• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Pektin

2.2.1 Pengertian dan Sumber Pektin

Pektin merupakan kompleks polisakarida yang bersifat asam dengan bobot molekul tinggi sebesar 30.000-100.000, konstituen dalam tanaman menyerupai karbohidrat yang terdistribusi luas dalam jaringan, terdiri dari unit rantai asam D-galakturonat yang terikat dengan ikatan glikosidik α(1,4) (Rowe, et. al., 2009). Gugus asam sepanjang rantai sebagian besar teresterifikasi membentuk kelompok metoksil dengan kadar yang bervariasi tergantung pada derajat metilasi (Madhav dan Pushpalatha, 2002), selain itu juga bisa dalam bentuk asam bebas, metil ester, garam sodium, kalium, kalsium atau ammonium, dan dalam beberapa kelompok pektin amida (IPPA, 2003).

Umumnya pektin terdapat di dalam dinding sel primer, khususnya di sela-sela antara selulosa dan hemiselulosa, yang berfungsi sebagai bahan perekat antara dinding sel yang satu dengan yang lainnya (Hasbullah, 2001). Pektin yang dimanfaatkan untuk makanan merupakan suatu polimer dengan sedikitnya mengandung 65% unit asam galakturonat (IPPA, 2003).

Gambar 2.2. Struktur Dinding Sel Tanaman

[Sumber : IPPA, 2003]

Komposisi kandungan protopektin, pektin, dan asam pektat di dalam buah sangat bervariasi tergantung pada derajat kematangan buah, di mana umumnya protopektin yang tidak larut lebih banyak terdapat pada buah-buahan yang belum matang (Winarno dan Aman, 2002). Pada buah-buahan yang masih muda, sel-sel yang satu dengan yang lainnya masih dipersatukan dengan kuat oleh protopektin, tetapi jika buah semakin tua, maka sebagian dari protopektin mengalami penguraian menjadi pektin karena adanya enzim protopektinase sehingga mengakibatkan terlepasnya sel-sel satu dari yang lain, sehingga buah menjadi lunak. Selanjutnya enzim pektinase meneruskan pengubahan pektin menjadi asam pektat, di mana menyebabkan buah menjadi matang (Dwidjoseputro, 1983). Beberapa gula juga ikut dalam pembentukan pektin, di antaranya adalah rhamnosa, galaktosa, dan xilosa (Winarno dan Aman, 2002).

2.2.2 Struktur, Komposisi Kimia, dan Jenis Pektin

Pada tahun 1924, Smolenski adalah yang pertama kali berasumsi bahwa pektin merupakan polimer asam galakturonat. Pada tahun 1930, Meyer dan Mark menemukan formasi rantai dari molekul pektin, dan

Schneider dan Bock pada tahun 1937 membentuk formula tersebut (Herbstreith dan Fox, 2005).

Gambar 2.3. Rumus Molekul Pektin

[Sumber : Koleksi Pribadi]

Senyawa pektin adalah asam pektat, asam pektinat, dan protopektin yaitu sebagai berikut :

1. Asam Pektat

Asam pektat adalah senyawa asam galakturonat yang bersifat koloid dan pada dasarnya bebas dari kandungan metil ester (Winarno dan Aman, 2002).

2. Asam Pektinat

Asam pektinat adalah asam poligalakturonat yang bersifat koloid dan mengandung sejumlah metil ester. Pektin merupakan asam pektinat dengan kandungan metil ester dan derajat netralisasi yang berbeda-beda (Winarno dan Aman, 2002).

3. Protopektin

Protopektin adalah substansi pektat yang tidak larut dalam air, terdapat dalam tanaman, jika dipisahkan secara hidrolisis akan menghasilkan asam pektinat (Klavons, et. al., 1995).

Gambar 2.4. Struktur Kimia Asam α-Galakturonat

Pektin terdiri dari monomer asam galakturonat yang berbentuk suatu rantai molekul panjang, di mana setiap rantai utamanya diselingi oleh kelompok rhamnosa dengan rantai cabang menyusun gula netral (arabinosa, galaktosa). Dalam suatu molekul pektin terdapat 300-1000 cincin yang merupakan suatu molekul dari asam galakturonat yang dihubungkan dengan suatu rantai linier (Hoejgaard, 2004 dalam Hanum, et.al., 2012). Kelompok karboksil (kelompok asam) dari asam galakturonat dapat diesterifikasi atau diamidasi (IPPA, 2003).

