• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA

D. Patologi Hati

Penyakit hati merupakan proses tersembunyi serta membahayakan yang deteksi dan gejala klinis kegagalan fungsi hepatiknya dapat terjadi berminggu- minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun setelah terjadinya kerusakan, kecuali pada kasus gagal ginjal akut yang gejalanya dapat dirasakan diawal terjadinya penyakit. Naik turunnya tingkat keparahan kerusakan hati dapat saja tidak dirasakan oleh penderitanya dan hanya terdeteksi dengan adanya hasil tes laboratorium yang tidak normal (Kumar, Abbas, and Aster, 2015).

Hati rentan terhadap berbagai macam gangguan metabolit, toksin, mikroba, sirkulatorik, dan neoplastik. Walaupun begitu, hati memiliki kemampuan besar untuk melakukan perbaikan sendiri, termasuk restitusi lengkap massa hati. Morfologi dari kelainan hati mencerminkan pengaruh dari kerusakan hati dan penyembuhan hati. Penyebab kerusakan hati dapat dikelompokkan menjadi kerusakan hati akibat infeksi, termediasi imun, hepatotoksisitas terinduksi obat atau toksin, metabolik, mekanis, dan lingkungan. Manifestasi dari kerusakan hati secara histologi dapat dibedakan menjadi inflamasi (saluran portal, lobulus parenkim, antarmuka keduanya), kerusakan hepatoseluler (degenerasi penggelembungan, perlemakan hati, kolestasis, inklusi), nekrosis dan apoptosis, perubahan vaskuler, regenerasi, fibrosis (sirosis), dan neoplasia (kanker) (Burt et al., 2012).

Inflamasi secara umum merupakan respon jaringan vaskuler terhadap jaringan yang terinfeksi dan rusak, yang membawa sel dan molekul pertahanan tubuh dari sirkulasi ke situs yang membutuhkan, untuk mengeliminasi agen perusak. Reaksi perlindungan inflamasi terhadap infeksi sering disertai dengan kerusakan jaringan lokal serta gejala dan tanda yang berkaitan dengan hal tersebut, walaupun biasanya konsekuensi yang berbahaya ini sifatnya dapat sembuh sendiri dengan meredanya inflamasi, meninggalkan sedikit atau tidak ada sama sekali kerusakan permanen (Kumar et al., 2015).

Respon inflamasi yang cepat di awal terjadinya infeksi dan kerusakan jaringan disebut dengan inflamasi akut. Respon ini biasanya terjadi dalam hitungan menit atau jam dan memiliki durasi singkat selama beberapa jam atau hari. Karakteristik utamanya adalah eksudasi cairan dan plasma protein (edema) dan pergerakan leukosit, didominasi oleh neutrofil. Ketika reaksi inflamasi akut mampu mengeliminasi agen perusak maka reaksi tersebut akan mereda, jika stimulus gagal dihilangkan maka akan terjadi fase panjang yang disebut inflamasi kronis. Inflamasi kronis berdurasi lebih lama dan dihubungkan dengan kerusakan jaringan yang lebih banyak, penghadiran limfosit dan makrofag, proliferasi pembuluh darah, serta deposisi jaringan ikat. Inflamasi akut merupakan salah satu tipe reaksi pertahanan tubuh yang disebut sistem imun alamiah, sedangkan inflamasi kronis lebih digolongkan dalam sistem imun adaptif (Kumar et al., 2015).

Sistem imun alamiah dan adaptif, terlibat dalam seluruh aktivitas kerusakan dan perbaikan hati (Gambar 7). Adanya antigen di hati akan direspon

oleh sel penghadir antigen (APC), melalui protein histokompatibilitas utama yang diekspresikan ke permukaan sel. Sel dendritik (DC) adalah APC yang berperan dalam infeksi hepatitis B dan C, contoh APC lainnya adalah sel kupffer. Toll-like receptors (TLR) dapat mendeteksi molekul inang dan juga derivat yang berasal dari materi asing seperti bakteri dan virus sehingga sel dendritik dapat menyerang HCV secara langsung. Dendritik sel mengaktifkan beberapa limfosit yaitu sel T naive

CD4+, sel T CD8+, sel natural killer (NK), dan sel T natural killer (NKT) (Burt et al.,2012).

Sel naive CD4+ distimulasi oleh sitokin interleukin-4 (IL-4) untuk berdiferensiasi menjadi sel T Th-2 CD4+. Sel T tersebut mensekresikan sitokin

yang menstimulus sel B menjadi matang dan mensekresikan antibodi clonotypic.

