V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1.1. Pelaku Tata Niaga
Pelaku perdagangan labi-labi terdiri dari para pedagang besar, pengumpul dan para penangkap yang tersebar di kota Jambi dan 8 kabupaten lainnya di Provinsi Jambi, bahkan dari luar provinsi yaitu Provinsi Sumatera Selatan.
Pedagang
Pedagang besar yang memegang ijin edar dan ijin tangkap untuk labi-labi di Provinsi Jambi berjumlah 8 orang yang tersebar di 5 kabupaten dan Kota Jambi. Sebaran lokasi pedagang besar berikut wilayah tangkapnya disajikan dalam Gambar 6.
Gambar 6 Sebaran pedagang besar dan wilayah tangkapnya di Provinsi Jambi Jumlah pedagang besar terbanyak terdapat di Kota Jambi yaitu 3 dari 8 orang, sementara 5 orang lainnya tersebar masing-masing 1 orang di satu kabupaten lain. Sebaran lokasi domisili pedagang besar ini tidak menggambarkan wilayah kerja para pedagang tersebut karena hubungan kerjasama para pedagang dengan pengumpul maupun penangkap labi-labi terjadi lintas kabupaten bahkan lintas provinsi. Kabupaten Tebo, Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabung
0 2 4 6 Ju m lah Kota/kabupaten
Timur merupakan 3 kabupaten dimana tidak terdapat pedagang besar tetapi menjadi lokasi tangkap labi-labi yang dipasok kepada para pedagang tersebut.
Tujuh dari delapan pedagang besar tersebut juga memiliki ijin yang sama untuk beberapa spesies reptil lainnya dari jenis ular, biawak dan kura-kura. Oktaviani dan Samedi (2008) menyebutkan bahwa di Sumatera Selatan para penampung labi-labi juga menampung jenis reptil lainnya, namun dari 7 penampung yang memegang ijin pemanfaatan reptil hanya 2 yang memiliki ijin untuk spesies A. cartilaginea. Hasil penelitian Kusrini et al. (2009) di Kalimantan Timur menyebutkan bahwa hanya ada 1 pedagang besar yang memegang ijin pemanfaatan labi-labi dan pedagang besar tersebut sekaligus berfungsi sebagai eksportir. Selain sebagai bentuk diversifikasi spesies yang diusahakan, para pedagang besar ini juga mendapatkan keuntungan dari kegiatan pemotongan ular dan biawak, karena dagingnya dapat dijadikan pakan labi-labi yang dikumpulkan atau ketika labi-labi harus disimpan dalam waktu yang cukup lama sebelum dikirim.
Para pedagang besar merupakan pelaku tata niaga labi-labi yang menerima alokasi kuota tangkap labi-labi dari alam yang setiap tahun dibagikan melalui Balai KSDA Provinsi Jambi. Kuota tangkap labi-labi untuk Provinsi Jambi pada tahun 2010 dan 2011 berturut-turut adalah 1 000 dan 1 300 ekor, dengan jatah kuota tangkap per pedagang berkisar antara 50–300 ekor per tahun (BKSDA Jambi, 2012). Kuota tangkap yang diterima setiap pedagang besar direalisasikan selama 1 tahun berjalan dan secara administratif diterjemahkan dalam penerbitan SATS-DN yang menyertai pengangkutan labi-labi keluar provinsi Jambi. Lalu lintas pengangkutan labi-labi yang terjadi di dalam wilayah provinsi tidak memerlukan SATS-DN.
Pengumpul
Para pengumpul sebagai pelaku tata niaga labi-labi di Provinsi Jambi berperan sebagai perantara yang mengantarkan hasil tangkapan para penangkap labi-labi kepada para pedagang besar, dan umumnya memperoleh keuntungan dari selisih harga di pedagang besar dan di penangkap, tentunya setelah dikurangi biaya-biaya yang harus dikeluarkan seperti ongkos angkut. Pengumpul memasok labi-labi ke pedagang besar setiap 1-2 kali dalam satu bulan, bahkan ada juga
43
yang hampir setiap minggu mengantarkan labi-labi dengan jumlah dan ukuran yang beragam. Setiap pedagang besar di Provinsi Jambi memiliki hubungan kerja dengan pengumpul yang menyetorkan labi-labi dalam jumlah banyak, walaupun tidak sedikit penangkap perorangan yang langsung mengantarkan labi-labi yang berhasil mereka tangkap kepada para pedagang besar. Dua orang dari tujuh pengumpul yang berhasil diwawancarai langsung adalah mantan penangkap labi- labi sementara 2 orang lainnya masih aktif menjadi penangkap labi-labi. Kusrini
et al. (2009) menyebutkan bahwa di Kalimantan Timur juga ada pengumpul yang sekaligus berperan sebagai pemancing labi-labi. Para pengumpul yang tidak merangkap sebagai penangkap labi-labi bekerja sebagai pengumpul reptil, penjual jasa (bengkel dan buruh perkebunan) atau mengelola kebun milik pribadi. Sebaran lokasi pengumpul berikut wilayah tangkapnya disajikan Gambar 7.
