• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pecinan yang Aksesibel

Dalam dokumen jurnal permukiman (Halaman 115-121)

Davies (1999:82) menyatakan dengan jelas bahwa “kecacatan” dapat dikaitkan dengan pariwisata dan aktivitas seni. Para pembangun Kota Swindon, Inggris, berhasil menata kembali sebuah museum kereta api sehingga sangat mudah diakses oleh siapa pun, didalam gedung maupun di lingkungan luarnya. Hal ini pun bisa dilaksanakan di pecinan yang menjadi kawasan pariwisata. Dalam proses penataan kembali dan pembangunan, diselenggarakan banyak pertemuan antara kelompok  penyandang cacat dan para pembangun setempat. Kelompok penyandang cacat bertahan pada prinsip aksesibilitas dan menolak proposal yang tidak mendukung akses dan integrasi mereka di masyarakat. Sejak  awal perencanaan, mereka berperan sebagai penasehat bagi pembangun. Hasilnya, tidak  saja museum mudah diakses, tapi juga gedung-gedung lain yang akan dibangun menginklusikan syarat-syarat aksesibilitas. Tempat parkir penyandang cacat ditempatkan dekat pintu masuk yang ada ram; pintu masuk  dibuat ekstra lebar dan bisa dibuka otomatis bila pemakai kursi roda menekan suatu tombol. Sebagai hasil kerjasama antara pemakai dan para profesional, opini dan usulan pemakai dipertimbangkan untuk kemudian dilaksanakan. Kerjasama seperti ini sangat penting, karena ada desain tertentu yang hanya disadari pemakai sebagai hambatan, tapi tidak  terpikirkan tingkat kesulitannya oleh pembangun (Davies 1999: 82-84). Proses seperti ini patut diikuti dan disesuaikan untuk  mengubah lingkungan fisik pecinan menjadi aksesibel.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Survei yang telah dilakukan di Jakarta dan Bandung menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan terhadap keberadaan pecinan sebagai kawasan pariwisata. Memang, pecinan

di kota pantai lebih cepat berkembang dan mudah diidentifikasi, karena lokasinya merupakan tempat yang mula-mula ditempati oleh masyarakat Cina yang datang dari negara asalnya. Dengan jiwa berdagang yang melekat pada warga Cina, lokasi awal yang ditempati tentunya akan mengalami perkembangan. Lama kelamaan terbentuklah suatu pecinan yang secara fisik mudah dikenal. Tidak demikian dengan Kota Bandung yang terletak di pegunungan. Apa pun latar belakang terbentuknya pecinan, infrastruktur kawasan ini dinilai tidak dapat diakses oleh penyandang cacat.

Definisi tentang “pecinan” tidak dirumuskan dengan suatu kepastian. Namun, dari penelitian ini diambil kesimpulan bahwa suatu kawasan disebut pecinan apabila kawasan itu mempunyai karakteristik sebagai berikut:

- kawasan didominasi oleh warga keturunan Cina

- adanya aktivitas bisnis

- adanya perayaan dan upacara tradisional Cina.

Secara umum, pecinan adalah kawasan perdagangan dan tempat makan yang mempunyai daya tarik bagi penduduk lokal dan para wisatawan untuk memenuhi berbagai keperluan, dari kebutuhan sehari-hari hingga sekedar melihat-lihat dan makan-makan. Karena atraktif, pecinan perlu menghapuskan diskriminasi fisik terhadap semua pengunjung, lebih-lebih karena pecinan adalah kawasan pariwisata. Tidak hanya orang non-cacat yang diperkenankan datang, tetapi juga mereka yang mengalami hambatan mobilitas berhak datang. Secara tidak langsung, lingkungan yang penuh barrier menolak kedatangan penyandang cacat. Menjadi cacat fisik atau cacat mental bukan pilihan seseorang. Orang yang sehat dan lincah, tiba-tiba bisa jatuh dari tangga dan mengalami kelumpuhan pada kedua kakinya. Akibatnya, ia harus memakai kursi roda seumur hidup. Itu sebabnya, penyediaan infrastruktur yang aman dan mudah dipakai harus secara otomatis di-implementasikan ketika membangun lingkungan binaan.

Infrastruktur Pecinan …(Inge K.) 119

Saran

Untuk mengembangkan pecinan menjadi kawasan pariwisata, ada empat hal yang perlu dilakukan, yaitu menyusun masterplan, mengadakan sosialisasi, menyediakan infrastruktur dan mengembangkan pecinan (Kompas, 2008).

