• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELAKSANAAN PENGELOLAAN KEBUN

Dalam dokumen ANALISIS PEMETIKAN TEH (Halaman 52-66)

Pengelolaan Tingkat Mandor

Mandor merupakan bawahan langsung dari asisten afdeling. Mandor bertugas mengawasi para pekerja di lapangan, memberikan petunjuk teknik budidaya, mengabsen para pekerja sebelum dan sesudah bekerja dan membuat laporan harian.

Mandor Pengendalian Gulma Secara Kimia (Chemical Weeding)

Mandor pengendalian gulma secara kimia bertugas merencanakan kegiatan harian pengendalian gulma, jumlah tenaga yang diperlukan, peralatan, material, target luas areal yang akan dikendalikan, waktu pengendalian, dan penulisan laporan harian hasil dari kegiatannya hari itu. Mandor chemical weeding membawahi 2 orang pekerja yang berstatus sebagai karyawan harian lepas (KHL). Pengajuan bon material dilakukan 1 hari sebelum pelaksanaan pengendalian dengan persetujuan asisten afdeling, diketahui kepala administrasi dan kepala gudang. Material yang telah disetujui untuk digunakan dalam pengendalian gulma diambil pada hari itu juga. Sebelum kegiatan pengendalian dilakukan, mandor memberikan pengarahan mengenai teknis pengendalian dan melakukan absensi pekerja pada hari itu juga. Mandor chemical weeding harus memperhitungkan, mengarahkan pekerjanya mengenai areal yang akan dikendalikan serta harus mengawasi langsung pembuatan larutan herbisida, serta penggunaan dan aplikasinya.

Perhitungan luas areal yang akan disemprot, penggunaan herbisida, tenaga kerja dan lokasi pengendalian dilaporkan pada buku laporan harian mandor. Keberhasilan dalam penyemprotan atau kesalahan yang terjadi di lapangan menjadi tanggung jawab mandor. Jika terdapat areal yang terlewati maka pekerja harus melakukan penyemprotan terhadap areal tersebut sebelum pulang.

Mandor Pemupukan

Mandor pemupukan membawahi 15 – 20 orang pekerja yang seluruhnya berstatus sebagai KHL. Mandor pemupukan bertugas untuk membuat rencana pelaksanaan pemupukan, mengawasi pelaksanaan pemupukan untuk mengurangi penyimpangan – penyimpangan yang mungkin terjadi di lapangan. Di kebun Kemuning sendiri pernah terjadi pencurian terhadap pupuk yang akan diaplikasikan dan kejadian tersebut terjadi di lapang, hal ini menunjukkan pengawasan masih tidak dilaksanakan dengan baik.

Mandor Hama dan Penyakit Tanaman (HPT)

Mandor Hama dan Penyakit Tanaman (HPT) membawahi 3 orang karyawan yang berstatus sebagai KHT. Mandor HPT bertugas mengarahkan pekerjanya dalam melaksanakan pengendalian, membuat rencana kerja areal yang akan disemprot, membuat bon permintaan penggunaan insektisida atau fungisida. Mandor HPT juga mempunyai tugas khusus bersama petugas EWS melakukan kegiatan koordinasi dalam menanggulangi serangan hama dan penyakit.

Mandor Panen

Mandor panen bertugas membuat rencana areal blok yang akan dipetik, melakukan absensi tenaga, melakukan pengawasan terhadap pemetikan, melakukan peninjauan terhadap pucuk yang telah dipetik dan pucuk tertinggal, memeriksa jenis petikan yang telah dilakukan, menentukan gilir petik, melakukan pencatatan hasil timbangan, berkoordinasi dengan krani timbang, dan membuat laporan harian mengenai banyaknya pucuk yang dipetik pada hari itu.