Selain asam D-galakturonat sebagai komponen utama, pektin juga memiliki D-galaktosa, L-arabinosa, dan L-rhamnosa dalam jumlah yang bervariasi. Komposisi kimia pektin sangat bervariasi tergantung pada sumber dan kondisi yang dipakai dalam isolasinya (Willats, et. al., 2006).

Gambar 2.5. Struktur Kimia Asam Poligalakturonat

[Sumber : Koleksi Pribadi]

Berdasarkan kandungan metoksil dan derajat esterifikasi (DE), pektin dibedakan menjadi dua golongan, yaitu pektin bermetoksil tinggi

(High Methoxyl Pectin) dengan kandungan metoksil minimal 7% dan

derajat esterifikasi lebih dari 50%, dan pektin bermetoksil rendah

(Low Methoxyl Pectin) dengan kandungan metoksil maksimal 7% dan

derajat esterifikasi berkisar kurang dari 50% (Guichard, et. al., 1991; Hui, 2006). Pektin bermetoksil tinggi memerlukan sejumlah minimum padatan terlarut (biasanya gula, minimal 55%) dan pH dalam kisaran yang sempit sekitar 3,0 untuk membentuk gel, bersifat termal reversibel, dan secara umum larut terhadap air panas serta seringkali mengandung zat terdispersi seperti dekstrosa untuk mencegah penggumpalan. Pektin bermetoksil rendah menghasilkan pembentukan gel yang tidak tergantung dengan kadar gula dan tidak sensitif terhadap pH serta memerlukan adanya sejumlah kalsium atau kation divalen lainnya untuk pembentukan gel

(Sriamornsak, 2003; Hui, 2006). Pengaruh terbesar pada sifat pektin adalah derajat esterifikasi yang akan menentukan tingkat reaktivitas dengan kalsium dan kation lainnya (IPPA, 2003).

Pektin yang diekstraksi biasanya memiliki lebih dari 50% unit asam yang teresterifikasi sehingga disebut pektin bermetoksil tinggi. Sedangkan modifikasi proses ekstraksi atau dengan perlakuan lebih lanjut akan menghasilkan pektin bermetoksil rendah dengan kurang dari 50% grup metil ester (IPPA, 2003).

Gambar 2.6. Molekul Pektin Bermetoksil Tinggi

[Sumber : Koleksi Pribadi]

Gambar 2.7. Molekul Pektin Bermetoksil Rendah

[Sumber : Koleksi Pribadi]

Beberapa pektin dalam proses produksinya dapat diekstraksi dengan menggunakan ammonia untuk menghasilkan pektin yang teramidasi dan memiliki beberapa keunggulan tertentu dalam beberapa aplikasinya (IPPA, 2003).

Gambar 2.8. Molekul Pektin yang Teramidasi

2.2.3 Sifat-sifat Pektin

Pektin banyak dijumpai pada buah-buahan dan sayur-sayuran serta dalam jumlah kecil ditemukan pada serealia (Kertesz, 1951). Kandungan pektin dari beberapa sayuran dan buah-buahan dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2.1. Komposisi Pektin pada berbagai Sayuran dan Buah-buahan

Jenis Bahan Kandungan Pektin (% berat)

Apel :

 Kulit

 Daging buah

17,44 17,63 Jeruk (Grape Fruit)

 Albedo  Flavedo 16,4 14,2 Jambu biji 3,4 Terong 11 Bawang bombay 4,8 Tomat  Hijau  Kuning  Merah 3,43 4,65 4,63 Kubis 4,57 Wortel 7,14 Bayam 11,58 Pisang 22,4 [Sumber : Kertesz, 1951]

Pektin berupa serbuk kasar atau halus, berwarna putih kekuningan, hampir tidak berbau, dan mempunyai rasa musilago, hampir larut sempurna dalam 20 bagian air, membentuk cairan kental, opalesen, larutan koloidal yang mudah dituang dan bersifat asam, praktis tidak larut dalam etanol atau pelarut organik lainnya, larut dalam air lebih cepat jika permukaannya dibasahi dengan etanol, dengan gliserin, atau dengan sirup simpleks, atau jika permukaannya dicampur dengan tiga bagian atau lebih sukrosa (Farmakope Indonesia Edisi V, 2014).