Gambar 7 Sebaran pengumpul labi-labi dan wilayah tangkapnya
Pengumpul labi-labi tersebar di hampir seluruh wilayah administrasi Provinsi Jambi dengan jumlah terbanyak di Kabupaten Muaro Jambi dan Merangin. Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh merupakan 2 wilayah dalam Provinsi Jambi yang diduga tidak dihuni oleh labi-labi karena ketinggian tempatnya berkisar antara 500–3 805 m dpl, dan menurut Iskandar (2000) labi- labi masih bisa dijumpai sampai pada ketinggian 350 m dpl. Melalui informasi sebaran lokasi dan wilayah kerja para pengumpul ini dapat diduga bahwa labi-labi
0 1 2 3 4 5 Ju m lah Kota/kabupaten Jml Pengumpul Wil. Tangkap
tersebar hampir di seluruh perairan air tawar di wilayah Provinsi Jambi dengan ketinggian < 350 m dpl walaupun tetap dibutuhkan penelitian lebih lanjut.
Tigabelas dari duapuluh pengumpul (65%) konsisten memasok labi-labinya kepada satu pedagang tertentu saja. Pedagang yang menjalin kerjasama dengan pengumpul yang banyak identik dengan pasokan labi-labi dalam jumlah yang lebih banyak pula, dan ukuran populasi labi-labi di pedagang P1, P3 dan P6 memang lebih banyak dibandingkan pedagang lainnya. Pada pendataan bulan April 2012 jumlah labi-labi di pedagang P1, P3 dan P6 berturut-turut 174, 100 dan 161 ekor sementara pada pedagang lain berkisar antara 2–52 ekor, sebagaimana ditunjukkan Gambar 8.
(a) (b)
Gambar 8 (a) Proporsi jumlah pengumpul labi-labi yang menjadi pemasok ke pedagang besar (b) Jumlah pedagang pemasok labi-labi ke setiap pedagang
Pedagang besar di Provinsi Jambi menyebutkan bahwa pasokan labi-labi juga berasal dari beberapa pengumpul dari provinsi tetangga, terutama dari wilayah yang langsung berbatasan dengan kabupaten/kota di Provinsi Jambi. Tiga orang pengumpul dari wilayah Lesung Batu, Rawas dan Rupit (Provinsi Sumatera Selatan) yang berbatasan dengan Kabupaten Sarolangun rutin mengantarkan labi- labi ke pedagang besar yang berdomisili di Kabupaten Sarolangun. Pengumpul dari daerah Bayung Lencir dan Sungai Lilin (Provinsi Sumatera Selatan) yang berbatasan dengan Kabupaten Muaro Jambi ada juga memasok labi-labi kepada pedagang besar di Kota Jambi. Dari Provinsi Sumatera Barat juga diduga ada pasokan labi-labi ke pedagang besar yang berdomisili di Kabupaten Bungo. Pertimbangan yang mendorong para pengumpul di provinsi tetangga lebih memilih mengantarkan labi-labi hasil tampungannya ke pedagang besar di Jambi
0 5 10 15 1 2 > 2 P en g u m p u l
Pedagang yang dipasok
0 2 4 6 8 P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P eng um pu l Pedagang
45
adalah harga yang lebih tinggi serta pembayaran yang lancar dibandingkan dengan pedagang di provinsi tetangga itu sendiri. Oktaviani dan Samedi (2008) menyebutkan bahwa labi-labi yang terkumpul di para pedagang di Sumatera Selatan juga ada yang berasal dari Lampung, Jambi dan Bangka Belitung.