Pengelolaan Tingkat Manajer

Asisten Afdeling

Asisten Afdeling mrupakan bawahan langsung dari kepala tanaman yang bertugas dan bertanggung jawab terhadap pembuatan rencana blok mingguan atas dasar rencana bulanan, memberikan pengarahan tentang blok yang akan dikerjakan serta mengevaluasi hasil kerja para pekerja di lapangan. Dari rencana yang telah disusun serta koordinasi dengan mandor akan diketahui jumlah material, jumlah tenaga kerja, dan perkiraan biaya (cost) yang diperlukan untuk kegiatan pengendalian di lapangan.

Asisten afdeling juga bertanggung jawab untuk melakukan pengontrolan terhadap para pekerja dan para mandor dalam suatu blok untuk mengetahui ada atau tidaknya kesalahan atau penyimpangan dalam pelaksanaan kegiatan harian sehingga kalau terjadi penyimpangan atau kesalahan dapat segera dikoreksi.

Asisten afdeling membawahi beberapa mandor, yaitu mandor rawat, mandor pangkas, mandor petik dan mandor hama dan penyakit tanaman. Penulis menjadi asisten afdeling selama 1 bulan.

Kepala Tanaman

Kepala tanaman bertanggung jawab mengkoordinasikan kegiatan antar afdeling dan mengevaluasi penyimpangan rencana kerja yang terjadi di setiap afdeling, baik teknis maupun biaya operasional. Kepala tanaman juga bertanggung jawab untuk melakukan perbaikan terhadap penyimpangan yang terjadi.

Kepala tanaman perlu melakukan kontrol di lapangan sehingga dapat segera mengambil langkah-langkah perbaikan atas penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di lapangan. Pengawasan dan evaluasi dilakukan kepala tanaman dengan mengelilingi kebun serta menitik beratkan pada kebun-kebun yang bermasalah. Setiap minggu kepala tanaman melakukan koordinasi melalui rapat dengan asisten afdeling dan mandor untuk mengetahui permasalahan-permasalahan di kebun dan sejauh mana target produksi telah tercapai sehingga wilayah- wilayah yang kurang dalam segi produksinya dapat ditinjau ulang.

Administratur

Administrur di perkebunan merupakan jabatan tertinggi di bawah direksi. Administratur merupakan pucuk pimpinan yang mengendalikan kegiatan di kebun baik dari segi teknis, manajerial maupun administrasi dari semua lini.

Administratur melakukan kontrol ke lapangan untuk menentukan kebijakan – kebijakan yang perlu diambil sesegera mungkin dan melakukan koordinasi dengan HO untuk melakukan perbaikan dan pembaharuan terhadap pola manajemen yang lebih maju. Secara singkat tugas administratur adalah melakukan koordinasi, melakukan kontrol untuk jangka waktu yang pendek, menengah dan panjang, memperhitungkan biaya serta melakukan analisa terhadap pendapatan dan keuangan yang didapat.

PEMBAHASAN

Sistem Petikan

Sistem petikan yang dilaksanakan perkebunan akan menentukan kualitas pucuk, jumlah produksi, menentukan waktu petikan selanjutnya dan mempengaruhi kelangsungan hidup tanaman itu sendiri. Oleh karena itu petikan harus dilaksanakan dengan baik dan tepat. Sistem petikan yang dimaksud di sini adalah berapa daun muda yang dipetik di bawah kuncup (peko) atau beberapa daun yang tinggal pada ranting di atas daun kepel.

Sistem petikan ini sangat terkait dengan teknis petikan yang baik di lapang yaitu sesuai dengan prinsip memetik mulai dari mengambil, menyimpan dan membuang. Menurut Sukasman dan Johan (1990) bahwa petikan yang baik selain bidang petik harus rata, pemetikan harus dilakukan sesuai dengan bidang petik. Pucuk yang belum mencapai kriteria masak petik harus ditinggalkan dan daur petik harus diatur sesuai dengan pola pertumbuhan pucuk.