Pektin merupakan zat berbentuk serbuk kasar hingga halus, berwarna putih, kekuningan, kelabu, atau kecokelatan dan banyak terdapat pada

buah-buahan dan sayuran matang (Food Chemicals Codex, 2004) dengan sifat-sfat fisikanya seperti kelarutan, viskositas, dan kemampuan membentuk gel tergantung dari karakteristik kimia pektin itu sendiri, seperti kadar metoksil, derajat esterifikasi, dan berat molekul (Prasetyowati, 2009). Pektin merupakan asam poligalakturonat yang bermuatan negatif, bereaksi dengan makromolekul bermuatan positif, di mana pembentukan gel dapat terjadi dengan cepat pada pH rendah, tetapi reaksi ini dapat dihambat dengan penambahan garam (May, 1990). Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan gel dengan tingkat kekenyalan dan kekuatan tertentu meliputi suhu, pH, konsentrasi pektin, gula, dan keberadaan ion seperti Ca2+. Kekentalan larutan pektin mempunyai kisaran yang cukup lebar tergantung pada konsentrasi pektin, garam, dan ukuran rantai asam poligalakturonat (Chang dan Miyamoto, 1992; Rolin, 1993).

Pembentukan gel pektin bermetoksil tinggi terjadi melalui ikatan hidrogen di antara gugus karboksil bebas dan gugus hidroksil, yang dipengaruhi oleh konsentrasi pektin, persentase gula, dan pH, di mana semakin besar konsentrasi pektin, semakin keras gel yang terbentuk. Konsentrasi pektin kurang dari 1% telah menghasilkan kekerasan yang cukup baik. Gula yang ditambahkan tidak boleh lebih dari 65% agar dapat mencegah terbentuknya kristal-kristal di permukaan gel (Rolin, 1993; Sundar Raj, et. al., 2012). Berbeda halnya dengan pektin bermetoksil rendah yang mana kemampuan membentuk gelnya akan hilang dengan adanya gula dan asam, tetapi mampu membentuk gel dengan adanya sejumlah ion kalsium atau kation divalen lainnya yang dapat bereaksi dengan gugus-gugus karboksil dari dua molekul asam pektat dan membetuk suatu jembatan, sehingga tidak diperlukan gula dan viskositas gel yang terbentuk kurang kental (Rolin, 1993; Guichard, et. al., 1991).

Meskipun pektin umumnya terkandung di sebagian besar jaringan tanaman, namun sumber yang dapat digunakan untuk pembuatan pektin komersial sangat terbatas. Hal demikian dikarenakan kemampuan pektin untuk membentuk gel tergantung pada ukuran molekul dan derajat esterifikasi. Pektin dari sumber yang berbeda memiliki kemampuan

membentuk gel yang tidak sama karena adanya variasi dalam karakteristiknya (Sriamornsak, 2003). Rouse (1977) di dalam Hariyati (2006) mengungkapkan bahwa degradasi dan dekomposisi pektin dapat disebabkan oleh adanya reaksi oksidasi yang dipengaruhi suhu, pH, dan konsentrasi agen pengoksidasi.

2.2.4 Produksi Pektin

a. Ekstraksi Pektin

Ekstraksi pektin dari buah-buahan didasarkan pada sifat pektin yang dapat larut dalam air, sedangkan sebagian besar polisakarida lain, seperti selulosa dan hemiselulosa yang bersama-sama pektin menyusun dinding sel tanaman, bersifat tidak larut air (Prasetyowati, 2009).

Faktor-faktor yang berpengaruh dalam ekstraksi pektin antara lain sebagai berikut :

1) Derajat keasaman larutan ekstraksi (pH)

Kandungan ion hidrogen berpengaruh karena dapat mensubstitusi kalsium dan magnesium dari molekul protopektin sehingga menyebabkan protopektin terhidrolisis menghasilkan pektin yang larut dalam air (Prasetyowati, 2009).

2) Waktu kontak antara bahan baku dengan pelarut

Waktu kontak atau lama ekstraksi berpengaruh terhadap banyaknya ion hidrogen yang berhasil mensubstitusi kalsium dan magnesium dari protopektin sehingga akan menentukan jumlah pektin yang dapat terlarut dalam air (Prasetyowati, 2009).

3) Ukuran partikel yang diekstraksi

Ukuran partikel akan berpengaruh terhadap luas permukaan sentuhan antara solvent dan solute sehingga akan mempengaruhi jumlah pektin yang terlarut dalam air (Prasetyowati, 2009).

