IV.3. Hambatan-Hambatan Yang Dihadapi
IV.5.1. Hasil Pelaksanaan Ekstensifikasi Wajib Pajak dan intensifikasi pajak Menurut Sony Devano dan Siti Kurnia Rahayu dalam buku Perpajakan (2009):
Konsep, Teori dan Isu menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan pajak adalah:
1. Kejelasan dan Kepastian Peraturan Perundang-undangan Perpajakan.
2. Tingkat Intelektual Masyarakat.
3. Kualitas Petugas Pajak (Intelektual, Keterampilan, Integritas dan Moral yang Tinggi).
4. Sistem Administrasi Perpajakan yang Tepat.
Penjelasan dari kutipan di atas adalah sebagai berikut:
1. Kejelasan dan Kepastian Peraturan Perundang-undangan Perpajakan
Undang-undang yang jelas, sederhana, mudah dimengerti akan penafsiran yang sama bagi Wajib Pajak dan fiskus, hal ini akan memperlancar penerimaan Negara dari sektor pajak. Kesadaran dan Kepatuhan Pemenuhan kewajiban perpajakan akan terbentuk dengan peraturan yang tidak terbelit-belit, prosedur yang tidak rumit, dengan formulir yang mudah pengisiannya, serta lokasi Kantor Penerimaan Pajak yang strategis sehingga mudah di jangkau bagi Wajib Pajak.
2. Tingkat Intelektual Masyarakat
Dengan tingkat intelektual yang cukup baik, maka semakin mudah bagi Wajib Pajak untuk memahami peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, serta melaksanakan administrasi perpajakan, seperti menghitung pajak terutang atau
103 mengisi surat pemberitahuan dan dapat memahami sanksi baik sanksi administrasi maupun sanksi pidana.
3. Kualitas Petugas Pajak (Intelektual, Keterampilan, Integritas dan Moral Tinggi) Kualitas petugas pajak sangat menentukan efektivitas undang-undang dan peraturan perpajakan. Petugas pajak yang berhubungan dengan masyarakat, serta petugas pajak yang memiliki tingkat intelektual tinggi, terlatih baik dan bermoral tinggi. Petugas pajak hendaknya menyadari bahwa semua tindakan yang dilakukan serta sikap terhadap Wajib Pajak dalam rangka pelaksanaan tugasnya mempunyai pengaruh langsung terhadap kepercayaan masyarakat akan system perpajakan dan keputusan yang adil.
4. Sistem Administrasi Perpajakan yang Tepat
Administrasi perpajakan hendaknya merupakan prioritas tertinggi karena kemampuan pemerintah untuk menjalankan fungsinya secara efektif tergantung kepada jumlah uang yang diperolehnya melalui pemungutan pajak. Sistem administrasi memegang peranan penting yaitu sebagai kunci strategi dalam organisasi administrasi.
Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah pemberlakuan kebijakan hapus sanksi pajak (sunset policy). Tujuan program Sunset Policy untuk meningkatkan penerimaan pajak pada tahun 2008 dan seterusnya, meningkatkan jumlah dan kepatuhan Wajib Pajak, serta perbaikan sistem administrasi perpajakan. Pemerintah menetapkan rencana penerimaan perpajakan dalam R-APBN tahun 2009 mencapai sebesar Rp726,3 Triliun, yang berarti naik sekitar Rp 117 Triliun atau 19,2% dari APBN-P 2008 yang ditetapkan sebesar Rp 609,2 Triliun. Penerimaan perpajakan sebesar Rp 726,3 Triliun itu terdiri atas pajak dalam negeri Rp 697,8 Triliun dan pajak perdagangan internasional
104 sebesar Rp 28,5 Triliun. Pajak dalam negeri Rp 697,8 Triliun terdiri atas PPh Rp 364,4 Triliun, pajak pertambahan nilai (PPN) Rp 245,4 Triliun, pajak bumi dan bangunan (PBB) Rp 28,9 Triliun, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) Rp 7,3 Triliun, cukai Rp 47,5 Triliun dan pajak lainnya Rp 4,3 Triliun.
