menilai. Maka hal ini bisa di pertanyakan apakah kerja dalam arti khusus, usaha komersial, dianggap suatu keharusan demi hidup, atau sesuatu imperatif dari diri, ataukah sesuatu yang terkait dengan identitas diri yang bersikap sakral.Identitas diri dalam hal ini adalah sesuatu yang telah diberikan oleh agama, etos kerja sangat terkait dengan irama karakter, kualitas hidup, gaya moral estetika dan suasana perasaan seseorang.

(45)

dan terus dijalani bangsa ini belum mampu menyingkirkan patologi birokrasi. Bahkan di beberapa daerah kita menyaksikan semakin mengukuhkan patologi birokrasi itu sendiri. Ciri ini dapat kita lihat,

1. Betapa administrasi publik kita masih kerap bersifat elitis, otoriter, paternalistik, serta menjauh dari atau jauh dari masyarakat dan lingkungannya. Bahwa keberadaan birokrasi belum menyatu dalam kehidupan masyarakat dan belum mengakomodir kolektifitas atau partisipasi semua unsur dalam agenda birokrasi.

2. Birokrasi kita kekurangan sumber daya manusia (dalam hal kualitas) untuk menyelenggarakan pembangunan dan over (berlebih) dalam segi kuantitas. Fakta ini telah kita saksikan, birokrasi kita masih saja lemah secara sumber daya manusia. Dan sangat wajar lemah, karena dalam proses rekrutmennya selama ini bukan atas dasar kualitas, dan inilah salah satu produk patologi birokrasi tersebut. Secara kuantitas, jelas birokrasi Indonesia sangat gemuk dan over lembaga dalam menangani sektor-sektor yang pada dasarnya sama. Sehingga sering kita menyaksikan di kantor-kantor pemerintahan kita banyak aparatur yang tidak bekerja dan terjadinya tumpang tindih dalam penanganan masalah dalam memberikan pelayanan publik.

(46)

mengabaikan kehendak rakyat. Kenyataan ini dekat dengan kita, di mana para birokrat kita begitu kaya-kaya atau sejahtera secara materiil secara tidak layak bila dibandingkan gaji yang ditetapkan.

4. Birokrasi kita sering mengutamakan formalitas daripada substansi. Bahwa banyak penyelenggaraan birokrasi kita dalam melaksanakan pembangunan hanya bersifat sekedar tanpa mengoptimalkan sisi esensi, manfaat dan dampak positifnya jauh ke depan. Serta sering bersifat seremonial.

5. Birokrasi kita masih asik dengan jalannya sendiri tanpa mengperhitungkan atau mengakomodir aspirasi rakyat. Birokrasi kita, khususnya di daerah, masih jauh dari pengawasan yang seyogianya. Artinya, lepas dari proses politik dan pengawasan publik secara kuat. d) Bozeman dan Feneey red-tape seringkali dipergunakan sebagai sinonim

(47)

mendahulukan keluarga, sahabat dan kroni-kroninya, mengharapkan imbalan, kurang menghargai masyarakat yang dilayani. Adapun perilaku masyarakat wirausaha menghindari red-tape adalah dengan cara menelikung (short cut behavior) dan menyuap (bribery behavior). Untuk itu penulis menawarkan pemutusan red-tape dengan merampingkan struktur dan menyederhanakan prosedur. dengan melalui tiga hierarki atau prosedur.

1.7. Defenisi Operasional

Defenisi operasional adalah unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana cara mengukur suatu variabel sehingga dalam pengukuran ini dapat di ketahui dari indikator-indikator apa saja yang dianalisis dari variabel tersebut.

A. Variabel-variabel Etos kerja Sebagai Variabel Bebas (X)

a.) Mempunyai semangat positif terhadap hasil kerja manusia.

b.) Mepertahankan pandangan tentang kerja, sedagai suatu yang luhur bagi eksistensi manusia.

c.) Kerja yang dirasakan sebagai aktivitas yang bermakna bagi kehidupan manusia.

(48)

B. Red-Tape Sebagai Variabel Yang Terikat (Y)

Indikator terjadinya Red-Tape adalah:

1. Prosedur, peraturan dan regulasi berjalan secara berlebihan dan menyimpang sehingga menjadi berbelit-belit.

2. Terlalu patuh pada prosedur serta prosedur yang kurang jelas dan berbelit-belit.

3. Adanya formalitas yang berlebihan.

4. Birokrasi yang bersifat kaku, dan kurang menerima perubahan. 5. Struktur birokrasi yang panjang.

6. Waktu penyelesaian yang lebih lama dari ketentuan. 7. Biaya yang lebih tinggi dari ketentuan.

8. Sikap prilaku birokrat yang suka menunda-nunda pekerjaan.

9. Sikap prilaku birokrat yang lebih mengutamakan keluarga, sahabat dan kroni-kroni.

(49)

1.9. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini memuat latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, hipotesis, defenisi konsep, defenisi operasional, sistematika penulisan.

BAB II METODE PENELITIAN

Bab ini secara umum menguraikan tentang bentuk penelitian, lokasi penelitian, populasi dan sampel, teknik pengumpulan data, teknik perumusan skor, dan teknik analisis data.

BAB III DESKRIPSI LOKASI

Bab ini memuat tentang gambaran lokasi penelitian berupa tentang sejarah , kondisi / situasi, visi dan misi serta struktur organisasi.

BAB IV PENYAJIAN DATA

Bab ini memuat tentang penyajian data yang dilakukan oleh peneliti dengan cara menguraikan hasil penelitian yang diperoleh dari lapangan dan melakukan analisis berdasarkan pada metode yang digunakan

(50)

Bab ini memuat tentang pembahasan atau interprestasi dari data-data yang disajikan dalam bab sebelumnya.

BAB VI PENUTUP.

Referensi

Dokumen terkait

Pertanyaan-pertanyaan tentang sifat ideologis pengetahuan, karenanya, harus dipisahkan dengan cara ini: beberapa pengetahuan khususnya dalam kelompok mungkin bias ideologis

Hasil identifikasi komponen minyak atsiri dalam sampel A (Bandung) menghasilkan 12 puncak seperti yang terlihat pada Gambar 1.Dari 12 puncak tersebut terdapat 3

pengendalian administratif (pengawasan penggunaan APD). 4) Rekomendasi pengendalian risiko tersengat listrik pada proses ekstraksi Teripang Emas (Stychopus hermanii) yaitu

Menurut Amien, low politics memiliki persamaan dengan konsep politik Machiavelli dalam Il Principe yang membolehkan segala cara demi memperoleh kekuasaan, berbeda dengan

Akan tetapi, dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tidak menjabarkan secara jelas bagaimana peran pengawasan yang bersifat preventif yang dilakukan oleh Komisi Yudisial

Analisis Risiko Keselamatan Kerja dengan Metode HIRARC (Hazard Identification, Risk Assessment, and Risk Control) pada Alat Suspension Preheater Bagian Produksi di

(6) Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik tidak mengusulkan salah satu calon dari pasangan poe calon pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka saran yang diberikan adalah: (1) Persepsi peserta didik dalam tahap pembentukan layanan bimbingan kelompok