Satu orang pengumpul juga melakukan pembesaran labi-labi di kolam penampungannya. Labi-labi berukuran kecil yang diperoleh dari penangkap tidak langsung disetorkan kepada pedagang besar, tetapi dipelihara untuk dibesarkan hingga mencapai ukuran super yang harga jualnya pun lebih tinggi, sebagaimana juga disebutkan oleh Kusrini et al. (2009). Pembesaran labi-labi cukup sederhana, dengan memberi pakan secara rutin satu kali dalam seminggu dan menempatkannya di kolam tanah ataupun semen. Labi-labi hasil pembesaran memiliki bentuk karapas yang tidak melebar dan bagian pinggirnya Pada kesempatan berkunjung ke eks lokasi pembesaran labi-labi, pemiliknya menyebutkan bahwa labi-labi berukuran berat 1 kilogram yang dimasukkan ke dalam kolam dan diberi pakan jerohan ayam sebanyak satu kali seminggu mengalami pertambahan berat hingga tujuh kilogram dalam waktu satu tahun. Pernyataan ini masih membutuhkan pembuktian melalui penelitian tersendiri tentang pengaruh pemberian pakan terhadap pertambahan berat labi-labi pada kelas umur dewasa muda.
Penangkap Profil Penangkap
Penangkap profesional adalah penangkap labi-labi yang memiliki kemampuan mengenali lokasi tangkap yang potensial dan menggunakan alat tangkap khusus, sementara penangkap oportunistik pada umumnya adalah penangkap ikan yang secara tidak sengaja mendapatkan labi-labi pada alat tangkap mereka. Penangkap labi-labi dibedakan menjadi penangkap profesional dan penangkap oportunistik sesuai dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya (Kusrini et al. 2009; Mumpuni & Riyanto 2010; Nijman 2012). Seluruh penangkap labi-labi yang menjadi responden langsung maupun tidak langsung dalam penelitian ini adalah penangkap profesional, dan terdiri dari duabelas penangkap tetap dan tigabelas penangkap sambilan. Penangkap profesional
dibedakan menjadi penangkap tetap dan penangkap sambilan berdasarkan alokasi waktu tangkapnya seperti ditunjukkan dalam Gambar 9.
Gambar 9 (a) jumlah penangkap sambilan berdasarkan komoditas bidang pekerjaan utama (b) jumlah penangkap berdasarkan curahan jam tangkap per hari
Gambar 9 (a) menunjukkan bahwa para penangkap sambilan memiliki bidang pekerjaan utama yang bervariasi namun 61.5% bergerak di komoditas perkebunan seperti karet dan sawit sebagai pemilik sekaligus pekerja ataupun hanya sebagai buruh kebun. Penangkap yang langsung mengantarkan labi-labi hasil tangkapannya adalah para penangkap yang berdomisili dekat dengan lokasi pedagang besar dan mereka tidak memiliki tempat penyimpanan sementara, sehingga untuk menghindari resiko kematian labi-labi tersebut langsung diantarkan ke gudang milik para pedagang besar. Di Kabupaten Sarolangun, Merangin, Bungo dan Batang Hari penangkap labi-labi selain dari etnis Melayu juga sebagian besar adalah suku asli Jambi, yaitu Suku Anak Dalam. Suku Anak Dalam mengkonsumsi labi-labi berukuran kecil sebagai makanan mereka, tetapi mengkhususkan labi-labi berukuran besar untuk dijual kepada para pedagang besar. Mayoritas penangkap labi-labi dari Suku Anak Dalam mengantarkan labi- labi langsung kepada pedagang besar tanpa melalui penampung.
Curahan waktu tangkap berbeda pada setiap penangkapan, karena ditentukan oleh lokasi tangkap dan perolehan labi-labi, namun waktu tangkap rata-rata yang dihabiskan oleh penangkap labi-labi adalah sebagaimana ditampilkan dalam Gambar 9 (b). Penangkap yang memulai perjalanan menuju lokasi tangkapnya pada pagi hari berangkat sekitar jam 7 pagi dan menghabiskan waktu menurut kondisi yang ditemui saat pemancingan, tetapi rata-rata mengalokasikan 7-8 jam per hari tangkap. Penangkap sambilan memulai
6
2 4
1 a)
Karet Sawit Ikan Lainnya
4 5 7 7 2 b)
47
penangkapan pada siang/sore hari setelah mereka menyelesaikan pekerjaan utamanya terlebih dulu, dan menghabiskan waktu tangkap rata-rata 4-6 jam per hari tangkap. Enam orang penangkap menyebutkan bahwa mereka juga melakukan pemancingan pada malam hari karena kondisi sekitar lokasi pancing lebih tenang dan labi-labi cenderung lebih banyak beraktivitas.