Salah satu masalah di kebun Kemuning ialah bidang petik yang tidak rata. Bidang petik yang tidak rata akan menyebabkan perbedaan pertumbuhan pucuk selain berpengaruh pada kesehatan tanaman dan serangan hama atau penyakit yang mudah menyerang karena diperoleh lingkungan hidup yang cocok untuk berkembang biak sehingga kesinambungan produksi kurang terjaga. Untuk memperoleh bidang petik yang rata harus dilakukan sistem petikan yang benar. Sistem pemetikan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yang harus diperhatikan oleh pihak kebun.

Tinggi petikan jendangan di Blok B3 (Tabel 4), masih lebih rendah dibandingkan dengan standar yang telah ditetapkan PPTK Gambung dalam Setyamidjaja (2000), yaitu 15 – 20 cm dari luka pangkas. Belum sesuainya pelaksanaan petikan jendangan tersebut disebabkan oleh masih kurangnya pengawasan dari mandor, masih rendahnya keterampilan dari tenaga pemetik serta sistem borongan yang diterapkan sehingga pemetik hanya mengejar kuantitas tanpa memperhatikan kualitas dari pucuk yang dihasilkan dan dampak dari pemetikan tersebut terhadap pemetikan berikutnya.

Pemetikan jendangan merupakan pemetikan yang dilakukan pertama kali dan bertujuan untuk membentuk bidang petik yang lebar dan merata dengan daun pemeliharaan yang cukup sehingga tanaman memiliki potensi yang tinggi. Hal ini penting atau perlu diperhatikan karena pertumbuhan dan jumlah pucuk serta bobotnya sangat dipengaruhi oleh tebal tipisnya daun pemeliharaan (Tobroni, 1998). Makin tipis dan jarang daun pemeliharaan, makin cepat akibat kekeringan (Darmawijaya, 1984).

Dalam proses pertumbuhan tanaman teh mutlak diperlukan daun permanen atau daun pemeliharaan untuk menjamin produktivitas dan kelangsungan hidupnya. Daun pemeliharaan juga dapat dibentuk pada saat pemetikan sehingga pemetikan harus benar-benar diperhatikan. Pucuk dari tunas yang mengarah ke samping (selewer) tidak boleh dipetik agar bidang petik cepat melebar. Daun pemeliharaan berfungsi sebagai pabrik fotosintat yang digunakan sebagai pertumbuhan dan metabolisme tanaman (Dalimoenthe, 1987). Fotosintat yang dihasilkan oleh daun pemeliharaan akan disebarkan ke bagian atas (pucuk) dan bagian bawah atau cabang, batang, dan akar. Tebal daun pemeliharaan optimal untuk pertumbuhan tunas baru adalah 15-20 cm (Pusat Penelitian Teh dan Kina Gambung, 1992).

Pemetikan jendangan dilakukan oleh tenaga pemetik yang terampil dan teliti (sudah pernah mengikuti petikan jendangan) yang diambil dari kemandoran yang membawahi wilayah itu dengan sistem borongan. Jumlah tenaga pemetik

jendangan biasanya 20 orang, akan tetapi juga masih tergantung terhadap luas

areal yang akan dipetik.

Dalam melakukan pemetikan jendangan ini perlu dipertimbangkan juga mengenai pertumbuhan gulma, hal ini dikarenakan apabila semakin tinggi petikan

jendangan ini dilakukan, intensitas serangan hama dan penyakit akan cenderung

semakin meningkat, karena semakin lama tanaman tersebut dijendang maka semakin lama pula kesempatan patogen menghasilkan spora. Menurut Sanusi dan Purnama dalam Martosupono dan Sudirman (1991), petikan jendangan yang paling efektif terhadap produksi pada pangkasan bersih adalah 10 cm dari bidang pangkas.