4) Suhu ekstraksi

Suhu ekstraksi akan mempengaruhi ikatan antar molekul protopektin, di mana suhu yang tinggi menyebabkan ikatan antara molekul-molekul protopektin tersebut mudah terlepas dan larut dalam air (Prasetyowati, 2009).

5) Rasio pelarut dan bahan ekstraksi

Rasio antara pelarut dan bahan ekstraksi berpengaruh terhadap jumlah pektin karena umumnya pelarut memiliki keterbatasan untuk mengikat molekul-molekul pektin (Prasetyowati, 2009).

6) Jenis pelarut

Keberhasilan proses ekstraksi juga dipengaruhi oleh pemilihan pelarut yang tepat dengan kriteria seperti selektivitas, kelarutan, kemampuan tidak saling bercampur, reaktivitas, titik didih, dan kriteria-kriteria pendukung lainnya, seperti murah, tersedia dalam jumlah besar, tidak beracun, tidak dapat terbakar, tidak eksplosif bila bercampur dengan udara, tidak korosif, memiliki viskositas yang rendah, serta stabil secara kimia dan termis (Prasetyowati, 2009). 7) Jenis bahan yang diekstraksi

Jika bahan yang diekstraksi memiliki struktur yang lunak maka ekstraksi dapat berlangsung lebih cepat dan banyak molekul yang akan terlarut, tetapi jika bahan yang diekstraksi memiliki struktur yang keras maka diperlukan perlakuan khusus agar bahan tersebut mudah diekstraksi (Prasetyowati, 2009).

Pemisahan pektin dari jaringan tanaman dapat dilakukan dengan cara ekstraksi menggunakan beberapa macam pelarut seperti air, beberapa senyawa organik, senyawa alkalis, dan asam. Dalam ekstraksi pektin terjadi perubahan senyawa pektin yang disebabkan oleh proses hidrolisis sehingga menyebabkan protopektin berubah menjadi pektinat (pektin) dengan adanya pemanasan dalam asam pada suhu dan lama ekstraksi tertentu. Apabila proses hidrolisis dilanjutkan senyawa pektin akan berubah menjadi asam pektat (Muhidin, 2001 dalam Satria dan Ahda, 2009).

Gambar 2.9. Skema Perubahan Protopektin menjadi Pektin dan Asam Pektat [Sumber : Koleksi pribadi]

Pada umumnya ekstraksi pektin dilakukan dengan ekstraksi asam yang menggunakan beberapa jenis asam seperti asam tartrat, asam malat, asam sitrat, asam laktat, asam asetat, asam fosfat tetapi terdapat kecenderungan untuk menggunakan asam mineral yang murah seperti asam sulfat, asam klorida, dan asam nitrat (Kertesz, 1951). Beberapa artikel saat ini, menyarankan untuk menggunakan asam klorida (Kalapathy dan Proctor, 2001; Hwang, et. al., 1998; Dinu, 2001) dan asam nitrat (Pagán, et. al., 2001).

Ekstraksi menggunakan asam mineral menghasilkan rendemen yang lebih tinggi dibandingkan dengan asam organik. Asam mineral pada pH rendah lebih baik daripada pH tinggi untuk menghasilkan pektin (Rouse dan Crandal, 1978). Peranan asam dalam ekstraksi pektin adalah untuk memisahkan ion polivalen, memutus ikatan antara asam pektinat dengan selulosa, menghidrolisa protopektin menjadi molekul yang lebih kecil, dan menghidrolisa gugus metil ester pektin (Kertesz, 1951).

Suhu ekstraksi yang tinggi dapat meningkatkan rendemen pektin, di mana akan membantu difusi pelarut ke dalam jaringan tanaman dan dapat meningkatkan aktivitas pelarut dalam menghidrolisis pektin yang umumnya terdapat di dalam sel primer tanaman, khususnya pada lamella tengah (Towle dan Christensen, 1973). Suhu ekstraksi yang terlalu tinggi akan menghasilkan pektin yang tidak jernih sehingga gel yang diperoleh akan keruh dan kekuatan gel berkurang (Kertesz, 1951).