Metode tangkap
Penangkapan labi-labi oleh para penangkap menggunakan beberapa cara yaitu pemancingan, pemasangan perangkap (bubu/pangilar), pemasangan tajur, pencarian dengan tombak (tuk-tuk), bahkan pembongkaran sarang. Gambar 10 menunjukkan jenis alat tangkap labi-labi dan umpan yang digunakan di Jambi.
Gambar 10 Peralatan menangkap labi-labi (a) pangilar atau bubu; (b) Inggu, bahan beraroma amis yang sangat tajam sebagai umpan labi-labi yang dipasang di bubu/pangilar; (c) gulungan tali pancing berupa benang nilon; (d) mata pancing ukuran nomor 10; (e) umpan pancing labi-labi berupa daging atau jerohan ayam; dan (f) cara pemancing memasang mata pancing pada tali pancing
Beberapa metode yang sama dilakukan juga di tempat lain dimana terdapat aktivitas pemanenan labi-labi dari habitat alaminya (Jensen & Das 2008; Kusrini
et al. 2009; Lilly 2010; Mumpuni & Riyanto 2010; Mumpuni et al. 2011). Tiga cara pertama dapat dilakukan kapan saja tanpa tergantung musim, sementara pencarian dengan tuk-tuk atau pembongkaran sarang khusus dilakukan oleh suku asli Jambi, Suku Anak Dalam, dan hanya dilakukan pada musim kemarau. Alat tangkap labi-labi (Gambar 10) berbeda dari alat tangkap jenis yang sama yang digunakan untuk memancing/menangkap ikan. Mata pancing yang digunakan untuk memancing labi-labi berukuran lebih besar dan jenis umpan yang digunakan pun berbeda sementara bubu/pangilar yang digunakan untuk menangkap labi-labi juga memiliki bentuk dan ukuran yang lebih besar. Sterrett et al. (2010) menyebutkan bahwa metode penangkapan dengan memasang umpan bagian tubuh hewan pada mata pancing tepat digunakan untuk spesies kura-kura yang bersifat omnivorus. Metode penangkapan lain adalah penangkapan menggunakan tangan, tetapi pada labi-labi tidak mungkin dilakukan mengingat labi-labi termasuk hewan galak dan cenderung menghindari gangguan. Penggunaan inggu sebagai umpan non-hewani dipilih oleh penangkap labi-labi di Jambi yang menggunakan bubu atau pangilar karena bau amis yang ditebarkan inggu yang terlarut dalam air sangat tajam dan lebih cepat menarik perhatian labi- labi.
Tipe habitat yang dipilih oleh para pemancing lebih beragam dibandingkan yang menggunakan bubu atau pangilar karena jenis alat yang digunakan pun menentukan tipe habitatnya. Penangkap yang menggunakan alat pancing lebih leluasa memilih tipe habitat tangkap karena kemudahan dalam pemakaian/pemasangannya ataupun perpindahan lokasi pemancingan di sungai, danau atau rawa yang sama, namun perolehan hasil pancingan terbatas hanya satu ekor di setiap mata pancing yang ditebar. Walaupun sama-sama menggunakan alat pancing terdapat perbedaan antara memancing labi-labi di sungai, danau dan rawa. Berdasarkan pengamatan selama mengikuti para pemancing di berbagai lokasi di Jambi, di setiap titik pemancingan penangkap menebarkan 4–7 mata pancing tunggal dan masing-masing mata pancing tersebut berjarak 2-3 meter lalu menunggu sekitar 15–20 menit sebelum kemudian berpindah ke titik
49
pemancingan berikutnya. Jumlah dan jarak mata pancing yang digunakan di danau tidak berbeda dengan di sungai tetapi alokasi waktu sebelum berpindah ke titik pancing berikutnya lebih lama, berkisar antara 30–45 menit. Menurut penangkap yang memancing di beberapa tipe habitat perbedaan ini berhubungan dengan ada atau tidaknya aliran air di habitat tersebut yang berfungsi mengantarkan bau dari umpan yang dipasang di mata pancing untuk menarik labi- labi.