Sunset Policy yang sedang gencar dikampanyekan oleh Direktorat Jenderal Pajak adalah kebijakan ekstensifikasi Wajib Pajak sekaligus intensifikasi pajak. Ekstensifikasi Wajib Pajak bagi mereka yang belum terdaftar dan intensifikasi bagi yang sudah terdaftar. Sunset Policy pada dasarnya dikenakan untuk 2 kategori yaitu masyarakat yang belum memiliki NPWP sebelum tanggal 1 Januari 2008 dan masyarakat yang telah memiliki NPWP sampai dengan 31 Desember 2007. Bagi masyarakat yang belum memiliki NPWP, sunset policy berarti mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dengan menghitung, membayar dan melaporkan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi untuk tahun pajak 2007 dan sebelumnya. Dengan fasilitas tidak dikenakannya sanksi administrasi, diharapkan Wajib Pajak akan memenuhi kewajiban perpajakannya dengan benar. Berikut ini, penulis akan menjelaskan hasil kegiataan ekstensifikasi dan intensifikasi pajak di KPP Pratama Jakarta Tanah Abang Dua, yaitu sebagai berikut:
1. Kinerja Ekstensifikasi Wajib Pajak dalam mencapai target ber-NPWP dan realisasinya tahun 2007-2010
2. Perkembangan Penerimaan Pajak Penghasilan Orang Pribadi Tahun 2007-2010
105 Tabel 4.4
Kinerja Ekstensifikasi Wajib Pajak dalam mencapai target ber-NPWP dan Realisasi pada KPP Pratama Tanah Abang Dua
Tahun 2007- April 2011
Target Realisasi Persentase Tahun Karyawan
Non
Karywan Karyawan
Non
Karyawan %
2007 8799 3521 6660 115
2008 5539 6148 2287 152
2009 5282 1100 5566 822 100 2010 472 1515 1724 1111 143
2011 100 424 521 189 135
Jumlah 23.231 28.589
Sumber: Seksi Ekstensifikasi KPP Pratama Tanah Abang Dua
Grafik 4.1
NPWP Domisili Karyawan dan Non Karyawan Tahun 2007-2010 di KPP Tanah Abang Dua
Kinerja ekstensifikasi Wajib Pajak pada tabel 4.4 diatas, menunjukkan peningkatan jumlah karyawan ber-NPWP setiap tahunnya dari tahun 2009-2011, sebelumnya pada tahun 2007-2008 target pencapaian ber-NPWP belum di kelompokkan antara karyawan dan non karyawan (pengusaha, pemilik tempat usaha di pusat perdagangan/pertokoan, penduduk yang bertempat tinggal) dan dengan adanya
106 kebijakan dari Kanwil berdasarkan Badan Kebijakan Fiskal, maka di tahun 2009 di adakan pengelompokan target untuk karyawan dan non karyawan. Realisasi ber-NPWP mengalami peningkatan pada kategori karyawan, hal ini di sebabkan karena hampir sebagian besar karyawan yang bekerja pada perusahaan sudah terdaftar ber-NPWP sesuai dengan kebijakan pemberi kerja atau perusahaan dan di potong pajak yang terhutang atas penghasilan Wajib Pajak yang diterima setiap bulannya oleh pemberi kerja atau bendaharawan pemerintah.
Sebaliknya, realisasi pada kategori non karyawan tidak melebihi target yang di tetapkan oleh Badan Kebijakan Fiskal, hal ini di sebabkan karena hampir 70% KPP Tanah Abang Dua berada dalam wilayah strategis untuk bisnis di pusat kota Jakarta terutama di sentra usaha di bidang perdagangan yang sebagian besar masyarakat sudah memiliki NPWP domisili sesuai dengan Kartu Tanda Pengenal (KTP) masing-masing wilayah. Penurunan ber-NPWP juga disebabkan faktor peningkatan PTKP (Pengusaha Tidak Kena Pajak) yang berpengaruh dalam pencapaian target ber-NPWP. Pada tahun 2008 PTKP yang ditetapkan sebesar Rp 13.200.000 (sd 31 Desember 2008) menjadi Rp 15.840.000 sejak 1 Januari 2009. Hal ini, menurunkan pencapaian target ber-NPWP bagi kategori non karyawan, jika status mereka hanya sebagai pelayan pada pertokoan atau perdagangan di PGMTA (Pusat Grosir Tanah Abang Dua) maka penghasilan mereka, tidak memenuhi sebagai Wajib Pajak ber-NPWP.
Pencapaian realisasi terbesar terjadi pada tahun 2007, karena di tahun 2007 adalah proses awal kegiatan penyisiran atau canvassing terhadap pengusaha-penguaha di sentra ekonomi, mall dan plasa sehingga banyak Wajib Pajak yang terjaring, tetapi di tahun berikutnya mengalami penurunan, karena dimungkinkan sudah sebagian besar Wajib Pajak tergarap oleh kegiatan canvassing di tahun sebelumnya.
107 Selain itu, Wajib Pajak juga merasa enggan mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak yang memiliki NPWP, dikarenakan pajak tidak memberikan manfaat langsung kepada masyarakat dan sanksi yang ada masih dianggap lebih kecil manfaat ekonomisnya dari pada melaporkan diri dan menghitung pajak yang terhutang.
Rendahnya tingkat kesadaran Wajib Pajak di KPP Tanah Abang Dua masih sangat rendah, walaupun sudah cukup banyak upaya yang dilakukan melalui berbagai penyuluhan, seminar, loka karya, pelatihan, simulasi, brosur, majalah, surat kabar, TV, radio dan sebagainya, tetapi tingkat kesadaran masyarakat untuk mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak tidak menunjukan kemajuan yang berarti, sehingga jumlah Wajib Pajak terdaftar tidak bertambah secara signifikan.
IV.5.2. Kontribusi Hasil Pelaksanaan Ekstensifikasi Wajib Pajak dan