Waktu dan Frekuensi Pelaksanaan Pemetikan Jendangan

Pelaksanaan pemetikan jendangan adalah 2 – 3 bulan setelah pemangkasan produksi yaitu apabila 60 % areal telah memenuhi syarat jendang dengan rata – rata tinggi pucuk 15 – 20 cm dari luka pangkas ( Setyamidjaya, 2000). Rata – rata pelaksanaan pemetikan jendangan di kebun Kemuning adalah 3 bulan setelah pemangkasan. Hal tersebut disebabkan oleh letak kebun Kemuning yang berada di dataran tinggi sehingga intensitas cahaya matahari yang diterima tanaman kurang optimal. Pada dataran tinggi pertumbuhan tunas berlangsung agak lambat karena terkait dengan jumlah intensitas cahaya matahari yang rendah. Jika cahaya terlalu kecil dan suhu udara rendah maka tidak terjadi pertumbuhan (Sukasman, 1997). Dalam pelaksanaannya pemetikan jendangan dilakukan oleh pemetik yang terampil dan teliti yang dipilih dari beberapa kemandoran dan selalu diawasi MK jendangan meliputi ketepatan ukuran salib, pisau stek dan cara pemetikan yang dilakukan.

Kapasitas Pemetik

Rata – rata kapasitas pemetik di kebun Kemuning adalah 22 kg. Nilai ini masih dibawah standar pemetikan (basic yield) yang ditetapkan oleh perkebunan yaitu 35 kg/hari. Kapasitas petikan yang dihasilkan setiap pemetik berbeda tergantung dari keadaan pucuk di lapang. Rendahnya kapasitas pemetik di perkebunan disebabkan oleh beberapa faktor antara lain kondisi pucuk di lapang, banyaknya pemetik yang berusia lanjut sehingga kemampuan pemetik berkurang dan keterampilan pemetik yang masih rendah sehingga pemetikan dilakukan dengan cara dijambret atau ngodok, sehingga pertumbuhan pucuk untuk gilir berikutnya tidak rata. Prestasi kerja yang dilakukan pemetik dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu usia pemetik, waktu timbang, tinggi badan, jarak tempat kerja dengan tempat tinggal (Rosyadi dan Subrana, 1990).

Gilir Petik dan Hanca Petik

Hanca petik diatur berdasarkan blok sistem, artinya pemetik tidak hanya memetik pada satu petak atau barisan tertentu saja tetapi bersama dengan pemetik yang lain menuju satu barisan ke depan dalam blok yang akan dipetik. Pembagian hanca didasarkan pada potensi tanaman, umur pangkasan, topografi areal dan jumlah pemetik.

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan penulis di lapang diketahui bahwa rata – rata hanca petik untuk petikan jendangan dan produksi berbeda. Hanca petikan jendangan rata – rata 1.5 patok/HK. Hasil tersebut lebih luas dibandingkan dengan petikan produksi yang rata – rata hanya 0.75 patok/HK. Hal tersebut disebabkan oleh pucuk yang dipanen jumlahnya lebih sedikit dan keterampilan dari tenaga pemetik pada petikan produksi.

Gilir petik merupakan jarak antara satu pemetikan dengan pemetikan berikutnya pada suatu luasan yang sama. Gilir petik merupakan salah satu faktor yang menentukan produksi pucuk. Gilir petik antara satu perkebunan dengan perkebunan lain tidak sama. Perbedaan ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain topografi, umur pangkas, iklim dan kesehatan tanaman.

Semakin tinggi letak kebun dan cuaca kemarau maka pertumbuhan pucuk semakin lambat sehingga gilir petik harus diperpanjang. Semakin tua umur pangkas maka semakin lambat pertumbuhan sehingga makin panjang gilir petik. Kesesuaian gilir petik dengan umur pangkas ini sangat penting untuk diperhatikan agar diperoleh pucuk yang memenuhi syarat olah sehingga kualitas teh yang dihasilkan stabil. Gilir petik yang pendek dapat mencegah menyebarnya serangan hama Helopeltis antonii, sehingga pucuk yang dihasilkan dalam kondisi yang sehat. Kesehatan tanaman dapat mempengaruhi pertumbuhan pucuk, semakin sehat tanaman maka pertumbuhan pucuk semakin cepat sehingga gilir petik semakin pendek (Tobroni, 1988).