Bubu atau pangilar lebih sesuai digunakan di tipe habitat rawa dengan cara membendung sebagian badan rawa dan menyesuaikan lebar aliran air dengan ukuran bagian bubu atau pangilar tempat labi-labi masuk. Walaupun jenis alat ini hanya cocok digunakan di rawa dan membutuhkan waktu satu hari untuk pemasangan satu unit, ukurannya yang besar dan panjang memungkinkan diperoleh lebih dari satu ekor labi-labi dalam satu bubu atau pangilar pada satu kali pemasangan. Bila kedua cara tangkap tersebut dibandingkan dengan kondisi labi-labi yang tertangkap sebagai tolok ukurnya maka bubu atau pangilar lebih baik daripada pancing. Labi-labi yang terperangkap dalam bubu atau pangilar tetap dapat bergerak dan tidak ada resiko tersangkut ataupun terluka di bagian tubuhnya seperti yang diakibatkan oleh mata pancing yang tertelan. Hasil ini mendukung penelitian Lilly (2010) di Kalimantan Barat.
Proporsi jumlah pemancing berdasarkan tipe habitat dan jenis alat yang digunakan ditampilkan dalam Gambar 11.
Gambar 11 Proporsi pemancing berdasarkan (a) tipe habitat dan (b) jenis alat yang digunakan
Duapuluh tiga dari duapuluh lima penangkap memilih sungai sebagai lokasi tangkap yang disukai, enam memilih rawa dan untuk danau dan kanal masing-
23 1
6 1 a)
Sungai Danau Rawa Kanal
20 5 b)
masing hanya satu penangkap. Tiga orang penangkap memancing di semua tipe habitat, sementara penangkap lainnya dapat disebut sebagai spesialis pemancing sungai dan pemasang bubu atau pangilar di rawa. Para penangkap di Jambi melakukan penangkapan labi-labi secara berkelompok terdiri dari 2–5 orang penangkap. Keuntungan yang diperoleh ketika melakukan penangkapan labi-labi secara berkelompok diantaranya adalah peluang perolehan yang lebih besar karena semakin banyak mata pancing yang terpasang, dan khusus untuk pemasangan bubu atau pangilar yang relatif sulit dapat dilakukan dengan lebih mudah dan cepat. Disamping itu ada pertimbangan keamanan dan kemudahan membawa hasil tangkapan ketika lokasi penangkapan berjarak jauh dari pemukiman penduduk serta hasil tangkapan yang diperoleh cukup banyak. Penangkapan oleh perorangan juga ada dilakukan tetapi biasanya di sungai-sungai kecil yang dekat dengan tempat tinggal penangkap.
5.1.2 Alur Perdagangan
Alur perdagangan labi-labi di Provinsi Jambi dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 12 Alur perdagangan labi-labi di Provinsi Jambi
Alur perdagangan labi-labi merupakan hubungan kerja antar-pelaku perdagangan dan dalam hal ini dikendalikan oleh harga beli dari masing-masing pedagang. Di lokasi pedagang dan pedagang ternyata selain labi-labi juga ditemukan spesies kura-kura lainnya yaitu curup (Dogania subplana), biuku (Orlitia borneensis) dan kura-kura patah dada (Cuora amboinensis). Pada umumnya para penangkap akan mengambil kemudian menjual spesies kura-kura apapun yang ditemui, namun kura-kura berkarapas lunak seperti labi-labi lebih
Penangkap Profesional Penangkap Oportunistik Pengumpul Pedagang Besar Pasar Lokal Habitat Labi-labi
51
disukai karena harga jualnya yang lebih tinggi, bahkan di negara India bisa mencapai enam kali lipat harga domba atau ayam (Traffic 1999). Labi-labi yang ditangkap dari alam baik oleh penangkap profesional maupun penangkap oportunistik dibawa untuk dijual kepada pengumpul atau langsung ke pedagang.
Para penangkap secara periodikal menyerahkan labi-labi hasil tangkapan mereka kepada satu pengumpul atau pedagang, tetapi para pengumpul bisa memasok ke lebih dari satu pedagang. Para penangkap yang menangkap labi-labi secara berkelompok biasanya mempercayakan hasil tangkapan mereka kepada satu penangkap saja untuk kemudian diantarkan kepada pengumpul atau pedagang langganan mereka. Diantara para penangkap ada sistem kerja yang mereka kembangkan, dan berbeda menurut keanggotaannya. Pada kelompok penangkap yang melibatkan seorang pengumpul sekaligus penangkap maka hampir seluruh biaya yang dikeluarkan, kecuali perbekalan pribadi, ditanggung oleh pengumpul tersebut. Sebagai konsekuensinya, seluruh hasil tangkapan diserahkan kepada pengumpul tersebut yang kemudian akan memberikan harga dibawah harga jual langsung kepada pedagang besar berdasarkan prinsip harga jual dikurangi hasil tangkapan perorangan akan dikurangi dengan biaya yang dikeluarkan. Pada kelompok yang seluruh anggotanya adalah penangkap maka biaya ditanggung bersama, dan hasil tangkapan merupakan milik perorangan anggota. Hasil tangkapan kelompok ini langsung diantarkan kepada pedagang besar karena para penangkap tidak memiliki tempat penampungan sementara dan untuk menghindari resiko kematian labi-labi hasil tangkapan mereka.