Stimulasi dari interleukin-12 (IL-12) mengaktifkan sel T naive CD4+ untuk berdiferensiasi menjadi sel T Th-2 CD4+. Sel tersebut mensekresikan interferon-

(IFN ) dan interleukin-2 (IL-2), yang menstimulasi pengaktifan sel T CD8+ menjadi limfosit sitotoksik (CTL) (Burt et al.,2012).

NK, NKT dan CTL yang telah teraktifasi mensekresikan IFN , yang

memiliki efek antiviral pada hepatosit. Sel-sel tersebut juga dapat berinteraksi langsung dengan hepatosit untuk mempengaruhi sitolisis. Tumor necrosis factor-α

(TNFα) yang disekresikan oleh CTL juga dapat menginduksi apoptosis hepatoseluler melalui jalur sinyal kematian. Melalui cara ini, infeksi HBV biasanya dapat dibersihkan kecuali pada kondisi sistem imun yang tidak adekuat. Pada kasus infeksi HCV biasanya tidak dapat terbesihkan secara sempurna, karena ketidakstabilan gen dari HCV dan pengembangan mutasi HCV, serta keadaan inadekuat imun alami untuk membersihkan virus dari hepatosit yang terinfeksi (Burt et al.,2012).

Beberapa proses degeneratif pada hepatosit dapat berpotensi kebali pulih misalnya seperti pada akumulasi lemak (steatosis) dan bilirubin (kolestasis), namun beberapa kondisi atau dalam keadaan yang parah dan ketika kerusakan tidak dapat pulih kembali akan terjadi kematian sel. Hepatosit mati melalui dua mekanisme utama, yaitu nekrosis dan apoptosis. Dalam nekrosis hepatosit, sel mengalami pembengkakan karena regulasi osmotik yang cacat pada membran sel mengakibatkan cairan masuk kedalam sel, yang kemudian membengkak dan pecah. Bahkan saat sebelum pecah, konten sitoplasma (selain organela) akan terbawa ke

bagian luar sel. Makrofag mendatangi situs kerusakan tersebut dan menandai situs nekrosis hepatosit karena sel-sel yang mati pada dasarnya pecah dan menghilang. Bentuk kerusakan ini merupakan bentuk kematian sel yang paling banyak terjadi pada kerusakan iskemik/hipoksia dan merupakan bagian signifikan dari respon stres oksidatif (Kumar et al., 2015).

Apoptosis merupakan peristiwa yang dapat terjadi pada keadaan normal ataupun pada keadaan patologis ketika sel menjadi rusak dan tidak dapat pulih kembali. Apoptosis hepatosit merupakan bentuk aktif dari kematian sel terprogram yang menghasilkan penyusutan hepatosit, kondensasi kromatin inti sel (piknosis), fragmentasi kromatin inti sel (karioreksis), dan fragmentasi seluler menjadi beberapa bagian yang disebut badan apoptosis yang bersifat asidofili (Kumar et al.,

2015).

Ketika terjadi kerusakan parenkim yang meluas, sering terdapat bukti adanya confluent necrosis atau nekrosis konfluen yang berarti kerusakan hepatosit yang parah pada suatu zona. Kondisi ini dapat terlihat pada kasus kerusakan iskemik atau toksik akut ataupun pada infeksi virus yang parah atau hepatitis autoimun. Nekrosis konfluen dapat terjadi ketika terdapat sebuah zona hepatosit disekitar vena sentral mengalami kerusakan. Rongga yang dihasilkan akan diisi oleh sel debris, makrofag, dan sisa dari jaringan retikulin. Dalam bridgingnecrosis

atau nekrosis penghubung, zona ini dapat menghubungkan vena sentral ke saluran portal, atau menghubungkan portal-portal yang berdekatan. Meskipun pada penyakit seperti hepatitis viral yang hepatositnya menjadi target utama serangan, adanya kerusakan vaskuler melalui inflamasi atau trombosis juga menyebabkan

kematian parenkim akibat luasnya kematian hepatosit dalam suatu zona (Kumar et al., 2015).

Regenerasi dari kematian hepatosit terjadi utamanya melalui replikasi mitosis hepatosis yang berdekatan dengan sel yang telah mati, walaupun ketika terdapat nekrosis konfluen yang signifikan. Hepatosit hampir menyerupai sel punca atau stem cell dalam kemampuannya untuk melanjutkan replikasi walaupun dalam

keadaan kerusakan kronis selama bertahun-tahun, sehingga pembaruan oleh sel punca biasanya bukan bagian yang signifikan dalam perbaikan parenkim. Dalam keadaan gagal hati akut yang parah, terdapat aktivasi dari relung sel punca intrahepatik, yang dinamakan kanal Hering, namun kontribusi dari sel punca dalam pembaruan hepatosit dalam keadaan ini masih belum jelas. Walaupun begitu, pada kebanyakan penderita penyakit kronis yang hepatositnya telah mencapai kondisi penurunan fungsi replikatif, terdapat bukti jelas dari aktivitas sel punca yang terlihat dalam pembentukan reaksi duktular (Kumar et al., 2015).