- Masterplan diperlukan supaya arah revitalisasi dan aksesibilitas pecinan jelas.

- Sosialisasi diberikan kepada masyarakat supaya memahami dan menyadari pentingnya penataan kembali pecinan. Penting pula membangkitkan kesadaran publik bahwa penyandang cacat harus diperlakukan setara dengan warga lain. Kalau tidak ada sosialisasi, masyarakat tidak 

bisa mendukung dan membantu

kesuksesan revitalisasi dan aksesibilitas. Misalnya, penghuni sebuah rumah mengambil inisiatif menjaga rumahnya, yang merupakan bangunan tua, dengan memperbaiki rumahnya setiap tahun. Atas kesadaran sendiri, ia menyediakan biaya perbaikan rumah.

- Infrastruktur perlu difasilitasi oleh pemerintah dengan membangun jalan,  jaringan listrik, telepon, saluran air bersih. Karena penyandang cacat mempunyai kebutuhan khusus, perlu disediakan fasilitas ram, pegangan tangan pada kedua sisi tangga dan toilet umum yang luas agar bisa digunakan oleh pemakai kursi roda dan orang yang berjalan dengan tongkat penyangga (kruk). Bila pembangun mengabaikan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum 2006 tentang “Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan”, maka perlu ada sanksi berat. Untuk mengembangkan pecinan menjadi menarik, perlu ada aktivitas masa kini, seperti membuka jasa penginapan, tempat makan, kafe dan pertokoan.

- Pengembangan berbagai faktor pecinan secara serentak, termasuk sosial dan budaya, merupakan kunci untuk  menghidupkan pecinan sebagai tempat wisata.

- Pemangku kepentingan (stakeholders) diajak berdialog merumuskan konsep. Penerapan desain universal sangat tepat di-implementasikan di pecinan. Desain ini bukan merupakan desain untuk penyandang cacat saja, melainkan semua orang, tanpa kecuali. Orang harus dapat menggunakannya tanpa ia merasa dirinya “aneh” dimasyarakat umum. Peniadaan barrier menguntungkan bermacam kelompok sosial supaya mereka mempunyai kebebasan bergerak di lingkungan fisik dengan aman. Ram yang landai didepan pintu masuk  hotel tidak saja digunakan wisatawan yang memakai kursi roda, tapi juga tamu yang membawa koper. Pecinan yang mudah diakses tentunya mendukung prinsip pariwisata yang aksesibel.

DAFTAR PUSTAKA

 Accessible Tourism. Wikipedia, the Free Encyclopedia. Internet dibuka 24 Maret 2009

Davidson, R. dan R. Maitland. 1999. “Planning for Tourism in Town and Cities”. Dalam Greed, C. H. (Ed) Social Town Planning, London and New York: Routledge, hal. 208-220

Davies, L. 1999. “Planning for Disability: Barrier-Free Living”. Di Greed, C. H. (Ed) Social Town Planning, London and New York: Routledge, hal. 74-89

Disabled World. 2008, December 12. A Disability and Seniors Information Community. Internet dibuka 29 Januari 2009

Drakakis-Smith, D. 2000. Third World Cities – second edition, London and New York: Routledge

Greed, C. H. (Ed). 1999. Social Town Planning, London and New York: Routledge

Istijanto Oei. 2008. Rahasia Sukses Toko Tionghoa, Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama

Kompas. 2008, 16 September. Sejarah Kota – Menanti Senyum Ratu dari Timur …, hal. 14 Puslitbang Permukiman, Departemen Pekerjaan Umum, Kab. Bandung. Laporan Akhir

120 Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009

Kegiatan Inovasi 2008 Pecinan di Bandung sebagai Potensi untuk Industri Pariwisata Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor

30/PRT/M/2006, 1 Desember 2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan, Jakarta: Direktorat Penataan Bangunan dan Lingkunan, Direktorat Jenderal Cipta Karya Ross, G. F.; penerjemah Marianto Samosir.

1998. Psikologi Pariwisata, Jakarta:  Yayasan Obor Indonesia

Travel, disability, law, United Nations. 2008, 21 Maret. Sumbernya : http://blogs.bootsnall. com/Scott+Rains/tourism-in-the-united-

nations-convention-on-the-rights-of-persons-with-disabilities-crpd.html. Internet dibuka 26 Mei 2009

UNESCAP (United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific). 1999. Promotion of Non-Handicapping Physical Environments for Disabled Persons: pilot projects in three cities, New York: United Nations

Komparasi Nilai Partial … (Wied Wiwoho W.) 121

Dalam dokumen jurnal permukiman (Halaman 115-121)