Gilir petik yang diterapkan di kebun Kemuning sudah sesuai dengan standar yaitu ( 10 – 12 hari ). Gandi (2002) menyatakan bahwa penetapan gilir petik tergantung percepatan pertumbuhan tunas dan faktor-faktor yang mempengaruhi gilir petik. Semakin pendek gilir petik maka hanca petik akan semakin luas.

Analisis Petik dan Analisis Pucuk

Tujuan dari proses analisa adalah untuk mengetahui pucuk yang akan diolah sudah memenuhi standar atau belum sehingga sehingga dapat memperkirakan tinggi rendahnya olahan. Kegiatan analisa petikan merupakan kegiatan awal dari pengujian mutu. Analisis petik maupun analisis pucuk merupakan bagian dari analisis pemetikan yang merupakan salah satu cara yang digunakan untuk memonitoring kualitas pucuk yang dihasilkan oleh perusahaan. Analisis ini harus dilakukan oleh tenaga ahli dan mendapatkan pengawasan dari pihak pengelola kebun, karena hasil dari analisis ini sangat bermanfaat bagi pengelola kebun dalam memonitoring pelaksanaan lapang dan dalam melakukan perbaikan terhadap aspek-aspek yang dapat menurunkan kualitas maupun kuantitas yang dihasilkan.

Analisis petik merupakan pemisahan pucuk yang didasarkan pada rumus petik yang diterapkan kebun tersebut. Analisis ini mulai tahun 2008 sudah tidak diterapkan kembali karena dianggap sudah tidak efektif dan effisien. Akan tetapi penulis melakukan analisis sendiri dan membandingkan hasilnya dengan analisis yang dilakukan pihak kebun.

Pemetikan yang kurang teliti dan tidak adanya bonus tambahan untuk pemetik apabila mengumpulkan hasil lebih dari basic yield, dan rendahnya jam kerja merupakan faktor yang akan mempengaruhi hasil dari analisa petik dan analisa pucuk. Hal ini juga harus diperhatikan oleh pengelola kebun karena akan berpengaruh langsung terhadap kelangsungan kebun tersebut.

Analisis petik dilakukan dengan tujuan untuk menilai ketepatan pelaksanaan pemetikan baik daur petik maupun cara pemetikan yang nantinya akan mempengaruhi kondisi pucuk yang akan diolah, menilai kondisi tanaman yang kurang sehat dan menilai keterampilan pemetik. Menurut Rosyadi dan Subarna (1990), semakin besar persentase pucuk muda yang akan diolah maka akan menghasilkan mutu yang tinggi. Hasil dari analisis petik dapat dilihat pada Tabel 6 dibawah ini.

Tabel 6. Komposisi Pucuk Hasil Analisis Petik di Kebun Kemuning 2007

Uraian Februari Maret April Mei

P+1 - - - - P+2 5 5 2 2 P+3 10 12 7 7 B+1m 11 11 8 9 B+2m 13 12 11 10 B+3m 14 12 15 20 Medium 53 52 43 48 P+4 12 12 5 3 P+5 11 12 3 2 BT - - 35 32 DT 18 17 9 10 Rusak 6 7 5 4

Sumber : Arsip Kantor Rumpun Sari

Dari data analisis petik berdasarkan Tabel 6 di atas yang dilakukan oleh pihak perkebunan menunjukkan bahwa petikan di kebun Kemuning masih tergolong petikan kasar, hal ini ditunjukkan dengan masih rendahnya persentase pucuk medium yang dihasilkan dengan rata – rata 49 %, selain itu juga masih terdapat pucuk kasar dan rusak dengan persentase yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan pemetikan di kebun Kemuning belum dilaksanakan dengan baik serta keadaan tanaman di kebun kurang sehat. Hasil dari analisa petik ini dapat digunakan untuk melihat kondisi tanaman dan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan perbaikan terhadap sistem pengelolaan kebun. Sebagai pembanding penulis melakukan analiasis petik secara langsung dengan mengambil contoh pucuk dari setiap kemandoran sebanyak 100 gram. Pucuk ini diambil dari pabrik sebelum pucuk dibeberkan. Berikut adalah data mengenai analisis petik yang dilakukan oleh penulis dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Komposisi Pucuk Hasil Analisis Petik yang dilakukan Penulis 2008