Sel utama yang terlibat dalam pembentukan jaringan parut adalah sel stelata hepatik (Gambar 8). Dalam keadaan tidak aktif, sel tersebut adalah sel penyimpanan vitamin A. Dalam keadaan kerusakan akut dan kronis, sel stelata dapat menjadi aktif dan menjadi miofibroblas yang sangat fibrogenik. Proliferasi sel stelata hepatik dan pengaktifan sel ini menjadi miofibroblas dimulai oleh serangkaian perubahan termasuk peningkatan produksi platelet-derived growth factor receptor β(PDGFR-β) dalam sel stelata. Pada waktu yang sama, sel kupffer

dan limfosit mengeluarkan sitokin dan kemokin yang memodulasi pengeluaran gen di sel stelata yang terlibat dalam fibrogenesis. Hal ini, termasuk perubahan

transforming growth factor β (TGF- ) dan reseptornya yaitumetalloproteinasse 2

(MMP-2), serta penginhibisi jaringan MMP-1 dan MMP-2 atau tissue inhibitors of metalloproteinase 1 dan 2 (TIMP-1 dan TIMP-2)(Kumar et al., 2015).

Ketika sel-sel stelata dirubah menjadi miofibroblas, sel-sel tersebut melepaskan faktor komotaksis dan vasoaktif, sitokin, serta faktor pertumbuhan. Miofibroblas merupakan sel kontraktil, kontraktilitas tersebut di stimulasi oleh

endhothelin-1 (ET-1). Stimulus untuk pengaktifan sel stelata dapat berasal dari beberapa sumber. Pada inflamasi kronis, stimulus melalui tumor necrosis factor

(TNF), limfotoksin, dan interleukin-1β (IL-1 ), dan produk perioksidasi lipid.

Stimulus juga dapat berasal dari sitokin dan kemokin yang diproduksi oleh sel kupffer, sel endotelial, hepatosit dan sel epitelial duktus empedu. Selain itu stimulus juga dapat berasal dari respon terhadap gangguan pada matriks ekstraseluler, serta stimulasi langsung oleh toksin dari sel stelata. Jika kerusakan persisten, proses pembentukan jaringan parut dimulai, sering kali terjadi pada ruang Disse. Kondisi

ini lebih sering terdapat pada penyakit perlemakan hati alkoholik dan non alkoholik, namun juga merupakan mekanisme umum pada pembentukan jaringan parut pada bentuk kerusakan hati kronis lainnya (Kumar et al., 2015).

Zona kematian parenkim berubah menjadi septum fibrosa padat melalui kombinasi retikulin yang telah kolaps, pada zona luas yang hepatositnya mati dan tidak dapat pulih serta sel stelata telah teraktifkan. Pada stadium akhir penyakit hati kronis, septum fibrosa ini mengelilingi sel yang masih bertahan hidup, serta meregenerasi hepatosit sehingga menimbulkan jaringan parut menyebar yang dideskripsikan sebagai sirosis (Kumar et al., 2015).

Sel lain yang mungkin berkontribusi signifikan pada pembentukan jaringan parut pada situasi berbeda, termasuk diantaranya dalah fibroblas portal. Reaksi duktular juga memiliki peranan, melalui aktivasi dan perekrutan semua sel fibrogenik, serta mungkin juga melalui transisi epitelial-mesenkimal. Peran dari sel- sel lain ini dan prosesnya masih belum diketahui secara pasti (Kumar et al., 2015).

Apabila suatu kerusakan kronis berujung pada pembentukan jaringan parut diinterupsi (misalnya pembersihan infeksi virus hepatitis, penghentian penggunaan alkohol), maka aktivasi sel stelata akan berhenti, jaringan parut berkondensasi, menjadi lebih padat dan tipis, kemudian, karena adanya produksi MMP oleh hepatosit, jaringan parut akan hilang. Melalui cara ini, jaringan parut dapat kembali pulih. Perlu diingat bahwa pada penyakit hati kronis kemungkinan terdapat area dari progresi dan regresi fibrosis, pada saat penyakit aktif maka akan terjadi

progresi fibrosis sedangkan pada saat penyembuhan penyakit akan menghasilkan regresi dari fibrosis (Kumar et al., 2015).

Dokumen terkait