Baik pengumpul maupun pedagang ada yang memberikan pinjaman modal ataupun menerapkan sistem tabungan kepada para penangkap labi-labi, dan sistem ini menjadikan para penangkap terikat kepada satu pengumpul atau pedagang tertentu saja. Hal ini berbeda dengan yang dikemukakan Mardiastuti (2008) bahwa tidak ada hubungan pra-pembiayaan dalam rantai perdagangan labi-labi dan transaksi jual-beli dilakukan dengan sistem cash and carry. Hasil wawancara langsung maupun berdasarkan informasi pengumpul menunjukkan dari 25 responden penangkap yang tersebar di lima kabupaten yang disurvei 52% diantaranya menyerahkan hasil tangkapannya kepada pengumpul sementara 48% penangkap lainnya menyerahkan hasil tangkapan mereka kepada pedagang.
Di Jambi labi-labi juga dikonsumsi oleh para konsumen lokal dalam jumlah yang relatif sedikit, dan tidak ada pasar formal seperti pasar tradisional yang terdapat di Kalimantan Timur (Kusrini et al. 2009) maupun Kalimantan Barat (Lilly 2010). Para pembeli yang berminat langsung membeli kepada pedagang atau pedagang yang telah dikenalnya. Hal ini dikarenakan labi-labi adalah satwa yang dagingnya tidak umum dikonsumsi oleh semua orang, atau dengan kata lain labi-labi memiliki pasar khusus yang terbentuk berdasarkan informasi yang terbatas. Traffic (2008) menyebutkan bahwa konsumsi lokal labi-labi di Indonesia jauh lebih rendah dibanding di daerah Indocina yang disebabkan oleh perbedaan pola makan maupun jenis makanan yang dikonsumsi, ditambah pula adanya aturan agama dalam mengkonsumsi jenis makanan tertentu. Labi-labi yang diperjualbelikan untuk konsumen lokal berasal dari pengumpul dan pedagang, dan tidak ada yang langsung dijual oleh para penangkapnya. Melalui wawancara dengan satu orang pengumpul dan tiga pedagang diperoleh informasi bahwa di Provinsi Jambi konsumen lokal yang rutin membeli labi-labi walau dalam jumlah relatif sedikit, dan labi-labi yang diminati adalah labi-labi berukuran kecil. Diluar waktu tersebut, pedagang ini juga melayani pembelian dalam jumlah dan periode waktu yang tidak tetap.
Labi-labi dari Provinsi Jambi dikirim keluar provinsi kepada para eksportir maupun pedagang lokal di provinsi lainnya (Gambar 13) karena di Jambi tidak ada eksportir labi-labi. Kerjasama di tingkat pedagang terjalin untuk memenuhi permintaan pengiriman labi-labi dari para eksportir dimana para pedagang saling berhubungan untuk menggabungkan stok labi-labi mereka di salah satu pedagang, biasanya pedagang dengan stok terbanyak, untuk kemudian labi-labi tersebut akan dikirimkan dalam satu kali pengangkutan. Para pedagang besar memilih menjual labi-labinya kepada eksportir di Jakarta kendati di Sumatera Utara dan Riau juga terdapat eksportir labi-labi. Hal ini didasarkan pada pertimbangan sortasi yang lebih longgar walaupun harga belinya lebih murah dibandingkan harga beli eksportir di kedua provinsi tersebut.
53
Gambar 13 Kota tujuan penjualan labi-labi dari pedagang besar di Jambi
Labi-labi yang telah disepakati harga pembeliannya diangkut dan biaya transportasi menjadi tanggungan eksportir/pembeli dari kota lain, begitu juga resiko kerusakan atau kematian labi-labi setelah meninggalkan tempat pedagang. Labi-labi yang diperuntukkan bagi ekspor adalah labi-labi hidup yang memiliki tampilan baik dan tidak cacat serta kebanyakan termasuk dalam ukuran super menurut klasifikasi pedagang setempat. Labi-labi untuk pasar domestik memiliki