Uraian Februari Maret April Mei

P+1 - - - - P+2 5 5 2 2 P+3 10 12 7 5 B+1m 11 11 8 9 B+2m 13 12 11 10 B+3m 14 12 15 20 Medium 53 52 43 46 P+4 10 12 5 3 P+5 10 10 3 2 BT 3 2 35 36 DT 18 17 9 10 Rusak 6 7 5 4

Sumber : Data primer pengamatan penulis

Dari data Tabel 7 di atas menunjukkan bahwa hasil yang didapat oleh penulis hampir sama dengan yang dilakukan oleh pihak kebun. Data ini diperoleh dengan cara mengambil sampel sebanyak 100 gram dari setiap kemandoran kemudian dipisahkan berdasarkan rumus petik dan dihitung persentase dari masing – masing kriteria tersebut. Dari data diatas masih terlihat persentase pucuk kasar dan rusak yang masih tinggi dan melebihi standar yang ditetapkan kebun yaitu 5 % untuk pucuk rusak dan 20 % untuk pucuk kasar. Untuk pucuk medium yang dihasilkan juga masih dibawah standar perkebunan yaitu 75 %.

Pemetikan yang dilakukan di kebun Kemuning masih tergolong petikan kasar, hal tersebut dapat dilihat dari Persentase pucuk yang tergolong petikan kasar masih tinggi. Tidak sesuainya komposisi pucuk yang ditetapkan perusahaan dengan hasil yang diperoleh dari lapangan disebabkan oleh masih seringnya terjadi kesalahan – kesalahan dalam cara memetik. Faktor terbesar yang mempengaruhi mutu pucuk hasil dari analisis adalah kesalahan dalam cara pemetikan (Sukasman dan Johan, 1990). Kesalahan tersebut antara lain cara memetik yang dijambret dan pucuk yang tertinggal sehingga akan berpengaruh

terhadap hasil pucuk pada periode berikutnya. Pemetikan terlalu mengejar hasil secara kuantitas tanpa memperhatikan kualitas dari pucuk yang diperoleh. Para tenaga pemetik kadang – kadang masih menggunakan sarung tangan meskipun mereka melakukan pemetikan secara manual sehingga akan menambah persentase pucuk kasar yang diperoleh.

Menurut Subarna et al. (1990), mutu hasil petikan secara manual sangat dipengaruhi oleh keahlian pemetik dan kondisi kebun yang dipetik. Mutu pucuk hasil petikan secara mekanis masih sedikit lebih besar daripada pucuk hasil petikan tangan (Dalimoenthe dan Kartawijaya. 1997). Hal ini akan terlihat dari persentase pucuk medium, kasar dan rusak yang akan dihasilkan.

Hasil analisa petik terutama diperlukan oleh pengelola kebun untuk mengetahui apakah standar petikan dan gilir petik telah sesuai dengan yang sudah ditetapkan. Sedangkan hasil dari analisa pucuk selain untuk penentuan upah dan bonus bagi mandor juga bermanfaat bagi pengelola pabrik atau pengolahan untuk mempertanggung jawabkan mutu hasil olahannya atau teh kering.

Untuk pengolahan teh hijau sebenarnya analisa petik ini tidak perlu dilakukan, hal ini disebabkan pada saat proses pengolahan baik pucuk kasar, halus, medium atau rusak akan dicampur menjadi satu. Selain itu analisa ini tidak bermanfaat terhadap proses pemasaran yang dilakukan oleh pihak kebun.