Pektin dalam jaringan tumbuhan banyak dalam bentuk protopektin yang tidak larut dalam air, dengan adanya asam, kondisi larutan pada pH rendah akan menghidrolisis protopektin menjadi pektin

yang lebih mudah larut. Ekstraksi pektin dari sayur-sayuran dan buah-buahan dilakukan pada kisaran pH 1,5-3,0 dengan suhu pemanasan 60-1000C selama 30-90 menit (Towle dan Christensen, 1973). Waktu ekstraksi yang terlalu lama akan mengakibatkan terjadinya hidrolisis pektin menjadi asam galakturonat. Pada kondisi asam, ikatan glikosidik gugus metil ester dari pektin cenderung terhidrolisis menghasilkan asam galakturonat (Smit dan Bryant, 1986). b. Pengendapan Pektin

Proses pengendapan pektin merupakan suatu proses pemisahan pektin dari larutannya. Pektin adalah koloid hidrofilik yang bermuatan negatif (dari gugus karboksil bebas yang terionisasi) dan tidak mempunyai titik isoelektrik seperti kebanyakan kolod hidrofilik, lebih utama distabilkan oleh hidrasi partikelnya daripada oleh muatannya, sehingga dengan penambahan alkohol dapat mendehidrasi pektin sehingga mengganggu stabilitas larutan koloidalnya sehingga pektin akan terkoagulasi (Rouse, 1977 dalam Hariyati, 2006). Menurut Prasetyowati (2009), pengendapan pektin dilakukan dengan penambahan alkohol yang bersifat sebagai pendehidroksi dengan bobot molekul yang rendah, sehingga akan bercampur sempurna dengan air melalui ikatan hidrogen dan akan mengurangi jumlah ion atau molekul air yang mengelilingi pektin, sehingga keseimbangan antara pektin dengan air akan terganggu dan pektin akan mengendap.

Pengendapan pektin dapat dilakukan dengan alkohol 95% yang mengandung 2 mL asam klorida setiap satu liter. Pengendapan secara komersial biasa digunakan alkohol dan garam metal seperti alumunium hidroksida, kalium sulfat, atau alumunium sulfat (Ranganna, 1977 dalam Hariyati, 2006). Pengendapan dengan aseton lebih disukai karena dapat membentuk endapan yang tegar sehingga mudah dipisahkan dari asetonnya, sedangkan pengendapan dengan etanol menghasilkan pektin yang kurang murni karena tidak hanya mengendapkan pektin tetapi juga senyawa lain seperti dekstrin dan hemiselulosa (Akhmalludin dan Kurniawan, 2009).

c. Pencucian Pektin

Koh, et. al. (2014) melakukan pencucian pektin dengan etanol 70% sebanyak dua kali dilanjutkan dengan etanol 95% hingga filtrat bekas pencucian tidak berwarna. Maulidiyah, et. al. (2014) melakukan pencucian pektin dengan menambahkan etanol 96% sambil diaduk yang dilakukan beberapa kali hingga pektin tidak bereaksi dengan asam. Susilowati, et. al. (2013) juga melakukan pencucian pektin menggunakan alkohol hingga pH netral dan menghasilkan pektin dengan warna yang lebih bersih dan putih.

d. Pengeringan Pektin

Tahap akhir dari produksi pektin adalah pengeringan endapan pektin, di mana dianjurkan dilakukan pada tekanan yang rendah agar pektin tidak terdegradasi. Hanum, et. al. (2012) melakukan pengeringan pektin dalam oven pada suhu 400C selama 8 jam. Azad, et. al. (2014) menggunakan cabinet drier untuk mengeringkan pektin dengan suhu 400C selama 24 jam. Koubala, et. al. (2008) mengeringkan pektin dengan vacuum-drying pada suhu 500C selama satu malam.

2.2.5 Karakterisasi Pektin

Pektin komersial harus memenuhi syarat mutu International Pectin

Producers Association (IPPA) dan Food Chemicals Codex serta spesifikasi

seperti dalam farmakope. Karakteristik pektin tergantung dari kondisi ekstraksi pektin, di mana hasil ekstraksi terbaik biasanya diperbandingkan dengan pektin komersial. Hal ini dilakukan karena jika diaplikasikan pada industri, kebutuhan energi untuk peningkatan suhu dan lama ekstraksi akan meningkatkan biaya produksi. Apabila perlakuan suhu terendah dan waktu paling cepat dapat memberikan hasil yang masih dapat diperbolehkan oleh IPPA, Food Chemicals Codex, dan Farmakope, maka hal ini akan sangat menguntungkan jika diaplikasikan (Fitriani, 2003).