Pelaksanaan analisa yang hanya dilakukan oleh pihak pengolahan dapat menyebabkan kurangnya perhatian pihak kebun terhadap manfaat hasil analisa untuk kepentingan perbaikan kebun dan kualitas pucuk teh. Selain itu juga dapat mengakibatkan penyimpangan dari hasil analisa karena tidak adanya hasil pembanding untuk mendukung keakuratan hasil analisa. Analisa yang dilakukan oleh kebun Kemuning tidak hanya analisa petik akan tetapi juga analisa pucuk.Dari hasil analisa pucuk ini digunakan untuk mengetahui kisaran sebaran mutu teh jadi hasil dari pengolahan. Berikut adalah data mengenai analisa pucuk dan kisaran sebaran mutu teh jadi kebun kemuning tahun 2008 dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Data Analisis Pucuk dan Kisaran Sebaran Mutu Teh Jadi Kebun Kemuning, dari Bulan Februari sampai Mei 2008.

Uraian Februari Maret April Mei Rata-rata

Analisis Pucuk (%) Medium (MS) 65.5 64.8 67.8 68.4 66.6 Kasar 28 29.4 26.4 26.8 27.6 Rusak 6.5 5.8 5.8 4.8 5.7 Sebaran Mutu (%) Mutu 1 71.2 70.3 73.8 75.5 72.7 Mutu 2 7.5 8.9 7.8 6.8 7.6 Mutu lokal 21.3 20.8 18.4 17.7 19.5

Sumber : Bagian Pengolahan Kebun Kemuning 2008

Dari data analisis pucuk yang terdapat dalam Tabel 8 maka jumlah medium (MS) kebun Kemuning masih di bawah ketentuan syarat olah (70%) yaitu 66.6% dan persentase pucuk kasar yang masih tinggi yaitu 27.6%. Berfluktuasinya persentase pucuk ini menyebabkan persentase mutu 1 yang berfluktuasi juga dengan rata-rata 72.7 % dan tingginya pucuk kasar di atas 25% serta masih banyaknya pucuk rusak lebih dari 5% menyebabkan tingginya mutu lokal yang melebihi 5% dengan rata-rata 19.5. Hal ini disebabkan karena sistem petikan yang benar masih belum sepenuhnya dijalankan di kebun kemuning sehingga kualitas pucuk yang diharapkan belum tercapai. Bila dilihat rata-rata mutu 1 72.7 masih di bawah yang diharapkan kebun yaitu 75%.

Kebutuhan Tenaga Pemetik

Tenaga pemetik memegang peranan yang sangat penting dalam mencapai hasil petikan yang maksimal. Kebutuhan tenaga pemetik di suatu perkebunan perlu memperhitungkan jumlah tenaga yang dibutuhkan dan keterampilan dalam pelaksanaan pemetikan. Pengaturan kebutuhan tenaga pemetik di kebun Kemuning didasarkan pada luas areal yang dipetik dan kondisi pucuk di lapangan. Dari hasil perhitungan dapat diketahui kebutuhan tenaga pemetik di kebun Kemuning pada tahun 2007 melewati target perkiraan kebun (300 pemetik).

Pada umumnya mandor tidak membatasi jumlah karyawannya untuk mengantisipasi bila perusahaan mengalami kekurangan pemetik. Upaya yang dapat dilakukan untuk menambah kapasitas pemetik tanpa menambah jumlah pemetik adalah pemetikan dengan cara mekanis yaitu dengan gunting atau mesin petik, namun pemetikan mekanis ini mutunya lebih rendah daripada hasil petikan manual. Mutu pucuk hasil petikan mekanis persentase kasarnya lebih tinggi daripada hasil petikan manual tetapi tidak mengandung daun tua dan ranting yang tidak layak olah (Kartawijaya, et.al.1996).

Dari berbagai faktor yang diamati di atas semuanya merupakan faktor yang dapat mempengaruhi pemetikan secara langsung sehingga juga dapat mempengaruhi kualitas maupun kuantitas dari pucuk yang dihasilkan. Beberapa faktor tersebut harus mendapatkan perhatian dari pihak pengelola kebun demi keberlangsungan kebun tersebut.

Dalam dokumen ANALISIS PEMETIKAN TEH (Halaman 52-66)

Dokumen terkait