Berikut adalah standar mutu dan spesifikasi pektin berdasarkan IPPA (2003), Food Chemicals Codex (2004), dan Handbook of Pharmaceutical Excipients, 6thEdition (2009) :

Tabel 2.2. Spesifikasi Standar Mutu Pektin

Karakteristik Nilai

Kadar air (maksimum) 12%

Kadar abu (maksimum) 10%

Berat ekivalen 600 – 800

Kandungan metoksil :

 Pektin bermetoksil tinggi

 Pektin bermetoksil rendah

> 7,12% 2,5 – 7,12% Kandungan asam galakturonat (minimum) 65% Derajat esterifikasi untuk

 Pektin ester tinggi (minimum)

 Pektin ester rendah (maksimal)

50% 50%

Tabel 2.3. Spesifikasi Pektin Berdasarkan Farmakope

Tes USP 28

Identifikasi +

Susut pengeringan < 10,0%

Arsenik < 3 ppm

Timah < 5 µg/g

Gula dan asam organik +

Batas mikroba + Uji kadar :  Grup metoksil  Asam galakturonat < 6,7% < 74,0% a. Kadar Air

Kadar air merupakan salah satu parameter penting yang menentukan daya tahan suatu produk, terkait dengan aktivitas mikroorganisme selama penyimpanan dan berpengaruh terhadap masa simpan. Produk dengan kadar air rendah relatif lebih stabil dalam penyimpanan jangka panjang daripada produk dengan kadar air tinggi yang rentan terhadap aktivitas mikroba (Pardede, et. al., 2013). Kadar air ditentukan dengan pengukuran kandungan air yang berada di dalam produk (Departemen Kesehatan, 2000).

b. Kadar Abu

Abu merupakan bahan anorganik yang diperoleh dari residu atau sisa pembakaran bahan organik yang akan berpengaruh pada tingkat

kemurnian pektin. Semakin tinggi tingkat kemurnian pektin, maka kadar abu akan semakin rendah (Budiyanto dan Yulianingsih, 2008).

Prinsip penetapan kadar abu adalah bahan dipanaskan pada temperatur di mana senyawa organik dan turunannya terdestruksi dan menguap, sehingga yang tertinggal hanya unsur mineral dan anorganik (Departemen Kesehatan, 2000).

c. Berat Ekivalen

Ranganna (1977) di dalam Hariyati (2006) menjelaskan bahwa berat ekivalen adalah kandungan gugus asam galakturonat bebas yang tidak teresterifikasi dalam rantai molekul pektin. Asam pektat murni merupakan zat pektat yang seluruhnya tersusun dari asam poligalakturonat yang bebas dari gugus metil ester atau tidak mengalami esterifikasi. Semakin rendah kadar pektin akan menyebabkan berat ekivalen semakin rendah.

d. Kadar Metoksil

Kadar metoksil merupakan jumlah mol etanol yang terdapat di dalam 100 mol asam galakturonat yang memiliki peranan penting dalam menentukan sifat fungsional larutan pektin dan dapat mempengaruhi struktur dan tekstur dari gel pektin (Constenla dan Lozano, 2003).

e. Kadar Galakturonat

Perhitungan kandungan galakturonat sangat penting untuk mengetahui kemurnian pektin. Kadar galakturonat dan muatan molekul pektin memiliki peranan penting dalam menentukan sifat fungsional larutan pektin dan dapat mempengaruhi struktur serta tekstur dari gel pektin (Sofiana, et. al., 2012).

f. Derajat Esterifikasi (DE)

Derajat esterifikasi merupakan persentase jumlah residu asam D-galakturonat yang gugus karboksilnya teresterifikasi dengan etanol. Semakin tinggi suhu dan lama proses ekstraksi dapat menyebabkan degradasi gugus metil ester pada pektin menjadi asam karboksilat oleh adanya asam. Ikatan glikosidik gugus metil ester dari pektin cenderung terhidrolisis menghasilkan asam galakturonat, jika ekstraksi dilakukan

terlalu lama, pektin akan berubah menjadi asam pektat yang asam galakturonatnya bebas dari gugus metil ester. Jumlah gugus metil ester menunjukkan jumlah gugus karboksil yang tidak teresterifikasi atau derajat esterifikasi (Budiyanto dan Yulianingsih, 2008).

g. Kekuatan Gel

Konsentrasi pektin berpengaruh terhadap pembentukan gel dengan tingkat kekenyalan dan kekuatan tertentu (Budiyanto dan Yulianingsih, 2008). Grade pektin didefinisikan sebagai jumlah gula yang dibutuhkan oleh satu bagian pektin untuk membentuk gel yang diinginkan pada kondisi yang sesuai, di mana menjadi indikasi penting yang menggambarkan mutu pektin. Pektin yang mempunyai grade 100 dapat membentuk gel yang baik dengan 100 gram gula. Penentuan grade pektin biasanya menggunakan metode International Food Technologist (IFT),

yaitu dengan membuat gel dengan konsentrasi gula 65% pada pH 2,2 - 2,4 yang disimpan selama 18-24 jam dan kemudian diuji dengan

alat Ridgelimeter (Meilina dan Silah, 2013).

2.2.6 Aplikasi Pektin

Pektin adalah produk alami yang dapat ditemukan dalam dinding sel dari semua tanaman tingkat tinggi, umumnya digunakan sebagai agen pembentuk gel, pengental, dan penstabil. Saat ini pektin merupakan komponen yang tidak terpisahkan dari berbagai macam produk baik dalam industri makanan, seperti untuk produksi selai, gula-gula, pasta, dan produk susu. Pektin juga dapat dimanfaatkan dalam industri non-pangan, seperti dalam farmasi dan kosmetik. Beberapa tahun terakhir manfaat pektin semakin penting dan dibutuhkan oleh konsumen (IPPA, 2003).

Pektin digunakan secara luas sebagai komponen fungsional pada industri makanan karena kemampuannya membentuk gel encer dan menstabilkan protein (May, 1990). Penambahan pektin pada makanan akan mempengaruhi proses metabolisme dan pencernaan khususnya pada adsorpsi glukosa dan kolesterol (Baker, 1994). Dalam industri makanan dan minuman, pektin dapat digunakan sebagai bahan pemberi tekstur yang baik pada roti dan keju, bahan pengental, dan stabilizer pada minuman sari buah.

Selain itu, pektin juga berperan sebagai bahan pokok pembuatan jelly, jam,

dan marmalades (Herbstreith dan Fox, 2005).

Pektin dengan sendirinya atau dengan sifat pembentuk gelnya memiliki potensi yang baik dalam bidang farmasi. Pektin digunakan untuk mengatasi konstipasi, sebagai salah satu bahan utama yang digunakan dalam kaopektat bersama dengan kaolinit, pelega tenggorokan (demulcent), sumber serat, dan komponen propilaktit alami untuk melawan keracunan kation toksik (Malviya, 2011). Pektin melalui pembuluh darah dapat memperpendek waktu koagulasi darah yang berguna untuk mengendalikan pendarahan. Pada industri farmasi, pektin digunakan sebagai polimer mukoadhesif, gelling agent, pengental, pengikat air, stabilator, emulsifier

bagi preparat cair dan sirup, obat diare pada bayi dan anak-anak, obat penawar racun logam, dan bahan penyusut kecepatan absorpsi berbagai macam obat. Selain itu, pektin juga berfungsi sebagai bahan kombinasi untuk memperpanjang kerja hormon dan antibiotik, bahan pelapis perban (pembalut luka) untuk menyerap kotoran dan jaringan rusak, serta bahan injeksi untuk mencegah pendarahan (Towle dan Christensen, 1973, 2006; Malviya, 2011).

Pektin merupakan salah satu tipe serat pangan yang bersifat larut dalam air karena merupakan serat yang berbentuk gel, dapat memperbaiki otot pencernaan, dan mendorong sisa makanan pada saluran pembuangan. Dalam usus besar, mikroorganisme mendegradasi pektin dan membebaskan rantai pendek asam lemak yang memiliki pengaruh positif pada kesehatan atau dikenal sebagai efek prebiotik. Pektin juga dikenal sebagai antikolesterol karena dapat mengikat asam empedu yang merupakan hasil akhir metabolisme kolesterol. Semakin banyak asam empedu yang berikatan dengan pektin dan terbuang ke luar tubuh, semakin banyak kolesterol yang

dimetabolisme sehingga menurunkan jumlah kolesterol tubuh. Selain itu, pektin juga dapat menyerap kelebihan air dalam usus,

memperlunak feses, serta mengikat dan menghilangkan racun dari usus

Dokumen terkait